Senin, 30 April 2018

Gejolak Batin Sang Koruptor

Sungguh tak nyaman menjadi seorang koruptor. Sekali menyandang gelar itu, kehidupan jadi tak menentramkan lagi. Ada gejolak batin yang benar-benar mengusik ketenangan hidup, karena di dalam diri sendiri, nurani bertarung hebat dengan nafsu. Ada kebiasaan terdahulu yang mesti pura-pura dibiasakan, agar kedok terselubung, tak terbaca orang-orang di luar.  
 
Setidaknya, kekalutan itulah yang hendak dikesankan Pramoedya Ananta Toer dalam gubahan ceritanya berjudul Korupsi, yang ditulis tahun 1953. Dengan menggunakan sudut pandang penokohan orang pertama, Pramoedya menarasikan isi hati dan pikiran tokoh utama, Bakir, sang koruptor, secara utuh. Bagi siapa pun yang membacanya, akan terenyak mengamati pertempuran hebat dalam diri seorang koruptor.

“Ah, orang selalu memilih di antara dua. Dengan mengambil yang satu, ia kehilangan yang lain. Dengan mengambil harta benda kantor, aku kehilangan ketenangan batinku. Tapi aku ingin juga memiliki ketenangan batin itu beserta harta benda ini. Serakah! Serakah! Keserakahan inilah yang tiba-tiba membuat aku merasa sengsara. Sengsara karena tidak memiliki segala-galanya. Dan milik adalah kemerdekaan. Kalau diri tak punya milik, diri menjadi budak. Dan karena diri takkan dapat memiliki segala-galanya, diri tetap menjadi milik dari segala-galanya yang tidak dimilikinya,” renung Bakir (hlm. 18).

Jelas saja, menjajaki jalan sebagai koruptor, tak mudah bagi Bakir. Sepanjang hidup sebagai pegawai negeri selama 20 tahun, ia telah menjadi pengabdi yang bertanggung jawab. Citra pribadinya sebagai orang jujur, bahkan telah kokoh di mata orang-orang sekitar. Dan menodai sejarah hidup yang telah terukir sebagai lembaran yang suci, tentu keputusan berat. Bak mengakhiri cerita dengan antiklimaks yang tak masuk akal.

Tapi akhirnya, nama baik, bagi Bakir, bukanlah alasan untuk terus menjadi baik. Ia telah memperoleh kesadaran baru bahwa nama baik, sungguh tak memberinya apa-apa. Terbersitlah penyesalan dalam hatinya, sebab nama baik telah membuat kehidupannya sebagai pegawai negeri, tak kunjung membaik. Sedang teman-temanya sesama pegawai, yang tak peduli soal itu, malah berhasil melesat jauh dalam soal perolehan harta-benda.

“Tak mengerti aku mengapa keadaanku tinggal bobrok sedang orang yang dahulu hanya klerk-ku belaka sudah menjadi anggota parlemen. Dia cerdik mestinya. Aku yang kurang cerdik. Dan sekaranglah saatnya. Kalau tidak, awak tinggal kulit dan tulang melulu, itu pun kulit kering dan tulang yang kehabisan sungsum,” keluh Bakir (hlm. 11).

Kukuh menjadi seorang idealis di tengah orang-orang yang pragmatis, berhasil membuat Bakir merasa aneh sendiri. Seperti orang gila yang mengaku waras di tengah orang-orang waras. Karena itulah, ia bertekad keluar dari jalur lama yang sepi, lalu bergabung di jalur yang ramai, di jalur para koruptor. Baginya, itu bukan penyelewenangan dari jalur yang benar, tetapi hanya upaya untuk lebih “bersosial”, seperti orang-orang pada umumnya. Menjadi lebih realistis.

“Tidak! Tidak! Bertahun-tahun aku sudah menderita jadi pegawai. Kalau aku mengerjakan korupsi, tidak akan kena sial. Kesengsaraan sudah aku jalani terlebih dahulu. Semua itu adalah celengan. Dan yang aku kerjakan sekarang semata-mata memecah celengan. Tidak! Itu bukan kejahatan, bukan peanggaran  -itu sudah selayaknya,” pikir Bakir, menguatkan tekadnya sendiri (hlm. 10).

Mulailah Bakir mengawali langkahnya menuju tahta koruptor. Pertama-tama, ia mengubah penampilannya yang sedari dulu cukup sederhana. Ia mulai mengenakan dasi, jas, dan sepatu mengkilap, yang sungguh tak biasa ia kenakan. Semua demi meluluskan rencana. Ia sadar, menjadi seorang koruptor, berarti tak menjadi diri sendiri yang apa adanya. Bagaimana pun juga, seorang koruptor harus tampil keren dan berwibawa, agar mampu menghegemoni dan mengintimidasi batin orang-orang di bawah kuasanya, sehingga rencana pun berjalan lancar.

Selesai soal penampilan, Bakir kemudian mulai mengadaptasikan niatnya dengan lingkungan sekitar. Menjadi bak orang asing yang belajar bersosialisasi dengan orang lain. Mencoba memperkenalkan dirinya sebagai calon koruptor secara perlahan, baik kepada kawan kerja maupun keluarganya. Melakukan semua itu senatural mungkin, sembari berharap mereka mau menerima dan tak mempermasalalahkan perubahan jalur hidup yang ia pilih.

Tapi prediksi Bakir, ternyata menghadapi rintangan di dalam kenyataan. Sirad, sekretarisnya di kantor, sosok yang yang berperangai jujur dan berjiwa muda, kadung percaya bahwa ia adalah orang suci yang tak mungkin berniat jadi koruptor. Sirad yang peka atas perubahan sikap Bakir, pun, mulai bertanya-tanya dan menampakkan ketidaksukaannya. Dan karena itu, Bakir pun membatalkan niat untuk mendaulat sang sekretaris sebagai kawan aksi.

Pun, sikap penolakan datang dari Mariam, istrinya yang kelewat jujur. Ia mulai curiga dan mempertanyakan perubahan tampilan dan sikap Bakir yang sangat drastis. Ia mulai mempertanyakan asal-usul uang bonus yang dibawanya pulang ke rumah. Ia mulai menuduh-nuduh kalau sang suami hendak berbuat serong dalam kuasanya sebagai kepala bagian di kantor. Ia tampak tahu rencana besar Bakir tanpa perlu diberi tahu. Dan jelas, Bakir sadar, ia tak bisa diajak kompromi.

“Kalau benteng kejujuranmu telah tertembus untuk pertama kali,” -ia mulai menegur dengan suara berdaulat- “engkau akan menyerah. Terus menyerah pada nafsu-nafsumu dan engkau tidak akan memiliki bentengmu lagi. Cuma tenaga di luar dirimu saja yang bisa menolongmu,” singgung Mariam kepada sang suami (hlm. 48). 

Mau tak mau, tak ada kawan untuk Bakir. Tidak juga istrinya, tidak juga bawahan mudanya di kantor. Tapi itu tak masalah. Lagipula, ia pikir, semakin banyak yang terlibat, semakin berbahaya bagi kerahasiaan aksinya. Dan sendiri, jelas lebih menjamin. Maka, ditilepnyalah barang-barang kantor, lalu dijual untuk mendapatkan modal aksi. Pun, dengan seorang diri, ia berurusan langsung dengan pengusaha pengadaan barang kantor, kemudian meminta jatah dari aksi penggelembungan dana. 

Jadilah Bakir seorang koruptor yang larut dalam kesendirian. Jalan hidup sebagai koruptor, ternyata tak membuat ia dikawani banyak orang. Jangankan berharap orang-orang baru datang mengerubunginya, orang terdekatnya saja malah semakin berjarak. Seakan-akan tak ada penghargaan untuk keputusan besar yang telah ia ambil. Bahkan uang korupsi yang sedari awal ia niatkan untuk menyokong pembelanjaan sang istri, menalangi kebutuhan sekolah empat orang anaknya (Bakri, Bakar, Basir, Basirah), juga menunjang kebutuhan kuliah sang sekretaris pribadinya, ternyata tak dihargai.

Sebagaimana sejatinya, penghargaan diri, tentulah sangat berarti bagi seorang koruptor. Penghargaan bahwa ia memiliki dan bisa memberikan segalanya kepada orang-orang. Tapi karena penghargaan itu tak mungkin datang dari orang terdekat, Bakir pun mengalihkan harapan pada yang lain. Beserta kekalutan yang tiada tara, bak orang terbuang dalam kesendiriannya, ia pun memutuskan untuk memanjakan gadis idamannya, Sutijah, dengan uang hasil korupsi. Dan ia pun berhasil mendapatkan penghargaan yang sepadan.

Akhirnya, atas nama korupsi, Bakir benar-benar memulai kehidupan yang jauh berbeda. Ia meninggalkan lingkungan lamanya, lalu masuk ke dalam lingkup kehidupan baru yang mendukung nafsunya. Hidup di tempat yang jauh, dengan kawan-kawan baru, juga istri yang baru, Sutijah. Ia bahkan bergabung dengan grup koruptor yang gandrung dengan gaya hidup foya-foya dan pergaulan bebas di antara sesama anggota. 

Tapi menumpukan hidup pada uang korupsi, nyatanya tak bisa membuahkan ketenangan. Meski berhasil mengusir rasa sepi dengan membeli riuh-riuh dunia, ketakutan soal akhir kisahnya nanti, semakin menghantui di sepanjang waktu. Semakin bertupuk saja ketakutan itu, seiring bertumpuknya rasa bersalah yang terpendam. Dan untuk menghilangkan rasa ketakutannya, tak ada cara bagi Bakir selain larut dalam foya-foya dunia, meski ia tahu, ujungnya hanya rasa bersalah dalam hati, yang lalu menumpuk ketakutan, lagi.

“Kedamaian dan ketenangan yang dahulu begitu membahagiakan kehidupan berumah tangga bersama anak-anak dan biniku, kini telah hilang, mungkin juga untuk selama-lamanya. Kesederhanaan hati telah terbakar punah. Yang tinggal adalah keriuhan, seperti pernah kuketahui bersarang dalam hari Sutijah sebelum kami kawin. Rupa-rupanya sekali telah melangkahkan  kaki di gelanggang korupsi, orang tak akan melihat jalan kembali,” kenang Bakir (hlm. 108-109).

Momok menakutkan itu, pun, jadi kenyataan juga. Serangkaian aksi Bakir sebagai koruptor, terbongkar sudah. Ia terciduk menyebarkan uang hasil korupsi dari pengusaha yang ternyata uang palsu. Ia dikhianati dalam aksi penghianatan. Dari situlah, semua rahasia terbongkar, tentang semua tindakan kotor yang ia lakukan dengan para pengusaha kotor.

Sampai akhirnya, tak ada yang berubah dari rencana Bakir semula untuk memperbaiki hidup dari hasil korupsi. Bahkan semua tampak semakin memburuk. Uang hasil korupsinya disita. Ia menjadi pesakitan. Hingga Sutijah, istri sampingannya, melahirkan seorang anak bernama Rahmah, yang ternyata bukan anak kandungnya, melainkan anak seseorang lelaki, kawannya dalam grup “koruptor pro pergaulan bebas”.

Di sela-sela akhir cerita hidupnya yang nahas, Bakir menyadari bahwa watak korupsinya terbentuk dari pergulatan sejarah yang panjang. Ia hidup di zaman kolonial, di kala para pejabat seringkali menghamba pada para penjajah, demi mendapatkan kesenangan hidup. Dan ia sadar, bahwa golongan tua sepertinya, tak sedia jika kehidupan yang nyaman di zaman kolonial, berganti begitu saja. 

“Segala kejadian kubiarkan lalu. Namun tambah tua tambah terasa betapa sia-sianya satu angkatan yang aku wakili ini. Tambah tua tambah tolol, tidak punya kemudi, tidak punya keperwiraan –angkatan yang terjadi dari perhubungan yang salah dengan kolonial, yang menyaksikan revolusi dari kejauhan dan pun tanpa keyakinan- satu angkatan khusus yang mengabdi pada kekacauan, dan selama kekacauan ada ia tetap mendapat umpan yang paling banyak,” aku Bakir (hlm (154-155).

Dan di balik sel, terucaplah nasihat Bakir, golongan tua yang masih mewarisi watak kolonial, kepada Sirad, anak muda yang akan memperjuangkan zamannya sendiri dengan penuh kemerdekaan: “Satu-satunya yang akan kuperbuat ialah berdoa agar kalian diberi keperwiraan, diberi keagungan, diberi kekuatan,” ucap Bakir. “Untukku sendiri, aku tidak menunggu hingga diberi. Aku –untukku- semua itu kubuat sendiri, kuciptakan sendiri, kuperjuangkan sendiri,” jawab Sirad. (hlm. 158).

Kini, tinggallah Bakir dengan sejarah kekalahannya di masa tua. Ia telah mencatatkan dirinya dalam sejarah sebagai seorang koruptor. Tapi bukan berarti ia tak meninggalkan amanat yang baik tentang kejuran kepada anaknya. Ia memang bukan teladan sebagai penegak kejujuran, tapi ia telah memberi contoh dengan dirinya sendiri tentang bagaimana akhir dari seorang yang memilih jalan hidupnya sebagai koruptor. 

“Setidak-tidaknya engkau telah memberi contoh yang tepat pada anak-anakmu apa sesungguhnya yang tidak boleh diperbuat,” kata Mariam, sang istri, kepada Bakir (hlm. 151).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar