Senin, 27 Juni 2016

Tanah Air Mata

Ada tanah surga yang gersang
Tak terurus setelah pacul menggembar-gemburkannya
Para pribumi penggarap terusir tuan tanah
Dipaksa tak berdaya di rumah sendiri
Miskin dan terbuang
Demi rumah-rumah tak berjiwa

Tanah ini subur
Dibasuh darah para pejuang
Merdeka dari kolonialisme
Dan seketika pula, dicaplok para bedebah
Hutan belantara jadi batang kokoh tak berdaun
Alam damai jadi kota penuh hiruk-pikuk
Hura-hura sesak-menyesakkan
Membunuh kemanusiaan
Tapi, ini hidup bagi pemilik modal

Tanah ini milik siapa-siapa
Utopia kaum borjuis, terwujud
Modernisasi yang memenjarakan
Tercipta dengan keringat para budak
Terwujud atas nama kemajuan
Konsep absurd
Senyap
Ironis

Ibu pertiwi telah terbunuh
Ada air mata di balik tembok kesenjangan
Orang-orang tersisih, hanya jadi sapi perah
Pelayan nafsu bejat penjajah sesungguhnya
Memakan daging saudara sendiri
Menjijikkan!

Negara ini telah terbeli
Merdeka untuk kaum kapitalis
Ekonomi kerakyatan menjadi slogan kosong
Kata-kata uang jadi ayat suci
Kesejahteraan sosial mengawang-awang
Haruskan menyesal lahir di tanah ini?
Jangan!
Ini hanya tanah yang terjual
Maka. belilah dengan perlawanan!
Lawan!

Identitas Dunia Maya

Perkembangan teknologi memberi pengaruh besar kepada pola komunikasi sosial antarmanusia. Apalagi kala teknologi jejaring data atau internet semakin maju dan berbiaya murah, ditambah sokongan beragam aplikasi media sosial, maka interaksi antarmanusia pun beralih ke dunia maya. Orang-orang dengan mudah melakukan obrolan, atau sekadar saling berbagi informasi melalui beragam media sosial. Di sisi lain, komunikasi secara langsung, menjadi hambar dan terabaikan.

Berkenalan dengan orang-orang baru pun, sering kali berawal di media sosial. Tak perlu untuk bertemu secara langsung terlebih dahulu, tapi berbekal keberanian dan kata kunci akun pribadi seseorang, sesi perkenalan pun dapat dilangsungkan. Akhirnya, banyak terjadi, seseorang memiliki banyak teman di media sosial, tapi tak pernah benar-benar mengenalnya secara langsung. Sekadar teman di dunia maya, bukan dunia dalam kenyataan.

Dampak lanjutan dari komunikasi melalui media sosial adalah mudahnya berprasangka pada seseorang. Setiap orang akan saling menilai berdasarkan unggahan kata, simbol, gambar, maupun video. Imbasnya, dapat terjadi penilaian yang salah pada kepribadian seseorang. Mudah terjadi kesalahpahaman. Seseorang akan dicap berperangai buruk, bahkan dikatakan tak berperasaan, hanya karena statusnya di media sosial, padahal ia tak bermaksud demikian sama sekali. 

Pembacaan yang keliru terhadap seseorang berdasarkan apa yang terlihat di media sosial, memang sangat rentan terjadi. Pesan-pesan di media sosial, jelas dapat ditafsirkan berbeda oleh setiap orang. Kemungkinan besar itu dikarenakan komunikasi di media sosial, tidak menyertakan ekspresi seseorang secara langsung, padahal itu jelas sangat berpengaruh dalam penafsiran makna sebuah pesan.

Dunia maya di balik media sosial, jelas penuh intrik pencitraan pribadi, atau pengaburan identitas, baik dilakukan secara sengaja atau tidak. Di media sosial, setiap orang bisa saja menonjolkan sisi positif pada dirinya, atau bahkan sengaja dibuat-buat. Bisa juga, seseorang menutupi kepribadiannya di akun media sosialnya secara sengaja. Karena itulah, pesan-pesan di media sosial, tak dapat dijadikan patokan mutlak untuk menilai kepribadian seseorang.

Menghilangkan kecenderungan untuk saling membaca kepribadian di media sosial, memang sulit. Apalagi telah dikatakan di awal, bahwa komunikasi antarmanusia belakangan ini, banyak beralih ke media sosial yang jelas tak seekspresif komunikasi secara langsung. Menyadari kenyataan itu, mawas diri dalam bermedia sosial, menjadi sangat penting. Wujudnya dapat dengan membiasakan diri meneliti setiap pesan yang akan dimuat di akun media sosial 

Di sisi lain,  bagi penerima informasi, perlu juga memahami bahwa kepribadian seseorang tak selalu sejalan dengan apa yang termuat di akun media sosialnya. Dunia maya, adalah dunia penuh tipuan. Maka dapat terjadi, seseorang memuat pesan di akun media sosial sekadar sebagai informasi, tidak sebagai gambaran kepribadiannya. Oleh kerena itu, berprasangka baik, perlu diutamakan di media sosial. Terkait sejalan tidaknya kepribadian seseorang dengan pesan di akun media sosialnya, sebaiknya dipastikan dengan berkomunikasi secara langsung.

Akhirnya, penting untuk kembali mendudukkan media sosial sekadar sebagai sarana penunjang komunikasi. Untuk saling mengenal kepribadian secara tepat, tidaklah cukup dengan berkomunikasi melalui media sosial, atau menelusuri informasi kepribadian seseorang di media siber. Berkomunikasi secara langsung tetap harus menjadi jalan terbaik untuk saling mengenal. Maka, biasakanlah untuk saling mengenal di dunia nyata, dan hindari berprasangka buruk berdasarkan informasi di dunia maya.

Rabu, 22 Juni 2016

Klaim dan Dikotomi

Pastilah setiap orang pernah terpaksa tak menjadi dirinya sendiri, agar tak dicap sebagai kelompok tertentu. Apalagi, pada banyak kasus, sering timbul penilaian atas pola pikir dan perilaku seseorang, hanya karena dianggap serupa dengan kelompok tertentu. Seseorang yang berperilaku dengan kualifikasi yang dapat diidentifikasikan pada satu kelompok, akan dicap sebagai anggota kelompok tersebut. Padahal, saat berperilaku, orang itu sama sekali tak memperuntukkan tindakannya untuk meniru kelompok tertentu. Dasar tindakannya hanyalah rasio dan perasaan yang jernih secara pribadi. Keadaan ini tentu menimbulkan dilema.

Memang sudah menjadi kelaziman jika setiap kelompok memiliki ciri-ciri sebagai identitasnya. Tujuannya adalah untuk menjaga martabat kelompok, pembeda dari kelompok lain, serta pegangan berperilaku seluruh anggota kelompok. Namun, kebutuhan tersebut nyatanya dapat menimbulkan pertentangan antarkelompok akibat sikap klaim-mengklaim aspek tertentu sebagai bagian dari identitas kelompok. Aspek itu mencakup unsur budaya secara luas, baik terkait cara pikir, pola perilaku, tradisi, maupun produk kesenian.

Kepentingan satu kelompok untuk memiliki identitas yang berbeda dengan kelompok lain, memberi dorongan kuat atas maraknya aktivitas klaim-mengklaim. Ujung-ujungnya, jurang pembeda atau pemisah antarkelompok, semakin senjang. Aspek budaya tertentu dianggap melekat pada satu kelompok, sehingga kelompok lain dilarang untuk mengklaim aspek serupa. Dipaksakan berbeda. Jika mengklaim identitas yang telah diklaim, maka predikat sebagai kelompok tak jelas dapat saja menimpa kelompok bersangkutan.

Akhir dari sikap klaim-mengklaim adalah monopoli. Monopoli berarti kepemilikan tunggal yang mengimplikasikan pihak lain tak berhak mengganggu-gugat. Aspek tertentu dianggap sebagai kepunyaan eksklusif satu kelompok yang lebih dulu mengklaim, menegaskan, atau yang telah berhasil memenangkan sengketa aspek tertentu sebagi identitasnya. Jadinya, ketika klaim telah berubah jadi monopoli, maka diupayakan agar tindakan merecoki, apalagi merebut aspek yang telah diklaim, senantiasa diberangus. 

Upaya monopoli di satu sisi, dan larangan bagi kelompok lain untuk mengklaim ulang, akan berujung pada keadaan dikotomi. Dua perbedaan akhirnya tak bisa lagi didamaikan karena berangkat dari paradigma pecah bela. Semua harus berdasarkan hukum hitam-putih. Ketika putih telah dianggap kepunyaan satu kelompok, maka kelompok lainnya harus mendapatkan warna lain, termasuk lawannya, hitam. Maka, jelaslah bahwa pertentangan dalam kondisi dikotomi, tidak akan menemui jalan keluar, bahkan semakin meruncing.

Dikotomi adalah pertentangan. Lambat-laun, tali penghubung yang dulunya menjadi perekat antarkelompok, pun bisa jadi terputus total. Jalan kembali menuju keadaan semula, saat pertentangan belum terjadi, pun menjadi gelap. Pintu untuk kembali pada kehidupan saat segala aspek budaya menjadi milik bersama, telah tertutup. Setiap orang dipaksa memilih satu di antara banyak kelompok, dengan disertai kewajiban mempertahankan dan mewujudkan identitas kelompok pilihannya. 

Keadaan dikotomi dengan segala dampak buruknya, penting untuk diberantas. Sikap klaim-mengkalim aspek budaya, sampai berujung pada dikotomi kelompok, harus dicairkan. Untuk itu, penting untuk memberikan pencerahan bahwa tak ada satu kelompok pun yang berwenang memonopoli aspek kebudayaan tertentu. Segala aspek budaya, selalu terbuka bagi setiap orang dalam kelompok mana pun, untuk memperlajari, memahami, dan mengamalkannya. 

Tentu tidak ada salahnya setiap orang menggali, mengonsepkan, dan menegakkan identitas kelompoknya. Identitas tetaplah perlu untuk sebagai jati diri kelompok yang efektif sebagai alat pemersatu dalam mewujudkan tujuan kelompok. Masalah terjadi ketika kebebasan berpikir dan bertindak individu dalam satu kelompok, dikerangkeng demi menjaga muruah dan identitas kelompok. Bertindak berbeda berarti makar, dianggap tak sejalan dengan visi-misi kelompok, bahkan dicap sebagai penumpang gelap dari kelompok lain. Jika begitu, maka dikotomi jelas membuat anggota kelompok tidak lagi menjadi manusia merdeka, tetapi menjadi “robot” demi identitas dan ego kelompok.

Demi melawan paradigma dikotomi atas dasar perbedaan  identitas kelompok, maka kepemilikan atas semua aspek budaya, harus dikembalikan kepada tataran individu, tidak boleh dimonopoli oleh kelompok tertentu. Dengan bagitu, setiap orang dari kelompok mana pun, akan mampu keluar dari penjara dikotomi. Mereka akan leluasa menunaikan nilai-nilai yang dianggapnya baik secara individu, meski itu dipandang bertentangan dengan identitas kelomponya. Terlebih, kadang-kadang, setiap anggota kelompok memang harus tampil sebagai individu yang merdeka dari jeratan kelompoknya, agar nilai-nilai luhur bisa ditemukan dan diperjuangkannya secara bebas.

Mencari Makna

Pada dasarnya, dunia tak pernah menipu. Dunia hanyalah panggung untuk lakon-lakon kehidupan manusia. Dunia penuh dengan kejujuran. Segala sesuatu ditampakkannya secara lugas. Setiap orang bebas untuk memilih jalan hidupnya di dunia, lalu memaknainya sendiri.  Oleh karena itu, yang dikatakan tipuan dunia selama ini, hanyalah wujud dari tindakan tipu-menipu antarindividu manusia.

Serangkaian muslihat di atas, berakar dari tindakan menipu diri sendiri. Penipuan terhadap diri sendiri, kerap kali terjadi. Tujuannya tidak lain untuk menipu dunia luar, demi memperoleh kenikmatan semu. Terjadi kelupaan bahwa kejujuran atas diri sendiri, harus diwujudkan sebelum jujur kepada orang lain. Akhirnya terciptalah keadaan saat orang-orang menjadi suka menipu dirinya sendiri, demi mendapatkan penghargaan orang lain. 

Keadaan lupa diri, sering kali menjadi sangat pelik, sebab tindakan penipuan diri tidak lagi dianggap sebagai sebuah masalah. Tindakan seperti kebiasaan pamer, misalnya. Jelas itu adalah penipuan terhadap diri sendiri. Namun kadang tidak disadari saja. Apalagi saat tindakan pamer mendulang banyak pujian, maka jalan menuju penyadaran jiwa, akan semakin sempit. 

Satu-satunya titik balik yang akan memberikan penyadaran kepada seseorang yang terlena menipu dirinya sendiri, hanyalah kala tujuan semunya tidak tercapai. Kala seseorang memamerkan kebolehannya demi pujian, namun tidak berhasil menggapai pujian yang diharapkan, maka refleksi pribadi akan dilakukannya, jika memang masih ada keinginan untuk kembali ke alam kejujuran dan kedamaian dunia. Lambat-laun, akan timbul kesadaran bahwa mengharapkan dunia luar dan melupakan diri sendiri, adalah pola pikir yang menyesatkan, berakhir tak bermakna, hampa.

Hampanya jiwa atas sikap yang mendahulukan pujian, adalah imbas dari intrik penipuan yang sebenarnya tak berhasil menipu dunia, tapi malah menipu diri si tukang pamer sendiri. Pujian-pujian dari orang lain, pada kenyataannya, tidak selamanya sejalan dengan tindakan tipuan. Sering kali, pujian dilontarkan seseorang hanya untuk menjaga perasaan si pengharap pujian. Sekadar berbasa-basi. Tidak lebih dari itu. 

Penipuan terhadap diri sendiri, bisa juga menimbulkan kehampaan berlipat ganda. Itu terjadi jika bukan hanya diri sendiri yang ditipu, tetapi juga kenyataan. Wujudnya adalah tindakan mengaku-ngaku. Untuk mendapatkan pujian, seseorang kadang tidak menghargai proses, tetapi terpaku pada hasil akhir yang layak untuk dipamerkan. Demi mendulang pujian yang berlimpah, si tukang pamer sering kali tak acuh terhadap pahit dan manisnya sebuah pengalaman. Jika begitu, semakin hampalah jiwa. Tak bermakna sama sekali.

Tentu tak juga orang mendambakan kehampaan hidup. Pada dasarnya, setiap orang menginginkan kehidupan yang penuh makna. Makna adalah sebab kesyukuran dan kesabaran, serta nilai yang memberi arti pada hidup. Yang terjadi, sering kali, hanyalah ketidakmampuan seseorang menemukan makna hidup dalam dirinya sendiri. Seseorang lupa bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia, harus senantiasa dimaknai secara pribadi. Kelupaaan itu akan membuat orang sibuk mengurusi penghargaan dan kemewahan dunia luar, sehingga mengabaikan ketenangan jiwanya.

Demi menemukan kembali makna hidup yang sering kali terlupakan, maka jujur pada diri sendiri adalah cara terbaik. Jika sejumlah pencapaian hidup telah digapai pada tingat tertentu, maka syukurilah. Senantiasalah membanggakan diri sendiri, tanpa perlu mengharapkan, apalagi mencari pujian dari orang lain. Pujian dari diri sendiri adalah yang terpenting, terjujur, dan paling bernilai. Entah orang lain akan turut memberikan pujian atau tidak, yang pasti, jujur pada diri sendiri akan mendatangkan pujian yang jujur pula. 

Sudah waktunya mengejar makna hidup ketimbang mengoleksi pujian orang lain dengan cara yang penuh kepalsuan. Tak ada yang lebih penting dalam perjalanan hidup selain menemukan makna. Makna akan membuat perjalanan hidup yang panjang dan berliku, tetap terasa mengasyikkan. Hidup adalah belajar, entah dari keberhasilan atau kegagalan. Hidup bukan sekadar mencapai tujuan akhir, tetapi bagaimana berproses dan memperoleh makna. Kehidupan bukanlah tentang apa yang diceritakan, tetapi apa yang sungguh-sungguh dialami.