Atas
perasaanmu yang menggebu, sudah sewajarnya kau berucap jujur, atau setidaknya menulis
tentang kita. Aku tahu kau menyukaiku sejak pertama kali bertemu, dan kau masih
menumpuknya hingga saat ini. Itu terlihat dari sikapmu padaku, di sepanjang
pengindraan kita. Dan, satu-satunya alasan kau memendam perasaan, hanya karena
kau seorang perempuan, yang menurut hukum umum, kurang pantas dan jadi tak berharga
jika mengungkapkan perasaan lebih dulu pada seorang lelaki.
Karena aku tahu kau pemalu dan berusaha agar perasaanmu tak ketahuan, walau sekadar kau
tuliskan di bilik-bilik rahasiamu, maka izinkan aku membantu. Demi menenangkanmu dari kekalutan, maka dalam cerita ini, aku akan menuliskan soal perasaanmu. Akan kuungkapkan apa saja yang selama ini enggan kau ungkapkan.
Setidaknya, setelah kau membacanya, kau hanya perlu mengiyakan, tanpa perlu
melakukan tindakan apa-apa.
Dan akhirnya, aku bingung sendiri menentukan bagian dari isyarat ketertarikanmu padaku, yang patut kutuliskan. Cerita
tentang kita, menyebar dalam berkas-berkas pertemuan yang tak tersusun rapi.
Tapi yang paling berkesan adalah pertemuan kita di satu sore, di sebuah toko buku yang kau
jaga. Pada saat itulah, aku bisa mengeja maksud hatimu, hanya
dengan mengamati caramu memandang, bentuk senyumanmu, atau gerak-gerik tanganmu.
Kesimpulannya, kau tertarik padaku.
Kala
pertemuan kita di antara buku-buku bisu saat itu, kau tampak kalap dan salah tingkah.
Kusodorkan sejumlah bayaran untuk tiga buku, dan kau beberapa kali salah
menjumlahkan tagihan. Sebuah kegugupan yang kutaksir akibat perasaanmu yang berlebihan. Aku yakin, saat itu kau hendak mengatakan padaku: hai tampan, cobalah lebih nekat. Ajak aku
berkenalan, dan kita bisa tukaran kontak. Tapi jelas, aku enggan
memedulikanmu lebih dari sekadar pelayan biasa.
Seusai
drama di sore itu, aku pun meninggalkanmu tanpa perasaan. Aku menghilang untuk
waktu yang lama. Aku melenyapkan diri dari pantauanmu. Sedangkan bibit perasaan yang kutabur dalam hatimu,
kuyakin, akan terus dipupuk oleh rasa penasaranmu sendiri, sepanjang waktu. Kau akan terus
bertanya tentang kapan aku bertandang lagi ke toko bukumu. Dan demi waktu,
kau pun menjadi pengagum rahasiaku yang fanatik.
Namun
hari ini, rasa berdosaku yang membengkak setelah mengabaikanmu begitu lama, menyeret langkahku menuju ke hadapanmu. Aku menemuimu lagi dalam
keadaan yang sama seperti dulu. Lebih tepatnya, kaulah yang sebenarnya menemukanmu dalam kondisi yang banyak berubah. Akulah yang pergi, sedangkan kau masih di sini,
sebagai seorang penjaga toko yang betah
di tempat yang itu-itu saja.
Seperti
di awal pertemuan, kau menyambutku dengan satu senyuman. Aku yakin, kau tak
sekadar bermaksud membuatku nyaman sebagai pengunjung toko. Ada maksud lain
di balik senyumanmu. Sebuah tanda yang mengisyaratkan rasa syukurmu, sebab aku
telah kembali dan mengikis rasa rindumu yang membatu. Kau seakan hendak
berkata: Dari mana saja kau? Kenapa tega
pergi begitu lama dan membuatku rindu setengah mati?
Tapi
lagi-lagi, aku tak peduli tentang rintihan hatimu itu. Seperti sebelumnya, aku pun
bergegas ke sudut ruangan, mencari buku yang memang kusasar sebelum tiba. Dan
setelah kutemukan, aku lalu menghadap kepadamu untuk menyelesaikan urusan
pembayaran, serta untuk meninggalkanmu sesegera mungkin.
Kini kita sedang berhadapan.
Kini kita sedang berhadapan.
“Kenapa
baru datang lagi?” tanyamu, dengan suara lembut. Sebuah
pertanyaan yang lebih cocok ditujukan kepada seorang kenalan dekat. Sedangkan
kita, jelas tak akrab. Kurasa, kau keceplosan akibat
keluh hatimu yang disesaki rindu.
Aku
berusaha menampakkan sikap yang biasa saja. “Aku datang lagi karena aku
membutuhkan buku,” kataku, datar. “Ya, hanya karena itu.”
Entah kenapa, kau malah tersenyum atas singgunganku, meski tak kuasa lagi beradu pandang. Kau tersipu dan melirikku malu-malu. “Ya. Mungkin aku salah bertanya. Tapi aku
telah lama menunggumu.”
Jelas,
kau telah mengungkapkan kejujuran hatimu saat ini. Kurasa, kau mulai tak tahan
memendam perasaan dan menyia-nyiakan kesempatan. Kau takut aku lenyap lagi
dari jangkauan radarmu, hingga kau terpaksa kembali menumpuk rindu.
Aku
tak segera menyela. Kuberikan kau kesempatan untuk mengungkapkan semua isi
hatimu.
“Sebenarnya
aku hanya ingin menyampaikan bahwa kau telah meninggalkan sesuatu di sini, pada
saat kunjunganmu yang pertama kali,” jelasmu, sembari membuka laci dan
mencari-cari sesuatu. Tak lama kemudian, kau menyodorkan seamplop surat padaku. “Ini. Surat ini jatuh dari tasmu waktu itu,” terangmu lagi,
sambil tersenyum.
Aku
menerima sodoranmu dengan perasaan yang campur aduk. Aku tak tahu harus berkata
apa. Hingga akhirnya, seorang lelaki bertubuh jangkung, menghampiri kita sambil menggendong balita. Dan dengan ejaan yang blepotan, balita itu menyapamu dengan kata “mama”.
“Terima
kasih,” kataku, kemudian beranjak pergi dengan keringat yang mengucur deras.
Atas
penjelasanmu soal cerita di balik surat itu, aku tahu jelas, kau sedang
mengarang.
Kuingat lagi saat pertama kali aku menginjakkan kaki di toko buku yang kau jaga, setelah
berhari-hari mengintaimu dari jarak jauh, di sekitar lingkungan kampus. Hingga
akhirnya, aku memutuskan untuk menyelipkan sepucuk surat untukmu, di sela sebuah buku yang berada di atas meja, tempatmu
menaruh segala hal tentang catatan penjualan buku.
Aku
yakin, kau telah membacanya. Kau sengaja mengarang cerita, sekadar untuk
menjaga perasaanku.
Kusibak kembali surat itu. Sebuah surat berisi kejujuran hatiku padamu. Sebuah surat yang
kutulis lebih dari dua tahun yang lalu.
Kini kusadari, semua sudah terlambat. Aku harus membunuhmu di dalam
angan-anganku sendiri. Kau, seseorang yang telah diharamkan berpaling kepadaku, mungkin sejak aku
melalaikanmu untuk waktu yang lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar