Senin, 30 April 2018

Politik di Ruang Agama

Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais kembali menyentak khalayak. Pasalnya, ia melontarkan pernyataan bernuansa politis saat memberikan ceramah dalam acara syukuran satu tahun Ustadzah Peduli Negeri di Balai Kota Jakarta, Selasa, tanggal 24 April. 

Pada kesempatan tersebut, Amien mempersinggungkan persoalan politik praktis dengan agama. Ia menyatakan bahwa kemenangan Anies Baswedan sebagai gubernur Jakarta adalah keajaiban Tuhan, meramal Anies sebagai penyelamat negeri, menyatakan elektabilitas Jokowi akan merosot sambil menunjuk foto sang presiden, juga menyangkutpautkan ibadah kapada Tuhan dengan kemenangan dalam pertarungan politik.[1]

Tapi bagian pernyataan Amien yang paling menyita perhatian adalah ketika ia mengimbau kepada para ustazah yang hadir agar menyisipkan persoalan politik dalam kajian keagamaan. “Saya mohon ya, ini kita jangan kehilangan momentum ini. Ini baru jelang pilpres. Ustazah kalau peduli negara, pengajian disisipkan politik itu harus. Harus itu," kata Amien.[2]

Pernyataan Amien yang juga mantan ketua MPR itu, akhirnya mendapatkan respons sinis dari berbagai kalangan masyarakat. Protes itu berasal dari orang-orang yang menilai bahwa tak sepatutnya forum keagamaan disusupi kepentingan politik praktis, apalagi terang-terangan sebagai program. Alasannya karena aspek agama rentan dipolitisasi, hingga menimbulkan keretakan sosial.

Agama dan Negara

Masuknya unsur politik dalam ruang keagamaan, harus dilihat dalam kerangka hubungan agama dan negara. Hasilnya penting untuk menjadi titik tolak dalam melihat posisi agama pada kontes politik kenegaraan. Yang perlu diketahui adalah terkait sejauhmana politik dan agama dapat dicampur-baurkan. Pun, apakah keduanya punya posisi yang seimbang atau saling mendominasi.

Jawaban atas pertanyaan di atas, tentu harus merujuk pada UUD NRI Tahun 1945 sebagai dasar bangunan kenegaraan. Dan hasil telaah itu menunjukkan bahwa dalam konsitusi, agama dan negara memiliki dimensi yang berbeda, meski tetap berada dalam ruang yang sama. Dalam artian, persoalan agama dan negara, menyatu dalam konteks keindonesian, meski berbeda ranah, seperti minyak dan air dalam sebuah botol.

Posisi agama dalam negara, dapat disandarkan pada Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945, yang berada dalam Bab XI tentang Agama. Pada ayat (1) pasal tersebut, jelas dinyatakan bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ini berarti bahwa negara Indonesia dilingkupi oleh semangat keagamaan, dan tidak diperkenankan sebaliknya. 

Secara tersirat, maksud negara berketuhanan, juga berarti bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan semua agama. Negara tidak hanya mengakui satu agama sebagai agama kenegaraan, tetapi semua agama ditempatkan pada kedudukan yang sama dalam tubuh negara. Oleh karena itu, yang dikehendaki oleh konstitusi adalah negara yang beragama, tanpa adanya agama negara.

Untuk menjamin prinsip negara berketuhanan, Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ini artinya, setiap orang yang berada di negara Indonesia, baik warga negara maupun warga asing, diberikan jaminan oleh negara untuk menjalankan ibadat agamanya.

Lalu, jika tidak ada satu agama sebagai pedoman bernegara, pada apakah negara ini berdasar? Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI Tahun 1945, jelas menggariskan bahwa negara Indonesia yang berbentuk kesatuan, menganut sistem kedaulatan rakyat yang berdasarkan hukum. Artinya bahwa negara ini tidak didasarkan pada sistem teokrasi yang menjadikan perintah Tuhan melalui kitab suci sebagai dasar bangunan negara, melainkan pada kehendak umum setiap individu yang dirumuskan dalam bentuk aturan hukum.

Pada hakikatnya, pemisahan dimensi negara dan agama, bukanlah berarti bahwa negara tak punya kepentingan untuk mengembangkan agama. Alasannya lebih pada menghindari kemungkinan penyelewenang, pembatasan, atau pembungkaman ajaran agama oleh pemegang kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan negara. Agama pun jadi tak mungkin terkungkung dalam batasan negara yang sempit, tapi hidup dalam diri setiap individu, tanpa paksaan ataupun pembatasan.

Soal hubungan agama dan negara ini, kiranya perlu merujuk pendapat Presiden Soekarno kala mengkaji terkait sekularisasi di Turki yang digagas oleh Kemal Attaturk. Pada soal itu, Soekarno menilai bahwa agama harus hidup pada diri setiap individu bangsa dengan kesadaran dan kehendak sendiri, bukan malah dipaksakan hidup melalui sistem kenegaraan.

Soekarno menuliskan, “Jika rakyat berkobar-kobar keislamannya, tentu parlemen dibanjiri oleh ruh Islam, dan semua putusan parlemen adalah bersifat Islam; rakyat padam keislamannya, tentu parlemen sunyi dari ruh Islam dan semua putusan parlemen tidak bersifat Islam. Kalau berkobar-kobar keislaman itu, maka itulah benar-benar ruh Islam yang sejati, yang “laki-laki”, oleh karena berkobar-kobarnya itu karena tenaga sendiri, ikhtiar sendiri, jerih payah sendiri, tekad dan jiwa sendiri, zonder asuhannya negara, zonder pertolongannya negara, zonder perlindungannya negara. Bukan lagi keislamannya itu satu keislaman peliharaan yang hidupnya karena selalu mendapatkan “cekokan obat” dari negara dan bukan satu keislaman bikin-bikinan.”[3]

Akhirnya, nyatalah sudah, bahwa dalam konteks Indonesia, penyelenggaran negara tidak punya kuasa untuk mengatur agama. Dalam batas-batas tertentu, negara hanya boleh mengadakan aturan hukum sepanjang itu untuk kepentingan perlindungan penganut agama dan kepercayaan. Sebaliknya, penganut agama juga tak punya kuasa untuk memaksakan dalil-dalil agamanya menjadi ketentuan yang harus diberlakukan oleh negara. Agama dan negara berbeda dimensi di dalam satu ruang, tidak terpisah, dan saling mendukung untuk perkembangan masing-masing.
 
Ruang Politik dan Agama

Berangkat dari kerangka hubungan negara dan agama yang digariskan dalam konstitusi, maka perhubungan politik kenegaraan dan aktivitas keagamaan pun, disusun berdasarkan nilai-nilai konstitusi. Karena itu, politik kenegaraan, khususnya terkait proses seleksi dan eleksi kepemimpinan melalui memilihan umum, diatur secara khusus, termasuk mengantisipasi persinggungan yang tidak tepat antara urusan politik kenegaraan dengan agama.

Perlindungan dimensi agama dari permainan politik praktis dalam lingkup negara, dapat dilihat dalam kerangka peraturan perundang-undangan pemilihan umum. Dalam Pasal 280 ayat (1) huruf c UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dinyatakan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain.” Pelanggaran atas ketentuan tersebut, berdasarkan Pasal 521 UU yang sama, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp. 24 juta.

Klausul yang sama juga tercantum dalam Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang telah disahkan sebagai undang-undang melalui UU No. 1 Tahun 2015, dan terakhir diubah melalui UU No. 10 Tahun 2016. Pasal 69 huruf b UU tersebut menyatakan bahwa dalam kampanye dilarang, “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Bupati, Calon Walikota, dan/atau Partai Politik”. Setiap orang yang melanggar ketentuan itu, berdasarkan Pasal 187 ayat (2) aturan yang sama, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan atau paling lama 18 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600 ribu atau paling banyak Rp. 6 juta.

Aturan di atas, selanjutnya, ditegaskan pula dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Pasal 17 huruf b peraturan tersebut menegaskan bahwa materi kampanye harus “menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa.” Sedang pada huruf f pasal yang sama, ditegaskan bahwa materi kampanye harus “menghormati perbedaan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat.”

Di luar dari konteks pesta demokrasi, memainkan isu-isu agama untuk kepentingan politik, juga dapat bersinggungan dengan pasal pidana dalam beberapa peraturan perundang-undangan, khususnya jika masuk dalam kualifikasi perbuatan provokasi unsur sara dan ujaran kebencian. Hal itu misalnya terkait pidana penghasutan dalam Pasal 160 ayat (1) KUHP, atau pidana penodaan agama dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Jika aturan hukum negara menghendaki perlindungan agama dari permainan politik, sebaliknya, institusi keagamaan juga mengambil sikap untuk menghindari masuknya dimensi agama dalam ruang politik praktis. Paling tidak, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kiai Ma'ruf Amin menegaskan hal itu ketika angkat bicara terkait imbauan Amien Rais agar persoalan politik disisipkan dalam forum pengajian agama. Menurutnya Ma’ruf, pengajian tidak boleh dipolitisasi untuk kepentingan politik jangka pendek. "Itu yang kita harapkan. Jangan tempat ibadah, kantor pemerintahan, pengajian-pengajian, dijadikan sebagai forum untuk kampanye," katanya, Jumat, 24 April 2018.[4]

Pernyataan serupa, sebelumnya juga pernah disampaikan oleh Wakil Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan. Ia bahkan mengatakan bahwa sikap dan perilaku orang-orang yang melakukan politisasi agama untuk kepentingan tertentu adalah haram. Menurutnya, jika agama disalahgunakan dan dijadikan alat untuk mempolitisasi suatu kepentingan tertentu, hal tersebut merupakan perbuatan yang sesat. “Menyesatkan. Lebih tinggi dari haram. Sesat itu kalau agama dipolitisasi,” ujarnya, Selasa, 26 Desember 2017.[5]

Adanya sikap pemuka agama untuk menghindarkan agama dari tindak politisasi demi kepentingan pragmatis, jelas menunjukkan bahwa agama harus dilindungi dari kepentigan politik praktis yang seringkali berpandangan sempit dan lebih suka menonjolkan perbedaan ketimbang persamaan. Tujuannya tentu untuk menghindari “pembusukan” nilai-nilai agama dalam ruang politik.

Menyikapi Politisasi Agama

Politisasi agama, dalam hal ini, menyusupkan unsur aksidental agama dalam pertarungan politik, akhirnya kontraproduktif dengan semangat pluralisme-kebangsaan di negara ini. Politik praktis, khususnya dalam soal pemilihan pejabat publik, jelas bergelimang dengan kepentingan sempit, yang bisa saja menodai kesucian agama, sebagaimana adagium dalam dunia politik bahwa “tak ada kawan sejati dalam politik, kecuali kepentingan.” 

Pembauran dimensi agama dengan politik praktis yang pragmatis dan cenderung menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi atau kelompok, jelas mengandung potensi yang membahayakan. Dalil agama yang pada dasarnya mengandung nilai humanisme yang universal, bisa saja dipelintir demi kemenangan di kontes politik. Akhirnya, agama yang harusnya menyampaikan pesan perdamaian di tengan suasana politik yang gaduh, malah menjadi bahan bakar kegaduhan.

Tak salah kemudian kalau dimensi-dimensi keagamaan yang sifatnya aksidental, menjadi terlarang untuk diumbar-umbar demi kepentingan politik praktis. Tujuannya bukan untuk menghilangkan nilai-nilai keagamaan dalam percaturan politik, tapi lebih pada menghindari penodaan agama dalam ruang-ruang politik. Politik yang berdasarkan nilai agama, jelas saja berdampak baik. Namun dalam kenyataannya, gelanggang politik praktis senantiasa tak bicara soal nilai agama yang menyatukan, tetapi memperalat sisi aksidental agama untuk memecah-belah para pihak.

Lalu, bisakah disimpulkan bahwa politik praktis hanya baik untuk orang-orang yang tidak peduli agama? Atau bisakah dikatakan bahwa orang-orang yang hendak menegakkan agama tak patut terjun dalam pertarungan politik praktis? Tentu saja jawabannya, tidak. Pada konteks politik dalam arti luas, yang melampaui soal-soal pemilihan pejabat publik semata, nilai-nilai agama harus tetap digaungkan, semisal perspektif keagamaan soal konsep kesejahteraan dan keadilan mayarakat secara umum.

Di sisi lain, pembauran agama dengan aspek politik dalam arti sempit dan praktis, sudah seharusnya dihindari semua pihak. Sentilan-sentilan agama dalam pesta politik, khususnya dalam prosesi pemilihan umum, sangat berpotensi menimbulkan pertikaian antarumat beragama. Terlebih lagi jika yang terlibat dalam pertempuran politik adalah orang-orang pragmatis yang sudi menghalalkan segala cara untuk mencuri kemenangan, bahkan sampai mengharamkan sesuatu yang halal dalam agama, atau sebaliknya.

Dalam soal ini, perlu kiranya merenungi pernyataan seorang humanism, Mahatma Gandhi, “Untuk dapat melihat semangat kebenaran yang universal dan mencakup segala itu, seseorang harus menyayangi ciptaan paling buruk sebagaimana dirinya sendiri. Dan orang yang beraspirasi demikian tidak akan mampu menghindari setiap bidang kehidupan. Inilah sebabnya mengapa kecintaan saya pada kebenaran telah membawa saya masuk ke bidang politik. Maka saya dapat mengatakan tanpa ragu sedikit pun, tetapi tetap dengan segala kerendahan hati, bahwa mereka yang menyatakan bahwa agama tidak ada hubungannya dengan politik, tentu tidak tahu, apakah sebenarnya agama itu.”[6]

Sekali lagi, bolehkah politik disusupkan dalam ruang agama, atau sebaliknya? Tentu saja, jawabannya, boleh dan layak, selama seseorang yang berpolitik praktis memiliki pandangan-pandangan keagamaan yang tidak sempit, yang tidak melihat kepentingan lain selain kebaikan untuk semua manusia yang hendak di wakilinya. Paling tidak, sebagaimana maksud Mahatma Gandhi, bahwa politik adalah untuk kepentingan kemanusiaan, bukan untuk segelintir orang. Lalu, sudahkan para politisi yang mengaku agamais di negara ini menghayati dan bicara tentang kemanusiaan sebagai nilai luhur agama dalam percaturan politik, bukan tentang kepentingan diri sendiri dan kelompok?



[1] Kompas.com, "6 Hal Politis yang Disampaikan Amien Rais di Balai Kota", https://megapolitan.kompas.com/read/2018/04/25/07430421/6-hal-politis-yang-disampaikan-amien-rais-di-balai-kota, diakses pada 29 April 2018, pukul 10.00 Wita.
[2] Ibid.
[3] Soekarno, 2017, Islam Sontoloyo, Cetakan XI, Sega Arsy: Bandung, hlm. 106-107.
[4] Jawapos.com, Tegas! Begini Tanggapan Ma'ruf Amin Soal Amien Rais, https://www.jawapos.com/read/2018/04/27/208101/tegas-begini-tanggapan-maruf-amin-soal-amien-rais, diakses pada 29 April 2018, pukul 10.20 Wita.
[5] Tempo.co, MUI: Politisasi Agama itu Menyesatkan dan Lebih dari Haram, https://nasional.tempo.co/read/1045158/mui-politisasi-agama-itu-menyesatkan-dan-lebih-dari-haram, diakses pada 29 April 2018, pukul 10.28 Wita.
[6] Mahatma Gandhi, 2016, Semua Manusia Bersaudara, Cetakan III, Yayasa Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, hlm. 72.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar