Rabu, 26 September 2018

Es Lilin

Aku tak pernah melihat wajah yang lebih meneduhkan ketimbang wajah Nenek Lido. Ronanya begitu bersahaja dan menenteramkan hati. Rupa-rupa kemarahan dan kesedihan, tak tampak di sana. Seolah-olah ia terlahir tanpa amarah dan cuma bisa beraut ramah. Hanya senyuman yang senantiasa dilayangkannya kepada orang-orang, meski ia menjalani kehidupan yang berat.
 
Nenek Lido memang hanya perawan tua yang hidup menyendiri di kampung. Ia adalah anak semata wayang dari kedua orang tuanya yang telah meninggal. Tak ada teman hidup baginya untuk sekadar berbagi suka dan duka. Seakan-akan ia terlahir tanpa sanak keluarga. Seolah hadir di dunia bukan karena siapa-siapa, dan bukan untuk siapa-siapa. 

Namun kesendirian, tak sanggup membuat Nenek Lido larut dalam kesepian. Tak pernah kulihat ia merenungi kedatangan seseorang, atau murung atas kepergian orang-orang. Ia seperti memiliki keahlian untuk menyemarakkan kehidupannya sendiri. Ia terus saja menampakkan raut keceriaan, seolah orang-orang terkasih berada di sekitarnya.

Rasa berkecukupan Nenek Lido atas kehidupannya yang serba kekurangan, telah membuat ia ogah dikasihani. Ia lebih memilih tinggal di rumah panggungnya yang sederhana daripada turut dengan keluarga jauhnya di desa lain. Ia pun lebih memilih menjalankan usaha jajanan anak-anak kecil daripada berpangku tangan pada bantuan orang lain. Ia sungguh tak ingin menjadi beban dan petaka bagi siapa-siapa.

Kuduga, kebetahan Nenek Lido untuk hidup sendiri, disokong oleh kecintaannya kepada anak-anak. Setiap hari, saat jam istirahat atau setelah jam pelajaran berakhir, murid sekolah dasar di samping rumahnya akan datang berjajan. Dan ia selalu tampak senang menyaksikan kehadiran anak-anak yang berkerumun, dan dengan sepenuh hati melayani mereka satu per satu.

Jajanan Nenek Lido yang paling disukai anak-anak adalah es lilin. Ia punya keahlian untuk membuat es lilin dengan rasa yang sangat memikat lidah anak-anak. Entah rasa jeruk, susu, cokelat, dan lainnya. Untuk harga yang terjangkau, tak perlu menunggu lama, es buatannya di balik kulkas pemberian kepala desa, ludes dalam sekejap.

Tapi dahulu kala, aku tak pernah khawatir akan kehabisan jatah es lilin Nenek Lido. Ia tahu aku suka rasa jeruk, dan ia selalu menyisihkan dua buah untukku, sampai aku datang melahapnya. Bahkan ia seringkali menolak bayaranku atas pemberian khusus itu. Dan terang saja, keistimewaan itu berhasil membuatku merasa seperti anak kesayangannya.

Akhirnya, kini, di hari ketika sepeninggal Nenek Lido, kukenang lagi satu obrolanku dengannya di satu hari yang lampau. Saat itu, aku iseng menemaninya meramu es lilin untuk jualan sore hari, saat anak-anak bermain-main di lapangan desa.

“Kenapa Bibi tak punya anak?” tanyaku, penuh keluguan, saat aku masih duduk di kelas III sekolah dasar.

Nenek Lido yang waktu itu masih berumur tiga puluh tahun lebih, tampak melayangkan senyuman atas pertanyaanku. Satu senyuman yang menampakkan lesung pipi yang dalam di sisi atas bercak-bercak hitam yang melebar di leher sebelah kanannya.

Kusambunglah pertanyaanku, “Bukankah seharusnya Bibi punya anak seperti Ibuku yang melahirkan aku sebagai anaknya?” 

Nenek Lido lalu mengambil seplastik bahan es lilin cair yang sedari tadi tak bisa kuikat. Ia lalu menyimpul plastik es itu di depan mataku, seolah-olah memberikan sebuah pengajaran. 

“Karena aku belum ketemu jodoh, Nak. Kamu kan punya ayah. Nah, aku belum menemukan sosok ayah untuk anak-anakku,” jelas Nenek Lido, seperti berusaha memberikan pengertian sederhana agar mudah kupahami.

Dengan penuh kepolosan, aku bertanya lagi, “Kenapa harus ada ayah?”

Nenek Lido kembali tersenyum. Ia tampak begitu cantik. “Kalau ada anak tanpa sosok ayah, kan kasihan. Siapa yang akan mengantar dan menjemputnya ke sekolah?” katanya, sambil mengusap-usap rambutku. “Karena itulah, setiap anak harus punya ayah, seperti kamu juga.”

Atas ketidakpahamanku soal hubungan kekeluargaan, kuamini saja penjelasan itu tanpa menelisik lebih jauh.

“Apa Bibi ingin punya anak?” tanyaku lagi.

Dengan tangan yang cekatan menyimpul es-es lilin, ia kemudian menjawab, “Tentu saja aku mau, Nak. Tapi selama ayahnya belum aku temukan, ya, aku harus bersabar.” Ia lalu memandang mataku lekat-lekat. “Lagipula, aku sudah senang kau ada di sini. Kau tak keberatan kan kalau aku menganggapmu sebagai anakku?”

Aku mengangguk senang. “Iya! Aku ingin jadi anak Bibi!”

Ia tampak bahagia mendengar persetujuanku.

Seketika, tanpa sengaja, seplastik bahan es lilin yang sedari tadi berusaha kuikat, akhirnya terjatuh dan membasahi lantai.

Aku merasa sangat bersalah. “Maafkan, aku Bibi.”

Nenek Lido malah tampak tersenyum. “Tak apa-apa. Biar aku ajarkan lagi bagaimana caranya.”

Segera saja ia menunjukkan lagi cara meramu es lilin padaku, mulai dari menakar bahan, memasukkannya ke dalam plastik, hingga mengikatnya dengan baik.

“Kau harus bisa membuat es lilin, Nak,” kata Nenek Lido kemudian, sambil mengelus-elus bagian belakang leherku, tepat di selingkaran bercak-bercak hitam yang acapkali diusap ibuku sambil merapalkan doa. “Kalau kau bisa, kelak, kau akan membuat anak-anak di sekitarmu senang.”

Aku suka mendengar pernyataannya. Aku lalu meminta ia untuk mengajariku meramu es lilin berulang kali, sampai mahir. Hingga akhirnya, hari ini, aku pun menjadi seorang penjual es lilin untuk anak-anak. Kulakukan pekerjaan itu dengan sepenuh hati, seperti yang pernah dilakukan  Nenek Lido.

Dan sungguh, betapa senangnya aku setiap hari. Aku dapat melihat anak-anak berkerumun di rumahku. Aku dapat mendengar suara mereka yang riang-gembira. Aku dapat menyaksikan kepolosan mereka yang begitu menghibur. Hingga, aku pun bisa mengabaikan kerisauan hatiku sebagai seorang perempuan yang tak mungkin dikaruniai seorang anak setelah tak seorang lelaki pun di kampungku yang sudi meminang. Pasalnya, sebagaimana Nenek Lido, aku memiliki tanda lahir berupa bercak hitam di bagian belakang leherku. Dan seluruh warga kampung memercayai mitos-adat bahwa bercak itu adalah penanda bagi wanita pembawa sial dan petaka yang tak pantas untuk dinikahi.

Penebusan

Pada satu rumah yang megah, berdiamlah Fatih, seorang duda yang ditinggal mati oleh istrinya setahun lalu. Di tengah kehidupan yang mapan, ia tak sempat memiliki anak, juga tak punya sanak saudara yang bisa menemaninya tinggal di rumah. Atas kesunyian hidup itu, ia pun mempekerjakan seorang pemuda pengangguran, Sumardi, bersama istrinya.
 
Tentu saja, Sumardi dan istrinya begitu senang bekerja untuk Fatih daripada hidup terlunta-lunta. Mereka merasa beruntung sebab diperkerjakan dengan gaji yang memadai oleh seorang majikan yang bersahabat. Meskipun begitu, mereka tetap memilih tinggal di sebuah balai kecil di dalam lingkungan rumah Fatih yang luas, meski Fatih seringkali menawari mereka untuk tinggal saja di dalam rumah utama. 

Sikap ramah Fatih, memang telah menghilangkan sekat-sekat di antara mereka. Namun Sumardi tetap kukuh menjaga perbedaan statusnya dengan Fatih. Ia tahu diri sebagai seorang babu untuk Fatih yang majikan. Ia sadar diri sebagai seorang murid untuk Fatih yang alim. Ia merasa sudah seharusnya menolak kebaikan Fatih yang berlebihan dan hanya mengambil yang sepantasnya. 

Hingga di satu hari, sikap saling menghargai di antara mereka, berakhir sudah. Tiba-tiba saja, Sumardi datang dengan wajah beringas. Ia bergegas mencari Fatih sambil memegang golok yang terhunus dan tampak sangat tajam. 

“Hai, keluar kamu, Tuan Jahanam!” teriak Sumardi di luar pintu rumah utama, berulang kali.

Hening saja. Tak tampak gerak-gerik, juga tak terdengar suara balasan dari Fatih.

Merasa tak ditanggapi, Sumardi lalu mendobrak pintu depan dengan sebalok kayu. Ia melakukannya sekuat tenaga, hingga kuncian pintu menjadi rusak.

Lekas setelah terbuka, Sumardi segera menuju ke arah kamar Fatih. Seketika ia menggedor-gedor daun pintu sambil menyerukan kata-kata perintah secara berulang-ulang, “Tuan Setan, keluar!”

Masih tak ada tanggapan. 

Sumardi yang habis kesabaran, akhirnya kembali mengambil jalan pintas. Dengan sekuat tenaga, ia menempa pintu dengan kursi dan meja, sampai daun pintu pun terbongkar, dan tangannya dapat membuka kunci dari sisi luar. 

Pintu pun tersibak.

Seketika, Sumardi mendapatkan Fatih tengah duduk di sebuah kursi yang menghadap ke jendela. 

Fatih terdiam saja, seolah tak terjadi keributan apa-apa. Ia tak sedikit pun menoleh, dan sikap badannya tetap membelakangi kehadiran Sumardi. Ia hanya menunduk ke arah meja, sambil menulis sesuatu pada selembar kertas.

Tanpa aba-aba, Sumardi lalu menyepak kepala Fatih, hingga lelaki itu terjatuh ke samping beserta kursinya.

“Jangan pura-pura dungu, Tuan Iblis!” gertak Sumardi.

Fatih berusaha bangkit, kemudian berucap dengan suara yang lirih. “Maafkan aku, Mardi!”

Tanpa berkata-kata, Sumardi menyepak bagian perut Fatih.

“Maaf, aku khilaf!” kata Fatih, sambil meringis kesakitan.

Lagi, Sumardi menendang Fatih. Kali ini di bagian dada. “Tak ada ampun bagimu, Tuan Iblis!”

Fatih tak membela diri. “Aku memang tak terampuni, Mardi. Kau memang pantas menghajarku sampai mati,” pasrah Fatih dengan desah napas yang tersengal-sengal. “Tapi aku mohon, maafkanlah aku!”

“Apa? Kau memohon maaf untuk perbuatan bejatmu, Tuan?” Kembali, Sumardi menendang bagian kepala Fatih.

“Bunuhlah aku kalau begitu, Mardi!” seru Fatih dengan nada suara yang merendah. Ia mulai menangis.

Sumardi melecutkan ludah ke arah Fatih yang tak berdaya. “Kau kira semudah itu menghapus kesalahnmu, Tuan?”

Fatih terisak. “Siksalah aku sepuas hatimu, Mardi!” pinta Fatih sambil menahan rasa sakit. Darah mulai mengalir dari mulutnya. “Tapi kumohon, maafkanlah aku! Sampaikanlah maafku pada istrimu!”

Sumardi tampak menyeriangai. “Apa kau bilang, Tuan?”

“Maafkanlah aku!” pinta Fatih.

Bukannya berbelas kasih, emosi Sumardi malah melonjak. Ia lalu menghajar Fatih secara bertubi-tubi. Menendangnya, meninjunya, atau menghempaskannya ke segala arah. Ia melakukan itu berulang-ulang, tanpa jeda untuk sekadar mendengar keluh-kesah Fatih. 

Sampai akhirnya, pada klimaks kemarahannya, Sumardi menikam Fatih dengan golok, tepat di bagian kiri dadanya.

Tamatlah sudah riwayat Fatih.

Beberapa waktu kemudian, terdengarlah erangan keras Sumardi yang menembus dinding-dinding rumah.

Seketika, beberapa warga datang menyaksikan kegaduhan itu. Satu kegaduhan yang tak pernah terjadi di rumah megah Fatih yang selama ini senyap-senyap saja. Hingga mereka pun mendapatkan Fatih yang terbujur kaku di lantai, dengan darah yang masih mengalir dari tubuhnya. 

Tepat di samping jasad Fatih, tampak Sumardi tengah duduk terpaku, seakan hilang kesadaran. Sebuah golok bersimbah darah, masih tergeletak di sebalah kanannya.

Segera saja para warga menyeret Sumardi sambil menyuarakan kata-kata kutukan kepadanya.

Beberapa detik kemudian, warga pun menemukan secarik kertas berisi tulisan tangan: Apa pun yang terjadi padaku, biarpun aku mati sekalian, jangan pernah salahkan Sumardi!

Ada tanda tangan di bagian bawah kertas, disusul nama Fatih yang tertulis jelas.

Pada waktu selanjutnya, Sumardi pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan hukum negara. Sumardi mendekam di balik jeruji dan harus terpisah jauh dari istrinya yang tengah mengandung janin, meski dokter telah menjatuhkan vonis bahwa Sumardi tak subur untuk menghasilkan keturunan.


Untuk Hidup Kami

Kau tak pernah mencuri dari siapa-siapa
Hanya mengambil dari bumi Tuhan yang Maha Pemurah
Untuk hidup manusia-manusia yang sebagian tamak
Yang seringkali membodohimu atas nama kuasa
Dan kau tak pernah merasa dengki
Kau tak merasa kekurangan
Kau tak merasa sengsara
Sebab cukuplah kerja sebagai alasanmu bahagia
Meski tanah telah kau basuh dengan keringat
Menghidupkan benih kasih sayang untuk kami
Cukuplah hidup sebagai anugerah yang kau syukuri
Meski bumi harus kau sucikan dengan air mata suka-cita
Melebatkan buah-buah tetumbuhan untuk kami
Karena kau selalu ingin memberi
Terima kasih

Minggu, 23 September 2018

Benih-Benih yang Harus Dibunuh

Ruang-ruang sekolah terdengar riuh. Seketika setelah jam pelajaran berakhir, para murid menyeruak ke luar kelas dengan riang-gembira. Mereka tampak berceloteh dengan teman sepermainan mereka sembari pulang bersama-sama. Mereka menempuh jalan dengan cara yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang berjalan kaki, menumpang angkutan umum, atau dijemput pihak keluarga.
 
Ardin yang tinggal di rumah yang berjarak jauh dengan sekolah, senantiasa menunggu jemputan ayahnya setelah jam pelajaran berakhir. Seringkali, ia hanya akan menunggu di gerbang sekolah kala teman-temannya menghilang satu per satu, sampai ayahnya datang menjemput. Tapi belakangan ini, ia mulai terbiasa menumpang di mobil jemputan seorang teman perempuannya, Alma, tanpa rasa sungkan sama sekali.

Aku turut merasa senang melihat kedekatan Ardin dan Alma sebagai dua orang sahabat baik. Sebagai wali kelas mereka sejak kelas I hingga kelas VI sekolah dasar, aku melihat mereka saling memberi pengaruh yang positif. Mereka sama-sama cerdas dan berbudi baik. Mereka tak pernah berbuat onar dan selalu berada dalam ranking lima besar di kelasnya. Dan karena itu, orang tua mereka senantiasa menyampaikan rasa bangganya kepadaku.

Sedari awal, aku memang mempunyai perhatian khusus kepada Ardin dan Alma. Apalagi, kedua orang tua mereka telah mengamanahkan agar aku dapat menciptakan keakraban di antara mereka. Sebab itulah, aku selalu menciptakan kondisi yang mendukung untuk merekatkan kebersamaan mereka. Hingga aku pun mendudukkan mereka pada sebuah bangku, sampai memasukkan mereka dalam kelompok kerja yang sama. 

Seperti yang terjadi beberapa kali di waktu belakangan, siang ini, dari kejauhan, aku kembali menyaksikan kedekatan mereka sepulang sekolah. Aku melihat mereka berjalan bersama menuju ke arah mobil Aliah, ibu Alma, yang tengah menunggu di tepi jalan. Mereka berdampingan dengan penuh keceriaan, sambil berpegangan tangan. Mereka beriringan sambil bercakap-cakap tentang perihal yang tak bisa kutebak.

Cerita perkembangan kedekatan antara Ardin dan Alma, selalu menjadi bahan laporanku kepada Armidan, ayah Ardin. Seperti biasa, setiap kali datang ke sekolah untuk mengantar-jempur anaknya, ia akan menanyakan perkembangan persahabatan kedua anak itu. Armidan selalu khawatir kalau terjadi kerenggangan hubungan di antara mereka. Tapi kali ini, dengan sangat yakin, aku akan menginformasikan betapa eratnya kedekatan mereka. Bahkan, saking eratnya, aku malah khawatir atas kedekatan mereka yang terkesan berlebihan, sampai mereka tak peduli lagi kepada orang yang lain. 

Dan akhirnya, datanglah Armidan dengan mengendarai sepeda motor bututnya.  Lekas ia menuju ke arahku dan bertanya, “Ardin mana?”

“Dia ikut ke mobil Ibu Aliah,” jawabku.

Seketika, raut kecemasan di wajahnya, berubah semringah. “Baguslah. Itu sejalan dengan apa yang kita rencanakan.”

Kulayangkan senyuman singkat padanya.

“Kau sendiri tahu, bulan depan kita akan menikah. Dan seperti yang pernah kukatakan, aku ingin keakraban kita dengan keluarga Aliah tidak bersekat lagi. Aku ingin kedua anak itu benar-benar seperti dua orang saudara sebelum kita menjadi sepasang suami-istri,” katanya lagi, seperti yang telah ia ucapkan berulang kali.

“Iya, aku paham. Aku yakin mereka sudah sangat dekat,” kataku, sambil membalut kecemasan dengan senyuman.

Armidan, duda yang akan menikahiku setelah bercerai dengan istrinya karena penentangan orang tua mereka akibat status ekonomi dan sosial yang berbeda, tampak tersenyum bahagia ke arahku. “Aku yakin, kau akan menjadi seorang ibu yang baik untuk anak-anak kita kelak.”

Aku merasa tersipu atas pujiannya. Tapi lekas kemudian, perasaanku kembali tawar. Aku lalu mempertanyakan sesuatu yang belakangan ini kurasa mengganjal dan membuatku prihatin. “Bukankah sudah saatnya kita menceritakan yang sesungguhnya kepada Ardin dan Alma?”

“Kurasa belum saatnya,” tanggap Armidan. “Mereka pasti masih kebingungan memahami hubungan kekeluargaan. Kalaupun mereka paham, aku khawatir mereka malah bersedih setelah mengetahui kalau aku dan Aliah adalah orang tua mereka yang telah berpisah,” tutur Armidan lagi. Ada keharuan yang tampak di wajahnya. “Nantilah kalau pikiran dan mental mereka sudah siap untuk memahami hubungan kekeluargaan ini, kita akan menceritakan apa yang telah terjadi, sejelas-jelasnya,” kata Armidan.

Aku bisa memahami maksud Armidan, bahkan bersepakat dengannya. Namun tetap saja, aku tak bisa memendam kerisauanku atas hubungan Ardin dan Alma yang begitu erat, “Tapi aku khawatir kalau mereka dekat secara berlebihan tanpa memahami status di antara mereka.”

“Maksudmu?” sergah Armidan.

Aku lalu menyodorkan secarik kertas kepadanya. “Ini tulisan Ardin yang kudapat dari Alma.”

Seketika, Armidan kaget setengah mati setelah membaca secarik surat yang ditulis anaknya dengan tulisan tangan yang indah: Alma, aku mencintaimu…

Seluruh Bagian

Setiap kesatuan tersusun dari satu-satu
Setiap hal adalah bagian dari keseluruhan
Semua hanya tampak terpisah di balik sudut pandang

Ada nama-nama dalam sebuah nama
Ada merah-kuning-hijau pada pelangi
Ada bintang-bulan-matahari pada langit
Semua menyatu dalam keseluruhan yang harmonis
Dari hal-hal kecil yang menyusun kesempurnaan
Seperti titik hitam di bawah matamu
Atau seperti mata indah di wajahmu
Atau seperti raga di jiwamu
Atau keberadaanmu bagi alam semesta
Bahwa aku mencintai sesuatu karena itu bagian dari dirimu
Bahwa aku memilikimu untuk memiliki segalanya

Rencana Luka

Kekalutan menyelubungi jiwaku saat duduk di pojok kafe saat ini. Seseorang telah pergi meninggalkanku, dan seseorang akan datang menemuiku. Pagi tadi, sahabat baikku beranjak ke kota seberang untuk mengunjungi ayahnya yang sedang sakit. Tapi sore ini, seorang teman dekatnya akan datang menemuiku sesuai dengan waktu yang telah mereka perjanjikan.
 
Kali ini, aku akan melakoni sebuah pertemuan untuk kepentingan orang lain. Menjadi seorang kurir pesan untuk sahabat baikku sendiri. Sebuah tugas yang akan kutunaikan sebagaimana mestinya. Bagaimana pun, sebagai sahabat terdekat, aku adalah satu-satunya orang yang ia harapkan untuk menyampaikan pesan kepada seseorang yang spesial baginya; seseorang yang tak sanggup ia temui untuk mengucapkan kata-kata perpisahan.

Aku tak tahu bagaimana sesi obrolan kami akan berlangsung. Mungkin kecanggungan akan membuatku kesulitan menjalani komunikasi. Tapi setidaknya, aku hanya perlu menginformasikan secara singkat bahwa sahabat baikku yang merupakan teman dekatnya, harus pergi ke kota seberang secara mendadak, sehingga tak sempat berpamit kepadanya. Soal keresahan hati, juga tangis sahabat baikku atas perpisahan itu, kurasa akan dijelaskan oleh seisi kotak kado yang akan kuberikan kepadanya.

Akhirnya, di tengah penantian yang memunculkan adegan-adegan menegangkan di benakku, seseorang lelaki yang kumaksud, muncul juga di balik pintu. Seperti biasa, ia datang dengan penampilan yang penuh percaya diri. Seketika, nyaliku menciut. Perasaanku tiba-tiba jadi tak keruan. Benih-benik kekaguman yang telah kuredam dan kupendam untuk dirinya sejak lama, seketika mencuat dan berusaha menerobos kenyataan bahwa aku memang sudah tak pantas menyimpan perasaan untuk lelaki dambaan sahabat baikku sendiri.

“Maaf telah membuatmu menunggu,” katanya semasih berdiri dengan napas yang memburu.

Aku tersenyum dengan perasaan canggung. “Tak apa-apa. Aku juga baru saja sampai.”

Dia tampak merapikan bajunya, lalu duduk dengan sikap tegap pada sebuah kursi yang berada tepat di depanku.. “Bagaimana kabarmu?”

Dengan sedikit keheranan atas pertanyaannya yang bersifat personal, aku berusaha membalas dengan perasaan yang biasa, “Baik-baik saja,” kataku, sambil menahan diri untuk balik bertanya kabar kepadanya, sebab kurasa itu kurang pantas.

“Ya, aku selalu berharap begitu,” katanya, sambil tersenyum ke arahku. Ia lalu menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya, kemudian berucap dengan tatapan yang tajam, “Kau tahu, kita sudah saling mengenal sejak lama. Tapi baru kali ini aku bisa memerhatikan wajahmu secara jelas.”

Lekas saja aku menunduk. Aku jelas tak kuasa berpandangan kala aku masih terpikir pada kekalutan sahabat baikku sendiri atas perpisahan dengannya. Aku merasa setengah mati mengendalikan kerusuhan batinku yang masih berharap kepadanya di saat aku seharusnya berhenti berharap.

“Kita bahkan sudah saling mengenal di hari pertama aku mengenal Rani, sahabat baikmu itu,” kisahnya lagi. “Kau masih ingat kan?”

Aku mengangguk, memandang matanya beberapa saat, lalu kembali menunduk.

Seketika, momen saat kami bertiga saling mengenal, kembali terbayang di benakku. Satu kejadian ketika sepeda motor yang aku kendarai bersama Rani, bertabrakan dengan sepeda motornya di tikungan jalan. Hanya tabrakan kecil dan tak meninggalkan luka serius di antara kami. Hanya ada goresan-goresan kecil di sepeda motor kami, juga kerusakan pada kamera miliknya yang terhempas keras. Aku dan ia mencoba berunding, tapi ia harus mengalah pada keberingasan Rani yang tak ingin kalah suara.

“Maafkan aku atas kejadian itu. Aku rasa, aku belum sempat meminta maaf padamu secara pantas,” kataku, bersungguh-sungguh, sebab aku sadar telah kehilangan fokus saat berkendara di waktu itu karena sibuk bersenda-gurau dengan Rani.

Ia tampak tersenyum. “Kau tak perlu meminta maaf kepadaku. Aku tak menyinggung kisah itu untuk membuatmu merasa bersalah. Aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa kita memang sudah saling mengenal sejak lama.”

Aku merasa sedikit berarti mendengar penuturannya. Tapi aku jadi semakin bingung atas sikapnya yang memilih membahas persoalan tentang aku dan dia, sampai lupa untuk sekadar menanyakan keadaan Rani.

Akhirnya, kuputuskan untuk menjelaskan soal Rani tanpa perlu pertanyaan darinya, “Oh, ya, Rani tak sempat datang menemuimu hari ini. Dia buru-buru untuk beranjak ke kota seberang menemui ayahnya yang tengah sakit,” jelasku, sambil melayangkan senyuman yang singkat padanya. “Untuk itu, ia menyampaikan permintaan maaf kepadamu.”

“Aku tahu. Dia telah mengatakan rencananya padaku untuk beranjak ke kota seberang beberapa hari yang lalu,” katanya, dengan sikap yang biasa.

Sontak saja aku semakin bingung. Yang aku tahu, sore ini, aku sengaja diutus Rani untuk menyampaikan pesan-pesan perpisahan kepadanya. Karena itulah, sepantasnya ia menampakkan sikap yang penuh kesedihan dan keprihatinan.

Di tengah kebingungan yang tak berarah, kuserahkan saja sebuah bingkisan yang dititipkan Rani untuknya. “Ada sebuah kado untukmu,” kataku.

“Terima kasih,” balasnya seketika. Ia tampak sangat senang. “Apa aku boleh membukanya sekarang?”

Tanpa beban apa-apa, aku mengangguk saja. Berharap ia segera memahami kegundahan hati Rani di balik kata-kata tertulis yang menyertai isi bingkisan itu.

Segera saja ia membuka sekotak kado yang baru saja kusodorkan padanya. Perlahan-lahan, raut kebahagiaan tampak di wajahnya kala membaca secarik kertas yang entah bertuliskan apa. “Terima kasih banyak atas kadomu,” katanya, dengan raut wajah yang semringah. “Aku tak menduga bahwa kau tahu kalau aku berulang tahun hari ini.”

Ia lalu meletakkan secarik kertas itu di atas meja, dan aku bisa membaca jelas namaku tertulis di sana.

Berselang beberapa detik kemudian, tersibaklah sebuah kamera di balik bingkisan yang berlapis. Sebuah kamera yang serupa kamera miliknya yang telah rusak akibat tambrakan sepeda motor kami di masa lampau. 

“Kau tahu, aku tak memendam kekesalan karena kau merusak kameraku waktu itu, apalagi berharap kau menggantinya. Aku malah bersyukur karena kejadian itulah yang membuat kita saling mengenal dan saling terikat,” katanya, tampak sangat senang. “Tapi baiklah. Terima kasih. Ini sangat berarti bagiku.”

Lagi-lagi, kulayangkan senyuman yang tak sepenuh hati padanya, dengan keyakinan bahwa Rani telah merencanakan semuanya.

Kini, aku jadi tak mengerti tentang perasaan di antara mereka.

Rabu, 19 September 2018

Seorang Gadis di Balik Jendela

Aku masih terjerat dalam kehampaan. Tiga bulan berlalu, tapi aku belum juga merampungkan satu tulisan pun. Hidupku terasa sangat sia-sia karenanya. Hari-hari kulalui hanya dengan berharap bahwa aku akan menandaskan satu cerita sebelum hari berganti, tapi semua berakhir pada kegagalan. Aku seperti kehilangan inspirasi di tengah motivasiku yang menggebu untuk terus menulis.
 
Memang benar kalau seorang penulis harus mengambil jeda. Seorang penulis butuh selingan untuk membaca buku atau bercengkerama dengan alam sekitar demi menemukan ide-ide cerita yang segar. Jikalau tidak, cerita akan berkutat pada satu ranah persoalan, sehingga rentan menimbulkan cerita yang berulang. Dan tentu saja, seorang penulis selalu ingin memperbarui kualitas karyanya, dan tak ingin dicap monoton.

Tapi jeda yang kulalui, mungkin sudah terlalu lama. Bahkan kini, aku seperti kehilangan jalan yang dulu kurintis dan selalu kutapaki untuk menemukan satu cerita menakjubkan dalam waktu yang singkat. Aku seperti kehilangan keterampilan dan kembali seperti penulis pemula yang selalu kebingunan mengawali tulisan, hingga seringkali mengakhiri tulisan dengan menghapusnya kembali. Aku seolah kehabisan daya sebagai penulis fiksi.

Dengan perasaan yang galau, sedari tadi aku hanya berlalu lalang di dalam kamarku yang sunyi. Terus mengamati objek di segala arah, dan berharap ada satu cerita yang dapat kurangkai darinya. Sesekali juga kulayangkan pandangan ke luar jendela, ke hamparan tetumbuhan dan bentangan danau sambil berdoa semoga ada ilham cerita darinya. Kuamati pula anak manusia yang berlalu di jalan bawah sana, dan bermunajat semoga ada laku dari mereka yang bisa menjadi bahan ceritaku.

Dari lantai empat bangunan tempatku berada, aku bisa menyaksikan keindahan alam yang terlupakan, orang-orang yang mondar-mandir dan tak saling menyapa, juga objek-objek acak lainnya. Semua mengandung masalah yang bisa kuramu dalam sebuah cerita. Namun tetap saja, sulit bagiku merangkai komponen-komponen itu ke dalam satu cerita yang utuh. Dan lagi-lagi, aku mulai berpikir untuk berhenti saja menjadi seorang penulis fiksi yang selalu berkutat dengan imajinasi, kemudian banting setir menjadi seorang penulis berita yang menulis keadaan apa adanya.

Hingga akhirnya, mataku tertuju pada seorang gadis pada sebuah balai kecil di tepi danau yang jauh dari lintasan manusia. Seorang gadis yang mengenakan baju putih berlengan panjang, dengan rok bercorak batik bunga-bunga. Ia terlihat menyendiri saja di samping sebuah buku dan tas ransel. Sesekali memandang jauh ke arah danau yang tampak tak bertepi, atau tunduk termenung ke arah rerumputan yang tumbuh liar. Dan seketika, aku merasa ada ketidaklaziman pada dirinya yang patut menjadi inspirasi ceritaku.

Perlahan-lahan, aku mulai mengondisikan diriku menjadi dirinya. Menjadikan ia sebagai objek bagiku untuk menemukan tanya dan pengandaian-pengandaian, sebagaimana penulis fiksi yang pada dasarnya hanya menjawab pertanyaan yang ia ciptakan sendiri tentang “bagaimana jika”. Hingga aku mulai membayangkan kalau-kalau dirinya adalah seorang wanita yang dilanda kegundahan sebab takdir Tuhan tak kunjung mempertemukan ia dengan belahan jiwanya.

Beberapa waktu kemudian, ia tampak menyobek sehalaman kertas buku tulis yang tergeletak di sampingnya. Ia lalu menulis pada kertas yang menumpu di pahanya, secara menjeda-jeda. Aku pun menduga kalau ia sedang menulis sebuah puisi penantian untuk seorang kekasih yang masih di alam misteri. Kupikir begitu sebab ia tampak berkhayal dengan penuh kekhidmatan, bukannya gelisah dengan penuh kesedihan atau kekesalan seakan-akan ia sedang mengutuk seseorang yang telah ia kenal sebelumnya.

Tak berselang lama, ia tampak meletakkan secarik kertas yang telah ia tulisi dengan kata-kata. Ia kemudian menumpukan kedua kakinya di atas lantai balai, lalu memeluknya begitu erat, seolah-orang itu adalah raga sesosok manusia. Sembari memandang sang surya yang mulai menjingga di ufuk barat, ia terlihat mengatup-ngatupkan mulutnya, seperti sedang bernyayi. Dan kukira, ia tengah melantunkan lagu-lagu penantian yang menggambarkan kerapuhannya dalam penantian.

Setelah berlalu waktu yang lama, ternyata sang gadis betah juga. Sesekali ia hanya mencoba melegakan badan dengan terlentang sejenak, menyelonjorkan kaki ke bawah lantai, atau menggerakkan badan ke samping kiri dan kanan secara bergantian. Sampai akhirnya, mentari benar-benar tenggelam. Yang tersisa hanya cahaya temaram dari bulan yang memantul ke permukaan danau. Namun tetap saja ia tak beranjak-pergi ke mana-mana.

Gelap malam pun kini menyamarkan penampakan sang gadis dari pandanganku. Aku tak bisa lagi melihat raut wajahnya yang sendu. Tapi aku masih melihat siluet raganya di balik bias cahaya bulan di danau. Aku masih sanggup menerka kala ia mengeluarkan seperangkat alat dan botol-botol dari tasnya, atau ketika ia berdiri dan tampak memasang tali di langit-langit balai bak memasang ayunan. Dan aku sungguh menyukai ketidakjelasan itu, sebab pikiranku bisa memunculkan pengandaian-pengandaian liar yang kubutuhkan untuk membuat cerita yang dramatis dan tragis.

Namun atas konsep cerita yang tak utuh di benakku sedari awal, akhirnya aku terjebak pada jalan cerita yang buntu. Alur cerita yang kurangkai terkesan abstrak dan mengawang-awang. Aku pun kelimpungan mencari akhir yang mengesankan. Sejak tadi, aku hanya merangkai huruf-huruf deskriptif tentang dirinya dalam beberapa halaman, dan aku tak punya konsep tentang konflik dan klimaks yang masuk akal.

Berjuanglah aku dengan pikiran seluruhnya. Kukerahkan daya imajinasiku untuk meramu akhir yang baik. Aku punya beberapa opsi. Namun akhirnya, aku memilih menandaskan cerita dengan menyatakan bahwa si gadis ditemukan oleh seorang lelaki pencari ikan yang kemudian menjadi kekasihnya, meski itu jelas akhir cerita yang terkesan biasa. Tapi aku tak punya pilihan yang lebih baik. Aku jelas tak suka memasukkan unsur mistik yang tak realistis dalam cerita, semisal menyatakan bahwa ia adalah bidadari yang tiba-tiba menghilang entah ke mana. Pun, aku tak punya ketegaan untuk menyatakan bahwa ia mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri ke dalam danau.

Puas atau tidak, aku tetaplah senang sebab aku telah berhasil menyelesaikan satu cerita. Aku seperti kembali menemukan bagian diriku yang telah menghilang sejak lama. Dan untuk ambisi yang biasa-biasa saja, aku pun mengunggah tulisan itu di blog pribadiku yang telah terabaikan dalam waktu yang lama, sambil berharap semoga ada beberapa orang yang akan tersesat di dunia maya dan sudi membacanya. Setelah itu, aku pun mengucapkan selamat malam di dalam hati untuk si gadis misterius, dan mulai menyambut mimpiku dalam lelap dengan perasaan yang tenang.

Dan akhirnya, waktu bergulir cepat. Pagi telah tiba. Cahaya mentari merasuk ke dalam ruang kamarku. Aku pun terbangun setelah melalui tidur pulas yang menenangkan. Lekas kemudian, aku menyibak jendela dan mengecek keberadaan si gadis. Hingga kusaksikanlah akhir tentang dirinya yang begitu menyesakkan, yang dalam cerita pun tak tega kunyatakan: si gadis tampak terbujur kaku dengan kaki yang tak sampai menapak di tanah; Lehernya terikat pada sutas tali yang menggantung di langit-langit balai.

Seketika, aku merasa suasana pagi jadi sangat dingin dan kelabu. Aku menggigil sepenuh jiwaku.