Sungguh
tak nyaman menjadi seorang koruptor. Sekali menyandang gelar itu, kehidupan
jadi tak menentramkan lagi. Ada gejolak batin yang benar-benar mengusik
ketenangan hidup, karena di dalam diri sendiri, nurani bertarung hebat dengan
nafsu. Ada kebiasaan terdahulu yang mesti pura-pura dibiasakan, agar kedok
terselubung, tak terbaca orang-orang di luar.
Setidaknya,
kekalutan itulah yang hendak dikesankan Pramoedya Ananta Toer dalam gubahan
ceritanya berjudul Korupsi, yang ditulis tahun 1953. Dengan menggunakan sudut
pandang penokohan orang pertama, Pramoedya menarasikan isi hati dan pikiran
tokoh utama, Bakir, sang koruptor, secara utuh. Bagi siapa pun yang membacanya,
akan terenyak mengamati pertempuran hebat dalam diri seorang koruptor.
“Ah,
orang selalu memilih di antara dua. Dengan mengambil yang satu, ia kehilangan
yang lain. Dengan mengambil harta benda kantor, aku kehilangan ketenangan
batinku. Tapi aku ingin juga memiliki ketenangan batin itu beserta harta benda
ini. Serakah! Serakah! Keserakahan inilah yang tiba-tiba membuat aku merasa
sengsara. Sengsara karena tidak memiliki segala-galanya. Dan milik adalah
kemerdekaan. Kalau diri tak punya milik, diri menjadi budak. Dan karena diri
takkan dapat memiliki segala-galanya, diri tetap menjadi milik dari segala-galanya
yang tidak dimilikinya,” renung Bakir (hlm. 18).
Jelas
saja, menjajaki jalan sebagai koruptor, tak mudah bagi Bakir. Sepanjang hidup sebagai
pegawai negeri selama 20 tahun, ia telah menjadi pengabdi yang bertanggung
jawab. Citra pribadinya sebagai orang jujur, bahkan telah kokoh di mata
orang-orang sekitar. Dan menodai sejarah hidup yang telah terukir sebagai
lembaran yang suci, tentu keputusan berat. Bak mengakhiri cerita dengan antiklimaks
yang tak masuk akal.
Tapi
akhirnya, nama baik, bagi Bakir, bukanlah alasan untuk terus menjadi baik. Ia telah
memperoleh kesadaran baru bahwa nama baik, sungguh tak memberinya apa-apa. Terbersitlah
penyesalan dalam hatinya, sebab nama baik telah membuat kehidupannya sebagai
pegawai negeri, tak kunjung membaik. Sedang teman-temanya sesama pegawai, yang
tak peduli soal itu, malah berhasil melesat jauh dalam soal perolehan
harta-benda.
“Tak
mengerti aku mengapa keadaanku tinggal bobrok sedang orang yang dahulu hanya klerk-ku belaka sudah menjadi anggota
parlemen. Dia cerdik mestinya. Aku yang kurang cerdik. Dan sekaranglah saatnya.
Kalau tidak, awak tinggal kulit dan tulang melulu, itu pun kulit kering dan
tulang yang kehabisan sungsum,” keluh Bakir (hlm. 11).
Kukuh
menjadi seorang idealis di tengah orang-orang yang pragmatis, berhasil membuat
Bakir merasa aneh sendiri. Seperti orang gila yang mengaku waras di tengah
orang-orang waras. Karena itulah, ia bertekad keluar dari jalur lama yang sepi,
lalu bergabung di jalur yang ramai, di jalur para koruptor. Baginya, itu bukan penyelewenangan dari jalur
yang benar, tetapi hanya upaya untuk lebih “bersosial”, seperti orang-orang
pada umumnya. Menjadi lebih realistis.
“Tidak!
Tidak! Bertahun-tahun aku sudah menderita jadi pegawai. Kalau aku mengerjakan
korupsi, tidak akan kena sial. Kesengsaraan sudah aku jalani terlebih dahulu.
Semua itu adalah celengan. Dan yang aku kerjakan sekarang semata-mata memecah
celengan. Tidak! Itu bukan kejahatan, bukan peanggaran -itu sudah selayaknya,” pikir Bakir,
menguatkan tekadnya sendiri (hlm. 10).
Mulailah
Bakir mengawali langkahnya menuju tahta koruptor. Pertama-tama, ia mengubah
penampilannya yang sedari dulu cukup sederhana. Ia mulai mengenakan dasi,
jas, dan sepatu mengkilap, yang sungguh tak biasa ia kenakan. Semua demi
meluluskan rencana. Ia sadar, menjadi seorang koruptor, berarti tak menjadi
diri sendiri yang apa adanya. Bagaimana pun juga, seorang koruptor harus tampil
keren dan berwibawa, agar mampu menghegemoni dan mengintimidasi batin orang-orang
di bawah kuasanya, sehingga rencana pun berjalan lancar.
Selesai
soal penampilan, Bakir kemudian mulai mengadaptasikan niatnya dengan lingkungan
sekitar. Menjadi bak orang asing yang belajar bersosialisasi dengan orang lain.
Mencoba memperkenalkan dirinya sebagai calon koruptor secara perlahan, baik
kepada kawan kerja maupun keluarganya. Melakukan semua itu senatural mungkin,
sembari berharap mereka mau menerima dan tak mempermasalalahkan perubahan jalur
hidup yang ia pilih.
Tapi
prediksi Bakir, ternyata menghadapi rintangan di dalam kenyataan. Sirad, sekretarisnya
di kantor, sosok yang yang berperangai jujur dan berjiwa muda, kadung percaya
bahwa ia adalah orang suci yang tak mungkin berniat jadi koruptor. Sirad yang
peka atas perubahan sikap Bakir, pun, mulai bertanya-tanya dan menampakkan
ketidaksukaannya. Dan karena itu, Bakir pun membatalkan niat untuk mendaulat
sang sekretaris sebagai kawan aksi.
Pun,
sikap penolakan datang dari Mariam, istrinya yang kelewat jujur. Ia mulai curiga
dan mempertanyakan perubahan tampilan dan sikap Bakir yang sangat drastis. Ia
mulai mempertanyakan asal-usul uang bonus yang dibawanya pulang ke rumah. Ia
mulai menuduh-nuduh kalau sang suami hendak berbuat serong dalam kuasanya
sebagai kepala bagian di kantor. Ia tampak tahu rencana besar Bakir tanpa perlu
diberi tahu. Dan jelas, Bakir sadar, ia tak bisa diajak kompromi.
“Kalau
benteng kejujuranmu telah tertembus untuk pertama kali,” -ia mulai menegur
dengan suara berdaulat- “engkau akan menyerah. Terus menyerah pada
nafsu-nafsumu dan engkau tidak akan memiliki bentengmu lagi. Cuma tenaga di
luar dirimu saja yang bisa menolongmu,” singgung Mariam kepada sang suami (hlm.
48).
Mau
tak mau, tak ada kawan untuk Bakir. Tidak juga istrinya, tidak juga bawahan
mudanya di kantor. Tapi itu tak masalah. Lagipula, ia pikir, semakin banyak
yang terlibat, semakin berbahaya bagi kerahasiaan aksinya. Dan sendiri, jelas
lebih menjamin. Maka, ditilepnyalah barang-barang kantor, lalu dijual untuk
mendapatkan modal aksi. Pun, dengan seorang diri, ia berurusan langsung dengan
pengusaha pengadaan barang kantor, kemudian meminta jatah dari aksi penggelembungan
dana.
Jadilah
Bakir seorang koruptor yang larut dalam kesendirian. Jalan hidup sebagai
koruptor, ternyata tak membuat ia dikawani banyak orang. Jangankan berharap orang-orang
baru datang mengerubunginya, orang terdekatnya saja malah semakin berjarak.
Seakan-akan tak ada penghargaan untuk keputusan besar yang telah ia ambil. Bahkan
uang korupsi yang sedari awal ia niatkan untuk menyokong pembelanjaan sang
istri, menalangi kebutuhan sekolah empat orang anaknya (Bakri, Bakar, Basir, Basirah),
juga menunjang kebutuhan kuliah sang sekretaris pribadinya, ternyata tak
dihargai.
Sebagaimana
sejatinya, penghargaan diri, tentulah sangat berarti bagi seorang koruptor.
Penghargaan bahwa ia memiliki dan bisa memberikan segalanya kepada orang-orang.
Tapi karena penghargaan itu tak mungkin datang dari orang terdekat, Bakir pun
mengalihkan harapan pada yang lain. Beserta kekalutan yang tiada tara, bak
orang terbuang dalam kesendiriannya, ia pun memutuskan untuk memanjakan gadis
idamannya, Sutijah, dengan uang hasil korupsi. Dan ia pun berhasil mendapatkan
penghargaan yang sepadan.
Akhirnya,
atas nama korupsi, Bakir benar-benar memulai kehidupan yang jauh berbeda. Ia
meninggalkan lingkungan lamanya, lalu masuk ke dalam lingkup kehidupan baru yang
mendukung nafsunya. Hidup di tempat yang jauh, dengan kawan-kawan baru, juga istri
yang baru, Sutijah. Ia bahkan bergabung dengan grup koruptor yang gandrung
dengan gaya hidup foya-foya dan pergaulan bebas di antara sesama anggota.
Tapi
menumpukan hidup pada uang korupsi, nyatanya tak bisa membuahkan ketenangan. Meski
berhasil mengusir rasa sepi dengan membeli riuh-riuh dunia, ketakutan soal
akhir kisahnya nanti, semakin menghantui di sepanjang waktu. Semakin bertupuk saja
ketakutan itu, seiring bertumpuknya rasa bersalah yang terpendam. Dan untuk
menghilangkan rasa ketakutannya, tak ada cara bagi Bakir selain larut dalam
foya-foya dunia, meski ia tahu, ujungnya hanya rasa bersalah dalam hati, yang lalu
menumpuk ketakutan, lagi.
“Kedamaian
dan ketenangan yang dahulu begitu membahagiakan kehidupan berumah tangga
bersama anak-anak dan biniku, kini telah hilang, mungkin juga untuk
selama-lamanya. Kesederhanaan hati telah terbakar punah. Yang tinggal adalah
keriuhan, seperti pernah kuketahui bersarang dalam hari Sutijah sebelum kami kawin.
Rupa-rupanya sekali telah melangkahkan
kaki di gelanggang korupsi, orang tak akan melihat jalan kembali,” kenang
Bakir (hlm. 108-109).
Momok
menakutkan itu, pun, jadi kenyataan juga. Serangkaian aksi Bakir sebagai
koruptor, terbongkar sudah. Ia terciduk menyebarkan uang hasil korupsi dari
pengusaha yang ternyata uang palsu. Ia dikhianati dalam aksi penghianatan. Dari
situlah, semua rahasia terbongkar, tentang semua tindakan kotor yang ia lakukan
dengan para pengusaha kotor.
Sampai
akhirnya, tak ada yang berubah dari rencana Bakir semula untuk memperbaiki
hidup dari hasil korupsi. Bahkan semua tampak semakin memburuk. Uang hasil
korupsinya disita. Ia menjadi pesakitan. Hingga Sutijah, istri sampingannya, melahirkan
seorang anak bernama Rahmah, yang ternyata bukan anak kandungnya, melainkan
anak seseorang lelaki, kawannya dalam grup “koruptor pro pergaulan bebas”.
Di
sela-sela akhir cerita hidupnya yang nahas, Bakir menyadari bahwa watak
korupsinya terbentuk dari pergulatan sejarah yang panjang. Ia hidup di zaman
kolonial, di kala para pejabat seringkali menghamba pada para penjajah, demi
mendapatkan kesenangan hidup. Dan ia sadar, bahwa golongan tua sepertinya, tak
sedia jika kehidupan yang nyaman di zaman kolonial, berganti begitu saja.
“Segala
kejadian kubiarkan lalu. Namun tambah tua tambah terasa betapa sia-sianya satu
angkatan yang aku wakili ini. Tambah tua tambah tolol, tidak punya kemudi,
tidak punya keperwiraan –angkatan yang terjadi dari perhubungan yang salah
dengan kolonial, yang menyaksikan revolusi dari kejauhan dan pun tanpa
keyakinan- satu angkatan khusus yang mengabdi pada kekacauan, dan selama
kekacauan ada ia tetap mendapat umpan yang paling banyak,” aku Bakir (hlm
(154-155).
Dan
di balik sel, terucaplah nasihat Bakir, golongan tua yang masih mewarisi watak
kolonial, kepada Sirad, anak muda yang akan memperjuangkan zamannya sendiri
dengan penuh kemerdekaan: “Satu-satunya
yang akan kuperbuat ialah berdoa agar kalian diberi keperwiraan, diberi
keagungan, diberi kekuatan,” ucap Bakir. “Untukku sendiri, aku tidak menunggu
hingga diberi. Aku –untukku- semua itu kubuat sendiri, kuciptakan sendiri,
kuperjuangkan sendiri,” jawab Sirad. (hlm. 158).
Kini,
tinggallah Bakir dengan sejarah kekalahannya di masa tua. Ia telah mencatatkan
dirinya dalam sejarah sebagai seorang koruptor. Tapi bukan berarti ia tak
meninggalkan amanat yang baik tentang kejuran kepada anaknya. Ia memang bukan
teladan sebagai penegak kejujuran, tapi ia telah memberi contoh dengan dirinya
sendiri tentang bagaimana akhir dari seorang yang memilih jalan hidupnya
sebagai koruptor.
“Setidak-tidaknya
engkau telah memberi contoh yang tepat pada anak-anakmu apa sesungguhnya yang
tidak boleh diperbuat,” kata Mariam, sang istri, kepada Bakir (hlm. 151).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar