Tak
ada akhir dalam permasalahan toleransi. Selama manusia saling bersinggungan dengan
membawa kepentingan masing-masing, selama itu pula toleransi menjadi satu
diskursus yang tak berkesudahan. Pun, selama manusia merasa punya hak yang
bentuknya berupa kewajiban bagi pihak lain, selama itu pula toleransi
memunculkan persoalan.
Pada
dasarnya, toleransi merupakan titik temu antara dua kepentingan yang berbeda. Satu
sikap yang berupaya mendudukkan para pihak yang berbeda pada posisi yang saling
menerima. Tidak mengenyampingkan hak satu pihak, namun tidak juga mengutamakan
pihak lain. Semuanya mendapat hak yang proporsional guna mewujudkan keharmonisan
dalam kebersamaan.
Toleransi
berakar dari sikap saling pengertian. Toleransi tumbuh subur di lingkungan
orang-orang yang senantiasa was-was kalau-kalau bertindak zalim pada sesamanya,
hingga tak peduli jika haknya harus terberi demi menjaga hak orang lain. Dan sebaliknya,
toleransi terancam mati di lingkungan orang-orang yang selalu menuntut hak, tetapi ogah
melaksanakan kewajiban.
Keangkuhan
hati, akhirnya menjadi penghalang utama bagi tumbuhnya sikap toleransi. Pola pikir
sempit yang melihat kebenaran di sisi pandangan sendiri, tanpa menghiraukan
kebenaran di sisi pandangan pihak lain, akan buta pada toleransi. Penganut
paham demikian, hanya akan sedia bertoleransi dengan pihak lain yang turut pada
pemahamannya.
Pun,
kecongkakan atas dasar keyakinan yang tertancap begitu dalam, juga berpotensi membuahkan
sikap intoleransi. Ketika seseorang meyakini bahwa keyakinannya benar dan yang
lain salah, tanpa ada kompromi, maka akan sulit baginya bersikap toleran. Para
penganut keyakinan “buta” semacam ini, bahkan menganggap sikap toleran sebagai
wujud ketidakteguhan keyakinan yang sungguh memalukan.
Meski
begitu, kokohnya keyakinan, belumlah pasti melahirkan pribadi yang intoleran. Keyakinan
bukanlah antonim dan antinomi toleransi. Bahkan, keyakinan pada dasarnya adalah
prasyarat toleransi. Keyakinanlah yang membuat posisi setiap orang berbeda-beda,
sedang perbedaan itulah yang membuat toleransi memiliki arti. Tanpa perbedaan,
tak ada makna bagi toleransi.
Toleransi
keyakinan, akhirnya, hanya bisa hidup dalam masyarakat yang berbeda-beda, tapi
tetap menghargai perbedaan. Karena itu, adalah kekeliruan mendasar kalau
mengatasnamakan toleransi untuk menyekat entitas yang berbeda-beda dengan maksud
melindungi kepentingan di ruang masing-masing, sebab toleransi tak lain adalah kesalingterimaan
dalam persinggungan perbedaan.
Di
tengah perbedaan, tentu tak ada salahnya jika seseorang meneguhkan keyakinan,
lalu mengusahakan keyakinan itu menjadi keyakinan orang lain. Tapi niat mulia
itu, harus didasarkan atas rasa cinta untuk membuat orang lain berada di jalan
kebenaran, sebagaimana yang ia yakini. Karena itu, cara-cara yang digunakan
harus bersifat dialogis, bukan dogmatis, apalagi dengan paksaan fisik.
Sungguh,
memaksakan keyakinan adalah sebuah perbuatan yang sia-sia. Keyakinan adalah
kata hati yang tak bisa dipaksakan. Keyakinan merupakan wujud dari proses
pencarian yang panjang, dan tak mungkin berubah seketika hanya dengan ancaman
pedang. Karena itu, upaya untuk membuat seseorang menjadi seyakin, harus
dilakukan dengan pendekatan hati dan pikiran.
Sebelum
“memperbaiki” keyakinan orang lain, kiranya perlu melakukan pembenahan keyakinan
sendiri. Mahatma Gandhi (Mahatma Gandhi Semua Manusia Bersaudara, 2016: 83) menilai
semua keyakinan merupakan ungkapan-ungkapan kebenaran, tetapi semuanya tidak
sempurna dan sangat besar kemungkinan mengandung kesalahan. Sebab itu, setiap orang harusnya
peka terhadap kekurangan-kekurangan di dalam keyakinannya sendiri, dan berusaha
melakukan perbaikan.
Karena
dasar keyakinan adalah ilmu, maka setiap orang harusnya berhenti memaksakan
satu keyakinan pada orang lain kala ia sendiri belum mengilmui keyakinannya. Sungguh
keliru jika seseorang mencap keyakinan orang lain salah, jika pada saat yang
sama, ia sendiri masih meragukan keyakinannya. Bagaimana cara meneguhkan
keyakinan? Tak lain daripada menelurusi hakikat kebenaran (baca: mencari ilmu).
Akhirnya,
iklim toleransi memang selayaknya menjadi kesempatan bagi setiap orang untuk berbagi
ilmu makna berdasarkan keyakinannya. Saling berlomba-lomba menampilkan kebaikan
untuk menjaga citra keyakinannya. Jikalau demikian, tidak hanya martabat
keyakinan yang terjaga, tetapi mungkin juga meluluhkan hati orang lain untuk
turut dalam keyakinan secara sukarela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar