Minggu, 13 Desember 2015

Tas Anyaman Kakak


Begitu berdosanya aku padamu, Kakak. Jika kata dan perbuatan jahanamku tak kau maafkan di setiap detikmu, pastilah siksaan pedih kudapatkan di hari kemudian. Syukurlah, waktu membawaku pada kedewasaan. Mengingatkan bertapa kurang ajarnya aku di waktu-waktu lampau. Menyadarkan untuk berhenti berperilaku bodoh dan membantah nasihat Kakak. Ingin rasanya bersujud dan meminta maaf padamu, Kakak. Tapi semua akan terasa ganjil. Terkesan lebay. Di keluarga kecil kita, kata-kata maaf hanya terucap di hari lebaran. Lepas itu, kita akan menjalani hidup seperti biasa. Menganggap saling memaafkan tanpa diminta. Akhirnya, jika aku lepas kontrol, terlupa, tutur kata dan tindakanku pun kembali menyakitimu. Kuduga begitu.

Kini, aku benar-benar tobat. Kuakui, kelakuanku dahulu membuktikan kalau aku bukanlah adik yang baik. Aku suka melakukan kebalikan dari perintah Kakak. Malas memanggil Kakak dengan nama lengkap yang indah, Nur Febrianti, atau Nur saja. Lebih suka menyebut kata ganti hina untuk nama Kakak: pincang, keong, atau suster ngesot. Memang benar, tapi tak selayaknya. Cara Kakak berjalan memang tidak normal. Menyeret kaki. Sejak 10 tahun lalu Kakak pincang. Saat kusadari cara berjalan Kakak tak senormal orang lain, kujadikan itu bahan ejekan. Kurang ajar benar aku. Kuharap waktu cukup untukku membalas Kakak dengan kebaikan.

Dahulu, Ayah sering marah atas tingkah nakalku. Geram kala mendengar aku memanggil Kakak dengan gelar tak layak. Tapi aku tak berhenti menabuh genderang perang. Kakak kuanggap sok-sok jadi ibu yang banyak mengatur. Kekanak-kanakannya aku waktu itu. Meski Ayah berulang kali berujar kalau cacat Kakak karena salah aku juga, akibat kebandelanku waktu masih berumur empat tahun, aku tak peduli. Lagian, aku tak ingat kejadiannya. Samar-samar. Seperti mencoba merangkai sempurna kepingan pecahan kaca yang dilindas buldoser. Mustahil. Karena itu juga, aku tak terlalu tersentuh melihat keadaan Kakak.

Di umurku yang keempat belas tahun inilah, aku mulai sadar tentang harga diri, tentang daya tarik kepada lawan jenis. Betapa beruntungnya dianugrahi bentuk dan fungsi fisik yang normal. Tak sepantasnyalah mengejek orang yang tak sempurna secara fisik, apalagi jika berumur lebih tua. Aku harus bersikap sepatutnya. Terlebih, mungkin karena ketidaknormalan fisik itu, di usia Kakak yang 29 tahun, tak seorang lelaki pun yang sudi mendekat. Aku mulai kasihan pada Kakak yang kini tampak seperti janda beranak satu. Apalagi kita hanya hidup bertiga di rumah. Pasti banyak orang mengira Kakak adalah Ibuku, dan Ayah adalah suami Kakak.

Dari Ayahlah aku tahu, Kakak sangat menyayangiku semasa kecil. Kakak begitu tak sabaran dihadiahi seorang adik setelah sekian lama menanti. Karena itu, setelah lahir, Kakak rela menemaniku bermain dan menuruti semua permintaanku. Namun kebahagiaan atas kehadiranku tak berlangsung lama. Ibu meninggal sejak umurku dua tahun. Kakak pun terpaksa bertindak layaknya seorang ibu. Mengurusi bayi dengan remeh-temehnya. Menggantikan kasih sayang Ibu yang tak kutahu wajahnya andai tak kulihat foto jadulnya. Tapi wajah Ibu serupa Kakak, kata Ayah. Aku jadi suka memandang wajah Kakak dan mengimajinasikan wajah Ibu.

Ayah pun pernah menceritakan sebuah peristiwa 14 tahun lalu. Tentang sejarah kepincangan Kakak. Terasa sangat menyentuhku saat ini. Umur Kakak waktu itu 19 tahun, sedangkan aku 4 tahun. Aku adalah anak kecil yang banyak pintanya. Jadinya, aku bak seorang majikan bagi Kakak yang layaknya pesuruh. Ironis. Dari cerita Ayah itu, nyata sudah bahwa kepincangan Kakak adalah buah permintaanku yang tak seharusnya dihiraukan. 

Semua karena kecerobohanku melepas tali balon yang kugenggaman. Balon itu pun tersangkut di daun kelapa. Aku merengek dan menangis sejadi-jadinya. Kakak yang begitu menyayangiku tak pikir panjang untuk segera memanjat pohon kelapa setinggi 11 meter itu. Benar-benar perempuan berani dan penyayang. Hingga akhirnya, di puncak pohon kelapa, kaki Kakak terpeleset, lepas pegangan, dan akhirnya terjatuh tepat menumpu di batu cadas. Kata Ayah, aku sontak berhenti menangisi balonku pada waktu itu, lalu lanjut bermain. Tak berperasaan. Padahal tulang paha kaki kanan Kakak patah. Sungguh kurang ajar.

***

“Medusa, selepas dari sekolah, pulang cepat. Bantu Ayah panen kelapa.  Jangan main terus. Kau sudah besar,” perintah Kakak sebelum aku berangkat sekolah. Aku sekarang kelas 2 SMP. Kakak memang kadang iseng memanggilku medusa, si wanita berkepala ular dalam mitologi Yunani, karena rambutku kriting.
“Siap Nyonya Besar yang manis!” balasku pada Kakak yang semakin gemuk.

Begitulah cara kita mencairkan suasana. Kutahu, dalam hati, kita saling menyayangi dengan cara itu.

Aku lalu berjalan kaki menuju sekolah sambil berlindung di bawah payung reyot karena hujan. Jarak tempuhku hanya 100 meter dari rumah. Kali ini, aku tak menggunakan tas anyaman rotan buatan Kakak. Buku kubungkus dalam kantong plastik. Lebih aman. Aku tak ingin buku-bukuku sampai basah. Aku tak peduli tentang mode dan cemoohan teman-temanku. Tak ada gunanya bergaya. Tak perlu gengsi dalam berpenampilan. Sederhana itu menenangkan. Aku tak akan menuntut Ayah dan Kakak tentang segala macam keinginan yang tak terbatas. Apalagi keluarga kita memang sangat sederhana. Kuduga, mungkin karena itu juga, orang tua kita hanya merencanakan punya dua anak: aku dan Kakak.

Ayah hanyalah pemanjat dan pengupas kelapa. Kelapa itu akan dikeringkan menjadi kopra. Itupun kelapa tetangga. Keluarga kita tak punya kebun. Dengan pekerjaannya itu, Ayah hanya digaji seadanya berdasarkan hitungan buah kelapa yang sampai terkupas. Rp. 500 per satu buah kelapa. Biasanya, Ayah dapat upah Rp. 100 ribu dalam sehari. Sepulang dari memetik kelapa, Ayah akan membawa pulang daun kelapa yang akan dianyam Kakak di rumah. Hasil anyaman Kakak selanjutnya dijual ke pengusaha warung makan. Untungnya hanya sedikit. Hanya dihargai Rp. 500 per empat cangkang ketupat. Itupun tergantung pesanan dari pemilik warung. Tak setiap hari.

Melihat keadaan keuangan keluarga dan kebutuhanku yang semakin meningkat, aku bertekad bekerja. Aku tak tega kalian terus-terusan banting tulang untukku. Sudah cukup selama ini aku begitu dimanjakan. Caranya, secara diam-diam, kuputuskan menjadi kuli panggul di pelabuhan. Pekerjaannya berat. Tapi, untungnya menggiurkan. Akhirnya, di setiap hari libur sekolah, kuhabiskan hariku di bawah terik matahari dan kepungan debu, di pelabuhan. Segala macam barang dengan berat yang menyesakkan, kupikul saat kapal melakukan bongar muat. Bahkan jika sedang bernafsu memperoleh keuntungan berlebih, aku akan ke pelabuhan sepulang sekolah. Tak mungkinlah kuabaikan kewajiban sebagai siswa. Takut nilai raporku anjlok, hingga Ayah dan Kakak curiga padaku.

Senangnya. Aku mendapat penghasilan yang menggembirakan. Hampir sebanding jika penghasilan Ayah dan Kakak digabungkan. Aku pun membagi tiga peruntukan upahku: kugunakan untuk kebutuhanku sehari-hari, kutabung untuk masa depanku, dan kuberikan pada Kakaku secara diam-diam. Kutahu tempat Kakak menyembunyikan celengan. Secara rahasia, aku menyisipkan sepertiga penghasilanku ke dalamnya. Aku berharap, dengan uang itu, Kakak belajar mempercantik diri, sehingga suatu saat ada lelaki yang bersedia menikahi. Terlebih, kutahu ada keinginan Kakak untuk membeli sesuatu yang berharga. Sudah lama Kakak mengutarakannya.

“Bos Beni, tadi aku jalan-jalan ke pasar, ada sesuatu yang sangat ingin aku beli. Andai aku punya penghasilan lebih, pasti akan kubeli,” tutur Kakak tempo hari.

“Memangnya Nyonya Tua mau beli apa?” tanyaku.

“Tak usah kau tahu. Yang pasti, kau tak akan keberatan,” tutur Kakak, sambil merekahkan senyum ke atas, ke arah plafon rumah yang dirembesi air hujan karena bocor. Ekpresi Kakak menyiratkan harapan yang begitu besar.

***

Hari ini, adalah hari libur. Tanggal 17 Agustus. Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI. Tak ada upacara bagiku kali ini. Aku tak mengikuti seleksi paskibraka untuk pengibaran bendera. Bukan berarti aku tak punya potensi untuk diloloskan. Postur tubuh dan kemampuanku tak bisa diragukan. Namun aku tak ingin waktuku habis untuk latihan baris-berbaris. Lebih kupilih melewatkan hari-hariku dengan mengais rezeki di pelabuhan. Mengumpulkan uang untuk membuat masa depanku lebih terjamin. Aku ingin bersekolah dan benar-benar jadi orang yang merdeka. Aku ingin membahagiakan Ayah dan Kakak.

Setelah seharian mondar-mandir pontang-panting banting tulang untuk mindahkan barang segala rupa di pelabuhan, waktunya aku pulang ke rumah sebab malam hampir menggelapkan bumi. Aku tak ingin Ayah dan Kakak khawatir jika aku pulang terlambat. Aku ingin segera sampai di rumah. Kutahu, jika sore begini, Ayah pasti masih sibuk mengurusi kambing orang lain yang dipeliharanya di kandang. Kakak juga pasti sedang memetik dan menyerut daun singkong untuk jadi sayur di santap malam. Dengan begitu, seperti biasa, aku akan menyusup ke kamar Kakak, lalu menyusupkan uang penghasilanku ke dalam celengan Kakak yang ditaruh di atas lemari. Hari ini, aku memberikan semua penghasilanku dalam sehari untuk Kakak. Rp. 300 ribu. Aku ingin Kakak segera membeli sesuatu yang sangat diidamkan selama ini. Entah apa.

“Dari mana lagi Tuan Dekil. Tambah hitam saja kau belakangan ini. Mengaku-ngaku artis di sekolah. Mana mungkin kalau penampakanmu kumal begitu. Pergi sana mandi. Ingat, jangan cuma sekali basuhan. Mandilah yang benar. Pakai sabun dan sampo. Cepat sebelum gelap. Aku punya sesuatu untukmu nanti,” gerutu Kakak. Aku selalu suka cara bertutur Kakak. Selalu disisipi humor. Sangat menyenangkan. Karena itu juga, aku tak tahu kapan Kakak ingin dianggap serius atau bercanda.

“Ok Nyonya Besar,” balasku lalu bergegas menaiki anak tangga, memasuki rumah panggung kita yang terbuat dari kombinasi kayu dan anyaman rotan. Aku ingin segera menyusupkan uang penghasilanku ke dalam celengan Kakak. 

Sesampainya di titik yang kutuju, di kamar Kakak, kujulurkan tanganku ke puncak lemari. Tapi celengan itu telah tiada. Kupastikan kalau Kakak telah mengabilnya dan membeli sesuatu yang diidamkan Kakak selama ini. Pasti Kakak ingin memamerkannya malam nanti.

Benar saja, selepas makan malam, Kakak segera menuju ke dalam kamar. Kudengar sebuah gesekan pada tikar. Kuterka, Kakak pasti menyeret sebuah barang dari bawah kasur. Akhirnya, Kakak pun menucul di balik tirai pintu, sambil menenteng sebuah kardus kecil. Di kardus, tercetak besar sebuah merek tas terkenal yang pernah kulihat di tas temanku, anak seorang direktur perusahaan. Entahlah apa isinya. Selama ini, kardus di rumah hanya diisi kala ingin berkirim barang dengan keluarga di tempat lain.

“Coba Bos Beni buka. Mudah-mudahan Bos juga menyukainya,” tutur Kakak, sambil menyodorkan kardus itu padaku.

Kardusnya ringan. Tak tercium aroma aneh untuk mencap itu adalah kiriman bahan makanan dari pamanku lagi. Tak ada juga tulisan nama pengirim dan tertuju barang. Pun, tak ada plester di sana-sini. Malahan, baunya seperti kardus yang baru saja keluar dari toko. Tampak seperti kadus baru. Demi melenyapkan rasa penasaran, kubukalah perlahan. Ternyata kardus itu berisi tas baru yang semerek punya teman sekelasku.

“Pakailah ke sekolah. Tak perlu lagi kau menyelempang tas anyaman Kakak yang seharusnya sudah pensiun itu,” tutur Kakak semasih aku keheranan. Terkejut. Tak menyangka Kakak akan membelikan tas semewah itu untukku. “Bukumu pasti tak kebasahan. Kainnya tak tembus air. Ini juga ada pembungkusnya agar lebih aman,” tambah Kakak, sambil mempraktikkan cara membungkus tas dengan kain sampingan itu. Bak pragawati yang berusaha meyakinkan calon konsumen.

Aku lalu berdiri dan mengetes tas baruku. “Haha. Terima kasih Kak. Aku suka. Tapi seharusnya Kakak tak perlu susah payah cari uang hanya untuk membelikanku sebuah tas seberharga ini. Aku tetap senang kok memakai tas anyaman Kakak. Saatnyalah Kakak membeli sesuatu untuk kesenangan Kakak sendiri,” balasku serius. Untuk saat ini, aku tak kuasa membalas dengan kata ganti nama Kakak yang aneh-aneh. Aku benar-benar tersentuh.

“Tak usah merasa tak enak Nak. Dengan tas itu, Kakak kamu hanya ingin kau sekolah benar-benar, hingga cita-citamu tercapai." Ayah yang bersandar di dinding bersuara. Ia nampak semringah. “Terimalah Bos Beni,” candanya.

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Benar-benar mengharukan. Ternyata kerja keras Kakak selama ini hanya untuk membelikan sesuatu untukku. Kutahu jelas perjuangan Kakak menabung beberapa bulan terakhir sangat luar biasa. Kakak jadi tak mengurusi diri sendiri. Tak ada peralatan tata rias yang baru. Akhirnya kuniatkan memakai tas baru itu ke sekolah di musim hujan ini. Tas yang dibeli dengan uang yang sebagian dari hasil jerih payahku, yang tentu tak diketahui siapa pun. Aku ingin Kakak bahagia melihatku berlalu menuju ke sekolah, sambil memunggungi tas hadiah Kakak itu. 

Beberapa menit berselang, kupandangi lagi tas anyaman Kakak yang tergantung di dinding rumah. Aku tersentuh melihatnya. Ada kesan tak ternilai yang membuatku akan sulit mengabaikannya. “Terima kasih atas hadiahnya Kak. Aku tak tahu bagaimana cara membalasnya,” tuturku. “Tapi Kak, boleh kan, jika di musim kemarau nanti, aku sesekali memakai tas anyaman itu. Suatu saat, aku pasti rindu memakainya.”

Kakak hanya tersenyum, lalu mengangguk.

Mewujudkan Mimpi Menaklukkan Dunia


Judul Novel: Edensor; Penulis: Andrea Hirata; Penerbit: PT Bentang Pustaka; Tahun Terbit: Cetakan Pertama Edisi I-2007, hingga Cetakan Kelima Edisi Revisi-Februari 2015; Jumlah Halaman: 290.

Cita-cita besar harus dibarengi dengan tekad kuat. Bermimpi besar, berarti harus siap bekerja keras. Bahkan menaklukkan dunia sekali pun, sangat mungkin terwujud jika ditopang sikap pantang menyerah. Itulah salah satu pesan dalam novel karya Andrea Hirata berjudul Edensor. Novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi ini menceritakan tentang semangat dua orang pemuda kampung, dari Pulau Belitong, untuk menjelajah belahan dunia lain. Cerita hidup mereka, dari kampung hingga berhasil menjelajah belahan dunia, dikisahkan dalam 44 mozaik (bab atau sesi penceritaan) oleh penulis.

Pemuda pengelana sebagai tokoh utama dalam novel itu bernama Andrea dan Arai. Andrea adalah anak seorang pensiunan perusahaan. Sedangkan Arai adalah sepupu jauhnya yang hidup sebatang kara, sehingga diasuh orng tua Andrea. Mereka bermimpi mengunjungi ragam negara dan bangsa untuk memetik banyak pelajaran. Tekad mereka dikobarkan pesan dari seorang guru mereka semasa SD, Muslimah Hafsari, bahwa jika ingin menjadi manusia yang berubah, jalanilah tiga hal: sekolah, banyak-banyak membaca Al-Qur’an, dan berkelana. Juga pesan guru sastra mereka semasih SMA, Pak Balia, yang menguatkan tekadnya untuk menjalejahi Eropa dan menjamah Afrika.

Setamat SMA di kampungnya, mereka memulai petualangannya. Awalnya mereka mencari peruntungan di Pulau Jawa. Berkuliah sambil bekerja. Lika-liku mereka lalui, hingga bisa mendapatkan pekerjaan, sebagai salesman. Tak lama, mereka dipecat karena penjualannya tak mencapai target. Lagi, akhirnya mereka mencari dan mendapatkan pekerjaan baru. Andrea bekerja sebagai pegawai pos, sedangkan Arai merantau ke Kalimantan untuk berkuliah sambil bekerja. 

Seiring waktu, mereka pun menyelesaikan pendidikan program strata I dalam waktu yang cepat. Karena desakan jiwa petualangnya, mereka jadi gerah melakukan aktivitas dengan rutinitas yang itu-itu saja. Mereka ingin pembaruan suasana dan sesuatu yang menantang. Untuk itu, mereka pun mencoba mendaftar sebuah program beasiswa strata dua di Universite de Paris, Sorbonne. Akhirnya, karena proposal risetnya saat mendaftar dinilai menarik, mereka pun dinobatkan sebagai penerima beasiswa yang ditalangi Uni Eropa itu. Andrea menekuni bidang ekonomi, sedangkan Arai bidang biologi. 

Datanglah hari di mana mereka harus meninggalkan kampung untuk berangkat ke Prancis. Mereka mendarat di Belanda, lalu menginap di Belgia sebelum menuju Prancis. Banyak pelajaran yang mereka jumpai selama perjalanan. Salah satu yang memiriskan adalah sikap birokratis penjaga penginapan di Belgia yang tak memberikan hak akomodasi mereka untuk menginap jika tak menyelesaikan sejumlah proses administrasi. Di awal perjalanan itu, mereka terpaksa terlunta-lunta. Tersiksa dingin di suhu delapan derajat celcius di jalanan.

Beberapa hari kemudian, setelah sampai di Prancis, mereka pun menjalani kehidupan sebagai mahasiswa seperti biasa. Kuliah, melakukan riset, dan refreshing menikmati warna-warni kehidupan di Prancis. Merasa misinya belum tercapai hanya dengan remeh-temeh perkuliahan, mereka pun membuat rencana untuk menjelajah Eropa dan Afrika selepas musim salju. Langkah awal mereka adalah bekerja part time untuk mengumpulkan modal. Akhirnya, ada ide cemerlang dari mahasiswa pendamping mereka, Famke Somers, untuk menghimpun bekal petualangan, yaitu menjadi pementas seni jalanan. Mengamen kreatif. Mereka berdua pun mementaskan teatrikal putri duyung di jalanan dan mendapatkan penghasilan menggiurkan. 

Setelah musim salju berakhir, mereka pun menceritakan rencananya untuk menjelajah Eropa hingga Afrika selama libur musim panas kepada teman-teman di kampusnya. Akhirnya lima orang temannya bersedia turut dalam petualangan. Tapi tidak bersama-sama. Mereka terbagi lima, yaitu Townsend, Stansfield, Ninoch, Gonzales dan MVRC Manooj,  serta Arai dan Andrea. Mereka pun sepakat petulangan mereka dijadikan kompetisi. Semuanya karena keisengan, gengsi, dan harga diri. Pemenangnya adalah mereka yang dapat menempuh paling banyak kota dan negara. Bagi yang paling rendah pencapaiannya, disepakati juga untuk diberi hukuman. Salah satunya adalah menuntun mundur sepeda yang digantungi pakaian rombeng di pusat kota Paris.

Cerita selanjutnya lebih banyak mengulas mengenai tantangan perjalanan Andrea dan Arai dalam menaklukkan banyak negara. Mereka yang terlunta-lunta hidup sebagai backpacker, bertemu dengan orang yang tak terduga, dan menikmati panorama menakjubkan di setiap negara. Di sela-sela perjalanan mereka, diceritakan juga upaya Andrea untuk menuntaskan misi sampingannya: menemukan gadis pujaannya saat di kampung yang entah di mana, A Ling. Berdasarkan informasi yang diperolehnya di internet, di setiap titik pada satu negara yang diindikasikan sebagai tempat hidup gadis itu, akan dieceknya. Namun tak pernah berhasil. A Ling yang ditemuninya hanyalah nama jalan, orang tua, juga nama sebuah minuman keras.

Setelah sampai pada pada deadline, sesuai kesepakatan, para petualang itu bertemu di Kafe Nou Camp, Spanyol. Penjurian pun dilakukan tentang siapa yang menang, serta siapa kalah. Akhirnya, Gonzales dan MVRC Manooj menjadi tim harus menerima hukuman sebab paling sedikit melintasi negara. Sedangkan Andrea dan Arai dinobatkan sebagai pemenang. Mereka berhasil melintas banyak negara di Eropa, hingga Afrika. Menginjakkan kaki hingga di Zaire.

Setelah petualangan mereka berakhir, dan mereka kembali menjalani rutinitasnya sebagai mahasiswa, kabar butuk tentang Arai, datang. Ia terserang penyakit paru-paru yang mengharuskannya kembali ke Indonesia untuk sementara waktu. Merasa kesepian tanpa teman di negeri orang, Andrea pun bertekad menyeselasikan studinya segera. Tapi hambatan baru datang. Profesor Hopkins Turnbull, supervisor tesisnya, keburu pensiun. Demi tesisnya, Andrea akhirnya terpaksa mengmbil exchange program untuk pindah ke Sheffield Hallam University, Inggris. 

Pada akhir penceritaan, di Inggris, Andrea teringat kembali tentang A Ling. Itu karena tentang cerita sebuah desa yang indah dalam sebuah novel berjudul Seandainya Mereka Bisa Bicara karya Herriot yang diberikan A Ling untuknya. Kenangan tentang A Ling tiba-tiba menggugahnya kala Andrea benar-benar menemukan desa khayalannya dalam novel yang senantiasa dibacanya untuk mengobati kerinduan pada A Ling itu. Ia seperti de javu. Desa itu bernama Edensor. Sangat indah. Nama desa itulah yang dijadikan judul novel Penulis kali ini. Ya, Edensor.

Demikianlah ulasan singkat tentang cerita dalam novel Edensor. Tentu hanya sebuah ulasan sekilas, sehingga pasti tak semenarik jika membacanya sendiri langsung. Mengulas secara runut kata per kata. Namun sebagai catatan, membaca novel Edensor ini butuh pengingatan yang mendalam. Ada banyak tokoh cerita yang dilibatkan Penulis. Salah satu keunggulan tersendiri tentunya. Tapi bagi pembaca yang tak jeli, itu bisa saja menimbulkan kebingungan, sehingga tak bisa mengingat jalan cerita kehidupan setiap tokoh yang dikisahkan secara selang seling. Selain itu, banyaknya tokoh dalam cerita dapat saja menimbulkan kesan pembaca bahwa ada beberapa tokoh yang tak berkarakter kuat dalam cerita. Hanya sebagai pelengkap. Tapi tentu, Penulis telah menjawab permasalahan itu dengan membuat satu konstruksi cerita, sehingga terbaca bahwa tokoh-tokoh itu selalu berkaitan dengan kehidupan tokoh utama. 

Dalam novel ini, juga terdapat beberapa ilustrasi, foto monumen penting, dan peta perjalanan tokoh utama. Hal tersebut dapat membantu pembaca untuk mudah memahami jalan cerita. Namun keadaan tersebut, untuk sebagian pembaca, bisa saja dianggap malah menghilangkan bayangan imajinatif yang dikonstruksikannya sendiri melalui kata-kata yang dirangkai penulis. Tapi tentu, dengan ruang lingkup penceritaan yang luas (penceritaannya yang pindah-pindah lokasi di beberapa negara), elemen-elemen tersebut sangat membantu pembaca memahami cerita. 

Akhirnya, membaca novel Edensor akan membawa imajinasi kita melanglang buana. Kita dibawa berjalan-jalan melalui cerita. Penulis yang telah mempuni, terbukti dengan penghargaan skala internasional yang diraihnya, mampu menceritakan perjalanan setiap tokoh, terutama tokoh utama, dengan penceritaan menarik, ringkas, dan jelas. Di setiap perjalanan tokoh utama itulah, banyak pelajaran dan pengetahuan baru yang pembaca dapat peroleh. Tentang bagaimana pola kehidupan bangsa di sebuah negara, serta apa yang perlu dilakukan jika suatu waktu pembaca berkeinginan untuk menjelajahi belahan dunia. Sebuah bekal berharga yang patut dibaca oleh orang yang berniat menjadi backpacker.

Novel Edensor mengajarkan kita betapa berharganya memperoleh pelajaran hidup dari pengalaman sendiri. Bahwa sekadar membaca pengalaman orang lain, tentu tak seberkesan dan seberharga jika kita mengalaminya secara langsung. Pelajaran paling bernilai ada dalam pengalaman, pesannya. Menggelitik kita bahwa dunia terlalu luas untuk sekadar mengurung diri di satu titik. Berpetualang itu sangat mengasyikkan. Dengan membaca ceritanya dari awal hingga akhir, akan memberikan penegasan bahwa tak ada mimpi yang mustahil, selama kita berani bermimpi, berani mengambil keputusan, dan terus melangkah. Jelajahilah bumi!

Jumat, 11 Desember 2015

Belajarlah Memaafkan

Setiap orang pasti pernah merasa kecewa karena sesuatu. Kesal, hingga benci. Apakah reaksinya adalah mencari jalan perdamaian atau terus menumpuk perasaan buruk itu, adalah pilihan setiap individu. Jika akhirnya seseorang tak mampu berdamai dengan perasaannya sendiri, maka benci itu dapat berubah jadi dendam. Wujud benci hanyalah dengan menampakkan ketidaksukaan terhadap seseorang, hingga berusaha menghindarinya. Tapi saat berubah menjadi dendam, muncullah keinginan agar orang yang didendami itu ditimpa malapetaka. Menggebu tekad untuk menimpakan kekejian pada orang lain.

Jika perasaan dendam telah berakar dalam hati, maka semakin sulitlah mencabutnya dengan maaf. Tidak salah kata orang-orang bahwa meminta maaf lebih mudah ketimbang memaafkan secara tulus. Bisa saja, permintaan maaf diterima melalui balasan kata-kata, tapi sumpah serapah masih menggaung di dalam hati. Bersemayam dan sulit dihilangkan. Setiap waktu, bahkan dengan cara-cara menggelikan, jiwa-jiwa yang dendam akan meminta Tuhan untuk membalaskan dendamnya. Jadilah semuanya benar-benar gelap. Sebab sumber segala kebaikan juga dilibatkannya dalam keburukan hatinya. Hilanglah harapan menuju pencerahan.

Jiwa-jiwa pendendam sulit melihat kebaikan. Semua hal dinilai buruk baginya. Menerima permintaan maaf orang lain dianggap menghinakan dirinya sendiri. Seperti mengecut yang mengakui kekalahan sebelum bertarung. Sangat memalukan dipikirnya. Sebagaimana pun kebaikan berusaha menggugahnya, sia-sia saja. Pembalasan baginya adalah harga mati. Seiring waktu, hati nuraninya bak tertutup kabut keburukan. Gelap gulita karena dendam. Jadilah ia pecandu. Selalu ingin melihat orang yang didendami merasakan nestapa berulang kali. Tanpa batas. Keinginannya di awal untuk sekadar memberikan nestapa yang seimbang, tak dipedulikan lagi. Derita orang lain menjadi sebab kebahagiaan bagi jiwa-jiwa pendendam.

Tanpa disadari para jiwa pendendam, hidupnya menjadi serupa di neraka. Bertabur keburukan. Petaka-petaka menghujaminya bertubi-tubi. Tapi ia tak merasa. Seperti gila. Yakin orang lain yang didemdami jera akibat perilakunya. Nyatanya berbalik. Ialah yang sesungguhnya menanggung derita setiap waktu akibat ketidakmampuannya berdamai dengan dirinya sendiri. Kelewat batas, hingga tak sadar bahwa jiwanya mengidap penyakit akut: ketidakwarasan. Orang lain malah tak merasa terusik dengan sikap dendamnya yang membatin. Sesungguhnya, jiwa pendendam tak menyadari bahwa dendam sesungguhnya adalah urusan diri sendiri. Tak ada urusan dengan orang lain. Ketidaksenangan terhadap orang lain, hanyalah akibat persepsi yang salah. Hanya melihat keburukan orang lain, tanpa sedikitpun tergugah dengan kebaikan yang  pernah ia terima. Buta hati. Padahal, jika ada alasan membenci, pasti ada alasan mencintai.

Dendam akan selalu berujung petaka. Seperti kisah menarik yang dituliskan Habiburrahman El Shirazy dalam buku kumpulan cerita pendek inspiratifnya berjudul Ketika Cinta Berbuah Surga. Pada salah satu ceritanya berjudul Karena Dendam Pada Serigala, dikisahkanlah seorang Kakek dan Cucunya yang hidup di kaki Gunung Slamet sebagai petani. Pada satu subuh, serigala melahap ayam peliharaan mereka di kandang. Mereka memakluminya untuk sekali itu. Akhirnya serigala itu melahap ayam mereka di kandang untuk kedua kalinya. Geramlah mereka. Tak mau terjadi ketiga kalinya, Sang Kakek pun membuat sebuah perangkap. Nyata saja, di satu subuh, terkurunglah seekor serigala dalam perangkap. Demi mengimpaskan perasaan dendamnya, Sang Kakek pun memilinkan kain di ekor serigala, menyiramkan gas pada kain itu, lalu membakarnya. Spontan saja, serigala itu lari terbirit-birit ke persawahan untuk mencari kubangan air. Namun karena padi telah menguning dan siap panen, sawah kering. Serigala pun menyeret ekornya di petak sawah Sang Kakek ke sana-ke mari. Terjadilah petaka. Sawahnya yang siap panen seminggu lagi, kini terbakar. Kakek itu pun menyesal. 

Ada sebuah pelajaran berharga yang dapat dipetik dari cerita di atas, bahwa menuruti dendam akan berujung pada penyesalan yang tertinggalkan kata maaf. Menyesali dendam kala kesempatan untuk saling memaafkan benar-benar tiada. Juga bahwa membalas sesuatu yang dinilai memberikan keburukan kepada kita, dengan keburukan juga (baca: balas dendam), bukanlah jalan bijak. Yakinlah, sikap itu malah menimbukan petaka bagi diri sendiri. Sudah sepantasnya kita saling memaafkan dan tak saling mendendam. Bukan untuk kebaikan orang lain saja, tetapi demi kebaikan diri kita sendiri. Mari saling memaafkan.