Kamis, 14 November 2024

Dari Sebuah Hidup

Rampung sudah cita-cita
Yang tergapai hanyalah kesabaran yang membatu
Karena penderitaan tak selalu terimpaskan bahagia
Kecuali dengan terbiasa merasakannya sebagai kebiasaan
Sampai lenyap beda antara separuh dan seluruhnya
Sampai melebur kecewa dalam amarah
Hingga tersisa hanyalah kesadaran saat ini
Bersama sendiri yang tersesak riuh keramaian
Dengan angan-angan yang penuh kekosongan
Yang membebaskan imaji menghitamkan putih
Yang melepaskan rasa dari kurung dunia
Untuk sepanjang-panjangnya cerita
Untuk sebermaknanya ketiadaan

 

Sabtu, 24 Februari 2024

Jauh dari Dekat

Aku merindukan jiwaku yang kanak-kanak

Tak tahu apa-apa selain yang diberitahu

Sekadar penasaran untuk bertanya

Tentang alam-alam kebangkitan

Yang mewajibkan kepatuhan untuk bahagia

Lalu menjadi taat karena harapan dan ketakutan

 

Aku makin jauh dari pengabdian

Karena kedewasaan meliarkan pikiranku

Mencari jawaban untuk pertanyaan yang tak perlu

Sampai merasa diri pintar dan menjadi berani

Mencari-cari alasan untuk ingkar dan membangkang

Melawan kodrat sebagai makhluk yang berasal dan berakhir jua

Meredupkan keyakinan perihal kefanaan raga dan kebakaan jiwa

Menganggap permainan berulang sebagai kemenangan selamanya

 

Aku sungguh telah jauh

Dari titik kebermulaan aku

Pada kediaman segala kepasrahan

Pada mana hatiku sangat ingin pulang

Berteduh dan bersemayam dalam damai

 

Jumat, 23 Februari 2024

Jangan Tanyakan Siapa Tokoh di Dalam Cerita Ini!

Kekalutan menyergap perasaanya. Keringat membasahi tubuhnya. Ia sungguh tak menyangka kalau ia akan terdampar dalam kepelikan karena sebuah cerpennya sendiri. Ia tak pernah membayangkan kalau cerpen yang menjadi cerpen terbaik selama kurun setahun di sebuah koran nasional ternama itu, akan membuat dirinya menghadapi tuntutan hukum perihal hak cipta. 

"Kalau memang Saudara kukuh bahwa cerita yang Saudara tuliskan benar-benar hasil pemikiran Saudara sendiri, coba terangkan bagaimana Saudara mendapatkan ide cerita itu?" tanya hakim yang berada tepat di depannya.

Kekalutannya pun menjadi-jadi. Ia jadi bingung untuk menjelaskan proses kreatifnya. Tepatnya, ia tak kuasa untuk jujur bahwa apa yang ia tuliskan di dalam cerpennya, cuma salinan utuh dari sebuah diary seseorang. Sebuah cerita nyata tentang perasaan yang tak terucap, yang dipelesetkan sedemikian rupa agar masih layak disebut cerita fiksi. 

"Kenapa Saudara diam? Kalau cerpen itu memang hasil kreativitas Saudara, tentu tidak sulit untuk menjelaskannya," sindir sang hakim.

Ia lantas mengembuskan napas yang panjang. Berupaya menguatkan hatinya untuk kembali berbohong. "Aku tak tahu jelas bagaimana aku bisa berhasil mendapatkan cerita untuk cerpenku itu, Yang Mulia. Tetapi seingatku, pokok cerita itu muncul begitu saja di dalam kepalaku. Aku lalu mengembangkannya, menuliskannya, menyuntingnya, hingga menjadi cerita yang utuh."

"Izin, Yang Mulia. Kilahan yang Tergugat sampaikan, sama sekali tidak masuk akal. Aku pun seorang penulis fiksi, dan aku tahu kalau butuh inspirasi untuk mendapatkan ide cerita. Inspirasi itu bahkan senantiasa menjadi motivasi sekaligus landasan dalam pengembangan cerita di dalam imajinasi. Oleh karena itu, proses pembuatan cerita fiksi yang utuh, adalah hal yang berdasar dan dapat dijelaskan dengan gamblang. Kalau Tergugat tidak bisa melakukannya, berarti cerpennya memang merupakan hasil jiplakan dari kisah nyata klien kami," terang kuasa hukum penggugat. 

Seketika, ia makin kelimpungan. Nyalinya untuk terus berdusta, benar-benar menciut ketika kerlingan matanya kembali bertabrakan dengan kerlingan mata sang advokat. Bagaimanapun, ia tahu jelas kalau pengacara itu sebenarnya tengah mewakili dirinya sendiri. Secara terselubung, sang pengacara mengatasnamakan kepentingannya pada seorang penggugat suruhan demi menguak latar belakang cerita cerpen yang mereka perkarakan. Pasalnya, cerpen tersebut sebenar-benarnya berkisah tentang perasaan cinta yang tak terucapnya di antara mereka.

"Ya. Coba Saudara Tergugat jelaskan secara lebih terang, bagaimana Saudara mendapatkan dan merangkai cerita untuk cerpen itu?" desak sang hakim. 

Tetapi ia bungkam saja, lantas tertuduk murung.

"Izin Yang Mulia," sela sang kuasa hukum lagi. "Kalau mengutarakan penjelasan yang utuh soal proses perumusan ide cerita masih rumit bagi Tergugat, paling tidak, pertama-tama, Tergugat harus mengungkapkan siapa inspirasi ceritanya lebih dahulu. Dalam hal ini, siapa tokoh utama di dalam cerita yang ia tuliskan. Bagaimanapun, seorang penulis cerita fiksi pasti memiliki tokoh nyata yang ia imajinasikan menjadi tokoh utama dalam ceritanya. Tidak mungkin tidak.” 

Sang hakim mengangguk-angguk setuju. "Silakan, Saudara Tergugat, katakanlah siapa orang yang menjadi tokoh di dalam cerpen Saudara!" pinta sang hakim. 

Ia pun kembali menimbang-nimbang segenap kemungkinan. Ia masih sangat ragu untuk berterus terang. Hingga akhirnya, ia berdalih lagi, "Tokoh inspirasi yang menjadi pemeran utama di dalam cerpenku adalah tokoh rekaan imajinasiku saja, Yang Mulia. Itu hal yang mungkin di dalam dunia fiksi."

"Bohong!" tangkis sang kuasa hukum dengan raut kesal dan mata yang berkaca-kaca. "Katakanlah dengan jujur, siapa tokoh utama perempuan di dalam cerpenmu itu!"

Sontak, ia terkejut atas sergahan itu. Tetapi kebimbangan tetap membuatnya kukuh memendam rahasia hatinya.

"Dasar pengecut!" serapah sang advokat.

“Tenang! Tenang!” seru sang hakim untuk menenteramkan keadaan.

Ia malah makin kelabakan mengambil sikap. 

"Sialan! Kenapa kau sulit sekali untuk berkata jujur kalau akulah tokoh utama perempuan itu?" tukas sang advokat, kemudian berdiri dan melayangkan berkas gugatannya. 

Dengan refleks, ia pun menghindari lemparan itu, hingga akhirnya ia menemukan dirinya tersadar di atas kasur. 

"Ah, beruntung, ternyata cuma mimpi," batinnya, sembari meredakan kekalutannya. 

Sekian lama kemudian, setelah benar-benar lepas dari momok mimpinya, ia pun bangkit lalu duduk di belakang meja. Ia lantas kembali menatap tulisan cerpennya di layar laptop yang telah menggantung dan terus menghantuinya. Sebuah cerita yang baru merangkum peristiwa pertemuannya dengan sang pujaan. Sepenggalan kisah awalan yang merupakan hasil penginderaan sepihaknya terhadap sang perempuan. 

Meski penggalan cerita itu masihlah berupa pembuka untuk rangkaian ceritanya yang panjang, tetapi ia telah meluapkan deru perasaannya yang menggila. Ia telah menuliskan perihal keyakinannya bahwa sang pujaan akan menjadi jodohnya kelak. Ia merasa telah terikat cinta dengan sang pujaan di alam hakikat. Ia yakin begitu, sebab ia telah jatuh hati pada perempuan itu sebelum mereka bertemu dan bertatap mata.

Anggapannya itu memang berdasar, sebab demikianlah kejadiannya. Di masa lalu, pada satu hari saat ia menjadi panitia pengaderan mahasiswa baru di kampusnya, ia dan teman-temannya, iseng mencari-cari gadis yang mereka idamankan pada formulir pendaftaran. Seketika, perhatiannya jatuh pada wajah sang pujaan pada berkas foto formulir. Dengan percaya diri, ia pun menjagokan sang pujaan di antara jagoan teman-temannya. 

Pada saat itu juga, atas kekagumannya yang mendalam, ia lantas melakukan penelusuran di internet. Berbekal nama sang pujaan yang unik dan cantik seperti rupanya, ia pun menemukan satu hal yang membuatnya makin jatuh hati, bahwa sang pujaan juga seorang bloger. Kenyataan itu membuatnya terus membayang-bayangkan betapa menyenangkannya hidup berpasangan dengan seseorang yang juga mencintai dunia aksara.

Ketika prosesi pengadegan dilaksanakan, ia pun berupaya mematai perwujudan nyata gadis pujaannya. Waktu demi waktu, ia terus mencari keberadaan sang pujaan di antara ratusan mahasiswa baru di fakultasnya. Tetapi sekian lama, ia tak juga berhasil menemukannya. Hingga akhirnya, pada satu pagi, di tengah tugasnya sebagai panitia bidang dokumentasi, ia pun melihat seorang mahasiswi tampak tertunduk dengan memeluk lututnya, seperti tengah mencuri waktu tidur. Ia pun meminta kawan panitianya yang bertugas sebagai pengawasan kegiatan untuk membangunkan mahasiswi itu. Dan seketika, ia takjub setelah sang mahasiswi mengangkat wajah kantuknya, sebab gadis itu adalah pujaan hatinya. 

Sekian banyak hari setelah pengindraan sepihaknya, ia kemudian kembali memberanikan diri untuk mengoneksikan dirinya dengan sang pujaan melalui dunia maya. Demi merintis jalan pendekatan, dengan kenekatan, ia mengikuti akun Twitter sang pujaan setelah sang pujaan tak juga mengonfirmasi permintaan pertemanannya di Facebook. Agar taktik barunya jitu, maka sebelum-sebelum itu, ia telah membentuk dan menampakkan citra dirinya dengan karakteristik yang kira-kira bisa mencuri perhatian sang pujaan untuk balik mengenalnya. Ia melakukannya dengan membagikan status-status yang bijak dan menampilkan alamat blognya pada biografi laman akunnya. Ia berharap saja sang pujaan akan membaca unggahan-unggahannya, hingga memancing ketertarikannya. 

Di luar dugaannya, dalam hitungan beberapa jam saja, sang pujaan balas mengikuti akun Twitter-nya. Pada waktu-waktu kemudian, sang pujan bahkan sering memberikan tanggapan menyenangkan terhadap unggahan statusnya yang memang kerap menyiratkan perasaan terpendamnya. Dan ia yakin, semua itu terjadi karena taktik pendekatan aksara yang ia lancarkan. Buktinya, berselang beberapa hari, sang pujaan mengikuti akun blognya. Sang pujaan bahkan memberikan komentar pujian atas sebuah cerpennya yang ia bagikan di Twitter.

Kenyataan bahwa sang pujaan meresponsnya secara hangat di dunia maya, sungguh membuatnya senang. Paling tidak, rencananya untuk berkenalan dengan sang gadis, tampak berjalan dengan baik. Yang perlu ia lakukan hanyalah bersabar menempuh jalan pendekatan setahap demi setahap, menuju kebersamaan yang ia cita-citakan. Dan untuk harapan itu, ia punya keyakinan yang kuat, sebab berdasarkan penelusurannya di internet, ia tahu juga kalau sang pujaan tidak sedang memiliki hubungan yang spesial dengan seorang lelaki. 

Demi mewujudkan harapan besarnya, ia pun terus berusaha menjalin komunikasi maya dengan sang pujaan. Dengan tetap menjaga muruahnya sebagai senior, ia sesekali menyuratkan kesan perasaannya dengan memberikan tanggapan suka pada unggahan sang pujaan di Twitter. Bahkan pada hari-hari selanjutnya, ia balas mengikuti akun blog sang pujaan. Dengan berbagi bahasa isyarat di media sosial seperti demikian, ia merasa sudah menempuh jalan pendekatan yang tepat untuk mengakrabkan diri.

Tetapi lama-lama, ia merasa jengah juga untuk terus-terusan berhubungan dan berkomunikasi secara tidak langsung. Ia merasa akan sangat aneh jikalau mereka intens berbagi isyarat melalui layar ponsel, tetapi sama-sama kagok untuk berpapasan di dunia nyata. Karena itu, ia mengambil langkah untuk terus saling menginderai dengan sang pujaan. Ia makin rajin mencari kemungkinan untuk berkomunikasi secara langsung dengan mengunjungi perpustakaan fakultas yang ia tahu menjadi tempat favorit sang gadis untuk melewatkan waktu istirahat kuliah.

Hingga akhirnya, setelah sekian hari lewat dan ia hanya kuasa melirik-lirik keberadaan sang pujaan di ruang baca itu, pada satu siang, terjadilah peristiwa yang membuat jantungnya berdegup kencang. Di tengah kepengecutannya untuk memancing percakapan atau sekadar menyapa lebih dahulu, sang pujaan tiba-tiba menghampirinya setelah ia selesai membaca cerpen pada sebuah koran nasional. Tanpa basa-basi, sang pujaan yang berdiri tepat di sampingnya, lantas melontarkan pertanyaan meminta, "Boleh pinjam korannya, Kak?"

Tetapi sial, ia hanya mengangguk dan tak melontarkan sepatah kata pun. Ia seperti lumpuh setelah melihat raut sejuk dan mendengar suara merdu sang pujaan. Ia jadi tak berdaya untuk melawan kepengecutannya dan memulai komunikasi secara langsung. Sampai akhirnya, sang pujaan kembali ke mejanya untuk bergabung dengan teman-temannya, dan ia telah melewatkan kesempatan emas untuk berbalas kata di tengah keakraban asing mereka di dunia maya.

Hari demi hari setelah itu, ia pun terkurung dalam penyesalan. Ia merutuki sendiri ketidakberaniannya memulai pendekatan secara langsung dengan sang pujaan. Karena itu, ia memilih untuk tidak muluk-muluk lagi soal kebersamaan mereka ketika ia masih juga takut mengambil langkah nyata. Dengan sabar, ia bertahan saja sebagai lelaki pecundang yang tak juga memiliki pasangan hati, meski teman-temannya terus menyindir kejomloannya. 

Hingga akhirnya, pada satu pagi, ia mengalami peristiwa yang membuat kembali terjerumus ke dalam angan-angannya yang tinggi untuk menjadikan sang pujaan sebagai belahan jiwanya. Ketika tengah bersenda gurau dengan tiga orang temannya di gazebo taman kampus, seseorang di antaranya iseng menyinggung kesendiriannya dan tiba-tiba menuding kepada sang pujaannya, kemudian berseloroh, "Nah, kukira, perempuan itu serasi denganmu. Lihatlah!"

Dengan perasaan terkesima, ia pun menatap gadis idamannya yang sedang berjalan di koridor kampus. Di dalam hatinya, ia berteriak kalau perempuan itu memang sosok yang ia damba-dambakan. Tetapi nyatanya, ia malah menggeleng dan berkilah dusta kepada temannya kalau ia tidak tertarik. Meski begitu, ia meyakini satu hal, bahwa melalui penilaian temannya itu, semesta kembali menunjukkan pertanda kalau mereka memang diciptakan untuk berpasangan.

Waktu terus bergulir, dan ia belum juga mengambil tindakan nyata. Ia tak kunjung berani memulai komunikasi secara langsung, bahkan untuk sekadar memancing obrolan melalui media sosial. Sampai akhirnya, terjadilah peristiwa yang pernah ia tuliskan pada sebuah cerpennya, ketika ia dan sang pujaan, berdua saja, saling melipat jarak dari arah berlawanan, di selasar kampus, di tengah dinginnya hujan bulan Februari. Tetapi lagi-lagi, momentum itu ia lewatkan tanpa bersuara sedikit pun, bahkan untuk sekadar menyapa.

Akibat kepengecutan dan kebisuannya, hari demi hari, ia pun makin tenggelam dalam penyesalan. Ia merasa bodoh sendiri karena telah melewatkan peluang-perluang emas untuk merintis jalan menuju hubungan yang nyata. Ia merasa bodoh sendiri karena telah menyia-nyiakan pertanda-pertanda semesta yang menunjukkan kalau mereka serasi sebagai pasangan hidup. Ia merasa bodoh sendiri karena telah mendiamkan respons-respons positif sang gadis yang seolah mengisyaratkan bahwa sang gadis pun punya perasaan yang sama dengannya.

Demikianlah kenyataan perjalanan cintanya dalam rahasia. Sepenggal kisah yang baru merupakan awalan dari sebuah awalan cerita khayalan yang panjang. Sepenggal kisah yang telah ia siratkan dalam cerpen sebagai pelampiasan gundahnya. Sepenggal kisah yang ia tuliskan pada naskah cerpen yang kini tengah menggantung. Pasalnya, sebagai penulis fiksi, ia ingin merampungkan cerpennya itu dengan cerita yang menakjubkan. Dan sialnya, secara nyata, ia telah kehabisan bahan cerita yang bisa ia jadikan tuntunan penceritaan sampai akhir.

Di tengah kebuntuan imajinasinya dalam merampungkan cerpennya akibat kisah cintanya yang belum pernah benar-benar dimulai, ia tetap berpikir keras untuk menemukan jalan keluar dengan daya imajinasinya. Ia ingin melanjutkan dan menyelesaikan cerpennya itu sebagai luapan kata hatinya yang bisu, sekaligus sebagai karya seni yang mantap. Karena itu, ia ingin mengombinasikan unsur fakta dan fiksi, agar kelak, ketika cerpen itu terbit, ia punya celah kilahan kalau-kalau sang pujaan atau siapa pun bertanya perihal latar nyata atas pengisahannya. 

Atas kepelikan hatinya di antara dunia khayal dan dunia nyata, ia memang akhirnya merasa kalau memfiksikan secuil kisah rahasianya adalah jalan terbaik. Sebagai pengagum rahasia yang tak juga berani menyatakan isi hatinya, ia merasa sudah cukup untuk menyiratkan perasaannya di dalam tulisan. Ia merasa cukup jikalau sang pujaan tahu perihal perasaannya, dan ia tak berharap untuk mendapatkan reaksi apa-apa. Bagaimanapun, gugatan sang pujaan terhadap cerpennya di dalam mimpi, sudah membuatnya sangat ketakutan.

Sekian lama kemudian, di tengah ketidakmampuannya mendapatkan konstruksi cerita yang tepat untuk melanjutkan cerpennya dengan manis, ia pun pasrah menggunakan intrik yang klise. Ia mengakhiri saja cerpennya dengan menuliskan kenyataan yang memang telah benar-benar menutup jalan cerita cintanya. Ia menuliskan perihal sang pujaan yang telah memiliki kekasih, sebagaimana tampak pada foto profil Twitter-nya.

Sejak saat itu pula, ia mulai belajar untuk berhenti mengharapkan sang pujaan. Ia menyerah pada keterlambatannya untuk mewujudkan kebersamaan mereka. Ia menerima kemalangannya yang tak sempat menguji kemungkinan bahwa mereka akan jadi pasangan hidup. Tetapi ia tak sepenuhnya menyalahkan dirinya sendiri, sebab keadaanlah yang membuat ia tak pernah benar-benar nekat untuk menyatakan cintanya cepat-cepat.

Selama masa kasmarannya, ia memang tak kunjung berada dalam kondisi yang membuatnya merasa pantas untuk mengikat pujaannya dalam hubungan yang spesial. Ia tak memiliki apa-apa untuk bisa ia tawarkan sebagai pemikat hati selain cintanya yang tulus. Karena itulah, ia ragu akan bisa menaklukkan sang pujaan. Kalaupun bisa, ia merasa kebersamaan mereka hanya akan berlangsung singkat sebab sang pujaan tak akan betah atas kekurangannya.

Akhirnya, tamatlah cerita cerpennya berdasarkan kisah cintanya dalam diam. Ia memang kecewa karena ia tak bisa menyajikan konflik yang mendebarkan, tetapi begitulah upaya maksimal yang bisa ia lakukan. Terlebih, ia punya pembelaan sendiri yang seturut dengan anggapan umum, bahwa cerpen yang baik tidak harus mengandung kejutan. Ia menyaksikan sendiri kalau banyak cerpen dengan cerita yang polos, tetapi dinilai agung oleh khalayak. 

Lebih dari itu, ia malah merasa berhasil merampungkan sebuah cerpen yang unggul dari segi lain, yaitu dalam segi tata bahasa. Ia merasa telah berhasil merangkai cerpennya dengan kalimat-kalimat indah di dalam alur yang mengalir baik. Karena itu, ia tetap yakin kalau cerpennya itu akan mendapatkan perhatian orang-orang. Ia yakin kalau ia tak akan direndahkan sebagai penulis murahan yang hanya mengumbar hal-hal personal yang cemen dan melankolis.

Setelah ia benar-benar menyelesaikan cerpennya dengan perasaan yang cukup puas dan tenang, ia lantas mematikan laptopnya dan berbaring di atas kasur. Ia kemudian menimbang-nimbang perihal peruntukan karyanya yang mengandung cerita yang sangat personal itu. Ia bingung sendiri, apakah sebaiknya ia mengirimkannya ke media, ataukah sekadar ia simpan untuk buku antologi kumpulan cerpennya kelak, demi membuka jalannya menjadi penulis ternama.

Di tengah kebingungannya, tanpa sadar, ia pun jatuh terlelap. Di alam bawah sadarnya itu, ia kembali hanyut ke dalam sebuah mimpi. Di situ, ia melihat dirinya tiba-tiba berada di sebuah festival penulisan. Ia datang di acara tersebut sebagai seorang penulis pendatang baru setelah karya kumpulan cerpennya menjadi salah satu karya yang lolos kurasi. Ia hadir sebagai tamu spesial yang mendapatkan kesempatan untuk memaparkan proses kreatifnya. 

Setelah ia sampai di lokasi acara yang merupakan bangunan peninggalan zaman kolonial, di dalam mimpinya itu, ia kemudian melangkah menuju ke sebuah ruangan yang ditetapkan panitia sebagai tempatnya berbagi cerita. Dengan perasaan bangga, ia lantas mengisahkan perihal aktivitas kepenulisannya untuk memotivasi para calon penulis. Ia sungguh merasa senang telah berhasil duduk di atas panggung sebagai penulis muda yang diperhitungkan.

Sampai akhirnya, setelah sesi perbincangannya selesai, di dalam mimpinya itu, ia lalu melangkah keluar ruangan di tengah perhatian orang-orang. Lalu, tanpa ia duga, di gerbang pintu, ia berpapasan dengan sang pujaan hatinya. Terang saja, ia jadi kikuk dan kelimpungan untuk menghindar. Maka, dengan sikap yang ia santai-santaikan, ia pun pasrah menghadapinya, lantas bertutur segan, "Hai, apa sedari tadi kau di sini?"

Sang pujaan lantas mengangguk pendek dan melayangkan senyuman manis yang singkat, kemudian membalas polos, "Aku pengurus acara, Kak."

Dengan perasaannya yang tegang, ia hanya balas mengangguk-angguk. Ia kebingungan melontarkan kata-kata lanjutan untuk memperpanjang percakapan. Hingga akhirnya, ia memilih mengayun langkahnya menjauhi sang pujaan. Apalagi, ia jelas khawatir kalau sang pujaan tiba-tiba menyidik soal siapa sosok wanita di dalam cerpen utama pada buku kumpulan cerpennya. Ia tentu tak sanggup berkata jujur kalau tokoh perempuan itu adalah sang pujaan. 

Setelah melewati pintu, dengan perasaan campur aduk, ia lalu mempercepat langkahnya. Ia ingin segera menghilang dari titik itu demi menenangkan perasaannya. Tetapi tiba-tiba, di tengah anak tangga bebatuan yang menurun, ia salah langkah dan terjatuh. Akhirnya, ia pun mendapati dirinya sebagai aku, seorang penulis cerpen yang sedang menceritakan kisah cintaku sendiri. Aku pun merasa lega telah berhasil merampungkan ceritaku, dan berharap semoga tidak akan ada yang mengetahui siapa tokoh utama perempuan di dalam cerita ini. 

Kini, aku menimbang-nimbang perihal akan kuapakan cerpen yang terlanjur kutuliskan ini. Kukira, sebaiknya tidak untuk menyebarluarkannya dengan mengirimkannya ke media massa, mempertandingkannya pada lomba penulisan, mempertarungkannya pada seleksi penulis pendatang baru dalam festival literasi, ataupun menerbitkannya dalam format buku. Kupikir, langkah-langkah itu rentan menimbulkan perkara dan menjebakku dalam dilema, sebab para pembaca akan memberondongku dengan pertanyaan perihal siapa perempuan yang kujadikan bahan cerita.

Demi menghindari semua kerumitan itu, aku pun kebingungan sendiri menentukan persemayaman terbaik untuk cerpen panjangku tentang kita ini. Aku merasa terlalu sia-sia kalau aku menghapusnya atau sekadar mengarsipkannya di laptopku. Apalagi, sedari awal, aku memang menuliskannya dengan maksud untuk meluapkan keresahan hatiku dan menyampaikan perasaanku kepadamu secara tidak langsung. Aku sekadar ingin agar kau tahu perihal cintaku yang mendalam, dan aku tak berharap balasan apa-apa darimu. 

Hingga akhirnya, aku sampai pada pikiran dan keputusan untuk memublikasikannya di blog pribadiku saja. Kurasa, itu adalah jalan terbaik di antara perkara yang hendak kuhindari dan perkara yang hendak kutuju. Itu jelas akan membuatku lega karena aku berhasil meluapkan kata-kata hatiku yang telah terpendam sekian lama. Pun, itu akan membuka kemungkinan bagi dirimu untuk menemukannya dan membacanya, sehingga kau memahami perasaanku. 

Akhirnya, aku mengungggah cerpen tentang kita ini di laman blogku. Setelahnya, aku memilih untuk tidak membagikannya di akun media sosialku. Aku berharap saja kau akan menemukannya dan mengejanya di dalam ruang privatmu, lalu menganggapnya sekadar sebagai rahasia hati. Aku tak memerlukan responsmu seperti pada sebuah tautan cerpenku dahulu, dan aku tak mesti pusing untuk memberikan tanggapan balasan, apalagi dengan melanjutkan obrolan singkat kita di kolom percakapan Twitter.

Demikianlah. Terima kasih telah hadir di dalam hidupku. Semoga kita bahagia di dalam cerita yang berbeda.

 

Kamis, 30 November 2023

Pinjaman Mati

Lima hari sudah lewat dari waktu jatuh tempo. Ani terus menunggu kedatangan Maskur. Ia yakin kalau tetangganya itu mengingat bahwa ia telah meminjam uangnya sebesar Rp500 ribu. Ia tahu betul kalau orang yang berpiutang tidak akan pernah bisa melupakan uang yang diutangkannya. 

Benar saja. Menjelang sore, saat suaminya kembali ke kebun untuk memeriksa pagar tanaman, Maskur pun bertandang ke rumahnya. Lelaki itu datang dengan raut datar. Ia tampak memendam kekesalan karena Ani tidak sadar diri untuk mendatanginya dan mengembalikan utangnya.

Setelah duduk di ruang tamu dan melakoni basa-basi yang singkat, Maskur lantas menuturkan maksudnya, "Sebenarnya, aku ke sini untuk menagih utang Ibu dua bulan yang lalu. Aku membutuhkannya untuk mengongkosi keperluanku."

Ani pun mengembuskan napasnya keras-keras. Ia lalu menyinggung perkara yang sedari dahulu tidak pernah sanggup ia utarakan kepada Maskur, "Kukira, sudah seharusnya utangku itu dianggap impas, Pak," tuturnya, begitu saja, seolah-olah Maskur akan memahami alasannya.

"Maksud Ibu?" sidik Maskur, heran.

Dengan setengah tega, Ani pun menerangkan, "Istri Bapak punya utang sebanyak Rp500 ribu kepadaku. Karena nilainya sama, ya, kita anggap impas saja.”

"Apa benar begitu?" sergah Maskur. 

Ani mengangguk tegas. "Benar, Pak. Apa ia tak pernah cerita soal itu kepada Bapak?" tanyanya, pura-pura tidak tahu perihal permintaan istri Maskur saat memohon utang kepadanya agar ia tak melibatkan Maskur dalam soal tersebut.

"Tidak pernah," jawab Maskur.

Ani hanya mendengkus. 

Akhirnya, sejenak berselang, dengan raut kecewa, Maskur pamit dan pulang ke rumahnya yang berada tepat di samping kiri rumah Ani. 

Sesaat kemudian, Tono, suami Ani, datang dari kebun. Tono pun menyidik, "Ada apa Maskur bertamu?"

"Dia hendak menagih utangku kepadanya sebanyak Rp500 ribu, Pak. Tetapi aku tidak mau membayarnya dan memintanya untuk mengimpaskan saja utangku itu, sebab Marni punya utang yang sejumlah itu kepadaku," ungkap Ani, apa adanya, untuk yang pertama kalinya.

Tono hanya mengangguk-angguk, lalu melangkah ke ruang dapur membawa kayu bakar pikulannya, seolah-olah perkara yang baru diketahuinya itu bukanlah sebuah masalah yang patut ia kulik.

Marni, istri Maskur, memang telah meminjam uang Ani sebanyak Rp500 ribu. Pertama-tama, tujuh bulan yang lalu, Marni meminjam sebesar Rp250 ribu. Lalu, dua bulan setelahnya, saat pengutangan tersebut jatuh tempo dan mestinya dikembalikan, Marni malah kembali datang untuk meminjam uangnya sebesar Rp250 ribu. 

Pada setiap peminjaman itu, Marni berdalih kalau ia membutuhkan uang untuk mengongkosi keperluan sekolah putranya yang duduk di kelas 3 SD, juga membeli susu untuk putri batitanya. Ia beralasan kalau suaminya yang bekerja sebagai sopir mobil penumpang antarkabupaten milik orang lain, hanya memiliki uang yang cukup untuk kebutuhan pokok mereka sekeluarga.

Karena merasa kasihan, Ani pun bersedia meminjamkan uang kepada Marni. Ia berprasangka baik saja kalau Marni memang membutuhkannya untuk kepentingan-kepentingan tersebut. Sebagai tetangga terdekat, ia merasa berkewajiban untuk membantu. Ia yakin saja kalau Marni akan mengembalikannya pada waktu yang telah mereka perjanjikan. 

Sampai akhirnya, tiga bulan yang lalu, pada hari jatuh tempo, Marni kembali bertandang ke rumahnya. Tetapi itu bukan juga untuk mengembalikan semua utangnya, melainkan meminta perpanjangan waktu pengembalian. Marni mengaku belum mendapatkan uang yang cukup dari suaminya untuk melunasi utangnya. Maka, rela tidak rela, Ani harus bersabar. 

Tetapi dua minggu setelahnya, saat jatuh tempo waktu perpanjangan, Marni ternyata tak datang ke rumah Ani untuk membayar utangnya. Karena itu, Ani berinisiatif balik bertandang dan melakukan penagihan. Namun lagi-lagi, Marni mengaku belum punya uang. Ia lalu kambali menagih seminggu setelahnya, dan Marni masih mengaku belum punya uang. 

Lima hari selanjutnya, dua bulan yang lalu, Ani pun jadi kalut karena ia butuh uang untuk membayar iuran arisan dan ongkos pembuatan baju persatuan ibu-ibu pengajian, tetapi ia sadar kalau ia tak akan mendapatkan piutangnya dari Marni. Kerena itu, dengan terpaksa, ia mencoba meminta perongkosan khusus kepada Tono, suaminya. 

"Aku perlu uang untuk membayar arisan dan biaya pembuatan seragam pengajian, Pak," tutur Ani, dengan raut memelas. 

"Ibu butuh berapa?" tanya Tono. 

"Rp.500 ribu, Pak." 

"Ah, simpananku tak sebanyak itu, Bu. Paling, adanya cuma Rp150 ribu," tanggap Tono, dengan raut menyesal, sebab ia senantiasa menyimpan uang di rumahnya yang jauh lebih banyak dari itu untuk berjaga-jaga kalau ada keperluan yang mesti dibayar. “Kalau bisa ditunda, ya, nantilah, hari pasar, aku tarik uang di bank.”

Ani pun pasrah saja dengan menerima uang yang tak mencukupi keperluannya yang sudah mendesak itu.

Akhirnya, demi menyelamatkan harga dirinya di mata ibu-ibu yang lain, Ani bertekad keras untuk melunasi tanggungannya hari itu juga. Bagaimanapun, hari itu merupakan tenggat waktu kedua yang telah ditetapkan untuknya setelah ia tak kunjung membayarnya. Karena itu, ia akan merasa sangat malu kalau ia kembali menangguhkan kewajibannya.

Untuk itu, Ani menempuh cara satu-satunya. Saat Marni sedang di kampung orang tuanya, Ani pun menandangi Maskur yang sedang mengaso sebelum kembali mencari rezeki di jalan. Dengan sikap memelas, Ani lalu menyampaikan maksudnya meminjam uang sebanyak Rp500 ribu, dengan alasan untuk keperluan anaknya di pesantren. Merasa iba, Maskur pun bersedia. 

Demikianlah alur ceritanya, sampai kemudian Maskur datang ke rumah Ani untuk menagih utang, dan Ani menjadikan utangnya sebagai pengimpasan atas utang Marni kepadanya. 

Detik demi detik bergulir. Akhirnya, saat ini, menjelang malam, saat sedang memasak, Ani mendengar keributan dari sisi samping rumahnya. Ia mendengar suara hardikan Maskur dan suara tangisan Marni. Ia lantas menguping baik-baik, hingga ia mengetahui kalau perkara itu terjadi karena soal utang Marni kepadanya. 

Tak lama kemudian, Tono datang dan turut menyimak. "Apa yang terjadi, Bu?" tanyanya, dengan nada rendah.

"Kedengarannya, Maskur marah kepada Marni karena Marni telah meminjam uang padaku tanpa sepengetahuannya," tutur Ani, setengah berbisik.

Tono pun mendengkus prihatin. "Kasihan Marni. Ia jarang mendapatkan uang belanja dari Maskur yang lebih memprioritaskan pendapatannya untuk selingkuhannya di kota, tetapi ia malah kena marah kalau ia terpaksa meminjam uang ke mana-mana untuk keperluannya dan anak-anaknya."

Seketika pula, Ani terkejut heran atas pengetahuan barunya itu, "Apa benar begitu? Bapak tahu dari mana?"

Tono mengangguk. "Aku dengar dari obrolan dengan bapak-bapak yang lain. Apalagi, kan, sudah menjadi rahasia umum kalau Tono suka main perempuan di tengah pekerjaannya.” 

"Maksudku, kenapa Bapak bisa tahu kalau Tono jarang memberikan uang kepada Marni, sampai Marni harus meminjam uang ke mana-mana?" sidik Ani, tampak merasa aneh.

Tak pelak, Tono jadi kelabakan. "Aku hanya menebak-nebak. Kalau Maskur punya perempuan yang lain, mana bisa ia memberikan nafkah yang memadai untuk Marni. Karena itu, kupikir, Marni hanya bisa memenuhi kebutuhannya dengan berutang," kilahnya, sembari menyembunyikan rahasianya kalau Marni pun telah tiga kali meminjam uang kepadanya dengan total Rp900 ribu. Sejumlah piutang yang barangkali hanya akan ia ikhlaskan sebagai pinjaman mati. Sejumlah piutang yang sebelumnya membuat ia tidak mampu memberikan uang kepada sang istri untuk membayar iuran arisan dan ongkos pembuatan seragam pengajian. 

Ani pun mengangguk-angguk mendengar jawaban sang suami, seperti percaya begitu saja. Ia kemudian mengungkapkan rasa kasihannya kepada Marni atas apa yang sedang terjadi, "Ah, seandainya aku tahu akan begini jadinya, aku mungkin akan mengikhlaskan saja uang yang kupinjamkan kepada Marni."

Tono pun tersenyum pendek. Diam-diam, ia merasa senang mendapatkan persetujuan secara tersirat dari istrinya untuk makin merelakan uang pengutangannya kepada Marni. "Ya. Karena Maskur tak benar-benar menafkahinya, kita memang patut untuk membantunya."

Ani mengangguk-angguk setuju.