Selasa, 06 Juni 2017

Demokrasi Ala Pancasila

Pancasila tak pernah benar-benar final. Sebagai ideologi terbuka yang senantiasa terejawantahkan sesuai perkembangan zaman, Pancasila selalu memancing dikusi dan perdebatan yang tak ada hentinya. Salah satu yang sedari dulu tak pernah selesai adalah pembicaraan soal konsep demokrasi seperti apa yang sejalan dengan Pancasila. 
 
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Begitulah lugasnya diktum sila ke empat Pencasila. Namun dalam memaknainya, masih timbul ketidaksepahaman mengenai mekanisme demokrasi apa yang sesuai dengan Pancasila, apakah murni musyawarah untuk mufakat, atau juga membenarkan mekanisme suara terbanyak (voting).

Persoalan formulasi demokrasi yang sesuai dengan Pancasila, belakangan semakin mencuat pasca tersebarnya pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo di media massa, kala menyampaikan orasi kebangsaan di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Minggu, 4 Juni 2017. Pada kesempatan tersebut, ia dengan tegas menyatakan bahwa demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia, tidak sesuai dengan Pancasila. Ia menilai bahwa musyawarahlah praktik demokrasi yang pancasilais, bukan voting.

Roh Demokrasi Pancasila

Secara tersirat, sila ke empat Pancasila mendudukkan rakyat sebagai kesatuan yang dipentingkan dalam urusan pengelolaan negara. Mekanisme pengelolaan negara, wajib melindungi kepentingan rakyat. Apa kebutuhan rakyat, itulah yang harus diwujudukan. Karena itulah, klausul “permusyawaratan perwakilan” dapat menjadi jaminan bahwa dalam negara Indonesia, keputusan pemerintahan tidak boleh diambil semau-mau pemerintah, sebagaimana terjadi di negara negara otoriter, tetapi harus berdasarkan aspirasi rakyat.

Demokrasi Pancasila, menurut Yudi Latif (Revolusi Pncasila, 2015: 73-74), mengandung prinsip-prinsip fundamental yang tersusun dalam kerangka etis: pertama, cita kerakyatan, berupa penghormatan terhadap suara rakyat dalam politik, yaitu dengan memberikan peranan yang lebih kepada rakyat; kedua, cita permusyawaratan, berupa adanya upaya untuk menghargai nilai kekeluargaan dan pluralitas, sehingga keputusan tak boleh diambil secara tertutup dan sepihak; ketiga, cita hikmat-kebijaksanaan, berupa refleksi orientasi etis berlandaskan nilai ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.

Dari kerangka di atas, setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa basis demokrasi Pancasila adalah individu, namun tujuan utamanya adalah untuk kepentingan bersama. Pada satu sisi, rakyat secara individual, memegang kedaulatanya masing-masing. Namun titik temu di antara kedaulatan yang individualistis tersebut, harus diwujudkan melalui makanisme musyawarah untuk mufakat berdasarkan cita hikmat-kebijaksanaan, atau melalui mekanisme yang tidak bertentangan dengan nilai dasar Pancasila. 

Secara umum, demokrasi dapat dimaknai sebagai sistem dari, oleh, dan untuk rakyat. Nilai demokrasi diharapkan senantiasa hidup, baik dalam tahap pengambilan, pelaksanaan, maupun refleksi terhadap tujuan keputusan bersama. Ringkasnya, bisa dikatakan bahwa inti dari demokrasi adalah bagaimana rakyat memegang kedaulatan atas proses pemerintahan negara. Rakyat adalah penentu kebijakan. Oleh karena itu, di luar mekanisme permusyawaratan oleh lembaga-lembaga perwakilan rakyat, mekanisme apa pun dapat dianggap demokratis, asalkan mendudukkan rakyat sebagai basis utamanya.

Merujuk pada nilai esensial demokrasi di atas, mekanisme suara terbanyak juga tetap demokratis, sebab rakyat jualah yang menentukan pilihannya. Antara mekanisme musyawarah atau voting, menurut Munir Fuady (Konsep Negara Demokrasi, 2010: 188-189), tidak boleh dianggap saling bertentangan. Bahkan sebaliknya, mekanisme voting, hadir sebagai solusi atas mekanisme musyawarah untuk mufakat. Kata mufakat yang bermakna win-win solution, sebagai hasil akhir musyawarah, kadang kala sulit tercapai. Pada kondisi itulah, penggunaan mekanisme voting berdasarkan metode one man one vote, dianggap lebih realistis.

Realitas Demokrasi Indonesia

Dari segi bentuk, demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia, khususnya dalam perumusan kebijakan pemerintahan adalah demokrasi perwakilan. Beberapa orang yang telah memegang mandat rakyat melalui mekanisme tertentu, bertindak atas nama dan untuk kepentingan rakyat sendiri. Para perwakilan itulah yang akan memusyawarahkan urusan kerakyatan.

Demokrasi perwakilan dianggap sebagai pengejawantahan dari frasa “permusyawaratan/perwakilan” dalam sila ke empat Pencasila. Melalui musyawarah, pengambilan keputusan telah dianggap demokratis, meski keterlibatan rakyat bersifat tidak langsung. Bentuk ini bisa dipertentangkan dengan demokrasi langsung, yang memberikan kewenangan kepada setiap individu rakyat untuk terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan pemerintahan, misalnya melalui referendum.

Tidak terlibatnya rakyat secara langsung dalam pengambilan kebijakan pemerintahan pada bentuk demokrasi perwakilan, bukan berarti bahwa rakyat kehilangan kedaulatannya. Rakyat tetaplah menjadi pemegang kedaulatan tertinggi, namun kedulatannya itu telah dimandatkan kepada beberapa orang yang dapat saja dicabut melalui cara-cara yang konsitusional. Proses pemandatan itu, selama ini, diwujudkan melalui pemilihan umum dengan menggunakan mekanisme suara terbanyak (voting), yang tiada lain adalah bentuk demokrasi langsung. 

Sekilas, uraian di atas menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia, mempraktikkan mekanisme musyawarah ataupun voting. Namun jika dikaji lebih dalam, ada dua masa yang berbeda terkait pelaksanaan dua mekanisme demokrasi tersebut, yaitu di masa praperwakilan dan masa perwakilan. Pada masa praperwakilan, di tahap masyarakat mencari mandatarisnya,  mekanisme demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia adalah voting. Rakyat memilih perwakilannya secara langsung dan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. 

Di sisi lain, pada masa perwakilan, ketika telah terpilih sejumlah orang sebagai pemegang mandat rakyat, berlakulah mekanisme musyawarah untuk mufakat. Pada forum-forum pengambilan kebijakan di badan legislatif dan juga eksekutif, ketentuan undang-undang senantiasa mewajibkan untuk mendahulukan penggunaan mekanisme musyawarah untuk mufakat. Namun jika tidak diperoleh kesepakatan melalui musyawarah, mekanisme voting menjadi jalan yang dibenarkan.

Pada titik ini, dapatlah disimpulkan bahwa dalam proses pemilihan perwakilan rakyat, Indonesia masih pakem pada demokrasi langsung, yaitu melalui voting. Sedangkan terkait pengambilan keputusan kerakyatan di antara orang-orang dan organ-organ perwakilan rakyat, senantiasa mengutamakan mekanisme musyawarah untuk mufakat, meski selalu memungkinkan mekanisme suara terbanyak jika terjadi deadlock.

Mengenai terminologi siapa “perwakilan” rakyat, secara umum, senantiasa dilekatkan pada orang-orang terpilih yang duduk di badan legislatif (MPR, DPR, dan DPD). Hal itu karena lembaga legislatif lekat dengan fungsi pengawasan, yang kemudian memungkinkan badan tersebut mengontrol kebijakan pemerintahan demi kepentingan rakyat. Di badan legislatif pula, ditetapkan hal-hal terkait angggaran dan sekelumit aturan menyangkut kepentingan bangsa dan negara.

Di sisi lain, kedudukan lembaga eksekutif secara fungsional, bisa pula dianggap sebagai perwakilan rakyat. Bagaimana pun juga, pemegang kekuasaan eksekutif, tetap memiliki tanggung jawab yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat. Namun demikian, kedudukan lembaga eksekutif selama ini, memang hanya dianggap sebagai pelaksana amanat rakyat yang telah diformulasikan di badan legislatif.

Akhirnya, pembagaian makna terminologi “perwakilan” rakyat seperti di atas, hanya perlu dilakukan jika mengkaji dari segi fungsi dan kewenangan lembaga negara. Namun secara umum, bisa dikatakan bahwa segala pejabat dan penyelenggara negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat, otomatis menjadi perwakilan rakyat.

Sikap Terbaik

Tak diragukan lagi bahwa sistem pemerintahan di Indonesia, dikelola secara demokratis. Rakyatlah yang memegang kedaulatan tertinggi. Jika sebelum amandemen konsitusi UUD Tahun 1945, MPR didudukan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, yang berarti bahwa MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, maka kini, pascaamandemen yang mengubah sistem kelembagaan negara, kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang.

Masalah mekanisme pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai inti dari demokrasi, apakah musyawarah atau voting, haruslah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Setidaknya, begitulah panduan tegas yang digariskan oleh Pasal 2 UUD Tahun 1945 sebagai konstitusi negara. Dan sampai saat ini, berdasarkan beragam undang-undang yang berlaku, Indonesia masih membenarkan mekanisme voting, meski musyawarah senantiasa diutamakan. 

Pertanyaan besar dalam upaya mencari korelasi demokrasi dengan Pancasila adalah menjawab pertanyaan: apakah frasa “kerakyatan yang dipimpin” dan frasa “dalam permusyawaratan/perwakilan” berbicara soal tata cara pemilihan pemimpin, dalam hal ini pemilu, ataukah berbicara pada ranah pengambilan kebijakan pemerintahan oleh pihak-pihak yang telah dimandatkan sebagai perwakilan rakyat? Jawaban tentu beragam. 

Akhirnya, Pancasila sebagai ideologi terbuka, tentu tidak patut didasarkan pada satu tafsir saja. Apakah pelaksanaan demokrasi Pancasila harus melalui musyawarah untuk mufakat atau juga membenarkan mekanisme suara terbanyak, hanya dapat didasarkan pada bagaimana panduan hidup bernegara terrsebut dirumuskan dalam UUD Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. 

Kiranya, yang lebih penting daripada memperdebatkan apakah sistem demokrasi saat ini bertentang dengan Pancasila atau tidak, adalah menelaah sejauh mana rakyat dilibatkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara. Sejauh mana aspirasi rakyat mewujud dalam kebijakan pemerintahan. Yang pasti, sejauh pelaksanaan demokrasi masih mendudukkan rakyat sebagai basis utama, serta dilaksanakan berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku, tak patut menganggap demokrasi bertentangan dengan Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar