Perkembangan
teknologi telah menyeret kehidupan manusia ke dalam layar-layar kaca. Mengalihkan
kenyataan hidup ke dalam ragam platform media sosial. Membangun rumah-rumah di
dalam perangkat lunak, kemudian berhubungan dengan penghuni lain. Senang dan
tanpa bosan bersilaturahmi, sambil berbagi apa saja. Saking asyiknya, para
penghuni dunia maya itu, kadang lupa waktu untuk memalingkan wajah dari layar.
Tentu
ada beragam alasan orang-orang untuk bermedia sosial. Ada yang memang untuk
bersosialisasi dengan orang baru di tempat yang berbeda. Ada juga yang sekadar
untuk mendapatkan informasi terkini, atau menyimpan kenang-kenangan. Tapi alasan
yang paling umum terdengar adalah untuk menunjukkan eksistensi diri. Berusaha mempertontonkan kebolehan di akun media sosial, sembari berharap respons yang
positif dari penghuni lain.
Tapi
apa pun alasan penghuni media sosial, pada dasarnya, semua hendak
mempertunjukkan dirinya. Sebagai ruang satu arah, di mana setiap orang bisa
berbagi informasi tanpa diminta, juga tanpa rintangan siapa pun, setiap orang
bebas mengungkapkan isi hati dan pikiran untuk jadi konsumsi publik. Paling
tidak, itu dapat dilihat kebiasaan orang-orang menulis status tentang dirinya di
media sosial atas kehendaknya sendiri.
Dengan
demikian, tak salah kemudian kalau disimpulkan bahwa apa yang tersaji di ruang
media sosial, pada dasarnya adalah persoalan-persoalan yang bersifat subjektif.
Bahkan karena tak ada lawan kominikasi secara langsung yang mungkin menimbulkan
keseganan atau keengganan berbagi, unggahan-unggahan di media sosial, bisa jadi
merupakan rahasia pribadi yang tak menemukan pelabuhannya di dunia nyata.
Perihal yang sangat jujur dari hati.
Kaitan
kata hati dengan unggahan di media sosial, jelas menjadi realitas yang dianggap
paralel oleh khalayak. Apa yang terunggah, begitulah sebenarnya yang terasa. Bahkan mungkin
informasi di media sosial, lebih jujur ketimbang informasi yang
diperoleh secara langsung. Karena itu, setiap orang akhirnya saling membaca
kepribadian hanya dengan saling mengamati profil pribadi atau unggahan-unggahan
di media sosial. Bak membaca diary berisi curahan hati yang tersaji begitu saja
di layar-layar kaca.
Komunisasi tanpa lawan secara langsung di media sosial, akhirnya membuat orang
dengan bebas berkeluh-kesah tanpa banyak pikir dan perimbangan. Apa yang
senormalnya akan disembunyikan rapat-rapat di hadapan seseorang, kadang kala, malah diungkapkan di media sosial, tanpa rasa segan, takut, atau malu.
Seakan-akan setiap orang berhak mengungkapkan isi hatinya, tanpa peduli
bagaimana perasaan orang lain.
Akhirnya,
media sosial terkesan lebih jujur dan lebih emosional dibanding kehidupan
nyata. Jika di kehidupan nyata orang bercakap sambil dibatasi oleh tata karma
kesopanan, maka di media sosial, orang boleh berkeluh kesah tanpa menghiraukan sopan
santun dan kesusilaan. Yang dipedulikan adalah bagaimana mengungkapkan perasaan
diri sendiri secara gamblang, tanpa memedulikan bagaimana perasaan orang lain.
Atas
komunikasi tanpa memperimbangan emosi di media sosial, akhirnya, terjadilah ketersinggungan
dan kekisruhan antarindividu akibat unggahan yang senantiasa ditimbang dengan
rasa-rasa sendiri. Walau tanpa bertatapan langsung, seseorang bisa saja tersinggung
atas sebuah unggahan, lalu memperkarakannya di dunia nyata. Bahkan sebuah unggahan
yang bersifat subjektif, mungkin saja ditimbang dengan subjektivitas banyak orang,
yang kemudian ramai-ramai berperkara.
Imbasnya,
terjadilah fanomena yang sebenarnya unik. Orang-orang tampak saling
memperkarakan di hadapan hukum akibat komunikasi semu di media sosial. Semu,
sebab orang yang terlibat dalam interaksi media sosial, tak berhadapan secara
langsung. Tapi meski tak ada satu pun lawan komunikasi, setiap pengunggah, dianggap
berkomunikasi dengan semua penghuni media sosial di ruang akunnya, yang juga berhak menafsir, menanggapi, atau mempermasalahkan unggahannya.
Tak
pelak, lakulah delik-delik yang bisa memperkarakan orang di media sosial. Yang
paling popular adalah UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektornik, yang diistilahkan banyak orang sebagai undang-undang sapu jagat.
Alasannya karena klausul pidana dalam undang-undang tersebut, memiliki ruang
lingkup yang luas dan pontensial menjerat setiap orang yang terlibat dalam pokok
interaksi media sosial yang diperkarakan.
Sungguh,
tanpa sadar, orang-orang telah sampai di masa pemidanaan persoalan-persoalan
dunia maya yang sebenarnya semu. Tidak nyata. Karena itulah, kedewasaan dan
sikap tengang rasa di ruang media sosial, harus menjadi pegangan terbaik setiap
orang. Para pengguna media sosial harusnya sadar bahwa ruang maya itu, adalah
ruang yang gaduh dan seringkali tak memandang nilai. Karenanya, butuh kesabaran
yang kuat dalam bermedia sosial untuk menghindari pancingan emosi.
Dan
tentu saja, bagi setiap orang yang merasa tak tahan dengan kegaduhan media
sosial, harusnya menempuh cara terbaik untuk meloloskan diri, yaitu berhenti
bermedia sosial, atau paling tidak, menghindari perkawanan dengan orang-orang
yang tak peduli nilai di layar kaca. Alasannya karana setiap orang yang bermedia sosial,
harusnya paham sedari awal bahwa risiko ketersinggunagn secara emosional, sangat
mungkin terjadi di ruang maya nan liar itu.
Pada
sisi pengunggah, perlu pula adanya kesadaran bahwa media sosial adalah media
untuk bersosial. Sebab itu, ketersinggungan pribadi harusnya tak selalu
berarti menyalahkan si penanggap, bisa jadi si pengunggah sendiri yang terlalu
suka membagi kesan pribadinya pada ruang media sosial yang disesaki khalayak. Karena
itu, setiap orang perlu menghindari unggahan yang bersifat pribadi, jikalau tak
ingin soal pribadi dan kepribadiannya di media sosial, dipermasalahkan di dunia
nyata.
Akhirnya,
cara terbaik untuk menghindari ketersinggungan subjektif di media sosial adalah
membiasakan diri untuk hanya menguggahlah hal-hal yang bersifat umum saja, yang
sekiranya menjadi sesuatu yang berguna bagi orang lain, dan tidak menyinggung ranah
personal siapa pun, sebagaimana hakikat media sosial untuk bersosial. Setiap
orang harusnya bermedia sosial dengan hati, seakan-akan ia berhadapan langsung
dengan khalayak di dunia nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar