Pastilah setiap orang pernah terpaksa tak menjadi dirinya sendiri, agar tak dicap
sebagai kelompok tertentu. Apalagi, pada banyak kasus, sering timbul penilaian
atas pola pikir dan perilaku seseorang, hanya karena dianggap serupa
dengan kelompok tertentu. Seseorang yang berperilaku dengan
kualifikasi yang dapat diidentifikasikan pada satu kelompok, akan dicap
sebagai anggota kelompok tersebut. Padahal, saat berperilaku, orang itu sama
sekali tak memperuntukkan tindakannya untuk meniru kelompok tertentu. Dasar
tindakannya hanyalah rasio dan perasaan yang jernih secara pribadi. Keadaan ini
tentu menimbulkan dilema.
Memang
sudah menjadi kelaziman jika setiap kelompok memiliki ciri-ciri sebagai identitasnya.
Tujuannya adalah untuk menjaga martabat kelompok, pembeda dari kelompok lain,
serta pegangan berperilaku seluruh anggota kelompok. Namun, kebutuhan tersebut
nyatanya dapat menimbulkan pertentangan antarkelompok akibat sikap klaim-mengklaim
aspek tertentu sebagai bagian dari identitas kelompok. Aspek itu mencakup unsur
budaya secara luas, baik terkait cara pikir, pola perilaku, tradisi, maupun
produk kesenian.
Kepentingan
satu kelompok untuk memiliki identitas yang berbeda dengan kelompok lain, memberi
dorongan kuat atas maraknya aktivitas klaim-mengklaim. Ujung-ujungnya, jurang
pembeda atau pemisah antarkelompok, semakin senjang. Aspek budaya tertentu
dianggap melekat pada satu kelompok, sehingga kelompok lain dilarang untuk
mengklaim aspek serupa. Dipaksakan berbeda. Jika mengklaim identitas yang telah
diklaim, maka predikat sebagai kelompok tak jelas dapat saja menimpa kelompok
bersangkutan.
Akhir
dari sikap klaim-mengklaim adalah monopoli. Monopoli berarti kepemilikan
tunggal yang mengimplikasikan pihak lain tak berhak mengganggu-gugat. Aspek
tertentu dianggap sebagai kepunyaan eksklusif satu kelompok yang lebih dulu
mengklaim, menegaskan, atau yang telah berhasil memenangkan sengketa aspek
tertentu sebagi identitasnya. Jadinya, ketika klaim telah berubah jadi
monopoli, maka diupayakan agar tindakan merecoki, apalagi merebut aspek yang
telah diklaim, senantiasa diberangus.
Upaya
monopoli di satu sisi, dan larangan bagi kelompok lain untuk mengklaim ulang, akan
berujung pada keadaan dikotomi. Dua perbedaan akhirnya tak bisa lagi didamaikan
karena berangkat dari paradigma pecah bela. Semua harus berdasarkan hukum
hitam-putih. Ketika putih telah dianggap kepunyaan satu kelompok, maka kelompok
lainnya harus mendapatkan warna lain, termasuk lawannya, hitam. Maka, jelaslah
bahwa pertentangan dalam kondisi dikotomi, tidak akan menemui jalan keluar,
bahkan semakin meruncing.
Dikotomi
adalah pertentangan. Lambat-laun, tali penghubung yang dulunya menjadi perekat
antarkelompok, pun bisa jadi terputus total. Jalan kembali menuju keadaan
semula, saat pertentangan belum terjadi, pun menjadi gelap. Pintu untuk kembali
pada kehidupan saat segala aspek budaya menjadi milik bersama, telah tertutup.
Setiap orang dipaksa memilih satu di antara banyak kelompok, dengan disertai kewajiban
mempertahankan dan mewujudkan identitas kelompok pilihannya.
Keadaan
dikotomi dengan segala dampak buruknya, penting untuk diberantas. Sikap
klaim-mengkalim aspek budaya, sampai berujung pada dikotomi kelompok, harus
dicairkan. Untuk itu, penting untuk memberikan pencerahan bahwa tak ada satu
kelompok pun yang berwenang memonopoli aspek kebudayaan tertentu. Segala aspek
budaya, selalu terbuka bagi setiap orang dalam kelompok mana pun, untuk
memperlajari, memahami, dan mengamalkannya.
Tentu
tidak ada salahnya setiap orang menggali, mengonsepkan, dan menegakkan
identitas kelompoknya. Identitas tetaplah perlu untuk sebagai jati diri
kelompok yang efektif sebagai alat pemersatu dalam mewujudkan tujuan kelompok.
Masalah terjadi ketika kebebasan berpikir dan bertindak individu dalam satu
kelompok, dikerangkeng demi menjaga muruah dan identitas kelompok. Bertindak
berbeda berarti makar, dianggap tak sejalan dengan visi-misi kelompok, bahkan
dicap sebagai penumpang gelap dari kelompok lain. Jika begitu, maka dikotomi jelas
membuat anggota kelompok tidak lagi menjadi manusia merdeka, tetapi menjadi
“robot” demi identitas dan ego kelompok.
Demi
melawan paradigma dikotomi atas dasar perbedaan identitas kelompok, maka kepemilikan atas
semua aspek budaya, harus dikembalikan kepada tataran individu, tidak boleh
dimonopoli oleh kelompok tertentu. Dengan bagitu, setiap orang dari kelompok
mana pun, akan mampu keluar dari penjara dikotomi. Mereka akan leluasa menunaikan
nilai-nilai yang dianggapnya baik secara individu, meski itu dipandang bertentangan
dengan identitas kelomponya. Terlebih, kadang-kadang, setiap anggota kelompok
memang harus tampil sebagai individu yang merdeka dari jeratan kelompoknya, agar
nilai-nilai luhur bisa ditemukan dan diperjuangkannya secara bebas.