Pancasila
tak pernah benar-benar final. Sebagai ideologi terbuka yang senantiasa
terejawantahkan sesuai perkembangan zaman, Pancasila selalu memancing dikusi
dan perdebatan yang tak ada hentinya. Salah satu yang sedari dulu tak pernah selesai
adalah pembicaraan soal konsep demokrasi seperti apa yang sejalan dengan
Pancasila.
Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Begitulah
lugasnya diktum sila ke empat Pencasila. Namun dalam memaknainya, masih timbul ketidaksepahaman
mengenai mekanisme demokrasi apa yang sesuai dengan Pancasila, apakah murni
musyawarah untuk mufakat, atau juga membenarkan mekanisme suara terbanyak
(voting).
Persoalan
formulasi demokrasi yang sesuai dengan Pancasila, belakangan semakin mencuat
pasca tersebarnya pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo di media massa, kala menyampaikan
orasi kebangsaan di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta,
Minggu, 4 Juni 2017. Pada kesempatan tersebut, ia dengan tegas menyatakan bahwa
demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia, tidak sesuai dengan Pancasila. Ia
menilai bahwa musyawarahlah praktik demokrasi yang pancasilais, bukan voting.
Roh Demokrasi Pancasila
Secara
tersirat, sila ke empat Pancasila mendudukkan rakyat sebagai kesatuan yang dipentingkan
dalam urusan pengelolaan negara. Mekanisme pengelolaan negara, wajib melindungi
kepentingan rakyat. Apa kebutuhan rakyat, itulah yang harus diwujudukan. Karena
itulah, klausul “permusyawaratan perwakilan” dapat menjadi jaminan bahwa dalam
negara Indonesia, keputusan pemerintahan tidak boleh diambil semau-mau
pemerintah, sebagaimana terjadi di negara negara otoriter, tetapi harus berdasarkan
aspirasi rakyat.
Demokrasi
Pancasila, menurut Yudi Latif (Revolusi Pncasila, 2015: 73-74), mengandung
prinsip-prinsip fundamental yang tersusun dalam kerangka etis: pertama, cita kerakyatan, berupa
penghormatan terhadap suara rakyat dalam politik, yaitu dengan memberikan
peranan yang lebih kepada rakyat; kedua, cita
permusyawaratan, berupa adanya upaya untuk menghargai nilai kekeluargaan dan
pluralitas, sehingga keputusan tak boleh diambil secara tertutup dan sepihak; ketiga, cita hikmat-kebijaksanaan,
berupa refleksi orientasi etis berlandaskan nilai ketuhanan, perikemanusiaan,
persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.
Dari
kerangka di atas, setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa basis demokrasi
Pancasila adalah individu, namun tujuan utamanya adalah untuk kepentingan
bersama. Pada satu sisi, rakyat secara individual, memegang kedaulatanya
masing-masing. Namun titik temu di antara kedaulatan yang individualistis
tersebut, harus diwujudkan melalui makanisme musyawarah untuk mufakat berdasarkan
cita hikmat-kebijaksanaan, atau melalui mekanisme yang tidak bertentangan
dengan nilai dasar Pancasila.
Secara
umum, demokrasi dapat dimaknai sebagai sistem dari, oleh, dan untuk rakyat. Nilai
demokrasi diharapkan senantiasa hidup, baik dalam tahap pengambilan, pelaksanaan,
maupun refleksi terhadap tujuan keputusan bersama. Ringkasnya, bisa dikatakan
bahwa inti dari demokrasi adalah bagaimana rakyat memegang kedaulatan atas
proses pemerintahan negara. Rakyat adalah penentu kebijakan. Oleh karena itu,
di luar mekanisme permusyawaratan oleh lembaga-lembaga perwakilan rakyat,
mekanisme apa pun dapat dianggap demokratis, asalkan mendudukkan rakyat sebagai
basis utamanya.
Merujuk
pada nilai esensial demokrasi di atas, mekanisme suara terbanyak juga tetap
demokratis, sebab rakyat jualah yang menentukan pilihannya. Antara mekanisme
musyawarah atau voting, menurut Munir Fuady (Konsep Negara Demokrasi, 2010:
188-189), tidak boleh dianggap saling bertentangan. Bahkan sebaliknya,
mekanisme voting, hadir sebagai solusi atas mekanisme musyawarah untuk mufakat.
Kata mufakat yang bermakna win-win
solution, sebagai hasil akhir musyawarah, kadang kala sulit tercapai. Pada
kondisi itulah, penggunaan mekanisme voting berdasarkan metode one man one vote, dianggap lebih
realistis.
Realitas Demokrasi Indonesia
Dari
segi bentuk, demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia, khususnya dalam perumusan kebijakan
pemerintahan adalah demokrasi perwakilan. Beberapa orang yang telah memegang mandat
rakyat melalui mekanisme tertentu, bertindak atas nama dan untuk kepentingan
rakyat sendiri. Para perwakilan itulah yang akan memusyawarahkan urusan
kerakyatan.
Demokrasi
perwakilan dianggap sebagai pengejawantahan dari frasa “permusyawaratan/perwakilan”
dalam sila ke empat Pencasila. Melalui musyawarah, pengambilan keputusan telah
dianggap demokratis, meski keterlibatan rakyat bersifat tidak langsung. Bentuk
ini bisa dipertentangkan dengan demokrasi langsung, yang memberikan kewenangan
kepada setiap individu rakyat untuk terlibat langsung dalam pengambilan
kebijakan pemerintahan, misalnya melalui referendum.
Tidak
terlibatnya rakyat secara langsung dalam pengambilan kebijakan pemerintahan
pada bentuk demokrasi perwakilan, bukan berarti bahwa rakyat kehilangan
kedaulatannya. Rakyat tetaplah menjadi pemegang kedaulatan tertinggi, namun
kedulatannya itu telah dimandatkan kepada beberapa orang yang dapat saja dicabut
melalui cara-cara yang konsitusional. Proses pemandatan itu, selama ini,
diwujudkan melalui pemilihan umum dengan menggunakan mekanisme suara terbanyak
(voting), yang tiada lain adalah bentuk demokrasi langsung.
Sekilas,
uraian di atas menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia, mempraktikkan
mekanisme musyawarah ataupun voting. Namun jika dikaji lebih dalam, ada dua
masa yang berbeda terkait pelaksanaan dua mekanisme demokrasi tersebut, yaitu di
masa praperwakilan dan masa perwakilan. Pada masa praperwakilan, di tahap
masyarakat mencari mandatarisnya, mekanisme demokrasi yang dipraktikkan di
Indonesia adalah voting. Rakyat memilih perwakilannya secara langsung dan ditetapkan
berdasarkan suara terbanyak.
Di
sisi lain, pada masa perwakilan, ketika telah terpilih sejumlah orang sebagai
pemegang mandat rakyat, berlakulah mekanisme musyawarah untuk mufakat. Pada
forum-forum pengambilan kebijakan di badan legislatif dan juga eksekutif,
ketentuan undang-undang senantiasa mewajibkan untuk mendahulukan penggunaan
mekanisme musyawarah untuk mufakat. Namun jika tidak diperoleh kesepakatan
melalui musyawarah, mekanisme voting menjadi jalan yang dibenarkan.
Pada
titik ini, dapatlah disimpulkan bahwa dalam proses pemilihan perwakilan rakyat,
Indonesia masih pakem pada demokrasi langsung, yaitu melalui voting. Sedangkan
terkait pengambilan keputusan kerakyatan di antara orang-orang dan organ-organ perwakilan
rakyat, senantiasa mengutamakan mekanisme musyawarah untuk mufakat, meski
selalu memungkinkan mekanisme suara terbanyak jika terjadi deadlock.
Mengenai
terminologi siapa “perwakilan” rakyat, secara umum, senantiasa dilekatkan pada
orang-orang terpilih yang duduk di badan legislatif (MPR, DPR, dan DPD). Hal
itu karena lembaga legislatif lekat dengan fungsi pengawasan, yang kemudian
memungkinkan badan tersebut mengontrol kebijakan pemerintahan demi kepentingan
rakyat. Di badan legislatif pula, ditetapkan hal-hal terkait angggaran dan
sekelumit aturan menyangkut kepentingan bangsa dan negara.
Di
sisi lain, kedudukan lembaga eksekutif secara fungsional, bisa pula dianggap
sebagai perwakilan rakyat. Bagaimana pun juga, pemegang kekuasaan eksekutif,
tetap memiliki tanggung jawab yang bersentuhan langsung dengan kepentingan
rakyat. Namun demikian, kedudukan lembaga eksekutif selama ini, memang hanya
dianggap sebagai pelaksana amanat rakyat yang telah diformulasikan di badan
legislatif.
Akhirnya,
pembagaian makna terminologi “perwakilan” rakyat seperti di atas, hanya perlu
dilakukan jika mengkaji dari segi fungsi dan kewenangan lembaga negara. Namun
secara umum, bisa dikatakan bahwa segala pejabat dan penyelenggara negara yang
dipilih secara langsung oleh rakyat, otomatis menjadi perwakilan rakyat.
Sikap Terbaik
Tak
diragukan lagi bahwa sistem pemerintahan di Indonesia, dikelola secara
demokratis. Rakyatlah yang memegang kedaulatan tertinggi. Jika sebelum
amandemen konsitusi UUD Tahun 1945, MPR didudukan sebagai pelaksana kedaulatan
rakyat, yang berarti bahwa MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, maka kini,
pascaamandemen yang mengubah sistem kelembagaan negara, kedaulatan sepenuhnya
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang.
Masalah
mekanisme pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai inti dari demokrasi, apakah musyawarah
atau voting, haruslah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang
berlaku. Setidaknya, begitulah panduan tegas yang digariskan oleh Pasal 2 UUD
Tahun 1945 sebagai konstitusi negara. Dan sampai saat ini, berdasarkan beragam
undang-undang yang berlaku, Indonesia masih membenarkan mekanisme voting, meski
musyawarah senantiasa diutamakan.
Pertanyaan
besar dalam upaya mencari korelasi demokrasi dengan Pancasila adalah menjawab
pertanyaan: apakah frasa “kerakyatan yang dipimpin” dan frasa “dalam
permusyawaratan/perwakilan” berbicara soal tata cara pemilihan pemimpin, dalam
hal ini pemilu, ataukah berbicara pada ranah pengambilan kebijakan pemerintahan
oleh pihak-pihak yang telah dimandatkan sebagai perwakilan rakyat? Jawaban
tentu beragam.
Akhirnya, Pancasila
sebagai ideologi terbuka, tentu tidak patut didasarkan pada satu tafsir saja.
Apakah pelaksanaan demokrasi Pancasila harus melalui musyawarah untuk mufakat
atau juga membenarkan mekanisme suara terbanyak, hanya dapat didasarkan pada
bagaimana panduan hidup bernegara terrsebut dirumuskan dalam UUD Tahun 1945 dan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Kiranya,
yang lebih penting daripada memperdebatkan apakah sistem demokrasi saat ini
bertentang dengan Pancasila atau tidak, adalah menelaah sejauh mana rakyat
dilibatkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara. Sejauh mana
aspirasi rakyat mewujud dalam kebijakan pemerintahan. Yang pasti, sejauh
pelaksanaan demokrasi masih mendudukkan rakyat sebagai basis utama, serta
dilaksanakan berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku, tak patut menganggap
demokrasi bertentangan dengan Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar