Senin, 23 April 2018

Keyakinan dan Toleransi

Tak ada akhir dalam permasalahan toleransi. Selama manusia saling bersinggungan dengan membawa kepentingan masing-masing, selama itu pula toleransi menjadi satu diskursus yang tak berkesudahan. Pun, selama manusia merasa punya hak yang bentuknya berupa kewajiban bagi pihak lain, selama itu pula toleransi memunculkan persoalan.
 
Pada dasarnya, toleransi merupakan titik temu antara dua kepentingan yang berbeda. Satu sikap yang berupaya mendudukkan para pihak yang berbeda pada posisi yang saling menerima. Tidak mengenyampingkan hak satu pihak, namun tidak juga mengutamakan pihak lain. Semuanya mendapat hak yang proporsional guna mewujudkan keharmonisan dalam kebersamaan.

Toleransi berakar dari sikap saling pengertian. Toleransi tumbuh subur di lingkungan orang-orang yang senantiasa was-was kalau-kalau bertindak zalim pada sesamanya, hingga tak peduli jika haknya harus terberi demi menjaga hak orang lain. Dan sebaliknya, toleransi terancam mati di lingkungan orang-orang yang selalu menuntut hak, tetapi ogah melaksanakan kewajiban.

Keangkuhan hati, akhirnya menjadi penghalang utama bagi tumbuhnya sikap toleransi. Pola pikir sempit yang melihat kebenaran di sisi pandangan sendiri, tanpa menghiraukan kebenaran di sisi pandangan pihak lain, akan buta pada toleransi. Penganut paham demikian, hanya akan sedia bertoleransi dengan pihak lain yang turut pada pemahamannya.

Pun, kecongkakan atas dasar keyakinan yang tertancap begitu dalam, juga berpotensi membuahkan sikap intoleransi. Ketika seseorang meyakini bahwa keyakinannya benar dan yang lain salah, tanpa ada kompromi, maka akan sulit baginya bersikap toleran. Para penganut keyakinan “buta” semacam ini, bahkan menganggap sikap toleran sebagai wujud ketidakteguhan keyakinan yang sungguh memalukan.

Meski begitu, kokohnya keyakinan, belumlah pasti melahirkan pribadi yang intoleran. Keyakinan bukanlah antonim dan antinomi toleransi. Bahkan, keyakinan pada dasarnya adalah prasyarat toleransi. Keyakinanlah yang membuat posisi setiap orang berbeda-beda, sedang perbedaan itulah yang membuat toleransi memiliki arti. Tanpa perbedaan, tak ada makna bagi toleransi.

Toleransi keyakinan, akhirnya, hanya bisa hidup dalam masyarakat yang berbeda-beda, tapi tetap menghargai perbedaan. Karena itu, adalah kekeliruan mendasar kalau mengatasnamakan toleransi untuk menyekat entitas yang berbeda-beda dengan maksud melindungi kepentingan di ruang masing-masing, sebab toleransi tak lain adalah kesalingterimaan dalam persinggungan perbedaan.

Di tengah perbedaan, tentu tak ada salahnya jika seseorang meneguhkan keyakinan, lalu mengusahakan keyakinan itu menjadi keyakinan orang lain. Tapi niat mulia itu, harus didasarkan atas rasa cinta untuk membuat orang lain berada di jalan kebenaran, sebagaimana yang ia yakini. Karena itu, cara-cara yang digunakan harus bersifat dialogis, bukan dogmatis, apalagi dengan paksaan fisik.

Sungguh, memaksakan keyakinan adalah sebuah perbuatan yang sia-sia. Keyakinan adalah kata hati yang tak bisa dipaksakan. Keyakinan merupakan wujud dari proses pencarian yang panjang, dan tak mungkin berubah seketika hanya dengan ancaman pedang. Karena itu, upaya untuk membuat seseorang menjadi seyakin, harus dilakukan dengan pendekatan hati dan pikiran.

Sebelum “memperbaiki” keyakinan orang lain, kiranya perlu melakukan pembenahan keyakinan sendiri. Mahatma Gandhi (Mahatma Gandhi Semua Manusia Bersaudara, 2016: 83) menilai semua keyakinan merupakan ungkapan-ungkapan kebenaran, tetapi semuanya tidak sempurna dan sangat besar kemungkinan mengandung kesalahan. Sebab itu, setiap orang harusnya peka terhadap kekurangan-kekurangan di dalam keyakinannya sendiri, dan berusaha melakukan perbaikan.

Karena dasar keyakinan adalah ilmu, maka setiap orang harusnya berhenti memaksakan satu keyakinan pada orang lain kala ia sendiri belum mengilmui keyakinannya. Sungguh keliru jika seseorang mencap keyakinan orang lain salah, jika pada saat yang sama, ia sendiri masih meragukan keyakinannya. Bagaimana cara meneguhkan keyakinan? Tak lain daripada menelurusi hakikat kebenaran (baca: mencari ilmu).

Akhirnya, iklim toleransi memang selayaknya menjadi kesempatan bagi setiap orang untuk berbagi ilmu makna berdasarkan keyakinannya. Saling berlomba-lomba menampilkan kebaikan untuk menjaga citra keyakinannya. Jikalau demikian, tidak hanya martabat keyakinan yang terjaga, tetapi mungkin juga meluluhkan hati orang lain untuk turut dalam keyakinan secara sukarela.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar