Senin, 14 Mei 2018

Buronan Sebangsa


Sejak kesadaran bernegara telah terbentuk, butuh waktu yang lama bagi bangsa Indonesia untuk bersatu-utuh dalam satu negara. Bahkan perlu waktu ratusan tahun hingga bangsa-bangsa penjajah yang datang silih berganti, pergi seluruhnya. Tentu saja setelah mereka berhasil merampok sumber daya alam secara serakah, juga memperbudak anak bangsa di negeri ini.
Begitu lamanya kolonialisme bercokol, tentu saja dipengaruhi oleh beberapa faktor. Selain watak bangsa penjajah yang memang imperialis, kolonialisasi juga disokong oleh kultur feodalisme yang telah mengakar dalam sistem sosial bangsa ini. Kolonialisme asing dan feodalisme pribumi, menjadi sepasang kekasih yang menyatu untuk menyengsarakan rakyat Indonesia.
Sejarah bangsa ini, memang tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial yang hirarkis, yang membagi golongan masyarakat dalam tingkat yang tidak setara. Sebelum Indonesia merdeka sebagai sebuah negara, sejak dahulu kala, sistem kerajaan yang membagi kelas masyarakat antara bangsawan dan kawula, telah berlaku di seluruh penjuru tanah air.
Feodalisme kerajaan akhirnya melahirkan relasi sosial yang tak setara di dalam masyarakat. Ada yang meraja, dan ada pula yang menghamba. Ada sikap saling mendominasi, atau bahkan memperbudak, satu sama lain. Dan sistem sosial itu, ternyata mampu dimanfaatkan para kolonialis untuk melancarkan siasat adu domba kepada anak-anak bangsa ini.
Yang terjadi kemudian, para penjajah mengkooptasi sistem feodalisme kerajaan menjadi bagian dari sistem kolonialisme mereka. Para pejabat publik yang dipertuan oleh rakyat, dijadikan kolega oleh para kolonialis agar turut membantu pelaksanaan agenda-agenda mereka. Hingga pada perkembangan selanjutnya, pejabat-pejabat pribumi, malah diangkat oleh para kolonialis.
Akhirnya, terjadilah penjajahan bangsa terhadap bangsanya sendiri. Atas nama status sosial, pejabat publik pribumi menghamba kepada para kolonialis. Tak peduli bagaimana sebangsanya diperlakukan, asal secara pribadi, mereka menikmati prestise yang menggiurkan. Pun, tak peduli jikalau mereka harus membantai sebangsa sendiri, demi mengamankan tahta pemberian kolonial.
Kegamangan semacam itulah yang tergambar dalam novel gubahan Pramodya Ananta Toer berjudul Perburuan. Novel yang diterbitkan tahun 1950, dengan sangat apik, mampu menggambarkan nasib para pembangkang pada masa pendudukan Jepang. Novel pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1949 tersebut, mampu menghadirkan suasana yang mencekam kala anak-anak bangsa menjadi buruan di tanah airnya sendiri.
Tersebutlah Hardo, sang tokoh utama dalam novel yang harus menjalani pelarian. Sebagai mantan shidanco (komandan peleton) Peta yang memberontak kepada pemerintah pendudukan Jepang, ia harus menjadi buronan bangsa asing yang bersekongkol dengan sebangsanya sendiri, atas nama idealisme perjuangan yang terus ia pegang teguh.
Demi melindungi diri dari endusan para penjajah, Hardo pun cerdik menyembunyikan diri. Ia harus menyamar sebagai seorang pengemis agar keberadaannya tak terbaca oleh tentara Jepang dan mata-mata dari sebangsanya sendiri. Bahkan penyamaran itu harus ia lakukan terhadap siapa pun, termasuk orang terdekatnya sendiri.
Pada satu waku, Hardo muncul di rumah tunangannya, Ningsih. Ia bertandang sembari menyamarkan idenditasnya. Ia bertandang secara sembunyi-sembunyi kala calon adik iparnya, Ramli, tengah menjalani pesta sunatan. Bersama kumpulan pengemis yang mengharap sedekah dari pejabat yang berhajat, ia hanya kuasa mengamati keadaan dari jauh.
Hingga, Ramli pun membaca jelas raut wajah Hardo. Dan sebagai lelaki kecil yang sangat merindukan kehadirannya setelah menghilang dalam pelarian bertahun-tahun, Ramli mendesak ibunya agar “si pengemis misterius” diajak untuk tinggal serta di rumah. Tapi atas gelagat sang calon adik iparnya itu, Hardo lekas bergegas pergi dan kembali dalam perlarian.
Di tengah hidup yang tak jelas mana kawan dan mana lawan itu, sungguh, kepercayaan sangatlah mahal. Tak peduli penjajah Jepang atau sebangsa sendiri, bahkan orang tua sendiri, memang patut dicurigai sebagai antek Jepang. Maka wajarlah ketika Lurah Kaliwangan, ayah Ningisih dan Ramli, juga tak dipercayai Hardo, ketika di malam itu juga, sang lurah menyusulnya dan meminta agar ia sudi bertandang kembali demi membalas kerinduan Ramli.
Dan terekamlah sepenggal percakapan Hardo dengan Lurah Kaliwangan di sebuah jalan pada malam yang gelap, yang menampakkan bahwa Hardo tak akan bersepakat dan senantiasa waspada kepada semua orang yang menghamba kepada penjajah Jepang.

…Kemudian dengan suara dipaksa-paksa lurah itu (Lurah Kaliwangan) berkata lagi, “Sudah dipecat Nippon ayahmu.”
“Baik sekali.” (jawab Hardo)
“Baik sekali?” seru lurah itu heran. “Aku kira pemecatan itu tak baik buat keluarga ayahmu. Kini beliau tak berpenghasilan lagi. Wedana, anakku, bukanlah pangkat kecil.”
“Baik sekali. Baik tak dapat kesempatan menindas lagi.”
“Ya Allah! Ayahmu bukanlah golongan orang priyayi yang suka menindas rakyat.”
“Paling sedikit menolong gampangnya menindas.”
“Pangeran!” sebutlah lurah itu. Ia diam dan terus juga berjalan. “Mengapa begitu?”
“Orang yang bekerja dalam pemerintahan penindasan termasuk penindas juga. Dalam hal apa pun juga sama.”
“Pangeranku! Kalau begitu aku termasuk penindas juga?”
Kere itu memanjangkan tawanya…, “Ya,” katanya.
“Allah Maha Besar!” sebutnya susah. “Tapi kalau suatu daerah berpenduduk tak punya pemerintahan rakyat akan lebih menderita oleh perampokan.”
“Di mana-mana ada perampokan, sekalipun ada pemerintahan, dan ada juga pembunuhan keji. Dan apakah gunanya pemerintah sebagai itu? Rakyat seorang perampok kecilnya, dan pemerintah perampok besarnya. Dan engkau?... engkau juga perampok!” (hlm. 27-28)

Ternyata, keputusan Hardo, tepat. Setelah ia kembali ke dalam pelarian, ia mendapati kabar kalau si Lurah Kaliwangan, ternyata telah melaporkan keberadaannya kepada pemerintah Jepang. Si calon mertua yang gila harta dan kuasa itu, sudah tak peduli sebab Hardo bukan siapa-siapa lagi setelah jadi pemberontak dan dipecat sebagai shodancho. Apalagi setelah ayahnya juga dipecat oleh Jepang sebagai Wedana, sang Lurah Kaliwangan jadi semakin tak peduli.
Selanjutnya, dimulailah satu perburuan yang semarak. Hardo dicari-cari kompeni Jepang dengan mengerahkan seinendan (barisan pemuda) dan keibondan (kors kewaspadaan), prajurit semimiliter dari warga kampung sendiri, untuk menelisik ke segala arah. Dan kala ia menyembunyikan diri dari petaka dengan bersembunyi pada sebuah gubuk di tengah kebun jagung yang jauh dari perkampungan, terjadilah satu kebetulan yang tak disangka. Ayahnya, Mohammad Kasim, mantan Wedana Karangjati yang ternyata pemilik kebun, muncul di gubuk itu.
Tapi pertemuan ayah dan anak tersebut, bukanlah temu kangen setelah terpisah bertahun-tahun. Di tengah kegelapan malam, Hardo menyangkal sebagai anak dari ayahnya sendiri, meski sang ayah telah menerka dan yakin atas dugaannya. Untuk meruntuhkan keyakinan sang ayah, Hardo pun mengaku sebagai teman seperjuangan sang anak, sembari mewanti-wanti kalau sang ayah mulai kehilangan akal sehat, dan lelaki tua itu percaya begitu saja.
Di malam itu, bertuturlah ayah Hardo yang menggandrungi judi sebagai jalan penenang jiwanya, tanpa keyakinan bahwa lawan bicaranya adalah anaknya sendiri:

“Ah, kawan, kalau ada seorang saja yang tahu di mana dia berada,” kata penjudi itu seperti murid mengeja. “… oh, sudah lama… anakku, mungkin engkau sudah dipenggal oleh Nippon. Sebab aku berpikir begini terhadap Nippon: Nippon itu tak suka bicara, tapi selalu bertindak, selalu bertindak, selalu membunuh orang. Tidak,… tak seorang pun tahu ke mana perginya. Dan itu baik sekali akibatnya untuk anakku. Kawan, tiga kali sudah telegram-telegram itu datang, datang pula satu telegram, bahwa aku tak perlu mengepung anakku sendiri, karena, karena, aku sudah dipecat dari jabatanku.” (hlm. 48)

Sekali lagi, kepercayaan dalam masa perburuan itu, memang sangatlah mahal. Biarpun Hardo yakin ayahnya telah lepas dari pengaruh Jepang, tapi ia tak akan lupa bahwa ayahnya pernah memimpin perburuan untuk dirinya sendiri kala menjabat sebagai wedana. Karena itu, bagaimana pun juga, menyembunyikan identitas terhadap sang ayah sekali pun, adalah pilihan terbaik demi keselamatannya sendiri.
Kemudian di tengah persembunyiannya malam itu, nasib nahas kembali nyaris menimpa Hardo sebagai imbas dari laporan sang calon mertua, si Lurah Kaliwangan. Kala Hardo tengah tertidur, sedang ayahnya memanggang jagung di tepi rumah kebun, segerombolan Jepang datang bersama antek-anteknya. Tapi syukur, atas kepekaannya mengendus kehadiran para pemburu, ia bisa tersadar dan kembali meloloskan diri.
Dimulailah lagi pelarian Hardo. Ia harus mengamankan diri di bawah kolong jembatan, bersama gerombolan pengemis yang tak jelas asal-usulnya. Di sanalah kemudian, tanpa terduga, ia bertemu dengan teman seperjuangnnya, Dipo dan Kartiman, yang juga dalam perburuan. Hingga dari keterangan Dipo, tahulah Hardo, bahwa Karmin, teman seperjuangannya yang membelot pada momentum pemberontakan Peta, telah menjadi shidanco Jepang.
Tapi selanjutnya, persembunyian Hardo di kolong jembatan, disasar juga oleh para penjajah, kalau-kalau Hardo memang seorang pengemis. Para pejabat, yaitu Wedana Karangjati yang baru, Lurah Kaliwangan, bersama juga Sidokan (Komandan Kesatuan Militer) Jepang, datang mencarinya tiba-tiba. Tapi Hardo dan kawannya, berhasil juga meloloskan diri setelah bergegas bersembunyi di semak-semak, di tepi sungai.
Atas perburuan yang kembali gagal, berdebatlah para petinggi penjajahan di kolong jembatan. Dan Lurah Kaliwangan, harus menerima getahnya. Ia dihakimi sebagai pembohong dan diancam untuk dipenggal dengan pedang Jepang jika Hardo tak kunjung ditemukan. Maka demi kepentingan nyawanya sendiri, Lurah Kaliwangan pun membocorkan keberadaan putrinya, Ningsih, tunangan Hardo, yang mungkin tahu informasi soal pelarian sang pemberontak.
Karmin sebagai Shodancho yang telah dipercaya oleh petinggi militer Jepang, akhirnya meminta diri untuk menyandera Ningsih seorang diri. Satu permintaan yang diiyakan begitu saja oleh Sidokan Jepang. Hingga Karmin pun mampu menunaikan niatnya untuk menebus rasa bersalah kepada Hardo. Ia menumui Ningsih, sekadar untuk memberinya nasihat dan saran supaya gadis itu bisa melalui interogasi sang Sidokan dengan baik.
Sampai akhirnya, datanglah Sidokan untuk menanyai Ningsih perihal keberadaan Hardo. Tapi jelas saja, Ningsih mengaku tak tahu sebab benar-benar tak tahu, sebagaimana orang terdekat Hardo sendiri. Sidokan pun jadi geram karena merasa jawaban Ningsih bertele-tele:

“Diam!” bentak Jepang itu mengulangi. “Indonesia tidak boleh bicara-bicara kalau tidak ditanyai. Indonesia harus diam saja, ya!?” Sekarang suaranya jadi cepat dan patah-patah. “Kalau Indonesia ada di depan Nippon, ya? Nippon, ya? Tidak boleh bicara-bicara mendongeng-dongeng. Itu nona mesti tahu.” Matanya melotot, “Indonesia tidak bagus. Indonesia mesti belajar diam dan tutup mulut, ya? Mengerti? Nona sudah mengerti?...” (hlm. 149).

Tanpa terduga, di tengah interogasi terhadap Ningsih, para antek Jepang berhasil juga menangkap Hardo bersama dua orang kawannya. Mereka betiga lalu diseret ke hadapan Sidokan dan para pejabat antek Jepang yang tampak begitu senang atas keberhasilan para barisan pemuda pribumi.
Di tengah kesenangan Jepang dan anteknya, seketika juga terdengarlah orang-orang bersorak-sorai kalau Indonesia telah merdeka. Suara gembira itu bertalu-talu, mengabarkan kalau Jepang telah mengalah pada sekutu. Terdengar teriakan kalau jepang tak lagi punya kuasa di tanah Indonesia. Peta (Pembela Tanah Air) yang merupakan kesatuan militer bentukan Jepang dan Heiho yang merupakan tentara pembantu jepang dari kalangan pribumi, telah dibubarkan.
Perlahan-lahan, gerombolan masyarakat datang mengerumuni si Jepang dan para jongosnya di hadapan tiga orang hasil buruan. Merasa terkepung, sang Sidokan jadi gelap mata dan menembakkan senjata ke segala arah, secara membabi buta.
Dan tiba-tiba, Karmin merangkul dan melumpuhkan si Jepang dari arah belakang. Sidokan dan shodancho-nya itu pun, saling beradu kekuatan. Sampai akhirnya, Dipo bergegas mengambil pedang sang Sidokan, kemudian mengancam dengan wajah beringas.
Berkatalah sang Sidokan:

“Ampun, Indonesia!” Jepang itu memekik. “Dan bersamaan dengan itu, lepaslah parabellum dari tangannya, jatuh ke tangan Karmin. Berteriak lagi ia, “Ampun, Indonesia!” Napasnya terengah-engah. “Indonesia merdeka!” teriaknya tinggi. “Hidup Indonesia!” (hlm. 157).

Tak berlangsung lama, Dipo menebas tempurung si penjajah itu, sampai menyayat sisi otak.
Kini, tingallah Karmin memasrahkan hidupnya pada takdir yang ia sadari sendiri. Ia tahu bahwa setiap kali pergantian rezim, akan ada orang-orang yang dicap pemberontak, hingga patut untuk dibunuh.
Benar saja, warga bersorak-sorak, maminta agar Hardo bergegas mengakhiri nyawa Karmin. Tapi entah bagaimana, Hardo jadi tak kuasa, dan malah meminta Karmin untuk segera melarikan diri.
Warga yang tak sabar, akhirnya merangsek dan mulai mengacung-acungkan bambu runcing. Mereka terus mengancam, bak komplotan pemburu yang siap menikam binatang buruan. Tapi akhirnya, di tengah kepasrahan Karmin agar dirinya segera dibunuh saja, hati segerombolan masyarakat malah meluluh dan membiarkan sebangsanya itu, lepas untuk hidup kembali.
Akhirnya, selamatlah Karmin beserta pejabat dan antek-antek Jepang dari kalangan pribumi. Mereka selamat atas nama rasa kebangsaan. Mereka selamat setelah mendapatkan maaf tanpa terucap dari sebangsanya sendiri, sebagaimana leluhur bangsa ini yang memang pemaaf. Tapi tidak dengan Ningsih. Gadis itu harus meregang nyawa setelah peluru yang dilesatkan sang Sidokan secara membabi buta, menembus dadanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar