Senin, 23 April 2018

Pidana Pers dan Perlindungan Wartawan

Era Reformasi nyaris berusia dua dekade. Di sepanjang waktu itu, tatanan kenegaraan telah diatur sedemikian rupa demi menunjang pemenuhan hak-hak masyarakat sipil, termasuk dalam bidang informasi. Namun di tengah situasi yang demokratis tersebut, pers sebagai wahana informasi bagi khalayak, nyatanya masih menghadapi ancaman pemidanaan.
 
Karena itulah, perlu kiranya untuk kembali mengkaji kedudukan pers dalam konstruksi hukum nasional. Hal ini penting untuk menilai kualitas perlindungan hukum bagi kehidupan pers, khususnya di dalam norma peraturan perundang-undangan. Paling tidak, perlu mengetahui terkait proses penyelesaian sengketa pers menurut hukum, sehingga masyarakat tidak melulu main hakim sendiri ketika protes atas pemberitaan media pers.

Pidana Pers Sebelum Reformasi

Sebelum Reformasi, politik hukum pers nasional, masih menganut prinsip kebebasan pers yang bertanggung jawab. Pers dikungkung dalam kebijakan pemerintah. Untuk tetap hidup, pers harus melaksanakan aktivitas jurnalistik dalam kerangka kewajiban yang digariskan pemerintah. Jika media pers ditafsir tak sejalan dengan ideologi dan kepentingan nasional, maka pemerintah selaku penafsir, dapat melakukan tindakan pembungkaman.

Pada masa Orde Baru, media pers ditempatkan sebagai bagian dari ideological state apparatus, yang berperan dalam menjaga stabilitas legitimasi rezim. Pemerintah menetapkan kontrol yang ketat terhadap pers melalui regulasi dan peraturan perundang-undangan. Atas nama mempertahankan ideologi dan kepentingan nasional yang telah dikonstruksikan dalam aturan hukum, pemerintah Orde Baru bisa melakukan tindakan represif terhadap institusi pers.[1]
 
UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang disahkan Presiden Soekarno 12 Desember 1966, jelas mengikat kebebasan pers pada tanggung jawab untuk melaksanakan sejumlah kewajiban dalam kerangka ideologi pemerintahan. Pun, dalam UU No. 21 Tahun 1982 yang disahkan Presiden Soeharto pada 20 Septeber 1982, sebagai perubahan kedua atas UU No. 11 Tahun 1966, juga masih menganut, bahkan mengokohkan prinsip kebebasan pers yang bertanggung jawab.

Jiwa UU terkait pers sebelum Reformasi, akhirnya melahirkan pasal pidana yang menyokong pelaksanaan ideologi dan agenda pemerintahan. Pasal 19 UU No. 11 Tahun 1966 menetapkan ancaman penjara maksimal 1 tahun bagi setiap orang atau badan hukum yang melakukan tindakan yang mengurangi atau meniadakan jiwa kewajiban dan hak pers yang telah digariskan pemerintah. Dengan unsur “setiap orang” dalam pasal tersebut, insan pers yang menyeleweng pun, dapat dipidana. 

Perubahan melalui UU No. 21 Tahun 1982, turut mengubah pasal pidana dalam UU No. 11 Tahun 1966. Pasal pidana dalam UU perubahan tersebut, menjadi dua aspek, yaitu (1). Barangsiapa yang menggunakan penerbitan pers untuk kepentingan pribadi atau golongan, dan mengakibatkan penyelewengan atau hambatan terhadap tugas, fungsi, hak dan kewajiban pers diancam pidana penjara dan atau denda; (2). Barangsiapa yang menyelenggarakan penerbitan pers tanpa SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), diancam pidana kurungan dan atau denda.

Jika ditelaah, klausul pidana dalam No. 21 Tahun 1982, tampak semakin mengancam kehidupan pers. Di satu sisi, UU tersebut memperluas aspek tindak pidana berupa penyelewengan pers dari garis kebijakan pemerintah, yang mungkin saja ditimpakan pada insan pers sendiri. Di sisi lain, UU itu juga memuat pidana bagi pelanggar ketentuan perizinan pers dalam bentuk SIUPP. Akibatnya, insan pers yang menyelenggarakan usaha pers secara otonom, yang secara institusional membangkang dari kebijakan pemerintah, dapat dipidana.

Pidana Pers dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

Setelah tumbangnya rezim Orde Baru pada tanggal 28 Mei 1998, dimulailah era Reformasi. Era yang menjungjung tinggi kebebasan individu dalam bingkai demokrasi. Campur tangan pemerintah dalam urusan kehidupan masyarakat sipil, dibatasi. Norma hukum yang berlaku, diramu sesuai tuntutan Reformasi yang antikuasa otoriter, sehingga pemerintah tak punya celah untuk membatasi hak masyarakat, termasuk hak atas informasi.

Demi pemenuhan kebutuhan masyarakat atas informasi, pers akhirnya menjadi unsur Reformasi yang sangat penting. Pers dibutuhkan sebagai wahana bagi masyarakat untuk saling bertukar pendapat, demi mewujudkan hakikat demokrasi yang melekat pada setiap individu bangsa. Untuk itu, tak salah jika di era Reformasi, pers didudukkan sebagai salah satu pilar demokrasi yang harus dimajukan, agar kontrol masyarakat terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan, dapat berlangsung efektif.

Atas semangat Reformasi, dilakukanlah dekonstruksi hukum pers secara mendasar. Prinsip kebebasan pers yang bertanggung jawab, sebagaimana jiwa hukum pers pada rezim pemerintahan terdahulu, diganti dengan prinsip kemerdekaan pers. Prinsip ini menghendaki lepasnya kontrol pemerintah terhadap pers. Prinsip inilah yang menjiwai UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang disahkan Presiden BJ Habibie pada tanggal 23 September 1999.

Sejalan dengan prinsip kemerdekaan pers, pidana pers dalam UU No. 40 Tahun 1999 sebagai pengganti UU sebelumnya, juga diubah secara mendasar. Ketentuan pidana dalam UU tersebut benar-benar ditujukan untuk menciptakan suasana merdeka bagi kehidupan pers. Tidak sekadar melindungi pers dari gangguan pihak luar dalam melaksanakan aktivitas jurnalistik, ketentuan pidana yang ada juga menghindarkan insan pers dari upaya pemidanaan fisik. 

Untuk melindungi pers dari pihak luar, Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 mengancamkan pidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp. 500 juta, bagi setiap orang yang mengakibatkan terjadinya penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran terhadap pers nasional. Pidana serupa, juga diancamkan pada setiap orang yang menghambat dan menghalang-halangi kemerdekaan pers untuk mempunyai mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. 

Di sisi lain, untuk melindungi insan pers dari pidana fisik, ketentuan pidana dalam UU No. 40 Tahun 1999, menutup kemungkinan untuk mengenakan pidana penjara atau kurungan pada insan pers. Sanksi pidana bagi pihak pers hanya berupa denda untuk perusahaan pers, bukan pidana badan pada insan pers per individu. Pidana denda tersebut dikenakan menyangkut adanya kesalahan dengan pemberitaan media pers, juga menyangkut tidak diumumkannya status dan identitas perusahaan pers.

Pada soal kesalahan konten media pers, Pasal 18 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 mengancamkan pidana denda paling banyak Rp. 500 juta bagi perusahaan pers yang melakukan pemberitaan yang melanggar norma agama, rasa kesusilaan masyarakat, atau asas praduga tak bersalah. Denda yang sama, dikenakan pula pada perusahaan pers yang melanggar kewajiban untuk melayani hak jawab. Ancaman denda itu,  juga berlaku untuk perusahaan pers yang melanggar ketentuan periklanan, misalnya terkait kesusilaan, narkotika, atau rokok.

Pada soal pengumuman status dan identitas perusahaan pers, Pasal 18 ayat (3) UU Pers mengancamkan pidana denda paling banyak Rp. 100 juta bagi perusahaan pers yang melanggar kewajiban berbadan hukum. Pidana denda itu, juga diancamkan bagi perusahaan pers yang tidak mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan.

UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, jelas menganut politik hukum dekriminalisasi pers. Karena itu, jika UU 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers beserta perubahannya masih menganut sistem pertanggungjawaban “water fall” terkait pemberitaan pers, maka UU No. 40 Tahun 1999 membebankan tanggung jawab pemberitaan pada penanggung jawab khusus yang mewakili perusahaan pers. Implikasinya, jika dahulu pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur, ataukah reporter terancam pidana atas kesalahan pemberitaan, maka kini, melalui UU No. 40 Tahun 1999, pidana pada insan pers tak dapat lagi dilakukan, tetapi hanya mungkin berupa pengenaan denda untuk perusahaan pers.[2]

Dari uraian di atas, tampak bahwa ketentuan pidana dalam UU No. 40 Tahun 1999, sangat akomodatif bagi kepentingan hidup dan kehidupan pers. Ketentuan pidana tersebut hadir untuk memberikan perlindungan bagi pers, baik secara institusional maupun perorangan insan pers. Ketentuan pidana itu telah mengadakan pidana bagi setiap orang yang mengganggu aktivitas jurnalistik, menutup celah pemidanaan insan pers sendiri, juga menutup kemungkinan adanya sanksi “penutupan” perusahaan pers, sebagaimana terjadi pada rezim hukum pers sebelumnya.

Perlindungan Hukum Profesi Wartawan

Tertutupnya kemungkinan bagi khalayak untuk memperkarakan wartawan secara pidana, akhirnya menimbulkan kerisauan. Wartawan bak sosok suci yang tak bisa disalah-salahkan, apalagi disanksi. Padahal, masyarakat butuh ruang untuk memberikan “pelajaran” pada wartawan atas pemberitaan yang tidak benar atau tidak tepat. Apalagi di tengah merebaknya media pers, kekeliruan atau kesalahan dalam soal pemberitaan, semakin marak terjadi. Entah dikarenakan oknum wartawan yang nakal, atau memang ada pihak-pihak tertentu yang sangaja mengatasnamakan pers untuk melancarkan niat buruknya. Pada titik ini, kiranya perlu memperjelas terkait pengertian wartawan. 

Pasal 1 angka 4 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mendefinisikan wartawan sebagai “orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”. Soal tafsir kegiatan jurnalistik secara sistematik, dapat dirujuk pada Pasal 1 angka 1 UU tersebut, yaitu “meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”

Dari definisi di atas, setidaknya dapat disimpulkan bahwa wartawan mencakup semua pihak yang terlibat dalam kegiatan jurnalistik secara menyeluruh. Keterlibatan dalam aktivitas jurnalistik itu, pun, harus menjadi sebuah kegiatan rutin, sehingga seseorang dapat dikualifikasikan sebagai wartawan. Karenanya, seseorang yang berkontibusi dalam pemberitaan dengan frekuensi yang tidak menentu, tentu tidak dapat dikatakan sebagai wartawan.

Selanjutnya, karena kerja-kerja jurnalistik secara teratur hanya dapat berlangsung dalam sebuah perusahaan pers, maka seseorang wartawan harus bekerja dan mendapat legalitas dari sebuah perusahaan pers sebagai wartawan.  Perusahaan pers menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 40 Tahun 1999 adalah “adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.”

Penemuhan syarat-syarat sebagai wartawan atau tidak, tentulah sangat penting. Status seseorang sebagai wartawan, secara otomatis, mendapat perlindungan hukum menurut UU No. 40 Tahun 1999, dalam hal ia melaksanakan aktivitas jurnalistik. Dengan demikian, jika terjadi kekeliruan atau pelanggaran terkait produk jurnalistik oleh seseorang yang memenuhi syarat sebagai wartawan, maka proses penyelesaiannya harus berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999 yang memang khusus mengatur terkait pers, termasuk kewartawanan. 

Tindakan yang dapat dikenakan kepada wartawan yang melakukan pelanggarakan dalam pemberitaan, bukan berarti tidak ada. Menurut UU No. 40 Tahun 1999, sanksi yang dapat dikenakan adalah sanksi etik, sebab wartawan tergolong sebuah profesi. Paling tidak, hal itu terlihat dari keberadaan organisasi wartawan organisasi profesi. Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa wartawan bebas memilih organisasi wartawan, juga harus memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai himpunan etika profesi wartawan.

KEJ yang berlaku saat ini, yaitu KEJ berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yang telah disahkan sebagai peraturan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008. KEJ tersebut adalah pedoman umum bagi setiap organisasi wartawan dalam menyusun kode etik masing-masing. Meski begitu, berdasarkan KEJ itu pula, penilaian akhir atas pelanggaran kode etik, tetap dilakukan oleh Dewan Pers sebagai pengawas pelaksanaan KEJ menurut UU No. 40 Tahun 1999. Sedangkan soal sanksi atas pelanggaran kode etik, dilakukan oleh organisasi wartawan atau organisasi perusahaan pers.

Dari uraian di atas, maka tampak jelas kalau wartawan tidak dimungkinkan lagi dikenai sanksi pidana. Sanksi yang mungkin dikenakan terhadap wartawan atas terjadinya pemberitaan yang melanggar prinsip dan etika jurnalistik adalah sanksi etik. Konsep ini tentu ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap wartawan. Wartawan tidak bisa lagi dipidana dalam hal ia melaksanakan aktivitas jurnalistik, selaku ia sebagai wartawan yang memang memenuhi persyaratan sebagai wartawan.

Ancaman Pemidanaan bagi Wartawan

Terjadinya upaya pemidanaan terhadap wartawan, tidak terlepas dari ketidakpahaman sejumlah masyarakat terhadap hakikat profesi wartawan di era Reformasi. Pandangan bahwa seorang wartawan dapat dipidanakan atas beritanya yang menyinggung, sebagaimana orang biasa yang melakukan pencemaran nama baik, masih melingkupi nalar orang-orang. Akhirnya, jalur pidana kerap dipilih sebagai cara menyelesaikan sengketa pers, tanpa menghiraukan rambu-rambu dalam UU No. 40 Tahun 1999. 

Indkasi bahwa masyarakat belum sepenuhnya memahami dan menghormati profesi wartawan, tampak dari upaya pemidanaan wartawan berdasarkan pasal-pasal di luar UU No. 40 Tahun 1999.  Wartawan diancam dan didakwa dengan pasal pencemaran nama baik atau kehormatan, fitnah, menghasut, menyebarkan berita bohong, hingga ikut serta melakukan atau membantu melakukan makar, atau permusuhan terhadap negara dan pemerintah. Ancaman pemidanaan terhadap wartawan semakin menjadi-jadi dengan kehadiran undang-undang khusus terkait informasi yang rentan dijadikan dasar untuk mengenyampingkan UU No. 40 Tahun 1999, misalnya UU ITE, KIP, Pornografi.[3]

Pengenaan pasal pidana pada seorang wartawan, jelas menyalahi semangat Reformasi dan UU No. 40 Tahun 1999. Kenyatan semacam itu harusnya tidak perlu terjadi jikalau masyarakat memahami bahwa dalam persoalan pers, UU No. 40 Tahun 1999, bersifat lex specialis dari UU yang lain. Dengan demikian, aktivitas jurnalistik seorang wartawan yang mengakibatkan persinggungan pada hak seseorang atau kelompok masyarakat, harus menggunakan cara-cara penyelesaian dalam UU No. 40 Tahun 1999.
UU No. 40 Tahun 1999 sendiri telah menyediakan jalur penyelesaian masalah terkait sengketa pers. Pada soal adanya pemberitaan yang tidak berimbang atau mengandung kekeliruan, pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat menggunakan hak jawab atau hak koreksi, demi memulihkan harkat dan martabat pribadi. Jikapun pemberitaan dinilai telah menimbulkan kegurian, pihak yang merasa dirugikan, dapat saja menuntut ganti rugi kepada perusahaan pers. Di sisi lain, individu wartawan yang beritanya menyalahi prinsip dan etika jurnalistik, dapat dijatuhi sanksi etik.

Sayangnya, jalur nonlitigasi dalam penyelesaian sengketa pers berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999, seringkali dianggap tidak memuaskan bagi para pemerkara. Kalaupun jalur etik dan mediasi melalui Dewan Pers ditempuh, tidak ada jaminan bahwa sengketa pers selesai. Dengan maksud memberikan “pelajaran” pada si oknum wartawan, masyarakat bisa saja mengalihkan perkara ke jalur litigasi yang rentan berujung pidana. Pasalnya, keputusan etik oleh Dewan Pers hanya bersifat rekomendasi kepada organisasi pers dan perusahaan pers untuk memberikan sanksi etik pada si wartawan, yang kalau pun ditindaklanjuti, paling banter berupa pemecatan.

Rentannya profesi wartawan dari upaya pemidanaan, diperparah oleh paradigma penegak hukum yang tak mengerti sifat UU No. 40 Tahun 1999 sebagai aturan yang bersifat khusus dan harus didahulukan. Tanpa memedulikan status seseorang sebagai wartawan, seorang penegak hukum, secara semena-mena, seturut dengan kehendak masyarakat untuk mengenakan pasal-pasal pemidanaan dari UU yang lain. Padahal selama sebuah perkara dikualifikasikan  sebagai sengketa pers, yaitu timbul akibat pelaksanaan aktivitas jurnalistik oleh wartawan, penyelesaiannya harus menggunakan UU No. 40 Tahun 1999.

Kalaupun sengketa pers terlanjur berada di jalur pemidanaan karena ketidakpuasan masyarakat atas istrumen hukum pers dan atas kekeliruan oknum penegak hukum, maka tata peradilan pidana yang diistilahkan restorative justice, harus menjadi pilihan. Sistem penyelesaian tersebut berupa mediasi dengan melibatkan kelompok masyarakat, korban, dan pelaku dalam sengketa pers. Langkah ini akan efektif menemukan win-win solution karena bisa dilakukan secara dini, yaitu sejak proses penyelidikan atau penyidikan.[4]

Upaya perlindungan hukum terhadap wartawan dalam sistem peradilan pidana, semakin memadai, sebab telah ada kesepakatan antara Dewan Pers dengan kepolisian, juga Dewan Pers dengan Kejaksaan, yang pada dasarnya memerintahkan kepada jajaran penegak hukum untuk mendahulukan instrumen hukum pers dalam penyelesaian sengkata pers. Bahkan telah ada Surat Edaran Mahkamah Agung yang menginstruksikan agar dalam perkara sengketa pers, majelis hakim meminta dan mendengar pendapat ahli dari Dewan Pers.

Pada akhirnya, yang dibutuhkan dalam upaya menjaga dan menegakkan hakikat profesi wartawan adalah senantiasa berpegang teguh pada UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.  Paradigma masyarakat umum, terutama penegak hukum, harus akomodatif terhadap upaya perlindungan wartawan. Sudah seharusnya menjadi pengertian umum, bahwa selama sebuah sengketa pers menyangkut wartawan dalam melaksanakan aktivitas jurnalistik, jalur pemidanaan ditutup rapat. Hal ini penting untuk melindungi dan menegakkan kemerdekaan pers.


[1] Henry Subiakto dan Rachmah Ida, 2015, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi. Cetakan III, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 86.
[2] Armansyah, 2015, Pengantar Hukum Pers, Cetakan I, Gramata Publishing, Bekasi, hlm. 118.
[3] Bagir Manan, 2011, Menjaga Kemerdekaan Pers di Pusaran Hukum, Cetakan II, Dewan Pers, Jakarta, hlm. 109-110.
[4] Ibid., hlm. 111-112.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar