Senin, 14 Mei 2018

Realitas dalam Cerita Fiksi

“…we are the sum of all the moments of our lives and that anybody who sits down to write is gonna use the clay of their own life, that you can't avoid that.”

Sumber gambar: mafab.hu


Bagaimana jika cerita fiksi hanyalah rekaan semata dari sebuah kenyataan hidup di masa lalu? Bagaimana jika seseorang yang dituliskan dalam sebuah cerita fiksi, datang dari masa lalu, kemudian hadir kembali dalam kehidupan seorang penulis? Bagaimana jika kenangan masa lalu yang disamarkan dalam sebuah cerita fiksi, kembali menyeruak dan mempertanyakan masa depan?

Paling tidak, jawaban dari pertanyaan di atas, menjadi pokok cerita sebuah film berjudul Before Sunset. Film yang disutradarai Richard Linklater, serta dirilis tahun 2004 ini, menceritakan seorang penulis bernama Jesse (diperankan Ethan Hawke) yang berhasil menggubah sebuah novel popular tentang seorang wanita yang dicintainya di masa lalu, Celine (diperankan Julie Delpy).

Film yang berdurasi 80 menit ini, dan hampir seluruh adegannya cuma berisi percakapan Jesse dan Celine, dilatarbelakangi oleh kisah masa lalu kedua tokoh tersebut. Sembilan tahun sebelumnya, mereka sempat bertemu di atas sebuah kereta dari Budapest menuju ke Wina. Pada momen itulah, mereka menjalani kisah romantis, sehingga mereka pun mengikat janji untuk bertemu kembali di Wina enam bulan setelahnya, namun pertemuan itu tak terwujud.

Setelah terpisah selama sembilan tahun, sebenarnya Jesse tak pernah berharap kisah mereka akan berlanjut. Sebagai penulis, Jesse hanya ingin menulis cerita untuk mengabadikan kenangan manisnya bersama Celine di masa lalu. Paling tidak, ia cuma ingin mengarsipkan kisah cintanya yang menggantung.

Kenyataan kemudian membuat Jesse terperangah. Ketika sedang mempromosikan bukunya di salah satu toko buku di Paris, tanpa terduga, Celine datang menampakkan diri. Seketika juga, kenangan yang telah ia luruhkan dalam cerita fiksi, kembali menyeruak. Muncullah tanya-tanya dari satu cerita yang telah ia tamatkan dalam sebuah novel.

Sebelum waktu penerbangannya kembali ke Amerika, Jesse dan Celine pun berkeliling dan menghabiskan waktu lebih dari satu jam. Mereka berdua larut dalam obrolan yang panjang tentang bagaimana bisa mereka harus terpisah begitu lama, sampai hanya menghasilkan satu cerita yang menggantung, entah di dalam kehidupan nyata atau cerita fiksi.

Celine memang bisa membaca jelas kalau dirinya menjadi tokoh dalam cerita novel Jesse. Ia pun terus mengulik, dan Jesse memang tak bisa mengelak. Dan bagi Celine, ada rasa yang aneh atas kenyataan tersebut, sebab ia harus menerima kenyataan bahwa hubungan cintanya dengan Jesse akan abadi dalam cerita, meski tak demikian dalam kenyataan:


“Reading something, knowing the character in the story is based on you, it's both flatterin and disturbing at the same time,” kata Celine.

Jesse sontak bertanya, “How is it disturbing?”

“I don't know. Just being part of someone else's memory,” kata Celine. “Seeing myself through your eyes.”


Mereka pun terus menjalani obrolan yang panjang, entah di sebuah kafe, sepanjang langkah berdua di taman kota, hingga perjalanan singkat di atas sebuah perahu. Dan terkuaklah kalau takdir memang tak berpihak pada mereka. Janji mereka untuk kembali bertemu di Wina, tak terwujud sebab di hari yang sama, nenek Celine meninggal, sedang mereka tak berbagi kontak dan alamat.

Dan takdir yang tak memihak, semakin terasa kala mereka tahu bahwa di tengah kerinduan mereka bertahun-tahun, mereka pernah berada di titik yang berdekatan, tapi tak pernah saling mengindrai. Mereka pernah berada di New York di waktu yang sama, bahkan mereka bertetangga saat Jesse melangsungkan pernikahan di bawah bayang-bayang Celine. 

Terima atau tidak, takdir telah membuat kebersamaan mereka tak patut untuk diharapkan lagi. Jesse telah menikah dan memiliki seorang anak, sedangkan Celine yang bekerja sebagai aktivis lingkungan, masih lajang. Dilemanya, mereka sungguh masih saling mengharapkan. Karena itulah, Jesse sulit merasakan kebahagiaan dalam perkawinannya, sedang Celine merasa kehilangan hasrat untuk membangun relasi serius dengan lelaki lain setelah kisahnya dengan Jesse menggantung.

Meski memiliki jalan takdir yang tak menyatu, Jesse dan Celine bisa menerima kenyataan hidup. Mereka tak saling menyelahkan. Mereka, secara dewasa, mampu menempatkan masa lalu hanya sebagi kenangan yang hanya patut untuk dikenangkan, bukan untuk disesali dan dituntut. Mereka menjalani sesi perjumpaan, tanpa rasa cinta karena benci, dan tanpa rasa benci karena cinta. 

Bagi Jesse dan Celine, berjumpa kembali setelah bertahun-tahun berpisah, sembari mengulas kenangan bersama-sama, juga memperjelas sebab-sebab sampai semuanya berakhir jadi kenangan, sudah lebih dari cukup. Mereka mencintai perpisahan, sebagaimana mereka mencintai pertemuan:


“You want to know why I wrote that stupid book?” pancing Jesse.

Celine penasaran. “Why?”

Jelas Jesse, “So that you might come to a reading in Paris, and I could walk up to you and ask, ‘Where the fuck were you?’”

“No, you think I'd be here today?” kata Celine sambil tertawa.

“I'm serious. I think I wrote it, in a way, to try to find you,” tegas Jesse.


Pada akhirnya, mereka harus kembali berpisah. Mereka menjelang akhir perpisahan itu di kediaman Celine. Dan sebelum kebersamaan mereka benar-benar berakhir, Celine pun mendendangkan sebuah lagu yang mengisahkan tentang kenangan cinta mereka di masa lalu, juga kerinduan yang menggebu dalam waktu yang lama, yang mungkin akan kembali berulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar