Kamis, 12 Januari 2017

Dimensi Lain

Jihan termenung di depan cermin. Hanya duduk memandangi bola matanya yang tak jernih lagi. Mereka-reka rupanya sendiri. Memaknai waktu yang membuat keadaannya telah banyak berubah. Kulit keriput, kantung mata berkerut dan menggantung, serta rambut yang mulai memutih, adalah ciri-ciri yang tergambar pada dirinya. 
 
Waktu memang berlalu tanpa terasa. Seakan kemarin ia masih bermain karet dengan teman sebayanya. Melewati hari tanpa mengkhawatirkan soal masa depan, termasuk tentang pendamping hidup. Tapi waktu membawanya begitu jauh. Membuatnya merasa sendiri, ditinggal pergi teman-temannya yang telah menemukan belahan jiwa dan beranak-pinak.

Kini, Jihan mengadu pada dirinya sendiri. Mempertanyakan tentang keberadaan separuh jiwanya yang tak juga datang menjemput. Hingga kekalutan menggerogotinya, kala menimbang kemungkinan yang ada, di tengah rupanya yang tak lagi menawan. Khawatir, jangan-jangan belahan hatinya, tersesat pada diri yang lain, dan tak tahu jalan kembali, selamanya.

Nasib Jihan dalam soal jodoh, berbanding terbalik dengan Marsih, perempuan yang telah melahirkannya 42 tahun silam. Dahulu kala, saat persoalan jodoh masih menjadi otoritas orang tua, Marsih telah dinikahkan saat menginjak usia 16 tahun. Usia yang bagi orang kekinian, masih tergolong sangat muda dan dianggap belum matang untuk mengurus rumah tangga. 

Meski awalnya sungkan atas pola perjodohan yang tanpa aba-aba, Marsih sebenarnya beruntung menemukan pasangan hidupnya tanpa perlu menungu lama-lama. Yang lebih menggembirakan, ia sempat memiliki seorang anak, Jihan, sebelum suaminya meninggal di tahun ke empat setelah pernikahan. Anak itu, jelas menjadi kado terindah Marsih untuk kedua orang tuanya dahulu.

Kini, melihat nasib anak semata wayangnya, Marsih pun turut dirundung kecemasan. Ia jadi khawatir melihat anak perawannya sering murung dan berdiam diri. Apalagi, ia bisa membayangkan bagaimana bimbangnya seorang perempuan menanti jodoh di usia senja; bak berada di antara ketidakpastian yang membunuh secara perlahan. Sungguh memilukan.

“Maafkan aku, Bu, tak bisa menjadi anak yang membanggakan,” tutur Jihan dengan lembut, saat menyadari sang ibu yang tengah melipat pakaian, sesekali menoleh dan memerhatikannya.

“Minta maaf untuk apa, Nak? Selama ini kau tak punya salah apa-apa padaku,” balas Marsih dengan suara seraknya, kemudian melangkah terbata-bata, menghampiri sang anak.

Jihan masih dengan posisi yang sama, menatap dirinya di dalam cermin. “Aku sudah tua, Bu. Tapi aku belum bisa menghadiahkan seorang cucu pun untuk Ibu.”

Sontak, Marsih terenyuh. Tema pembahasan yang selama ini enggan ia bahas, mulai disinggung. “Kau tak usah risaukan itu, Nak. Adanya kamu saja, sudah membuat aku senang. Dan, kalau kamu bahagia, aku juga pasti ikut bahagia.”

Beberapa detik, Jihan terdiam. Ia lalu tertunduk, menyembunyikan wajah murungnya. “Bagaimana aku bisa bahagia kalau aku tak bisa mempersembahkan cucu untuk Ibu, hanya karena tak ada seorang lelaki pun yang sudi meminangku?” tuturnya, terdengar berat. “Aku juga ingin seperti perempuan yang lain, Bu, yang punya suami dan anak.”

Marsih menghela napasnya dalam-dalam. “Kau jangan putus asa begitu, Nak. Kau tahu, tak selama orang cepat menemukan jodohnya. Selama masih hidup, persoalan jodoh, tinggal menunggu waktu saja,” tuturnya, sembari menyisiri rambut sang anak yang mulai beruban. 

“Tapi kapan, Bu? Kapan?” sergah Jihan. Pelupuk matanya mulai bergetar. Tak lama kemudian, air mata tergelincir di pipinya. “Kalau harus dua-tiga tahun ke depan, mungkin aku tak akan bisa punya anak lagi?”

“Nak, jangan berkata seperti itu. Tak ada sesuatu yang mustahil. Teruslah berharap. Aku yakin, kau akan dipertemukan dengan jodohmu suatu hari nanti, dan akan dikaruniai momongan,” nasihat Marsih, sembari mengelus-elus pungung anaknya. “Kalau bukan di dunia, kau pasti dipertemukan dengan jodohmu di surga, kelak. Kau harus bersabar, Nak.”

Tangis Jihan, semakin menjadi. Ia lalu merebahkan tubunya di pundak sang ibu. 

Dalam kekalutan, Jihan kembali menyalahkan pahaman mistis yang berseliweran di antara penduduk desa. Ia sering kali menduga, tak akan ada seorang pun yang sudi menikahinya. Itu karena ia punya tanda lahir di leher, yang dipercaya sejumlah orang desa, dapat membawa tulah. Beberapa tetua desa bahkan menafsirkan kalau memiliki toh di leher, akan membuat pasangan hidup dan anak seseorang, berumur pendek.

“Bu, apa semuanya karena tanda lahir ini?” keluhnya, sembari menunjuk selingkaran bintik-bintik hitam yang tampak di leher sebelah kirinya. “Apakah seseorang dilahirkan bersama kesialan? Apakah itu adil, Bu?” 

Marsih memandang bola mata sang anak dalam-dalam. “Nak, jelas bukan karena tanda lahir hingga kau tak ditakdirkan berjodoh dengan seseorang. Apalagi, kau tahu sendiri, tak semua orang di desa termakan kepercayaan konyol itu. Makanya, kau bersabar saja. Semoga kelak, kau berjodoh dengan seseorang yang berpengetahuan jernih dan tak percaya takhayul, sehingga cucu-cucuku jadi anak yang cerdas.”

“Kalau begitu, kenapa, Bu? Kenapa?” Jihan lalu menjatuhkan diri dalam pelukan ibunya.

Kali ini, Marsih tak ingin mengulangi nasihatnya. Ia biarkan saja sang anak menangis sejadi-jadinya.

Di pelukan hangat itu, Marsih kembali teringat kala Jihan berumur belasan hingga dua puluh tahunan. Di masa itu, terhitung ada empat orang yang datang, bermaksud meminang putrinya. Namun ia dan sang suami menolak, tanpa sepengetahuan sang anak.

Keputusan Marsih dan suaminya waktu itu, bukan tanpa alasan. Atas nama tradisi dan kebaikan sang anak, mereka kukuh memegang sebuah janji nikah yang tak tentu. Mereka menggantungkan nasib Jihan pada seorang lelaki yang tengah pergi jauh ke negeri seberang, untuk menuntut ilmu. Nahas, lelaki itu meninggal setelah pesawatnya mengalami kecelakaan, saat usia Jihan menginjak kepala tiga. 

Atas kesepakatan terselubung kedua orang tuanya, kini, Jihan harus menanggung kenyataan bahwa di masa tuanya, lelaki mulai enggan meliriknya. Kerena itu, ia harus sabar dalam kesendirian, mungkin untuk beberapa tahun ke depan, atau hingga di alam kehidupan yang lain.

Jihan lalu mengurai pelukannya. “Apakah karena aku tak cantik, sampai sejak dahulu, tak ada seorang lelaki pun yang sudi meminangku?”

Pertanyaan itu, membuat Marsih dihujam rasa bersalah yang begitu mendalam. “Kau masih kelihatan cantik, Nak,” tuturnya, sembari mengusap air mata sang anak. “Bersabarlah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar