Senin, 20 November 2017

Gila!

Warga desa tahu betul watak Tamsil. Tak ada yang meragukan soal kejujurannya. Sejak masih kanak-kanak, ia telah menunjukkan perbedaan dibanding anak-anak lain dalam soal kejujuran. 
 
Tak akan lekang dari ingatan warga tentang satu peristiwa, saat Tamsil masih duduk bangku SMP. Kala itu, setiap pagi, ia lekas memunguti buah mangga yang jatuh dari satu pohon, di sebuah kebun, sebelum binatang dan anak-anak usil mendahuluinya. Pemilik kebun adalah Rumo, seorang kakek yang hidup sebatang kara. Seseorang tua renta yang meyambung hidup dengan menjual buah mangga. Tanpa pamrih, buah yang terkumpul, lalu diserahkan Tamsil kepada si empunya. 

Sungguh, tak ada yang tahu bagaimana jalan ceritanya, sampai kejujuran Tamsil begitu kokoh. Anak yatim-piatu yang diasuh seorang warga sejak berumur lima tahun itu, sungguh tak bisa berbohong. Yang pasti, kecurigaan warga menjurus pada lelaki tua yang dipanggilnya "kakek". Tamsil yang sering bergaul dengan si kakek sejak kecil, diduga belajar pendidikan budi pekerti darinya.

Sikap jujur Tamsil yang tanpa kompromi, terbawa hingga dewasa. Sampai akhirnya, ia telah cukup umur dan merasa diri cakap menjadi pemimpin warga desa. Niatnya baik, untuk mengubah perangai warga desa yang jauh dari sifat kejujuran. Ia ingin memperbaiki watak pemuda desa, bahkan para tetua yang masih gemar berdusta. 

Dan atas tekadnya yang menggebu, ia pun mengajukan diri sebagai calon kepala desa. Sebuah keputusan yang berani dan dianggap warga kurang rasional. Alasannya karena di bawah hitung-hitungan politik, jelas ia tak punya basis dukungan yang memadai. Perangai yang mulia, bukanlah jaminan untuk terpilih. Apalagi warga desa kerap memilih bukan dengan akal sehatnya, tapi demi uang dan ruang-ruang pemuas nafsu mereka.

Keraguan juga, bahkan datang dari ayah angkatnya sendiri, Ruli. Ia telah menasihati Tamsil agar mengurungkan niatnya menjadi kepala desa dengan sejumlah alasan politis. Namun Tamsil tak peduli. Ia merasa, kebenaran hanya bisa benar jika dicapai dengan cara yang benar. Ia tak mau pusing soal taktik politik yang menurutnya tak bisa lagi disebut politik, sebab baginya politik adalah pertarungan gagasan untuk kehidupan yang lebih baik. 

Prinsip soal poitik yang jujur, dipegang teguh Tamsil dari awal hingga akhir pemilihan kepala desa. Tak sepeser pun ia merogoh kocek pribadi hanya untuk merebut suara warga. Yang ia lakukan hanyalah mendatangi warga desa untuk berdialog secara langsung, serta menyosialisasikan visi-misinya. Sedang pada waktu yang sama, di ruang-ruang rahasia, seorang calon yang menjadi pesaingnya, merebut simpati warga desa dengan mengadakan pesta miras dan orkes dangdut.

Dan benar saja, di akhir perhelatan itu, Tamsil kalah telak dari seorang calon kepala desa yang lain. Ia bahkan hanya memperoleh satu suara dari jumlah suara yang ada. Suara yang dipastikan berasal dari dirinya sendiri. Sebuah kenyataan yang membuat Tamsil begitu radikal soal nilai kejujuran. Sampai akhirnya, ia tak memercayai siapa pun, kecuali dirinya sendiri. Bahkan segala hal tentang desanya, ia anggap berlumur dusta.

Dimulailah perangai Tamsil yang kelewat baik, hingga wataknya dianggap aneh oleh warga desa. Ia mulai menyendiri sebab menilai tak ada lagi kebenaran selain dirinya. Ia juga malas betutur sapa dengan siapa pun, sebab kata-kata orang lain, ia anggap kebohongan belaka. Sampai puncaknya, ia tak sudi lagi menginjakkan kali di tanah desa yang menurutnya terkutuk.

Demi idealismenya, berhijralah Tamsil ke sebuah perkebunan kecil, di selingkaran tanah yang dianggapnya suci. Ia pun memulai kesendirian di bawah sebuah pohon mangga, pada luasan sejauh daun pohon itu berjatuhan. Bahkan ia memutuskan membuat sebuah rumah pohon dari rerumputan dan tangkai kayu yang juga ia kumpulkan di bawah pohon tersebut. Tak lupa, ia membawa serta sandang pemberian kakek Rumo, sang pemilik pohon mangga yang telah meninggal.

Waktu akhinya dilewati Tamsil dalam keterasingan. Tak ada siapa-siapa bersamanya, kecuali binatang liar yang tak henti mendendangkan nyanyiannya masing-masing. Dan untuk bertahan hidup, ia hanya memanfaatkan buah mangga yang begitu lebat. Sesekali, ia juga mengkonsumsi udang dan ikan yang didapatkannya dari dalam aliran sungai yang masih dinaungi si pohon mangga. Dari sisi sungai itulah pulalah, ia menghapuskan dahaganya.

“Nak, aku bawa makanan untukmu,” kata Ruli, sosok di mana Tamsil menggantungkan hidup sejak kecil.

Dari atas rumah pohonnya yang menggantung, Tamsil pun terjaga. Hunian beratap daun dan alang-alang, serta berdinding dan berlantai kain itu, tampak bergoyang. Tamsil kemudian mengintip di celah-celah rumahnya. “Pulanglah! Aku tak akan sudi menerima pemberian dari para pendosa, termasuk darimu, penghianat!”

Kata-kata Tamsil, jelas terdengar tak sopan di telinga Ruli. “Bagaimana bisa kau mengatakan aku pendosa dan pengkhianat, Nak. Bukankah aku sendiri yang telah merawatmu sedari dulu?” kata Ruli, yang memang telah memosisikan diri sebagai ayah angkat bagi Tamsil.” 

Tamsil tertawa pendek. “Ya penghianat memang tetap merasa diri sebagai pahlawan?” katanya, kemudian tertawa meledek. Ia lalu menuturkan sindiran sarkas, “Ya, pahlawan yang telah merelakan dan mendukung seorang penjahat untuk menjadi pemimpin desa ini? Dan, dengan begitu, dia tetap menganggap diri sebagai pahlawan?”

Ruli bak menelan pil pahit. “Sadarlah, Nak. Aku tahu, aku telah memilih orang yang salah. Tapi itu demi kebaikanmu juga. Kau tahu sendiri, masih butuh waktu lama untuk warga desa belajar tentang kebaikan. Dan aku khawatir, jika kau terpilih sebagai kepala desa, kau akan menuai celaka,” ujar Ruli.

Tamsil mendengus. “Dasar penghianat. Memang seorang pengecut hanya akan jadi penghianat. Bilang saja kalau kau takut jika para warga mengendus bahwa kau telah mengalihkan suara padaku, dan hidupmu berakhir tragis. Kau takut pada para penjahat itu? Dasar! Kau memang penghianat!”

Ruli jadi bingung mencari alasan untuk mengelak dari tuduhan itu. “Anggaplah aku ini penghianat, Nak. Terserah kau saja. Yang pasti, aku melakukannya untukmu!”

“Kau memang penghinat!” sergah Tamsil. “Bagaimana bisa kau diam saja dan pura-pura tak tahu kalau ayahku telah meninggal dengan cara yang tragis, hanya karena ia hendak menunaikan tugas mulia? Bagaimana bisa kau pura-pura tak tahu, kalau ayahku meninggal demi memberantas aksi pencurian uang rakyat di desa ini?” vonis Tamsil lagi, disusul tawanya yang semakin tak keruan.

Ruli terdiam. Seperti kehabisan kata-kata. Ia tahu betul kenyataan itu, sebab ia dan ayahnya sendiri, kakek Rumo, adalah saksi sejarah serta korban intimidasi para warga sepanjang waktu. Ia tahu betul, ayah Tamsil yang duda kala itu, dilenyapkan para warga saat hendak mengungkap kasus korupsi pemerintah desa, bukan karena menghilang, sebagaimana rumor yang diembuskan para tetua desa sejak puluhan tahun lalu. Ia pun tahu alasan kenapa kebun ayahnya, Rumo, dipilih sebagai tempat untuk menguburkan ayah Tamsil, tepatnya di bawah sebuah pohon mangga. Semua itu agar keduanya tak banyak bicara. Atau kalau tidak, mereka akan mencelakakan diri mereka sendiri sebagai tertuduh di tengah konspirasi para warga desa.

“Kenapa diam? Kau pasti tak bisa menyangkal kenyataan yang kuketahui dari kakek Rumo ini, kan?” ledek Tamsil, dengan terus tertawa. “Aku tahu sekarang, di desa ini, hanya ada dua orang manusia sejati dan patut disebut pahlawan. Hanya ayahku dan kakek Rumo.”

Ruli tak ingin memperpanjang perdebatan dengan orang yang memang dianggapnya sudah tak waras. Maka sebelum pergi, ia menawarkan lagi makanan yang dibawanya pada Tamsil. “Aku tinggalkan makanan untukmu di sini. Aku harap kau sudi menyantapnya.”

Seketika, Tamsil mengulangi penegasannya. “Sudahlah, penghianat! Bawa pulang saja makanan itu. Makanan dari para pendosa adalah haram. Sehina makanan dari hasil korupsi!”

Dan, Ruli terpancing untuk menandaskan seruannya. “Bagaimana bisa kau menganggap makanan dariku haram, Nak, sedangkan kau tumbuh besar dari apa yang selama ini kuberikan padamu?” katanya, sambil berharap Tamsil luluh dan segera berubah pikiran.

Tak ada sanggahan dari Tamsil. Tak ada suara. Seakan ia sedang memikirkan tentang pikirannya sendiri.

Akhirnya, pulanglah Ruli dengan harapan besar, bahwa ia akan menjumpai rantang kosong esok pagi.

Kala senja masih membias di ufuk barat, sampai menerobos celah-celah dedaunan, Tamsil terus menggugat dirinya sendiri. Ia geli mendengar bahwa darah dan tulangnya, telah bertumbuh dari unsur-unsur yang haram. Ia miris membayangkan bahwa tubuhnya sekadar onggokan dosa yang menumpuk, yang membalut jiwa yang dipikirnya suci.

Dan kala burung masih menari-nari di atas langit sambil bersiul-siul, juga saat penghuni alam lainnya tengah mendendangkan lagu selamat datang malam, bunyi berdebam terdengar dari bawah pohon mangga. Dan bersama dengan itu, Tamsil pun melayang, meninggalkan raganya yang terbujur kaku, dengan darah yang tak henti mengucur deras dari kepalanya, hingga membasuh tanah suci, tempat ayahnya terkubur puluhan tahun lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar