Pembaca
yang budiman, sebelum mengeja bait-bait kata yang kususun, harus kusampaikan
bahwa cerita ini lahir dari sebuah kenyataan. Kutulis berdasarkan realitas ketidakadilan
yang kurasa paling tidak adil. Penting kalian tahu tentang itu, sebab cerita
ini merupakan awal dari pergeseran fokusku pada tema cerita yang realistik dan
berdimensi sosial, alih-alih tetap di ruang melankolis. Dengan begitu, jika
kalian merasa bahwa aku kurang pas di tema semacam itu, ceritaku agak absurd,
gaya bahasaku agak nyeleneh,
maafkanlah.
Di
awal-awal paragraf ini, tentu aku tidak akan mengungkapkan pokok ceritanya
begitu saja. Aku ingin kalian sedikit bersabar. Bacalah dengan pelan-pelan. Ikuti
saja alur cerita yang kuraingkai, serta jangan melewatkan kesan-kesan yang
tersirat. Dan, jika kalian akhirnya merasa terhibur, meski tak perlu
menyampaikannya secara langsung padaku, itu berarti aku telah berhasil,
sehingga pantas berkecimpung di lahan cerita yang realistik. Aku pun akan
memfokuskan gubahanku pada tema semacam itu, selanjutnya. Jika pun tidak,
izinkan aku untuk mencobanya, lagi, dan lagi.
Oh,
ya, sebagaimana lazimnya aku menulis cerita, sungguh tak ada kepolosan 100%
dalam cerita ini. Aku tetap berusaha membuatnya dramatis nan imajinatif, sehingga
pantas dimasukkan dalam label cerpen di
blogku. Hal itu penting untuk menangkis tuduhan bahwa aku tumpul dalam
berimajinasi. Maka sudah seharusnya para pembaca tak mengeluh jika realitas
yang kutuliskan, begitu samar. Samar dalam soal identitas tokoh dan pokok
cerita, namun tetap nyata pada soal makna dan pelajaran yang ingin aku
sampaikan.
Supaya
tidak bertele-tele lagi dengan pengantar yang panjang-lebar, dan agar kalian
tetap bertahan membacanya hingga akhir, maka langsung saja kutuliskan bahwa
cerita ini tentang Adam dan Malik. Sekali lagi, camkan, mereka hanya tokoh
rekaan yang kujadikan alat untuk menyampaikan pesanku. Dua tokoh yang kukisahkan
bersahabat baik. Sangat erat, sebab mereka berteman di masa perkembangan yang
penuh warna, di masa peralihan kekanak-kanakan menuju kedewasaan. Ya, mereka
jadi sohib sejati sejak duduk di bangku SMA.
Kalian
tahu kenapa pertemanan di masa SMA sangat mengenangkan? Ya, sebab di masa itulah
pertemanan kita diuji dengan kedewasaan. Jika di masa kanak-kanak kepentingan melebur
begitu saja satu sama lain, maka di usia dewasa, setiap orang punya sisi
egois dan cenderung mengutamakan kepentingan pribadinya sendiri. Terlebih lagi
kalau menyangkut lawan jenis. Bisa dipastikan, setiap orang dewasa yang mulai
jatuh cinta, pastilah menjadikan sahabat sebagai prioritas ke sekian. Bahkan
sahabat kadang kala jadi sekadar pelarian. Atas alasan itulah, mempertahankan
persahabatan di masa-masa dewasa, sungguh tantangan yang luar biasa. Dan
kukatakan, Adam dan Malik berhasil melakukannya.
Bukti
eratnya persahabatan Adam dan Malik, tampak pada kesepakatan mereka berkuliah
di kampus, fakultas, bahkan jurusan yang sama. Ya, mereka sepakat untuk kuliah
ilmu hukum. Dan yang berkorban adalah Adam. Dialah yang harus pasrah pada bujukan
Malik yang bersikukuh kalau kuliah hukum adalah pilihan terbaik. Adam jelas
menolak keras, awalnya. Selain karena memang tak menjiwai hidup dalam
pertempuran kata-kata, juga karena ayahnya adalah dosen bergelar professor hukum
di kampus itu. Dan, keadaan tersebut akan membuatnya dianggap “anak papa” di mata
orang lain, serta harus siap didikte sang ayah setiap saat. Sedangkan Malik,
memang mengidamkan bidang hukum, sesuai cita-cita untuk menjadi dosen dan pakar
hukum yang memiliki sumbangsih dalam perbaikan hukum di negeri ini.
Akhirnya,
kuliahlah mereka di kampus dengan sikap yang jauh berbeda. Dan bisa ditebak, Adam
menjalani masa kuliah dengan penuh kebosanan. Tidak suka membaca, menulis,
apalagi mendengar khotbah dosen tentang keadilan dan pasal-pasal. Padahal,
kebiasaan itulah yang harusnya jadi kesenangan mahasiswa hukum. Di setiap
perkuliahan, pikirannya liar dan melayang ke mana-mana. Lebih sering tersesat
di persoalan gedget keluaran baru, orderdil unik untuk menghiasi sepeda
motornya, atau gadis paling menawan di kampus. Tapi di balik kebandelannya, ia
tetap disegani sebagai anak seorang guru besar. Dan tanpa perlu dirinci
bagaimana alurnya, ia mujur-mujur saja dalam persoalan nilai.
Sikap
yang berbeda ditunjukkan Malik. Segala daya dan upaya, ia kerahkan untuk
menyerap ilmu hukum sedalam-dalamnya. Menghadiri perkuliahan semaksimal dosen
betah membawakan materi, menongkrong di perpustakaan, hingga coba-coba menulis
di media mana saja, adalah kebiasaannya. Bahkan demi memenuhi rasa cintanya
pada buku, ia harus rela mengabaikan jadwal makan yang seharusnya. Apalagi,
orang tuanya di kampung memang tak mengerti jika ia meminta uang hanya untuk
menumpuk-numpuk buku. Dianggap pemborosan oleh mereka. Karena itulah, ia
harus mengusahakannya sendiri. Semua demi ilmu pengetahuan dan masa depan
bangsa, katanya. Dan hanya dengan pengorbanan itu, ia bisa mendapatkan nilai
yang baik.
Hingga
akhirnya, setelah genap empat tahu, mereka berdua berhasil menyelesaikan
kuliahnya dengan predikat cum laude. Gelar
sarjana hukum telah berhasil mereka sandang. Dan tanpa perlu jeda, mereka pun
melanjutkan studi ke jenjang magister. Tentu dengan motovasi dan cara yang
berbeda. Malik melanjutkan studinya demi memenuhi persyaratan menjadi dosen,
serta dengan mengandalkan beasiswa dari pemerintah. Sebaliknya, Adam terpaksa
melanjutkan kuliah atas desakan ayahnya, dengan beban biaya sepenuhnya dari kocek
sang ayah yang kaya raya. Cukup dua tahun saja, mereka pun sama-sama berhasil
menyelesaikan studi dan menyandang gelar master.
Sekilas,
pada soal pencapaian gelar, mereka jelas setingkat dalam pasar kerja, meski
secara nyata, ada kesenjangan dalam penguasaan ilmu. Tapi di dunia yang penuh
aksi manipulatif ini, tolak ukur ilmu bukanlah pemahaman, tapi formalitas di
atas kertas. Karena itu, mereka dapat bergulat dalam ruang-ruang persaingan
kerja yang sama, hanya dengan bekal ijazah. Hingga akhirnya, mereka
terlempar pada posisi kerja yang tak diduga sebelumnya. Malik gagal menggapai
cita-citanya menjadi dosen, meski dengan usaha yang sungguh-sungguh. Dan
sebaliknya, Adam malah menjadi seorang dosen di kampusnya sendiri. Sebuah
posisi yang menurut nurani dan logika, harusnya menjadi hak Malik.
“Hari
ini tak ada jadwal mengajar lagi?” tanya Malik pada Adam, yang pagi-pagi sekali
telah nongkrong di warung kopi tempatnya bekerja.
Dengan
sikap yang sama seperti hari-hari sebelumnya, Adam menjawab dengan enteng. “Ada
sih. Tapi sekarang kan konsepnya student
learning center. Cukup kasi GBRP ke mahasiswa, selanjutnya biar jadi urusan
mereka untuk belajar sendiri,” katanya, sembari mengepulkan asap rokoknya.
Ada
sedikit rasa kecut dalam perasaan Malik. Tapi hubungan sebagai sahabat,
membuatnya tak bisa melakukan protes secara serius. “Ada benarnya juga, katamu.
Tapi sebagai dosen, kau seharusnya tetap hadirlah di kelas. Mahasiswa kan butuh
pengarahan, meskipun titik beratnya, mereka harus aktif dalam berdiskusi. Atau
paling tidak, hadirlah, supaya tunjanganmu, serta bonus-bonus semacam itu, tetap layak
kau dapatkan. Aku khawatir kau akan dipecat jika lebih suka nongkrong di warung
kopi daripada mengajar di kelas.”
Adam
berdecak. “Aku tak peduli. Kau tahu betul, dosen-dosen senior di kampus kita,
juga banyak yang melakukannya. Entah karena alasan rangkap jabatan, urusan
politik prastis, urusan proyek, atau sekadar jalan-jalan berkedok studi
banding. Dan tak ada yang mempermasalahkannya. Orang-orang dalam sama-sama
tahu, dan sama-sama sepakat untuk tidak mempersamalahkannya.”
“Iya.
Aku setuju dengan hasil pengamatanmu itu. Dosen-dosen di kampus memang banyak
yang bobrok. Tapi bukankah lebih baik jika kau bergabung dengan sedikit dosen
yang tetap pada prinsipnya: demi ilmu pengetahuan dan masa depan bangsa?” tanya
Malik, lalu menyorongkan asbak ke hadapan Adam.
“Itu
hanya prinsip orang-orang sebelum jadi dosen. Setelah jadi dosen, itu soal lain
lagi. Akan sangat tidak adil jika yang lain asyik-asyik dengan kebebasannya,
sedangkan kita tetap terkungkung dalam kelas demi idealisme, tapi gaji dan
tunjangan tetap sama. Aku rasa, keadilan itulah yang penting,” tangkis Adam,
kemudian meneguk kopi hitam racikan Malik.
Dan
atas keabaian Adam pada tanggung jawabnya, Malik pun tak sabar untuk menggugat.
“Jika begitu, kukira, kau belum memahami hak dan kewajibanmu sebagai dosen,
Kawan!”
Adam
tertawa pendek. “Aku memang tak pernah bercita-cita jadi dosen. Aku hanya
melakukan yang seharusnya kulakukan, tanpa harus pusing soal yang lain,
termasuk soal tanggung jawab,” katanya, lalu terdiam beberapa saat.
“Ngomong-ngomong, keadaanku saat ini, tak lepas dari peran Ayahku dan peranmu juga.
Kusadari, ada juga untungnya aku mengikuti saranmu dahulu untuk
kuliah hukum, atau manut pada ayahku untuk beberapa hal. Setidaknya, saat ini, aku
bisa hidup dengan bekerja sebagai dosen, dan dapat penghasilan dan martabat
dari pekerjaan itu.”
Perasaan
Malik semakin kecut. Ada kesan keterlaluan yang ia rasakan dari sikap abai Adam
soal arti penting profesinya sebagai seorang dosen hukum, khususnya bagi perbaikan bangsa.
Di usia matang, ia merasa bahwa temannya itu masih menganggap hal-hal serius
patut untuk dipermainkan.
Kali ini, ia berniat tak memperpanjang perbincangan.
Tiba-tiba,
Adam balik bertanya, “Kau sendiri, bagaimana? Apa sepanjang waktu, kau akan bekerja sebagai pelayan warung kopi dengan gelar magister?”
Malik
menjawab dengan sikap santai, “Entahlah. Aku tetap bertekad menjadi dosen. Tapi
untuk saat ini, bekerja sebagai pelayan di warung kopi, kurasa mengasyikkan
juga. Setidaknya, aku bisa menyaksikan kejujuran di sini. Kau tahu, di kampus
terlalu banyak kebohongan. Dan di warung-warung kopilah, kita bisa menyaksikan
orang-orang berbicara tentang kebenaran sejujur-jujurnya.”
“Maksudmu?”
tanya Adam.
"Saksikanlah saja, kritik-kritik atas penyimpangan sosial oleh mereka yang berduit dan berpangkat, disuarakan dengan bebas di sini. Tak ada ketakutan yang akan membungkam nurani. Tak ada senjata yang mengancam akal sehat. Tak ada kemunafikan. Aku suka itu," terang Malik.
Raut wajah Adam, berubah jadi serius.
“Aku
merasa bahagia hidup dalam dunia kejujuran. Melakukan sesuatu yang benar-benar ingin
kulakukan. Mendapatkan sesuatu yang benar-benar ingin kudapatkan. Makan dari
keringat sendiri,” terang Malik, sambil memandang mata Adam lekat-lekat. “Kau
tahu, kita bisa membohongi siapa pun, tapi tak bisa membohongi diri kita sendiri.
Kita bisa mendapatkan apa pun melalui cara-cara culas, tapi kita tidak bisa
membohongi diri sendiri bahwa kita memang tak pantas mendapatkan hal itu. Dan
aku rasa, kita tak akan bahagia selama masih berbohong pada diri sendiri.”
Akhirnya, Adam bungkam. Seperti dikutuk nuraninya sendiri.
Pintu
pun berderit. Beberapa pengunjung memasuki warung kopi. Malik pun beranjak dari
hadapan Adam. Ia lalu menyibukkan diri melayani para pengunjung. Mulai dari meracik
pesanan, menerima bayaran, atau membersihkan piring dan gelas, dilakukannya
dengan cekatan.
Setelah
merasa pekerjaannya beres dan bisa ditinggalkan untuk beberapa saat, Malik pun
melangkah menuju ke pojok ruangan, tempat Adam menyendiri. Tapi sohib yang ditujunya
itu, telah lenyap dari posisinya. Malik pun hanya menjumpai gelas kosong yang
menindih beberapa lembar uang bayaran dalam jumlah yang lebih.
Malam
sudah begitu larut. Kopi yang kusesap dalam jeda yang panjang, masih tersisa
lebih dari setengah gelas. Tapi, aku yang tengah menulis cerita ini, masih saja
bingung bagaimana membuat konflik yang lebih dramatis. Namun sebagaimana tulisan
realistik yang seharusnya, drama-drama berlebihan akan membuat realitasnya
semakin kabur. Karena itu, aku tak ingin memaksakan efek dramatis. Setidaknya, melalui cerita sederhana ini, aku telah mengabarkan
tentang fenomena dan nilai-nilai yang hidup dalam kenyataan. Dan aku
kira, kita sepaham tentang semua itu, termasuk tentang bagaimana kita harus
bersikap.
“Sudah
hampir subuh, Kawan. Mungkin sebaiknya kita pulang,” sergah Akhyar, sahabat
karibku selama kuliah.
“Sebentar.
Tulisanku belum kelar. Warkop juga buka 24 jam. Tak usah buru-buru,” kataku,
sembari berpikir untuk sebuah akhir cerita yang mengesankan.
“Mungkin
sebaiknya kau lanjutkan besok saja. Besok kan warkop ini tetap buka,”
sarannnya.
Aku
menggeleng. Tak membalas dengan kata-kata, dan terus saja memikirkan ketikanku.
Seketika, aku berpikir bahwa sebaiknya aku menuliskan kenyataan di sini,
jikalau beberapa hari yang lalu, sebuah kabar, sampai juga di telingaku. Kudengar kalau beberapa seniorku di kampus, gagal dalam seleksi penerimaan dosen. Menyesakkan,
tentunya, sebab aku tahu, mereka layak
untuk diterima. Bahkan aku yakin, mereka pasti menang dalam kompetisi yang sehat.
Hingga
akhirnya, aku dapat kabar bahwa seorang anak dosen, telah menyingkirkan mereka
dengan mudah. Demi anaknya, si dosen yang punya nama besar dan kuasa lebih di kampus,
jelas punya segala macam cara untuk mempermaikan proses. Kalian tentu sepaham
bahwa banyak jalan yang salah bagi keburukan untuk menang, tapi kebaikan hanya
bisa menang dengan jalan yang benar.
Dan
akhirnya, kampusku saat ini, tak ubahnya rumah beberapa sanak famili. Bagaimana
dengan kampus kalian?
“Kawan, ayo pulang. Sekitar dua jam lagi kita
harus kuliah. Kita belum tidur semenit pun. Bisa-bisa kita tak masuk lagi,”
bujuk Akhyar, seakan-akan itu akan membuatku tergugah dan segera beranjak.
“Jangan
terlalu mengkhawatirkan soal perkuliahan. Kau tahu, besok pagi, kalau pun kita
masuk kuliah, palingan kita mendapatkan kelas tanpa dosen. Kau jelas tak suka
dikecewakan kan? Ya, kalau pun dosen datang, kita tak akan mendapatkan apa-apa
selain khotbah kosong tentang keadilan, yang mereka sendiri tak pernah
tegakkan,” tegasku, lalu menyesap kopi di gelas, yang masih meninggi.
Dia
mengeluh, seperti anak-anak yang meminta sesuatu. “Tak usah ceramah begitu
kawan. Yang pasti, kita harus masuk demi nilai, dan itu demi masa depan kita.
Dengan IP jongkok dengan masa studi yang lama, kau mau jadi apa?”
“Aku
mau jadi dosen,” tandasku.
Dia
tertawa.