Begitu
berdosanya aku padamu, Kakak. Jika kata dan perbuatan jahanamku tak kau
maafkan di setiap detikmu, pastilah siksaan pedih kudapatkan di hari kemudian. Syukurlah,
waktu membawaku pada kedewasaan. Mengingatkan bertapa kurang ajarnya aku di
waktu-waktu lampau. Menyadarkan untuk berhenti berperilaku bodoh dan membantah
nasihat Kakak. Ingin rasanya bersujud dan meminta maaf padamu, Kakak. Tapi
semua akan terasa ganjil. Terkesan lebay. Di keluarga kecil kita, kata-kata
maaf hanya terucap di hari lebaran. Lepas itu, kita akan menjalani hidup
seperti biasa. Menganggap saling memaafkan tanpa diminta. Akhirnya, jika aku
lepas kontrol, terlupa, tutur kata dan tindakanku pun kembali menyakitimu.
Kuduga begitu.
Kini,
aku benar-benar tobat. Kuakui, kelakuanku dahulu membuktikan kalau aku bukanlah
adik yang baik. Aku suka melakukan kebalikan dari perintah Kakak. Malas memanggil
Kakak dengan nama lengkap yang indah, Nur Febrianti, atau Nur saja. Lebih suka menyebut
kata ganti hina untuk nama Kakak: pincang, keong, atau suster ngesot. Memang benar, tapi tak
selayaknya. Cara Kakak berjalan memang tidak normal. Menyeret kaki. Sejak 10 tahun lalu Kakak pincang. Saat kusadari cara berjalan Kakak tak senormal
orang lain, kujadikan itu bahan ejekan. Kurang ajar benar aku. Kuharap waktu cukup
untukku membalas Kakak dengan kebaikan.
Dahulu,
Ayah sering marah atas tingkah nakalku. Geram kala mendengar aku memanggil
Kakak dengan gelar tak layak. Tapi aku tak berhenti menabuh genderang perang.
Kakak kuanggap sok-sok jadi ibu yang banyak mengatur. Kekanak-kanakannya aku
waktu itu. Meski Ayah berulang kali berujar kalau cacat Kakak karena salah aku
juga, akibat kebandelanku waktu masih berumur empat tahun, aku tak peduli. Lagian,
aku tak ingat kejadiannya. Samar-samar. Seperti mencoba merangkai sempurna kepingan
pecahan kaca yang dilindas buldoser. Mustahil. Karena itu juga, aku tak terlalu
tersentuh melihat keadaan Kakak.
Di
umurku yang keempat belas tahun inilah, aku mulai sadar tentang harga diri,
tentang daya tarik kepada lawan jenis. Betapa beruntungnya dianugrahi bentuk dan
fungsi fisik yang normal. Tak sepantasnyalah mengejek orang yang tak sempurna
secara fisik, apalagi jika berumur lebih tua. Aku harus bersikap sepatutnya. Terlebih,
mungkin karena ketidaknormalan fisik itu, di usia Kakak yang 29 tahun, tak
seorang lelaki pun yang sudi mendekat. Aku mulai kasihan pada Kakak yang kini tampak
seperti janda beranak satu. Apalagi kita hanya hidup bertiga di rumah. Pasti banyak
orang mengira Kakak adalah Ibuku, dan Ayah adalah suami Kakak.
Dari
Ayahlah aku tahu, Kakak sangat menyayangiku semasa kecil. Kakak begitu tak
sabaran dihadiahi seorang adik setelah sekian lama menanti. Karena itu, setelah
lahir, Kakak rela menemaniku bermain dan menuruti semua permintaanku. Namun kebahagiaan
atas kehadiranku tak berlangsung lama. Ibu meninggal sejak umurku dua tahun. Kakak
pun terpaksa bertindak layaknya seorang ibu. Mengurusi bayi dengan remeh-temehnya.
Menggantikan kasih sayang Ibu yang tak kutahu wajahnya andai tak kulihat foto
jadulnya. Tapi wajah Ibu serupa Kakak, kata Ayah. Aku jadi suka memandang wajah
Kakak dan mengimajinasikan wajah Ibu.
Ayah
pun pernah menceritakan sebuah peristiwa 14 tahun lalu. Tentang sejarah
kepincangan Kakak. Terasa sangat menyentuhku saat ini. Umur Kakak waktu itu 19
tahun, sedangkan aku 4 tahun. Aku adalah anak kecil yang banyak pintanya. Jadinya,
aku bak seorang majikan bagi Kakak yang layaknya pesuruh. Ironis. Dari cerita Ayah itu, nyata sudah bahwa kepincangan Kakak adalah buah permintaanku yang tak
seharusnya dihiraukan.
Semua
karena kecerobohanku melepas tali balon yang kugenggaman. Balon itu pun tersangkut
di daun kelapa. Aku merengek dan menangis sejadi-jadinya. Kakak yang begitu
menyayangiku tak pikir panjang untuk segera memanjat pohon kelapa setinggi 11
meter itu. Benar-benar perempuan berani dan penyayang. Hingga akhirnya, di
puncak pohon kelapa, kaki Kakak terpeleset, lepas pegangan, dan akhirnya terjatuh
tepat menumpu di batu cadas. Kata Ayah, aku sontak berhenti menangisi balonku
pada waktu itu, lalu lanjut bermain. Tak berperasaan. Padahal tulang paha kaki kanan Kakak patah. Sungguh kurang ajar.
***
“Medusa,
selepas dari sekolah, pulang cepat. Bantu Ayah panen kelapa. Jangan main terus. Kau sudah besar,” perintah
Kakak sebelum aku berangkat sekolah. Aku sekarang kelas 2 SMP. Kakak memang kadang
iseng memanggilku medusa, si wanita berkepala ular dalam mitologi Yunani, karena rambutku kriting.
“Siap
Nyonya Besar yang manis!” balasku pada Kakak yang semakin gemuk.
Begitulah
cara kita mencairkan suasana. Kutahu, dalam hati, kita saling menyayangi dengan
cara itu.
Aku
lalu berjalan kaki menuju sekolah sambil berlindung di bawah payung reyot karena
hujan. Jarak tempuhku hanya 100 meter dari rumah. Kali ini, aku tak
menggunakan tas anyaman rotan buatan Kakak. Buku kubungkus dalam kantong
plastik. Lebih aman. Aku tak ingin buku-bukuku sampai basah. Aku tak peduli
tentang mode dan cemoohan teman-temanku. Tak ada gunanya bergaya. Tak perlu gengsi
dalam berpenampilan. Sederhana itu menenangkan. Aku tak akan menuntut Ayah dan
Kakak tentang segala macam keinginan yang tak terbatas. Apalagi keluarga kita memang
sangat sederhana. Kuduga, mungkin karena itu juga, orang tua kita hanya merencanakan
punya dua anak: aku dan Kakak.
Ayah
hanyalah pemanjat dan pengupas kelapa. Kelapa itu akan dikeringkan menjadi
kopra. Itupun kelapa tetangga. Keluarga kita tak punya kebun. Dengan pekerjaannya itu,
Ayah hanya digaji seadanya berdasarkan hitungan buah kelapa yang sampai
terkupas. Rp. 500 per satu buah kelapa. Biasanya, Ayah dapat upah Rp. 100
ribu dalam sehari. Sepulang dari memetik kelapa, Ayah akan membawa pulang daun
kelapa yang akan dianyam Kakak di rumah. Hasil anyaman Kakak selanjutnya dijual
ke pengusaha warung makan. Untungnya hanya sedikit. Hanya dihargai Rp. 500 per empat
cangkang ketupat. Itupun tergantung pesanan dari pemilik warung. Tak setiap
hari.
Melihat
keadaan keuangan keluarga dan kebutuhanku yang semakin meningkat, aku bertekad
bekerja. Aku tak tega kalian terus-terusan banting tulang untukku. Sudah cukup selama
ini aku begitu dimanjakan. Caranya, secara diam-diam, kuputuskan menjadi kuli
panggul di pelabuhan. Pekerjaannya berat. Tapi, untungnya menggiurkan. Akhirnya,
di setiap hari libur sekolah, kuhabiskan hariku di bawah terik matahari dan
kepungan debu, di pelabuhan. Segala macam barang dengan berat yang menyesakkan,
kupikul saat kapal melakukan bongar muat. Bahkan jika sedang bernafsu memperoleh
keuntungan berlebih, aku akan ke pelabuhan sepulang sekolah. Tak mungkinlah kuabaikan
kewajiban sebagai siswa. Takut nilai raporku anjlok, hingga Ayah dan Kakak curiga
padaku.
Senangnya.
Aku mendapat penghasilan yang menggembirakan. Hampir sebanding jika penghasilan
Ayah dan Kakak digabungkan. Aku pun membagi tiga peruntukan upahku: kugunakan
untuk kebutuhanku sehari-hari, kutabung untuk masa depanku, dan kuberikan pada
Kakaku secara diam-diam. Kutahu tempat Kakak menyembunyikan celengan. Secara
rahasia, aku menyisipkan sepertiga penghasilanku ke dalamnya. Aku berharap,
dengan uang itu, Kakak belajar mempercantik diri, sehingga suatu saat ada
lelaki yang bersedia menikahi. Terlebih, kutahu ada keinginan Kakak untuk membeli
sesuatu yang berharga. Sudah lama Kakak mengutarakannya.
“Bos
Beni, tadi aku jalan-jalan ke pasar, ada sesuatu yang sangat ingin aku beli. Andai
aku punya penghasilan lebih, pasti akan kubeli,” tutur Kakak tempo hari.
“Memangnya
Nyonya Tua mau beli apa?” tanyaku.
“Tak
usah kau tahu. Yang pasti, kau tak akan keberatan,” tutur Kakak, sambil merekahkan
senyum ke atas, ke arah plafon rumah yang dirembesi air hujan karena bocor. Ekpresi Kakak
menyiratkan harapan yang begitu besar.
***
Hari
ini, adalah hari libur. Tanggal 17 Agustus. Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan
RI. Tak ada upacara bagiku kali ini. Aku tak mengikuti seleksi paskibraka untuk
pengibaran bendera. Bukan berarti aku tak punya potensi untuk diloloskan.
Postur tubuh dan kemampuanku tak bisa diragukan. Namun aku tak ingin waktuku
habis untuk latihan baris-berbaris. Lebih kupilih melewatkan hari-hariku dengan
mengais rezeki di pelabuhan. Mengumpulkan uang untuk membuat masa depanku lebih
terjamin. Aku ingin bersekolah dan benar-benar jadi orang yang merdeka. Aku
ingin membahagiakan Ayah dan Kakak.
Setelah
seharian mondar-mandir pontang-panting banting tulang untuk mindahkan barang
segala rupa di pelabuhan, waktunya aku pulang ke rumah sebab malam hampir menggelapkan
bumi. Aku tak ingin Ayah dan Kakak khawatir jika aku pulang terlambat. Aku
ingin segera sampai di rumah. Kutahu, jika sore begini, Ayah pasti masih sibuk
mengurusi kambing orang lain yang dipeliharanya di kandang. Kakak juga pasti
sedang memetik dan menyerut daun singkong untuk jadi sayur di santap malam.
Dengan begitu, seperti biasa, aku akan menyusup ke kamar Kakak, lalu
menyusupkan uang penghasilanku ke dalam celengan Kakak yang ditaruh di atas
lemari. Hari ini, aku memberikan semua penghasilanku dalam sehari untuk Kakak. Rp.
300 ribu. Aku ingin Kakak segera membeli sesuatu yang sangat diidamkan selama
ini. Entah apa.
“Dari
mana lagi Tuan Dekil. Tambah hitam saja kau belakangan ini. Mengaku-ngaku artis
di sekolah. Mana mungkin kalau penampakanmu kumal begitu. Pergi sana mandi. Ingat,
jangan cuma sekali basuhan. Mandilah yang benar. Pakai sabun dan sampo. Cepat
sebelum gelap. Aku punya sesuatu untukmu nanti,” gerutu Kakak. Aku selalu suka cara bertutur Kakak. Selalu disisipi humor. Sangat menyenangkan. Karena itu juga, aku
tak tahu kapan Kakak ingin dianggap serius atau bercanda.
“Ok
Nyonya Besar,” balasku lalu bergegas menaiki anak tangga, memasuki rumah
panggung kita yang terbuat dari kombinasi kayu dan anyaman rotan. Aku ingin
segera menyusupkan uang penghasilanku ke dalam celengan Kakak.
Sesampainya
di titik yang kutuju, di kamar Kakak, kujulurkan tanganku ke puncak lemari.
Tapi celengan itu telah tiada. Kupastikan kalau Kakak telah mengabilnya dan membeli
sesuatu yang diidamkan Kakak selama ini. Pasti Kakak ingin memamerkannya malam nanti.
Benar
saja, selepas makan malam, Kakak segera menuju ke dalam kamar. Kudengar
sebuah gesekan pada tikar. Kuterka, Kakak pasti menyeret sebuah barang dari bawah
kasur. Akhirnya, Kakak pun menucul di balik tirai pintu, sambil menenteng
sebuah kardus kecil. Di kardus, tercetak besar sebuah merek tas terkenal yang
pernah kulihat di tas temanku, anak seorang direktur perusahaan. Entahlah apa
isinya. Selama ini, kardus di rumah hanya diisi kala ingin berkirim barang
dengan keluarga di tempat lain.
“Coba
Bos Beni buka. Mudah-mudahan Bos juga menyukainya,” tutur Kakak, sambil
menyodorkan kardus itu padaku.
Kardusnya
ringan. Tak tercium aroma aneh untuk mencap itu adalah kiriman bahan makanan dari
pamanku lagi. Tak ada juga tulisan nama pengirim dan tertuju barang. Pun, tak ada
plester di sana-sini. Malahan, baunya seperti kardus yang baru saja keluar dari
toko. Tampak seperti kadus baru. Demi melenyapkan rasa penasaran, kubukalah
perlahan. Ternyata kardus itu berisi tas baru yang semerek punya teman
sekelasku.
“Pakailah
ke sekolah. Tak perlu lagi kau menyelempang tas anyaman Kakak yang seharusnya
sudah pensiun itu,” tutur Kakak semasih aku keheranan. Terkejut. Tak menyangka
Kakak akan membelikan tas semewah itu untukku. “Bukumu pasti tak kebasahan.
Kainnya tak tembus air. Ini juga ada pembungkusnya agar lebih aman,” tambah Kakak,
sambil mempraktikkan cara membungkus tas dengan kain sampingan itu. Bak
pragawati yang berusaha meyakinkan calon konsumen.
Aku
lalu berdiri dan mengetes tas baruku. “Haha. Terima kasih Kak. Aku suka. Tapi seharusnya
Kakak tak perlu susah payah cari uang hanya untuk membelikanku sebuah tas
seberharga ini. Aku tetap senang kok memakai tas anyaman Kakak. Saatnyalah
Kakak membeli sesuatu untuk kesenangan Kakak sendiri,” balasku serius. Untuk
saat ini, aku tak kuasa membalas dengan kata ganti nama Kakak yang aneh-aneh.
Aku benar-benar tersentuh.
“Tak
usah merasa tak enak Nak. Dengan tas itu, Kakak kamu hanya ingin kau sekolah
benar-benar, hingga cita-citamu tercapai." Ayah yang bersandar di dinding
bersuara. Ia nampak semringah. “Terimalah Bos Beni,” candanya.
Aku
tak bisa berkata apa-apa lagi. Benar-benar mengharukan. Ternyata kerja keras Kakak
selama ini hanya untuk membelikan sesuatu untukku. Kutahu jelas perjuangan Kakak menabung
beberapa bulan terakhir sangat luar biasa. Kakak jadi tak mengurusi diri
sendiri. Tak ada peralatan tata rias yang baru. Akhirnya kuniatkan memakai tas
baru itu ke sekolah di musim hujan ini. Tas yang dibeli dengan uang yang
sebagian dari hasil jerih payahku, yang tentu tak diketahui siapa pun. Aku ingin
Kakak bahagia melihatku berlalu menuju ke sekolah, sambil memunggungi tas
hadiah Kakak itu.
Beberapa
menit berselang, kupandangi lagi tas anyaman Kakak yang tergantung di dinding
rumah. Aku tersentuh melihatnya. Ada kesan tak ternilai yang membuatku akan sulit mengabaikannya. “Terima kasih atas hadiahnya Kak. Aku tak tahu bagaimana cara
membalasnya,” tuturku. “Tapi Kak, boleh kan, jika di musim kemarau nanti, aku
sesekali memakai tas anyaman itu. Suatu saat, aku pasti rindu memakainya.”
Kakak
hanya tersenyum, lalu mengangguk.