Senin, 30 April 2018

Hukum di Alam Maya

Perkembangan teknologi telah menyeret kehidupan manusia ke dalam layar-layar kaca. Mengalihkan kenyataan hidup ke dalam ragam platform media sosial. Membangun rumah-rumah di dalam perangkat lunak, kemudian berhubungan dengan penghuni lain. Senang dan tanpa bosan bersilaturahmi, sambil berbagi apa saja. Saking asyiknya, para penghuni dunia maya itu, kadang lupa waktu untuk memalingkan wajah dari layar.
 
Tentu ada beragam alasan orang-orang untuk bermedia sosial. Ada yang memang untuk bersosialisasi dengan orang baru di tempat yang berbeda. Ada juga yang sekadar untuk mendapatkan informasi terkini, atau menyimpan kenang-kenangan. Tapi alasan yang paling umum terdengar adalah untuk menunjukkan eksistensi diri. Berusaha mempertontonkan kebolehan di akun media sosial, sembari berharap respons yang positif dari penghuni lain. 

Tapi apa pun alasan penghuni media sosial, pada dasarnya, semua hendak mempertunjukkan dirinya. Sebagai ruang satu arah, di mana setiap orang bisa berbagi informasi tanpa diminta, juga tanpa rintangan siapa pun, setiap orang bebas mengungkapkan isi hati dan pikiran untuk jadi konsumsi publik. Paling tidak, itu dapat dilihat kebiasaan orang-orang menulis status tentang dirinya di media sosial atas kehendaknya sendiri.

Dengan demikian, tak salah kemudian kalau disimpulkan bahwa apa yang tersaji di ruang media sosial, pada dasarnya adalah persoalan-persoalan yang bersifat subjektif. Bahkan karena tak ada lawan kominikasi secara langsung yang mungkin menimbulkan keseganan atau keengganan berbagi, unggahan-unggahan di media sosial, bisa jadi merupakan rahasia pribadi yang tak menemukan pelabuhannya di dunia nyata. Perihal yang sangat jujur dari hati.

Kaitan kata hati dengan unggahan di media sosial, jelas menjadi realitas yang dianggap paralel oleh khalayak. Apa yang terunggah, begitulah sebenarnya yang terasa. Bahkan mungkin informasi di media sosial, lebih jujur ketimbang informasi yang diperoleh secara langsung. Karena itu, setiap orang akhirnya saling membaca kepribadian hanya dengan saling mengamati profil pribadi atau unggahan-unggahan di media sosial. Bak membaca diary berisi curahan hati yang tersaji begitu saja di layar-layar kaca. 

Komunisasi tanpa lawan secara langsung di media sosial, akhirnya membuat orang dengan bebas berkeluh-kesah tanpa banyak pikir dan perimbangan. Apa yang senormalnya akan disembunyikan rapat-rapat di hadapan seseorang, kadang kala, malah diungkapkan di media sosial, tanpa rasa segan, takut, atau malu. Seakan-akan setiap orang berhak mengungkapkan isi hatinya, tanpa peduli bagaimana perasaan orang lain.

Akhirnya, media sosial terkesan lebih jujur dan lebih emosional dibanding kehidupan nyata. Jika di kehidupan nyata orang bercakap sambil dibatasi oleh tata karma kesopanan, maka di media sosial, orang boleh berkeluh kesah tanpa menghiraukan sopan santun dan kesusilaan. Yang dipedulikan adalah bagaimana mengungkapkan perasaan diri sendiri secara gamblang, tanpa memedulikan bagaimana perasaan orang lain.

Atas komunikasi tanpa memperimbangan emosi di media sosial, akhirnya, terjadilah ketersinggungan dan kekisruhan antarindividu akibat unggahan yang senantiasa ditimbang dengan rasa-rasa sendiri. Walau tanpa bertatapan langsung, seseorang bisa saja tersinggung atas sebuah unggahan, lalu memperkarakannya di dunia nyata. Bahkan sebuah unggahan yang bersifat subjektif, mungkin saja ditimbang dengan subjektivitas banyak orang, yang kemudian ramai-ramai berperkara.

Imbasnya, terjadilah fanomena yang sebenarnya unik. Orang-orang tampak saling memperkarakan di hadapan hukum akibat komunikasi semu di media sosial. Semu, sebab orang yang terlibat dalam interaksi media sosial, tak berhadapan secara langsung. Tapi meski tak ada satu pun lawan komunikasi, setiap pengunggah, dianggap berkomunikasi dengan semua penghuni media sosial di ruang akunnya, yang juga berhak menafsir, menanggapi, atau mempermasalahkan unggahannya.

Tak pelak, lakulah delik-delik yang bisa memperkarakan orang di media sosial. Yang paling popular adalah UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektornik, yang diistilahkan banyak orang sebagai undang-undang sapu jagat. Alasannya karena klausul pidana dalam undang-undang tersebut, memiliki ruang lingkup yang luas dan pontensial menjerat setiap orang yang terlibat dalam pokok interaksi media sosial yang diperkarakan.

Sungguh, tanpa sadar, orang-orang telah sampai di masa pemidanaan persoalan-persoalan dunia maya yang sebenarnya semu. Tidak nyata. Karena itulah, kedewasaan dan sikap tengang rasa di ruang media sosial, harus menjadi pegangan terbaik setiap orang. Para pengguna media sosial harusnya sadar bahwa ruang maya itu, adalah ruang yang gaduh dan seringkali tak memandang nilai. Karenanya, butuh kesabaran yang kuat dalam bermedia sosial untuk menghindari pancingan emosi.

Dan tentu saja, bagi setiap orang yang merasa tak tahan dengan kegaduhan media sosial, harusnya menempuh cara terbaik untuk meloloskan diri, yaitu berhenti bermedia sosial, atau paling tidak, menghindari perkawanan dengan orang-orang yang tak peduli nilai di layar kaca. Alasannya karana setiap orang yang bermedia sosial, harusnya paham sedari awal bahwa risiko ketersinggunagn secara emosional, sangat mungkin terjadi di ruang maya nan liar itu.

Pada sisi pengunggah, perlu pula adanya kesadaran bahwa media sosial adalah media untuk bersosial. Sebab itu, ketersinggungan pribadi harusnya tak selalu berarti menyalahkan si penanggap, bisa jadi si pengunggah sendiri yang terlalu suka membagi kesan pribadinya pada ruang media sosial yang disesaki khalayak. Karena itu, setiap orang perlu menghindari unggahan yang bersifat pribadi, jikalau tak ingin soal pribadi dan kepribadiannya di media sosial, dipermasalahkan di dunia nyata.

Akhirnya, cara terbaik untuk menghindari ketersinggungan subjektif di media sosial adalah membiasakan diri untuk hanya menguggahlah hal-hal yang bersifat umum saja, yang sekiranya menjadi sesuatu yang berguna bagi orang lain, dan tidak menyinggung ranah personal siapa pun, sebagaimana hakikat media sosial untuk bersosial. Setiap orang harusnya bermedia sosial dengan hati, seakan-akan ia berhadapan langsung dengan khalayak di dunia nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar