Era Reformasi nyaris berusia dua dekade. Di
sepanjang waktu itu, tatanan kenegaraan telah diatur sedemikian rupa demi
menunjang pemenuhan hak-hak masyarakat sipil, termasuk dalam bidang informasi. Namun
di tengah situasi yang demokratis tersebut, pers sebagai wahana informasi bagi khalayak,
nyatanya masih menghadapi ancaman pemidanaan.
Karena itulah, perlu kiranya untuk kembali mengkaji kedudukan
pers dalam konstruksi hukum nasional. Hal ini penting untuk menilai kualitas
perlindungan hukum bagi kehidupan pers, khususnya di dalam norma peraturan
perundang-undangan. Paling tidak, perlu mengetahui terkait proses penyelesaian
sengketa pers menurut hukum, sehingga masyarakat tidak melulu main hakim
sendiri ketika protes atas pemberitaan media pers.
Pidana
Pers Sebelum Reformasi
Sebelum Reformasi, politik hukum pers nasional, masih
menganut prinsip kebebasan pers yang bertanggung jawab. Pers dikungkung dalam
kebijakan pemerintah. Untuk tetap hidup, pers harus melaksanakan aktivitas
jurnalistik dalam kerangka kewajiban yang digariskan pemerintah. Jika media pers
ditafsir tak sejalan dengan ideologi dan kepentingan nasional, maka pemerintah
selaku penafsir, dapat melakukan tindakan pembungkaman.
Pada masa Orde Baru, media pers ditempatkan sebagai
bagian dari ideological state apparatus,
yang berperan dalam menjaga stabilitas legitimasi rezim. Pemerintah menetapkan
kontrol yang ketat terhadap pers melalui regulasi dan peraturan
perundang-undangan. Atas nama mempertahankan ideologi dan kepentingan nasional
yang telah dikonstruksikan dalam aturan hukum, pemerintah Orde Baru bisa melakukan
tindakan represif terhadap institusi pers.[1]
UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers yang disahkan Presiden Soekarno 12 Desember 1966, jelas mengikat kebebasan
pers pada tanggung jawab untuk melaksanakan sejumlah kewajiban dalam kerangka
ideologi pemerintahan. Pun, dalam UU No. 21 Tahun 1982 yang disahkan Presiden
Soeharto pada 20 Septeber 1982, sebagai perubahan kedua atas UU No. 11 Tahun
1966, juga masih menganut, bahkan mengokohkan prinsip kebebasan pers yang
bertanggung jawab.
Jiwa UU terkait pers sebelum Reformasi, akhirnya melahirkan
pasal pidana yang menyokong pelaksanaan ideologi dan agenda pemerintahan. Pasal
19 UU No. 11 Tahun 1966 menetapkan ancaman penjara maksimal 1 tahun bagi setiap
orang atau badan hukum yang melakukan tindakan yang mengurangi atau meniadakan
jiwa kewajiban dan hak pers yang telah digariskan pemerintah. Dengan unsur
“setiap orang” dalam pasal tersebut, insan pers yang menyeleweng pun, dapat
dipidana.
Perubahan melalui UU No. 21 Tahun 1982, turut mengubah
pasal pidana dalam UU No. 11 Tahun 1966. Pasal pidana dalam UU perubahan
tersebut, menjadi dua aspek, yaitu (1). Barangsiapa yang menggunakan penerbitan
pers untuk kepentingan pribadi atau golongan, dan mengakibatkan penyelewengan
atau hambatan terhadap tugas, fungsi, hak dan kewajiban pers diancam pidana
penjara dan atau denda; (2). Barangsiapa yang menyelenggarakan penerbitan pers
tanpa SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), diancam pidana kurungan dan atau denda.
Jika ditelaah, klausul pidana dalam No. 21 Tahun
1982, tampak semakin mengancam kehidupan pers. Di satu sisi, UU tersebut
memperluas aspek tindak pidana berupa penyelewengan pers dari garis kebijakan
pemerintah, yang mungkin saja ditimpakan pada insan pers sendiri. Di sisi lain,
UU itu juga memuat pidana bagi pelanggar ketentuan perizinan pers dalam bentuk
SIUPP. Akibatnya, insan pers yang
menyelenggarakan usaha pers secara otonom, yang secara institusional
membangkang dari kebijakan pemerintah, dapat dipidana.
Pidana
Pers dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
Setelah tumbangnya rezim Orde Baru pada tanggal 28 Mei 1998, dimulailah
era Reformasi. Era yang menjungjung tinggi kebebasan individu dalam
bingkai demokrasi. Campur tangan pemerintah dalam urusan kehidupan masyarakat
sipil, dibatasi. Norma hukum yang berlaku, diramu sesuai tuntutan Reformasi
yang antikuasa otoriter, sehingga pemerintah tak punya celah untuk membatasi hak
masyarakat, termasuk hak atas informasi.
Demi pemenuhan kebutuhan masyarakat atas informasi,
pers akhirnya menjadi unsur Reformasi yang sangat penting. Pers dibutuhkan
sebagai wahana bagi masyarakat untuk saling bertukar pendapat, demi mewujudkan
hakikat demokrasi yang melekat pada setiap individu bangsa. Untuk itu, tak
salah jika di era Reformasi, pers didudukkan sebagai salah satu pilar demokrasi
yang harus dimajukan, agar kontrol masyarakat terhadap proses penyelenggaraan
pemerintahan, dapat berlangsung efektif.
Atas semangat Reformasi, dilakukanlah dekonstruksi
hukum pers secara mendasar. Prinsip kebebasan pers yang bertanggung jawab,
sebagaimana jiwa hukum pers pada rezim pemerintahan terdahulu, diganti
dengan prinsip kemerdekaan pers. Prinsip ini menghendaki lepasnya kontrol
pemerintah terhadap pers. Prinsip inilah yang menjiwai UU No. 40 Tahun 1999
tentang Pers yang disahkan Presiden BJ Habibie pada tanggal 23 September 1999.
Sejalan dengan prinsip kemerdekaan pers, pidana pers
dalam UU No. 40 Tahun 1999 sebagai pengganti UU sebelumnya, juga diubah secara
mendasar. Ketentuan pidana dalam UU tersebut benar-benar ditujukan untuk
menciptakan suasana merdeka bagi kehidupan pers. Tidak sekadar melindungi pers
dari gangguan pihak luar dalam melaksanakan aktivitas jurnalistik, ketentuan
pidana yang ada juga menghindarkan insan pers dari upaya pemidanaan fisik.
Untuk melindungi pers dari pihak luar, Pasal 18 ayat
(1) UU No. 40 Tahun 1999 mengancamkan pidana penjara maksimal dua tahun atau
denda maksimal Rp. 500 juta, bagi setiap orang yang mengakibatkan terjadinya
penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran terhadap pers nasional.
Pidana serupa, juga diancamkan pada setiap orang yang menghambat dan
menghalang-halangi kemerdekaan pers untuk mempunyai
mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Di sisi lain, untuk melindungi insan pers dari
pidana fisik, ketentuan pidana dalam UU No. 40 Tahun 1999, menutup kemungkinan
untuk mengenakan pidana penjara atau kurungan pada insan pers. Sanksi pidana
bagi pihak pers hanya berupa denda untuk perusahaan pers, bukan pidana badan pada insan pers
per individu. Pidana denda tersebut dikenakan menyangkut adanya kesalahan dengan
pemberitaan media pers, juga menyangkut tidak diumumkannya status dan identitas
perusahaan pers.
Pada soal kesalahan konten media pers, Pasal 18 ayat
(2) UU No. 40 Tahun 1999 mengancamkan pidana denda paling banyak Rp. 500 juta bagi
perusahaan pers yang melakukan pemberitaan yang melanggar norma agama, rasa
kesusilaan masyarakat, atau asas praduga tak bersalah. Denda yang sama, dikenakan
pula pada perusahaan pers yang melanggar kewajiban untuk melayani hak jawab.
Ancaman denda itu, juga berlaku untuk
perusahaan pers yang melanggar ketentuan periklanan, misalnya terkait
kesusilaan, narkotika, atau rokok.
Pada soal pengumuman status dan identitas perusahaan
pers, Pasal 18 ayat (3) UU Pers mengancamkan pidana denda paling banyak Rp. 100
juta bagi perusahaan pers yang melanggar kewajiban berbadan hukum. Pidana denda
itu, juga diancamkan bagi perusahaan pers yang tidak mengumumkan nama, alamat,
dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, sebagai
wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau
disiarkan.
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, jelas menganut
politik hukum dekriminalisasi pers. Karena itu, jika UU 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers beserta perubahannya masih menganut sistem pertanggungjawaban “water fall” terkait pemberitaan pers,
maka UU No. 40 Tahun 1999 membebankan tanggung jawab pemberitaan pada
penanggung jawab khusus yang mewakili perusahaan pers. Implikasinya, jika
dahulu pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur, ataukah reporter terancam
pidana atas kesalahan pemberitaan, maka kini, melalui UU No. 40 Tahun 1999,
pidana pada insan pers tak dapat lagi dilakukan, tetapi hanya mungkin berupa
pengenaan denda untuk perusahaan pers.[2]
Dari uraian di atas, tampak bahwa ketentuan pidana
dalam UU No. 40 Tahun 1999, sangat akomodatif bagi kepentingan hidup dan
kehidupan pers. Ketentuan pidana tersebut hadir untuk memberikan perlindungan
bagi pers, baik secara institusional maupun perorangan insan pers. Ketentuan
pidana itu telah mengadakan pidana bagi setiap orang yang mengganggu aktivitas
jurnalistik, menutup celah pemidanaan insan pers sendiri, juga menutup kemungkinan
adanya sanksi “penutupan” perusahaan pers, sebagaimana terjadi pada rezim hukum
pers sebelumnya.
Perlindungan
Hukum Profesi Wartawan
Tertutupnya kemungkinan bagi khalayak untuk
memperkarakan wartawan secara pidana, akhirnya menimbulkan kerisauan. Wartawan
bak sosok suci yang tak bisa disalah-salahkan, apalagi disanksi. Padahal, masyarakat
butuh ruang untuk memberikan “pelajaran” pada wartawan atas pemberitaan yang
tidak benar atau tidak tepat. Apalagi di tengah merebaknya media pers, kekeliruan
atau kesalahan dalam soal pemberitaan, semakin marak terjadi. Entah dikarenakan
oknum wartawan yang nakal, atau memang ada pihak-pihak tertentu yang sangaja
mengatasnamakan pers untuk melancarkan niat buruknya. Pada titik ini, kiranya
perlu memperjelas terkait pengertian wartawan.
Pasal 1 angka 4 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mendefinisikan
wartawan sebagai “orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”.
Soal tafsir kegiatan jurnalistik secara sistematik, dapat dirujuk pada Pasal 1
angka 1 UU tersebut, yaitu “meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,
suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang
tersedia.”
Dari definisi di atas, setidaknya dapat disimpulkan
bahwa wartawan mencakup semua pihak yang terlibat dalam kegiatan jurnalistik
secara menyeluruh. Keterlibatan dalam aktivitas jurnalistik itu, pun, harus
menjadi sebuah kegiatan rutin, sehingga seseorang dapat dikualifikasikan sebagai
wartawan. Karenanya, seseorang yang berkontibusi dalam pemberitaan dengan
frekuensi yang tidak menentu, tentu tidak dapat dikatakan sebagai wartawan.
Selanjutnya,
karena kerja-kerja jurnalistik secara teratur hanya dapat berlangsung dalam
sebuah perusahaan pers, maka seseorang wartawan harus bekerja dan mendapat
legalitas dari sebuah perusahaan pers sebagai wartawan. Perusahaan pers menurut Pasal 1 angka 2 UU No.
40 Tahun 1999 adalah “adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha
pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita,
serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan,
atau menyalurkan informasi.”
Penemuhan
syarat-syarat sebagai wartawan atau tidak, tentulah sangat penting. Status
seseorang sebagai wartawan, secara otomatis, mendapat perlindungan hukum menurut
UU No. 40 Tahun 1999, dalam hal ia melaksanakan aktivitas jurnalistik. Dengan
demikian, jika terjadi kekeliruan atau pelanggaran terkait produk jurnalistik
oleh seseorang yang memenuhi syarat sebagai wartawan, maka proses
penyelesaiannya harus berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999 yang memang khusus
mengatur terkait pers, termasuk kewartawanan.
Tindakan
yang dapat dikenakan kepada wartawan yang melakukan pelanggarakan dalam pemberitaan,
bukan berarti tidak ada. Menurut UU No. 40 Tahun 1999, sanksi yang dapat
dikenakan adalah sanksi etik, sebab wartawan tergolong sebuah profesi. Paling
tidak, hal itu terlihat dari keberadaan organisasi wartawan organisasi profesi.
Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa wartawan bebas
memilih organisasi wartawan, juga harus memiliki dan menaati Kode Etik
Jurnalistik (KEJ) sebagai himpunan etika profesi wartawan.
KEJ yang berlaku saat ini, yaitu KEJ
berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode
Etik Jurnalistik (KEJ), yang telah
disahkan sebagai peraturan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor:
6/Peraturan-DP/V/2008. KEJ tersebut adalah pedoman umum bagi
setiap organisasi wartawan dalam menyusun kode etik masing-masing. Meski
begitu, berdasarkan KEJ itu pula, penilaian
akhir atas pelanggaran kode etik, tetap dilakukan oleh Dewan Pers sebagai
pengawas pelaksanaan KEJ menurut UU No. 40 Tahun 1999. Sedangkan soal
sanksi atas pelanggaran kode etik, dilakukan oleh organisasi wartawan atau
organisasi perusahaan pers.
Dari uraian
di atas, maka tampak jelas kalau wartawan tidak dimungkinkan lagi dikenai sanksi
pidana. Sanksi yang mungkin dikenakan terhadap wartawan atas terjadinya pemberitaan
yang melanggar prinsip dan etika jurnalistik adalah sanksi etik. Konsep ini
tentu ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap wartawan. Wartawan tidak
bisa lagi dipidana dalam hal ia melaksanakan aktivitas jurnalistik, selaku ia
sebagai wartawan yang memang memenuhi persyaratan sebagai wartawan.
Ancaman Pemidanaan bagi Wartawan
Terjadinya
upaya pemidanaan terhadap wartawan, tidak terlepas dari ketidakpahaman sejumlah
masyarakat terhadap hakikat profesi wartawan di era Reformasi. Pandangan bahwa
seorang wartawan dapat dipidanakan atas beritanya yang menyinggung, sebagaimana
orang biasa yang melakukan pencemaran nama baik, masih melingkupi nalar orang-orang.
Akhirnya, jalur pidana kerap dipilih sebagai cara menyelesaikan sengketa pers,
tanpa menghiraukan rambu-rambu dalam UU No. 40 Tahun 1999.
Indkasi bahwa
masyarakat belum sepenuhnya memahami dan menghormati profesi wartawan, tampak dari
upaya pemidanaan wartawan berdasarkan pasal-pasal di luar UU No. 40 Tahun 1999.
Wartawan diancam dan didakwa dengan
pasal pencemaran nama baik atau kehormatan, fitnah, menghasut, menyebarkan
berita bohong, hingga ikut serta melakukan atau membantu melakukan makar, atau
permusuhan terhadap negara dan pemerintah. Ancaman pemidanaan terhadap wartawan
semakin menjadi-jadi dengan kehadiran undang-undang khusus terkait informasi
yang rentan dijadikan dasar untuk mengenyampingkan UU No. 40 Tahun 1999,
misalnya UU ITE, KIP, Pornografi.[3]
Pengenaan
pasal pidana pada seorang wartawan, jelas menyalahi semangat Reformasi dan UU
No. 40 Tahun 1999. Kenyatan semacam itu harusnya tidak perlu terjadi jikalau
masyarakat memahami bahwa dalam persoalan pers, UU No. 40 Tahun 1999, bersifat lex specialis dari UU yang lain. Dengan
demikian, aktivitas jurnalistik seorang wartawan yang mengakibatkan
persinggungan pada hak seseorang atau kelompok masyarakat, harus menggunakan
cara-cara penyelesaian dalam UU No. 40 Tahun 1999.
UU No. 40
Tahun 1999 sendiri telah menyediakan jalur penyelesaian masalah terkait
sengketa pers. Pada soal adanya pemberitaan yang tidak berimbang atau
mengandung kekeliruan, pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat menggunakan hak
jawab atau hak koreksi, demi memulihkan harkat dan martabat pribadi. Jikapun
pemberitaan dinilai telah menimbulkan kegurian, pihak yang merasa dirugikan,
dapat saja menuntut ganti rugi kepada perusahaan pers. Di sisi lain, individu
wartawan yang beritanya menyalahi prinsip dan etika jurnalistik, dapat dijatuhi
sanksi etik.
Sayangnya,
jalur nonlitigasi dalam penyelesaian sengketa pers berdasarkan UU No. 40 Tahun
1999, seringkali dianggap tidak memuaskan bagi para pemerkara. Kalaupun jalur
etik dan mediasi melalui Dewan Pers ditempuh, tidak ada jaminan bahwa sengketa pers
selesai. Dengan maksud memberikan “pelajaran” pada si oknum wartawan, masyarakat
bisa saja mengalihkan perkara ke jalur litigasi yang rentan berujung pidana. Pasalnya,
keputusan etik oleh Dewan Pers hanya bersifat rekomendasi kepada organisasi
pers dan perusahaan pers untuk memberikan sanksi etik pada si wartawan, yang kalau
pun ditindaklanjuti, paling banter berupa pemecatan.
Rentannya
profesi wartawan dari upaya pemidanaan, diperparah oleh paradigma penegak hukum
yang tak mengerti sifat UU No. 40 Tahun 1999 sebagai aturan yang bersifat
khusus dan harus didahulukan. Tanpa memedulikan status seseorang sebagai
wartawan, seorang penegak hukum, secara semena-mena, seturut dengan kehendak
masyarakat untuk mengenakan pasal-pasal pemidanaan dari UU yang lain. Padahal
selama sebuah perkara dikualifikasikan
sebagai sengketa pers, yaitu timbul akibat pelaksanaan aktivitas
jurnalistik oleh wartawan, penyelesaiannya harus menggunakan UU No. 40 Tahun
1999.
Kalaupun sengketa
pers terlanjur berada di jalur pemidanaan karena ketidakpuasan masyarakat atas
istrumen hukum pers dan atas kekeliruan oknum penegak hukum, maka tata
peradilan pidana yang diistilahkan restorative justice, harus menjadi pilihan. Sistem penyelesaian
tersebut berupa mediasi dengan melibatkan kelompok masyarakat, korban,
dan pelaku dalam sengketa pers. Langkah ini akan efektif menemukan win-win solution karena bisa dilakukan
secara dini, yaitu sejak proses penyelidikan atau penyidikan.[4]
Upaya
perlindungan hukum terhadap wartawan dalam sistem peradilan pidana, semakin memadai,
sebab telah ada kesepakatan antara Dewan Pers dengan kepolisian, juga Dewan
Pers dengan Kejaksaan, yang pada
dasarnya memerintahkan kepada jajaran penegak hukum untuk mendahulukan
instrumen hukum pers dalam penyelesaian sengkata pers. Bahkan telah ada Surat
Edaran Mahkamah Agung yang menginstruksikan agar dalam perkara sengketa pers, majelis
hakim meminta dan mendengar pendapat ahli dari Dewan Pers.
Pada akhirnya, yang dibutuhkan dalam upaya menjaga
dan menegakkan hakikat profesi wartawan adalah senantiasa berpegang teguh pada
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Paradigma
masyarakat umum, terutama penegak hukum, harus akomodatif terhadap upaya
perlindungan wartawan. Sudah seharusnya menjadi pengertian umum, bahwa selama sebuah
sengketa pers menyangkut wartawan dalam melaksanakan aktivitas jurnalistik,
jalur pemidanaan ditutup rapat. Hal ini penting untuk melindungi dan menegakkan
kemerdekaan pers.
[1] Henry Subiakto dan Rachmah Ida, 2015, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi.
Cetakan III, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 86.
[2] Armansyah, 2015, Pengantar
Hukum Pers, Cetakan I, Gramata Publishing, Bekasi, hlm. 118.
[3] Bagir Manan, 2011, Menjaga
Kemerdekaan Pers di Pusaran Hukum, Cetakan II, Dewan Pers, Jakarta, hlm.
109-110.
[4] Ibid., hlm. 111-112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar