Selasa, 08 Mei 2018

Penulis yang Hanya Ingin Menulis

Sumber gambar: itunes.apple.com
Apa yang membuat seseorang ingin menjadi penulis? Pasti banyak jawaban untuk pertanyaan ini. Mungkin ada yang ingin menjadi tenar, banyak penggemar, atau kaya raya. Mungkin ada juga yang sekadar ingin menulis untuk membagikan keluh-kesahnya pada orang lain. Bahkan pada kadar yang paling membatin, penulis mungkin sekadar ingin memamerkan kelihaiannya menyusun kata pada orang di luar sana, entah siapa.
 
Jadi, pada intinya, penulis membutuhkan keberadaan orang lain. Tidak hanya sebagai pembaca, orang lain mungkin juga memberi balasan berupa meteri atau morel. Atau paling tidak, keberadaan orang lain itu, sekadar diharapkan penulis untuk memberinya ketenangan batin, bahwa akan ada orang di luar sana yang sudi membaca tulisannya. Jadi, seorang penulis memiliki ketergantungan pada orang lain, sebagaimana komunikasi pada umumnya. Tanpa orang lain, serasa tak ada daya bagi seorang penulis.

Jikalau penulis bergantung pada keberadaan orang lain, maka bisalah dikatakan bahwa kesendirian berarti kematian bagi seorang penulis. Nyawa seorang penulis, melekat pada respons orang lain, atau paling tidak, melekat pada respons yang ia harapkan dari orang lain. Dan karena itu, daya kreasi akan selalu diperoleh seorang penulis dari luar, bukan dari dirinya sendiri. Ini berarti bahwa tanpa balasan materi, pujian, atau sekadar harapan akan adanya pembaca rahasia, penulis akan berhenti menulis.

Tapi sejarah tak selamanya linier dengan persepsi manusiawi secara umum, begitupun sejarah kehidupan para penulis. Tak selamanya penulis membutuhkan balasan sebagaimana lazimnya dipikirkan orang banyak. Menulis, bagi beberapa penulis, mungkin dilakukan demi diri sendiri, tanpa ada alasan yang mengggantung pada orang lain. Dan penulis jenis inilah yang tak akan pernah bisa dimatikan. Seorang yang akan terus menulis hanya karena ia ingin menulis.

Jalan hidup Jerome David Salinger, mungkin menjadi satu ketidaklaziman dalam dunia penulisan. Ia adalah seorang penulis Amerika Serikat yang mendedikasikan dirinya untuk menjadi seorang penulis, tanpa berharap dihargai sebagai seorang penulis pada umumnya. Jika bagi penulis lain menganggap menulis adalah sebuah keharusan untuk mengaktualisasikan eksistensi diri di dunia luar, maka bagi Jerry, menulis adalah satu kebutuhan untuk dirinya sendiri.

Kehidupan Salinger sampai mengukuhkan diri sebagai penulis sejati, tergambar jelas dalam film berjudul Rebel In The Rye, sebuah film tentang biografi kehidupannya yang dirilis pada bulan September 2017. Film berlatar waktu tahun dekade 1930 tersebut, menggambarkan secara detail pergulatan hidup Salinger alias Jerry (diperankan Nicholas Hoult), sampai akhirnya ia memutuskan untuk tidak lagi menulis demi apa-apa atau siapa-siapa, tetapi demi dirinya sendiri -sebuah paradoks yang bagi awam, mungkin sulit dicerna akal dan rasa.

Sebagaimana penulis pada umumnya, Jerry muda melalui waktu yang panjang sebagai penulis yang terobsesi dengan popularitas dan pendapatan materi dari aktivitas menulis. Ia rela menentang kehendak ayahnya yang menekankan agar ia mengurus saja bisnis distribusi susu dan keju milik keluarganya, yang tentu lebih menjamin untuk kesuksesan hidupnya. Jerry tak menginginkan kesuksesan dengan jalan demikian, dan ia kukuh mengejar kesuksesannya sebagai seorang penulis fiksi, khususnya cerita pendek.

Through the course of my fascinatingly dull life, I've always found fiction so much more truthful than reality. And yes, I'm aware of the irony,” batin Jerry.

Atas dukungan ibunya, Jerry akhirnya berhasil memulai langkah menjadi seorang penulis. Ia menjadi seorang mahasiswa di sebuah akademi penulisan kreatif. Di sanalah ia kemudian bertemu dengan Whit Burnett (diperankan Nicholas Hoult) yang akhirnya menjadi dosen sekaligus mentornya dalam mengembangkan bakat dan minat menulis.

Imagine the book that you would want to read, and then go write it,” pesan Whit Burnett pada Jerry.

Demi mewujudkan cita-citanya, juga demi mematahkan keraguan sang ayah bahwa ia bisa jadi penulis besar, Jerry pun semakin gigih untuk terus menulis. Ia menulis cerita pendek dengan sangat produktif. Dan demi mendapatkan popularitas dan penghasilan materi dari kegiatan penulis, ia pun menawarkan gubahannya ke beberapa penerbit. Tapi sebagaimana penulis pada mulanya, Jerry pun melewati fase kala tulisannya ditolak berulang kali.

“Are you willing to devote your life to telling stories knowing that you may get nothing in return? And if the answer to that question is no, well then you should go out there and find yourself something else to do with your life,” nasihat Whit Burnett pada Jerry yang merasa gerah dengan penolakan penerbit.

Uniknya, penolakan penerbit atas tulisan Jerry, pada intinya, tidaklah mendasar. Tulisannya ditolak hanya karena gaya penulisannya yang mendobrak selera zaman. Ia menulis dengan gaya sarkastik yang tak lazim bagi pembaca, juga dengan teknik penceritaan yang terlalu mendetail. Jika saja ia bersedia mengadakan pernyesuaian menurut saran penerbit, tulisannya bisa saja diterbitkan. Namun atas wataknya yang keras kepala, ia malah menolak. Baginya, kemurnian gaya bahasa dan cerita harus bersandar pada integritas sang penulis semata, bukan yang lain.

Jadilah Jerry seorang penulis yang melawan publisitas bersyarat. Ia kukuh pada pendiriannya untuk tidak berkompromi dengan siapa pun yang berusaha mengubah gaya penulisan dan kemurnian cerita gubahannya. Tapi keunikan tulisan Jerry, malah menjadi daya tarik tersendiri bagi Whit Burnett. Tulisannya terkesan punya ciri khas yang berbeda dengan penulis lain. Hingga sang mentor yang juga editor terbitan sastra Story Magazine, menerbitkan gubahannya, dan berhasil mendapat sambutan hangat dari pembaca.

Dari cerita pertamanya yang berhasil dipublikasikan itu, Jerry akhirnya semakin bersemangat untuk terus menulis tentang tokoh khalayannya, Holden Caulfield, yang ia ciptakan di awal penulisannya, bahkan sebelum ia jatuh hati pada seorang gadis, Oona O'Neill (diperankan Zoey Deutch), yang juga sempat ia sematkan sebagai tokoh dalam ceritanya. Tanpa henti ia terus menulis, sampai jadilah rangkaian cerita yang rencana akan diterbitkan dalam bentuk kumpulan cerita pendek di Story Magazine.

Tapi di sela karirnya yang mulai menanjak, Jerry harus menjeda kegilaannya dalam menulis. Atas kebijakan negara, ia direkrut sebagai tentara di perang dunia II melawan tentara nazi Jerman, dan harus berjuang sembari mempertaruhkan nyawanya. Sebagai warga negara, ia tentu tak menolak. Dan keteguhannya turut serta berperang semakin kukuh setelah sang pujaan hati, Oona, menikah dengan lelaki lain, Charlie Chaplin, di tengah-tengah keberangkatannya menuju medan perang.

Bersama dengan rasa kecewa atas cinta, berangkatlah Jerry menuju medan pertempuran. Ia berangkat beserta tokoh ceritanya, Holden Caulfield, yang sedari dulu hidup dalam kepalanya. Berbekal pena dan kertas, ia pun terus melanjutkan gubahan ceritanya di tengah situasi peperangan yang mencekam. Ia terus menulis tentang Holden yang seakan-akan menyertainya sepanjang waktu. Bahkan semangat hidupnya jadi tak redup demi menuliskan hidup sang tokoh cerita.

Sampai akhrinya, perang berakhir dan menimbulkan trauma bagi Jerry. Ia pun harus menjalani perawatan di rumah sakit jiwa akibat trauma mendalam yang menghilangkan daya kepenulisannya. Ia jadi tak sanggup melanjutkan cerita gubahannya, sebab itu akan teringat pada situasi perang yang mencekam. 

Setelah kondisi kejiwaannya mulai membaik, ia akhirnya keluar dari rumah sakit jiwa. Namun ia harus menghadapi kenyataan pahit, bahwa kumpulan cerita pendek yang ia titipkan pada Whit Burnett sebelum berangkat ke medan perang, tak jadi diterbitkan karena usaha majalah sang mentor terkendala faktor finansial. Ia pun jadi semakin kalut, sebab publikasi cerita pendeknya itu, merupakan alasan terbesarnya untuk bertahan hidup dan kembali. Karena alasan itu pula, ia jadi berjarak dengan sang mentor yang notabene orang yang sangat berperan dalam karirnya sebagai penulis.

Di tengah rasa traumatis dan kekalutan sebab daya menulisnya tak kunjung pulih, ia pun bertemu dengan seorang guru spiritual, Swani Nikhilananda (diperankan Bernard White), yang mampu membimbingnya dengan baik. Bijaknya, menulislah yang menjadi cara bagi sang guru spiritual untuk menyembuhkan Jerry dari perasan trauma atas peperangan. 

You write to show off your talent or to express what's in your heart?” singguh Swani, saat Jerrry resah sebab tak kunjung memperoleh kembali kelihaian menulisnya.

Dan mulailah Jerry masuk dalam kehidupan baru ketika menulis adalah cara untuk ia keluar dari kenangan perang yang mencekam. Baginya, enulis jadi sebuah ritual meditasi. Hingga akhirnya, ia berhasil memulihkan daya penulisannya, kemudian melanjutkan kisah tentang Holden yang telah lama tertunda. Sampai selesailah satu cerita utuh yang kemudian dirilis penerbit Little Brown dalam bentuk novel berjudul The Catcher in the Rye, tentu setelah ia berkeras mempertahankan kemurnian gubahannya di depan para editor. 

Akhirnya, tanpa diduga, novel karyanya Jerry tentang tokoh cerita, Holden Coulfield, begitu laris, hingga terjual lebih dari 65 juta kopi di seluruh dunia dalam berbagai bahasa. Ia pun menjadi seorang penulis terkenal dan sukses secara materi, sebagaimana harapannya di masa dahulu. Tapi ironis, gemerlap hidup itu, malah membuat ia merasa tak tenang, sebab keintimannya dengan tulisan, menjadi hilang akibat kepopularan.

Kata Jerry pada Whit setelah mereka diam-diam saling memaafkan, “Sometimes I wish I never wrote it. I do, it's made me a prisoner here. I'm shackled by my own creation… If I want to keep writing, it does. And that's the only time I feel any sense of peace.” 

Demi kedamaian hati dan perpaduan jiwanya dengan tulisan beserta ceritanya sendiri, Jerry akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan gubahannya dalam bentuk apa pun.
 
I don't want to publish anymore… My writing's, it's become my religion. Publishing, it gets in the way of the meditation. It corrupts it,” kata Jerry pada Dorothy Olding (diperankan Sarah Paulson), seorang agen penerbitan yang memintanya untuk kembali menerbitkan cerita.

Dan untuk tetap merasa damai dalam dunia penulisan yang sunyi, Jerry akhirnya memilih untuk menepi di tepi kota. Ia menjauh dari ingar-bingar dan tak ingin apa-apa selain menulis. Ia hanya ingin menulis tanpa gangguan siapa-siapa. Ia hanya ingin menulis untuk dirinya sendiri. Ia hanya ingin menulis, bukan untuk publisitas dan popularitas. Ia hanya ingin menulis tanpa tergantung pada balasan atau harapan di luar dirinya. Ia hanya ingin menulis, sampai akhirnya, ia tak berhenti untuk menulis.

I don't know how to be a husband, or a father, or even a friend. All I know is how to be a writer,” tulis Jerry dalam sebuah cerita untuk dirinya sendiri, yang sekadar akan ia tempel di dinding kamar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar