Rabu, 12 September 2018

Seni Layar Kota

Akhir-akhir ini, aku semakin ogah menelusuri jalan-jalan kota. Mataku pekak melihat kesemrawutan di mana-mana. Lapak berserakan, kendaraan berimpitan, gedung-gedung tak berhalaman, sungguh mengekang area pandang. Sedang pepohonan yang dulu tampak menyejukkan, kini terhalangi atribut komersial, atau tercemari gambar-gambar politis.
 
Entah seperti apa kota ini di masa depan. Aku tak tahu. Namun bisa kupastikan, ruang-ruang akan terasa menyempit. Dinding-dinding bangunan akan jadi pambatas antara manusia dengan bentangan alam. Langit-langit gedung akan jadi penghalang antara manusia dengan angkasa. Hingga akhirnya, setiap orang hanya fokus dan sibuk dengan urusan sekitar, sampai lupa bahwa dunia terlalu luas untuk masalah-masalah kecil.

Semenjak aku terbelenggu di dalam penjara kota, ingin sekali aku pergi jauh entah ke mana. Ingin aku melanglang ke tengah hutan, menikmati lukisan Tuhan yang berseni. Ataukah menyelam di lautan, melihat makhluk-makhluk cantik di sisi dunia yang elok. Aku ingin sekali terhempas ke sana, dan keluar dari kota yang aur-auran dan menyesakkan.

Mungkin aku yang sangat berminat terhadap seni, memang telah dikutuk untuk hidup di dunia antah-berantah ini. Aku yang memahami seni penataan setelah kuliah di jurusan desain, paham betul bahwa kota ini jauh dari citra keindahan. Ada ketidakserasian bentuk antarkomponen. Ada ketidakharmonisan warna di mana-mana. Dan itu membuatku ingin mereparasi hati dan pikiran para politisi, agar mereka peduli pada pembangunan kota yang berseni dan berbasis alam.

Aku jadi tak mengerti mengapa realitas politik tak punya konsep soal penataan kota. Keadaannya sungguh kacau-balau dan tak berarah. Tapi secara idealis, aku paham kalau kebijakan politik harusnya bisa mewujudkan tatanan kota yang harmonis dan indah. Politik harusnya berbicara tentang kepentingan alam yang lebih luas, ketimbang sekadar pemuasan nafsu materi anak manusia. Tapi yang terjadi sebaliknya, dan itu membuatku menyerah dan tak peduli lagi soal perpolitikan.

Jelas, aku kadung tak percaya bahwa para politisi punya visi dan niat yang baik soal penataan kota. Mereka terus menjual kalimat tentang pembangunan berkelanjutan, tapi mereka hanya mengerti soal tembok-menembok. Mereka terus menjual kalimat tentang pembangunan yang memanusiakan, tapi mereka abai pada perlindungan lingkungan hidup. Yang mereka peduli hanya pemenuhan nafsu materi yang terus menyisakan ampas untuk bumi ini.

Mungkin saja masih ada setitik bagian otak dari para politisi yang mengerti soal pentingnya seni penataan. Namun, itu hanya demi mendongkrak citra mereka. Selainnya, tidak. Lihatlah, menjelang pemilihan rakyat, mereka berburu untuk membuat gambar dirinya di segala bidang dengan semenarik mungkin, kemudian memasangnya di ruang-ruang publik. Entah ditempel di dinding-dinding bangunan, dipasang di tiang-tiang pancang, atau dipaku di pepohonan. Entah dengan nama spanduk, pemflet, atau baliho.

Dan menjelang prosesi pemilihan saat ini, bertebaranlah gambar-gambar politisi di segenap ruang kota. Mereka menampakkan senyuman yang dibuat-buat pada atribut-atribut kampanye, sembari dibumbui dengan slogan tingkat dewa yang seakan-akan menebar kesan bahwa mereka akan membuat kehidupan kota semakin nyaman dan bersahabat ketika berkuasa. Tapi sebgaimana yang terjadi sebelum-sebelumnya, para politisi seringkali malah tak mengacuhkan kemanusiaan dan keasrian alam setelah menjabat.

 “Hai!” sentak seseorang dari arah belakang. Temanku, Dolin. 

Aku yang duduk di sebuah kursi yang tepat menghadap ke jendela, terkaget dan tersadar dari lamunan. 

Ia tampak senang, kemudian bertanya, “Kenapa mengkhayal? Kau ada masalah?”

Dengan masih kesalnya, aku mengalihkan pandangan darinya. Aku kembali menatap pemandangan kota dari balik jendela. Memandang atribut kampanye yang berderet sampai jauh. “Tidakkah kau merasa ada yang salah dengan tata kota ini?” tanyaku. “Para politisi terus menjual citra palsu mereka di spanduk, tanpa peduli pada citra indah kota.”

“Aduh, kau terlalu idealis jadi desainer!” katanya, terkesan meledek. “Namanya juga pergelaran politik. Kampanye kan memang harus begitu. Calon butuh dikenal dengan memasang foto dan kata-kata manisnya di mana-mana.”

Aku lekas menentang sikap permisifnya, “Tapi kan seharusnya ada cara yang lebih mendidik dan mencerdaskan. Apa gunanya foto dipajang di mana-mana, tapi si calon tak pernah turun ke masyarakat? Apa gunanya memajang tagline dengan bahasa tinggi kalau masyarakat pun tak mengerti maksudnya?” kataku, penuh penegasan. “Aku kira, akan lebih baik jika kebiasaan politik semacam ini dihentikan, sehingga para calon terdorong untuk bersentuhan langsung dengan masyarakat; agar masyarakat memilih figur, bukan gambar-gambar tipuan.”

“Rupanya, kau sudah banyak berubah, ya?” tanggap Dolin, sambil menepuk-nepuk punggungku. “Ada apa sampai kau mulai risau melihat potret politik yang sedari dulu kau tak peduli dan kau sebut omong kosong itu?”

“Aku bilang kalau aku tak peduli bukan berarti benar-benar tidak peduli. Pada kondisi tertentu, ketidakpedulian bisa jadi kepedulian yang tertinggi. Aku hanya muak dengan realitas politik yang penuh tipu-tipu dan citra palsu. Dan kurasa, kepedulian terbaik untuk realitas politik saat ini adalah tidak terlibat sama sekali,” kataku, berharap ia mengerti. “Bahkan kadang-kadang, aku berpikir untuk berhenti melakukan perkerjaan kita.”

Dolin bedecak-decak. “Wah, idealismemu tentang seni tata kota, rupanya akan membuatmu jadi gila kawan!” katanya, terkesan meledek. “Kawan, camkanlah bahwa realitas politik memang demikian adanya. Pemilihan umum adalah pesta demokrasi. Dan kau tahu, pesta senantiasa meyisakan sampah-sampah. Tapi soal sampah itu bukan urusan kita. Di pesta ini, kita hanya perlu menjadi penjual kembang api. Biarlah para politisi berperang citra dan saling menutupi spanduk, yang penting kita meraup rupiah dengan cara mempercantik pesta pertarungan mereka. Semakin semarak pestanya, kita semakin untung.”

“Aku sedikit kesal mendengar pandangannya yang sangat pragmatis.

“Kawan, berpestalah!” serunya.

Aku jadi kalut sendiri, dan tak berselera melanjutkan perdebatan.

“Sudahlah. Ambil ini,” katanya, sambil menyerahkan sebuah flashdisk. “Di dalamnya ada foto dan kata-kata manis yang harus kau susun dengan apik, seperti biasa.”

Bak mumi yang tak berjiwa, tanganku menggenggam saja berkas itu darinya.

“Ini proyek besar. Kalau hasilnya bagus dan si klien suka, kau bisa keguyuran rupiah,” terangnya dengan raut wajah yang antusias. “Kau bahkan bisa memuaskan hasratmu dengan bepergian ke mana saja untuk memanjat gunung dan berenang di lautan.”

Akhirnya, di tengah kesadaran dan ketidaksadaran, kusambunglah flashdisk itu di perangkat komputer. Perlahan-lahan, aku mulai mendesain spanduk seorang calon pejabat dengan seindah mungkin. Dan sesuai pesanan, kutambahkan slogan omong kosong di sisi kanan fotonya: Demi Pembangunan Kota yang Asri dan Berbasis Lingkungan!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar