Selasa, 06 Juni 2017

Populisme dan Persekusi

Beberapa aksi persekusi menjadi viral dan diperbincangkan di media massa belakangan ini. Ada kasus Fiera Lovita, seorang dokter yang digeruduk anggota organisasi masyarakat (ormas). Itu terjadi setelah ia mengunggah status di Facebook yang dinilai para simpatisan ormas, melecehkan tokoh penutan mereka. Ada juga kasus seorang anak berumur 15 tahun berinisial PMA yang diintimidasi sekelompok orang, juga karena dinilai melecehkan tokoh ormas yang sama. Dua kasus ini hanya bagian kecil dari sekitar 60 kasus persekusi selama lima bulan terakhir menurut catatan SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), yang sebagaian besar berawal dari unggahan di media sosial.
 
Maraknya kasus persekusi, tak pelak menimbulkan kesan teror bagi siapa pun. Selain dampak traumatis bagi korban, persekusi juga ampuh memberikan tekanan psikologis kepada masyarakat secara umum. Atas tindakan persekusi, orang-orang menjadi takut berpendapat dan berekspresi untuk soal-soal tententu, baik secara langsung maupun melalui dunia maya. Mereka takut dipersalahkan secara semena-mena. Apalagi tindakan persekusi yang terjadi, sering kali hanya didasari penilaian dan kesimpulan sepihak para pelaku atas perihal yang dianggap singgungan atau hinaan.

Dari rentetan kasus yang telah terjadi, persekusi patut dipandang sebagai problem yang penting. Pemerintah dan para penegak hukum, perlu melakukan tindakan secara menyeluruh dalam menyeselaikan persoalan ini, bukan sekadar dengan menindak pelaku secara perorangan saja. Apalagi persekusi selalu mengandalkan dan memanfaatkan ranah kolektif masyarakat. Ini berarti bahwa persekusi terjadi bukan karena tindakan spontan dan individual, tapi ada keutuhan psikologis yang membuat para pelaku bersatu dan bergerak bersama. Ada kesatuan massa yang disatukan oleh emosi yang sama.

Populisme Sesat

Tindakan persekusi, tentu sebuah ironi di negara yang mendaku berdasarkan hukum. Penyelesaian masalah secara sepihak, jelas merupakan bentuk pelecehan terhadap hukum negara yang memiliki mekanisme tersendiri dalam penyelesaian masalah. Mempersalahkan dan mengintimidasi seseorang tanpa proses sesuai aturan hukum, adalah tindakan penggembosan peran penegak hukum yang berwenang. Hingga munculnya asumsi bahwa hukum patut diabaikan karena sudah tak lagi mampu mewujudkan keadilan, adalah racun yang harus segera dibersihkan.

Tak bisa dimungkiri, bahwa pada satu sisi, maraknya tindakan persekusi, terjadi seiring dengan lemahnya penegakan hukum. Anggapan miring terhadap hukum yang didasari oleh rasa keadilan yang egoistis, sering kali menjadi pendorong utama timbulnya tindakan persekusi. Sebagai istilah lain dari tindakan main hakim sendiri, persekusi dianggap sejumlah orang sebagai cara terbaik dalam menyelesaikan masalah. Anggapan demikian, akan semakin menyebar dan menguat di bawah kata-kata “antihukum” dari segelintir tokoh massa yang merasa tak diuntungkan oleh proses hukum.

Sisa-sisa pilkada DKI Jakarta, setidaknya cocok untuk menggambar betapa besarnya pengaruh ketokohan dalam menggerakkan massa, juga dalam membangun cara pandang terhadap hukum. Sebelum, saat, dan setelah pilkada berlangsung, masyarakat ibu kota, bahkan seluruh warga Indonesia, berdiri tegak dalam ranah kekubuan yang saling berlawanan. Masyarakat terpecah secara ektrem dalam sikap pro dan kontra atas dasar unsur SARA, utamanya unsur agama yang terus menyelubungi proses pilkada hingga usai, bahkan hingga saat ini. Akhirnya, masyarakat yang terbelah karena mengekor pada tokoh-tokoh yang berseberangan, kukuh membela pandangan tokoh mereka masing-masing.

Pilkada Jakarta yang berhasil memunculkan tokoh dengan massa pendukung yang besar, menjadi satu fenomena tersendiri. Para tokoh dengan penuh kharisma, mampu menggerakkan pengikutnya untuk berlawanan sikap dengan kelompok lain. Sedang di satu sisi, para simpatisan turut saja melaksanakan petuah-petuah tokoh mereka, tanpa merasa perlu untuk berpikir-pikir. Massa dalam setiap kelompok sibuk merintangi dan mengimbangi kelompok lawan sesuai petunjuk tokoh, hingga lupa -kalau tidak mau dibilang tak ingin- melakukan autokritik terhadap kelompoknya sendiri. Tokoh dan massa menjadi modal dan alasan pembenar, meski harus berlawanan dengan aturan yang mapan, termasuk hukum negara.

Pantaslah jika konsep populisme dilekatkan pada fenomena persekusi. Setidaknya, pada beberapa kasus, kita dapat melihat bahwa tindakan persekusi yang jelas melanggar hukum, juga dipengaruhi unsur ketokohan. Hanya karena merasa sosok tokohnya dilecehkan atau diperlakukan secara tidak adil, mereka rela melakukan apa pun, termasuk mengabaikan aturan hukum yang berlaku. Di sisi lain, tokoh kelompok pelaku persekusi, malah sering kali mengeluarkan pernyataan yang merangsang tindakan brutal para pengikutnya terhadap kelompok lain atau terhadap sistem negara. 

Konsep populisme yang secara teori lekat dengan unsur ketokohan, perasaan tertindas atau ketidakadilan, juga ketidakpercayaan terhadap sistem, tampak jelas dari tindakan persekusi yang terjadi belakangan ini. Para tokoh populis, senantiasa menggelorakan rasa kekecewaan, ketidakadilan, dan ketidakpercayaan pada mekanisme hukum. Bahkan pada sisi lain, secara tersirat ataupun tersurat, para tokoh persekusi berani "menganjurkan" kepada massa pengikutnya untuk melakukan perlawanan terhadap kelompok dan sistem yang bertentangan dengan mereka. Dan pada kondisi ini, para anggota kelompok yang menghamba secara buta-buta, akan merasa bertanggung jawab untuk membela tokoh atau kelompoknya, bahkan bila harus dengan tindakan fisik dan melanggar hukum.

Bias Dunia Maya

Yang menarik dari maraknya aksi persekusi belakangan ini adalah soal sarana pemicunya: dunia maya. Berawal dari unggahan status di media sosial, seseorang dengan mudah dicap melecehkan oknum tertentu, hingga dianggap layak untuk diintimidasi. Paling tidak kesimpulan ini dapat dilihat dari dua kasus yang digamparkan di awal tulisan ini.

Unggahan status yang berbuntut tindakan persekusi, akhirnya menegaskan fenomena baru, bahwa dunia maya, kini menjadi dunia yang lebih menakutkan daripada realitas hidup di dunia nyata. Orang-orang dengan mudah mengunggah untaian kata dalam bentuk tulisan, audio, maupun video, dan dengan mudah pula, orang lain memberikan penafsiran sepihak atas ungggahan itu.

Mengunggah status dan komentar di media sosial, bukanlah tindakan yang melulu tentang diri sediri. Sebagai ruang khalayak ramai dengan berbagai latar belakang, unggahan di media sosial tetap rentan menyingung atau menghina perasaan orang lain. Hal itu tentu lumrah dalam komunikasi dunia maya, sebab orang hanya menafsirkan unggahan secara tektual, tanpa berdikusi dan berkomunikasi secara intensif. Namun ketersinggungan di media sosial akan berdampak fatal jika sebuah unggahan yang dianggap negatif, disikapi dengan hasutan untuk mengintimidasi si pengunggah. Ini jelas rentan terjadi jika unggahan menyentil unsur pemersatu kelompok tertentu, termasuk para tokoh populis.

Tidak ada maksud untuk mengatakan bahwa tindakan mengunggah status yang bermakna negatif, semisal memojokkan, menghina, atau menghujat, dapat dibenarkan. Tapi bagaimana pun juga, dengan longgarnya “pergaulan” di dunia maya, sulit untuk mengadakan kontrol secara menyeluruh atas semua unggahan status dan komentar. Pada titik inilah, kesabaran untuk saling mendidik di dunia maya, perlu untuk dilakukan, ketimbang saling memperkarakan di dunia nyata. Kiranya, menasihati lebih penting, ketimbang menggelorakan ujaran kebencian pada seseorang atau kelompok tertentu. Kita perlu mendewasakan diri untuk menganggap dunia maya tak lebih penting dari dunia nyata.

Akhirnya, yang lebih perlu dilakukan adalah menjamin bahwa unggahan bernada negatif, tidak berbentuk hasutan atau ujaran kebencian pada seseorang atau sekelompok orang, sebab itu jelas melanggar hukum dan rentan memicu reaksi berlebihan. Jika pada satu sisi, seseorang menganggap sebuah unggahan di dunia maya bernada negatif untuk diri atau kelompoknya, maka selayaknya tidak dibalas dengan unggahan yang menghasut untuk mengintimidasi si pengunggah status atau komentar. Ada mekanisme damai yang kiranya perlu ditempuh, atau paling banternya menempuh prosedur hukum yang berlaku. 

Tindakan Yang Perlu

Yang perlu dilakukan saat ini adalah penegakan hukum secara tegas kepada setiap pelaku persekusi. Pihak kepolisian harus hadir di tengah masyarakat untuk memberikan jaminan bahwa konflik tanpa batas di dunia maya, tak akan sampai menimbulkan korban di dunia nyata. Pihak kepolisian harus mengambil tindakan cepat, sebelum oknum-oknum yang mengamini pernyataan tokoh populis, baik pernyataan secara langsung maupun melalui media maya, termakan hasutan dan bertindak semena-mena.

Dunia maya sebagai titik lahir tindakan persekusi, juga sebisa mungkin disterilkan dari unggahan-unggahan yang bernada negatif, apalagi yang menyinggung unsur-unsur SARA. Pemerintah dan penegak hukum harus membangun sistem yang tepat untuk memonitoring aktivitas warga dunia maya, kemudian mengambil tindakan cepat jika menemukan unggahan negatif, utamanya yang bersifat menghasut. 

Di sisi lain, upaya-upaya pendekatan kepada kelompok populis yang terlibat atau berpotensi terlibat dalam tindakan persekusi, juga harus dilakukan. Para pengikut tokoh populis yang taklid secara membabi buta, harus dibina dan ditindak oleh pihak kepolisian. Mereka tak boleh dibiarkan menyesesaikan persoalan dengan cara main hakim sendiri, sebab jika itu terjadi, mereka akan merasa menang dan ketagihan untuk melakukan tindakan persekusi secara berulang-ulang.

Tak kalah penting, pemerintah harus melakukan upaya pendekatan kepada tokoh penggerak kelompok populis. Pemerintah harus mengajak mereka untuk turut menebarkan pesan perdamain, ketimbang memperuncing perbedaan dan memanaskan suasana. Jika upaya itu berhasil, bisa dipastikan bahwa perasaan saling memandang hina dan rendah di antara kelompok massa, akan sirna. Namun akhirnya, jika upaya-upaya persuasif telah dilakukan oleh aparat penegak hukum, namun kelompok massa tetap melakukan tidakan persekusi, maka polisi harus bertindak tegas. Hukum tak boleh kalah oleh aksi premanisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar