Keadaan
hidupku berubah total semenjak aku meninggalkan rumah Nenek di kampung yang
serupa gubuk untuk menetap di kota bersama ibuku. Aku jadi bak raja di sebuah
istana. Hidupku serba berkecukupan. Tak perlu lagi aku sungkan dan berhemat
soal makanan yang merupakan kebutuhan pokok. Tak perlu lagi aku menegangkan
otot dan menitihkan keringat untuk mengurus ladang dan ternak. Hingga setiap
malam, kasur busa yang empuk mengantarku ke dalam mimpi untuk menyambut hari
esok tanpa beban.
Dahulu,
kala masih hidup bersama Nenek, aku benar-benar serasa jadi buruh yang tertindas.
Seluruh waktuku habis untuk merawat sayur-mayur di ladang, juga mengurus
kawanan ayam yang tak seberapa. Ketika letihku belum sirna dipanggang terik
matahari, aku pun harus menyelesaikan pekerjaan rumah yang tak ada habis-habisnya.
Dan untuk semua itu, aku tak mendapatkan upah apa-apa. Pun, masa kanak-kanakku berlalu
tanpa keceriaan dan kepolosan yang patut kukenang.
Kini,
keadaan sungguh berbeda. Aku hidup bersama Ibu yang memiliki segala daya untuk
menghindarkan aku dari beban pekerjaan yang menyiksa. Ia memiliki harta yang
lebih dari cukup untuk memenuhi keinginanku setiap waktu. Ia mempunyai
benda-benda canggih untuk mempermudah pekerjaanku sehari-hari, juga barang-barang
mewah yang patut kubanggakan. Ia menguasai segenap materi yang mungkin hanya
bunga tidur bagi Nenek.
Jika
kuingat-ingat lagi perbedaan kondisi hidupku dalam dua ruang yang berbeda itu,
kadang kala timbul rasa sesal dalam diriku pada kehidupan bersama Nenek. Tapi
seketika dalam sadarku, terobatilah sesal itu dengan kesenangan hidup bersama
Ibu. Namun jika kuresapi lagi cerita lalu bersama Nenek, sebenarnya aku tak
sampai hati mengutuknya. Paling tidak, ia telah menjadi teman hidupku dalam
waktu yang lama. Dahulu, ia mengiringiku ke sekolah dengan berjalan kaki, memberiku
uang jajan alakadarnya, atau menyampaikan jawaban asal atas tugas-tugas
sekolahku.
Dan
kupandang-pandang lagi foto Nenek yang terpampang di dinding rumah. Perlahan,
timbul juga rinduku pada ia yang kini hidup menyendiri setelah menjanda selama
30 tahun lebih. Wajah mudanya di foto memang masih tampak cantik seperti
anaknya, ibuku. Tapi kuduga, di tempat yang jauh di sana, ia semakin tua dan
merenta. Raganya akan semakin lapuk dirajam waktu sepanjang 60 tahun
kehidupannya. Pun, ketahanan tubuhnya jadi porak-poranda diterpa beban hidup yang
berat.
Tapi
dugaanku kalau raga Nenek semakin tak bisa diandalkan, bukan berarti bahwa
jiwanya pun akan lemah terkulai. Aku tahu ia sosok berjiwa tangguh yang tak mau
memperturut kemalasannya cuma karena alasan fisik. Ia adalah orang yang rela
mengabaikan hias-hias dunia dan rias-rias wajah demi mencari rezeki halal yang
cukup dari kebun dan ternak. Dan mungkin kepribadiannya itulah yang membuat
parasnya semakin tak menarik, sampai harus menjanda begitu lama. Tapi kini, itu
pulalah membuatku kagum padanya.
Kupastikan
sudah, pada ketangguhan hidup Nenek, aku belajar dan terdidik menjadi seorang
lelaki yang mandiri dan tak suka bermanja-manja. Meski kehidupanku sekarang
serba ada dan serba bisa, aku masih suka melakukan pekerjaan semampuku, tanpa
harus memasrahkan semuanya pada uang dengan membeli jasa orang lain, semisal
menyewa pembantu ruamh tangga. Aku suka mencuci piring dan pakaian, membersihkan
rumah dan halaman, hingga berbelanja dan memasak. Semua itu kurasa tak seberapa
dibanding beban kerjaku di ladang dahulu.
Kuingat
lagi nasihat Nenek setiap kali aku kesal dan ogah-ogahan melihat tanaman di
ladang mati meranggas, atau ketika ternak ayam hilang satu per satu, “Jangan
menyerah untuk bekerja. Bagaimana pun hasilnya, selama itu hasil kerja keras
kita sendiri, pasti akan menuai berkah. Iklaslah! Tak boleh mengeluh untuk
pekerjaan yang halal dan bermartabat!”
Sampai
akhirnya, kukenang lagi hari terakhir bersama Nenek. Satu hari saat aku harus
meninggalkannya untuk pergi pada ibuku yang tidak begitu kukenal. Aku harus
berpisah dengan Nenek yang telah menemaniku sampai tamat sekolah, lalu hidup
bersama Ibu yang hanya mengunjungiku sekali-kali.
“Abi,
besok kau akan berangkat ke kota. Sudah saatnya kau hidup bersama Ibumu. Di
sana, kau akan hidup enak dan bahagia,” kata Nenek di hari perpisahan itu, di
satu sore, saat kami tengah duduk di pelataran depan rumah, sembari menaburkan
biji jagung pada kawanan ayam yang tak seberapa. “Kalau selama ini aku telah
membuat hidupmu penuh beban dan kesengsaraan, maafkanlah. Ambil saja hikmahnya.”
“Tapi…,”
kataku, bimbang. “Tapi, Nenek ikut kan?”
Nenek
melepas batuknya yang kering, kemudian menggeleng. “Aku sebaiknya di sini saja. Siapa yang akan
mengurus ladang dan ternak kalau aku pergi?” katanya, sambil mengusap-usap
punggungku. “Sampaikan saja salamku pada Ibumu.”
Setelah
bercengkerama dan melepas rindu dengan Nenek lewat foto, kurebahkanlah badanku
di sofa yang empuk. Kupadangi langit-langit ruangan, dan berdoa agar ia baik-baik saja di sana, di sebuah rumah
panggung yang beratap jerami dan berdinding-beralas bambu, seorang diri.
Dan
malam ini, seperti biasa, aku sendiri saja di rumah megah Ibu yang lengang. Tak
ada siapa-siapa sebab aku tak punya saudara, dan ibu tak menikah lagi setelah
Ayah meninggal ketika aku masih dalam gendongan. Ibu sendiri, selalu sibuk dan
acapkali keluar rumah untuk urusan pekerjaan, bahkan di malam hari, di hari
libur juga.
Aku
tak tahu pasti apa pekerjaan Ibu sampai sesibuk itu. Dahulu, pernah sesekali
aku tanyakan padanya, dan ia berkata tengah bekerja di sebuah perusahaan, tanpa
menjelaskan jenis pekerjaannya secara detail. Katanya, aku tak akan mengerti
soal kerja-kerjanya. Dan setelah itu, aku tak ingin menanyainya lagi. Yang
pasti, kuterka, ia adalah seorang bos besar. Paling tidak, aku selalu melihat
ia keluar dengan dandanan yang apik dan pakaian modis.
Setelah
puas mengenang perubahan hidupku yang drastis di antara masa lalu dan masa kini,
tiba-tiba, kebosanan datang menyerangku. Tapi rasa suntuk dalam kesendirian,
tak akan menghujam perasaanku sepanjang malam ini. Aku telah mengikat janji
dengan Alim, seorang temanku, anak seorang direktur perusahaan, untuk
melanglang sepanjang jalan kota, menuju pementasan musik yang meriah.
Jam
8 malam. Sisa 15 menit pementasan akan dimulai. Sudah seharusnya ia datang
menjemputku.
“Abi,
keluar cepat! Konsernya sudah mau mulai!” teriak Alim dari luar halaman rumah
Ibu yang luas dan asri.
Tanpa
berlama-lama, aku yang sedari tadi siap-sedia, bergegas keluar dan
menghampirinya.
Tanpa
basa-basi pula, Suasa motor gede Alim menderu. Ia langsung tancap gas,
melintasi lalu lintas kota yang padat.
Hingga akhirnya,
sampailah kami di antara kerumunan para penikmat musik. Dua lagu, harus kami
relakan berlalu. Tapi keterlambatan itu, malah semakin menggugah hasratku
untuk menghempaskan rasa-rasa sepiku yang menempel di dinding hati akibat
kesendirian di rumah sepanjang hari kemarin. Aku pun turut melantunkan lagu sebagaimana
vokalis, bersorak dan berjingkrak, berseru-seruan dengan Alim dan entah
siapa-siapa yang lain
Tapi
seperti juga nelangsa yang akan berakhir, kegembiraan pun demikian. Usai juga konser musik yang telah menyemarakkan perasaanku dalam waktu yang singkat.
Hingga seiring perjalanan malam, kebisingan kota pun, mulai mereda secara perlahan. Dan kembali, aku harus pulang ke rumah menemui diriku sendiri, tanpa sambutan Ibu yang mungkin akan
tiba di rumah lewat tengah malam, seperti biasanya.
Di
tengah perjalanan pulang, ketika kehampaan perlahan kembali, lagi-lagi, kesal
bertandang saat tengah melawan angkuhnya kota. Jalanan macet, polusi udara, suara bising
tak beraturan, dan semua orang yang tak saling mengerti. Amarah terpendam pun jadi ingin kuluruhkan segera sesampainya di rumah.
Tak
cukup dengan itu. Di setiap lampu merah, perjalan pulang jadi semakin
menyesakkan dengan kehadiran para gelandangan yang mengklaim jalan raya sebagai
rumah sekaligus lahan pencarian rezeki bagi mereka. Ada yang sekadar mengemis
dengan pakaian yang memprihatinkan sambil memampang wajah murung dan
suara memelas. Ada pula yang mengamen sembari mendecingkan kencrengan,
kemudian menagih imbalan dengan mimik memaksa untuk suara mereka yang cempreng
dan tak bernada.
Sialnya,
sebagaimana sesi keberangkatan, kami harus melalui empat lampu lalu pintas.
Kami harus rela terhenti di tengah kendaraan yang entah dari-mana-ke-mana, juga
dikepung para pengembara jalanan yang mendamba receh. Tapi setelah bersabar,
bersyukur pula kemudian. Kami akhirnya terhenti di depan lampu lalu
lintas yang terakhir. Terhenti di sisi tengah gerombolan kendaraan yang
berhenti dan menumpuk.
Lagi-lagi,
tanpa diundang, para pengamen dan pengemis pun datang menghampiri kami, silih
berganti. Mereka mengedarkan celengan sambil berharap lampu merah bersinar lama, sedang kami berharap
sebaliknya. Sebisa mungkin, aku tak
bersetatap dan melayangkan senyuman, sebab itu bisa mereka tafsir sebagai
undangan. Jadi, kulemparkanlah pendanganku ke arah yang jauh, ke sisi depan.
Sampai
akhirnya, mataku terpaku pada seseorang perempuan yang tengah melintas di atas
garis penyeberangan, di depan kerumunan kendaraan yang tak sabar untuk melaju, sambil menghampiri pengendara yang tampak cuek, satu per satu. Perempuan
itu tampak kumal dengan pakaian yang kisut dan bernoda. Ia menyelempang
sebuah sarung batik, tempat seorang bayi mungil tertidur. Sebuah
sarung yang bermotif sama dengan sarung yang pernah kulihat dilipat Ibu, yang kemudian ia masukkan ke dalam tasnya.
Dengan sungguh-sungguh, aku berusaha menyalahkan cara mataku mengindrai.
Tapi berkas-berkas di memoriku, malah membenarkannya kenyataan itu. Dan sepenuh jiwaku pun jadi yakin kala perempuan itu berbalik ke arah kerumunan pengemudi
yang beramai-ramai menyembunyikan klakson setelah lampu hijau menyala, tapi perempuan
itu tak juga menepi; aku melihat jelas wajahnya, dan aku mengenalnya.
Seketika,
pupuslah rasa banggaku pada Ibu. Dia memang pekerja, tapi tak setangguh Nenek. Dia
memang tabah, tapi tak setulus Nenek. Dia memang kaya, tapi tak semulia Nenek. Ibu
dan Nenek, jauh berbeda.
Kini, hatiku merintih, “Nenek, aku malu pada Ibu.
Aku benci pada Ibu. Aku ingin pulang padamu, Nenek.”