Tentang
pentingnya menjaga citra penampilan, film Tucker & Dale Vs Evil, dapat
memberikan sedikit jawaban. Film bergenre thriller-komedi
ini, jelas menggambarkan bahwa penampilan, senantiasa menjadi dasar orang lain
dalam menilai kepribadian seseorang. Apa yang tampak di luar, rentan dianggap
sebagai gambaran isi dalam. Istilahnya, judge
book by its cover.
Pada
film yang disutradarai Eli Craig ini, Dale ditokohkan sebagai pria kaku. Ekspresinya
sulit ditebak. Caranya berpakaian serampangan. Yang paling unik, ia gugupan
setengah mati jika berhadapan dengan orang baru, apalagi wanita cantik. Tampilan
itu, tak jauh beda dengan Tucker, kecuali bahwa Tucker memiliki emosi yang
lebih stabil.
Suatu
hari, sekelompok mahasiswa dari kota datang ke desa tempat tinggal Tucker dan
Dale. Melihat sikap kedua pria aneh itu, para mahasiswa pun, jadi berprasangka
buruk. Mereka menstigma Tucker dan Dale punya kecenderungan untuk bertindak
jahat, sebagaimana teori kriminolog Cesare Lambrosso, bahwa sifat seseorang
dapat dilihat dari penampilan fisiknya.
Di
tengah hutan, tempat para mahasiswa berekreasi, juga tempat Dale dan Tucker
membenahi sebuah pondokan, keadaan semakin ruwet. Itu berawal ketika Dale dan
Tucker menyelamatkan Allison, salah seorang mahasiswa yang terpeleset-terjatuh
dan tenggelam di sungai. Mahasiwa yang lain pun memastikan keduanya hendak
memperlakukan Allison secara keji.
Akibat
prasangka buruk, keadaan semakin mengenaskan. Tanpa mencoba berkomunikasi
terlebih dahulu, para mahasiswa langsung menyerang dan hendak membunuh Tucker
dan Dale. Tindakan itu mereka maksudkan untuk menyelamatkan Allison. Lalu,
terjadilah serangkaian kecelakaan yang membuat satu per satu di mahasiswa terbunuh
atas dasar kesalahpahaman.
Membaca
kepribadian melalui citra penampilan sebagaimana dalam film Tucker & Dale Vs
Evil, masih sering dilakukan sejumlah masyarakat, termasuk di lingkungan perkotaan.
Ragam-ragam tampilan, baik tampilan buatan atau bawaan, telah dikategorisasikan
dalam sebuah identitas tertentu. Semisal, orang yang kulitnya buram dan tak mulus,
serta berpakaian amburadul, dicap orang yang masih ndeso.
Di
sisi masyarakat pedesaan, paradigma yang sama juga masih ada. Mereka selalu
merasa inferior di hadapan orang yang dicap kekotaan, terutama dalam soal
penampilan. Padahal sangat mungkin, orang kota saat ini adalah para pendatang
yang terpaksa berpenampilan glamor agar tak dicap ndeso. Sisanya, memang penduduk asli yang terpaksa turut “kekotaan”
kerena tak bisa menghindari arus modernisasi.
Aksi
tipu-menipu melalui penampilan, berakibat lebih runyam. Orang terjebak dalam
penampilannya, hingga tak sudi menampakkan kesejatian diri. Terpaksa
berperilaku sesuai citra kostum yang ia kenakan. Jadilah, semisal seseorang
pejabat atau bos berdasi pun, tak sudi lagi memungut sampah di tengah jalan,
sebab merasa ada tukang sampah yang berpakaian lebih pantas untuk memungurusinya.
Pada
titik ini, maka teori Karl Marx terkait pembagian kelas, ternyata dapat juga ditelisik
melalui citra penampilan. Orang berdasi, berjas, dan bersepatu kinclong, dapat
dikategorikan sebagai kalas atas, pemilik modal dan kuasa. Sedangkan orang yang
berpakaian seragam dan terkesan kumal, adalah kelas bawah, para pelayan yang
harus bekerja untuk majikannya. Ringkasnya, penampilan menunjukkan strata kelas
dalam sistem kerja.
Jika
ditilik lebih jauh, pembagian kerja yang dibarengi dengan labelisasi penampilan,
tidaklah menjadi soal. Hal itu memang dibutuhkan untuk mengefektifkan kerja
dengan menempatkan seseorang sesuai keahliannya. Permasalahan baru muncul ketika
terjadi ketimpangan beban kerja dan ketidakadilan pembagian profit yang
dihasilkan bersama, yaitu kala segelintir orang kelas atas, menganggap dirinya
berhak untuk mengeksploitasi kelas bawah.
Disadari
atau tidak, strata kekuasaan yang tampak melalui menampilan, selalu rentan
menimbulkan korban. Itu terjadi kala muruah citra tampilan, diselewengkan. Pada
sektor privat, bos berdasi di perusahaan yang seharusnya memerhatikan
kesejahteraan karyawannya, malah bertindak semena-mena. Begitu pun di sektor public,
para abdi negara yang berseragam aduhai, tidak lagi menampilkan dirinya sebagai
pelayan masyarakat.
Atas
absurditas yang terjadi, tidak mengherankan ketika muncul sikap berlawan atas citra
tampilan kelas atas yang wah. Sampai akhirnya, pemuda-pemudi dengan tampilan
tak lazim, muncul di mana-mana. Rambut gondrong nan warna-warni, jins penuh
sobekan, serta aksesoris cadas, membungkus tubuh ringkih mereka, para
pembangkang kemapanan kaum hipokrit. Dalam bentuk ekstrim, mereka diistilahkan
anak punk.
Adalah
kesimpulan yang keliru jika menilai fenomena di atas, lahir tanpa sebab. Sangat
kejam juga kalau mencap mereka, laknat. Jauh dari apa yang terlihat, tampilan
mereka sebenarnya merefleksikan kenyataan bahwa kelas atas telah menghianatai muruah
citra penampilannya. Pakaian tak ubahnya topeng untuk melancarkan tipu muslihat
di ruang pendidikan, politik, agama, dan lainnya.
Akhirnya,
di kehidupan kekinian, di masa orang rela berjubel demi memenuhi hasrat atas
harta, tahta, dan lawan jenis, penting untuk melihat kepribadian seseorang
secara utuh. Pesan film Tucker & Dale Vs Evil, perlu direnungkan kembali.
Ringkasnya, jangan gantungkan kepercayaan dan ketidakpercayaan pada seseorang
berdasarkan citra penampilannya semata. Berkomunikasilah dengan baik, dan lihat
apa yang tersembunyi di lubuk hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar