Keriuhan perihal pemilihan kepala
daerah (pilkada), semakin menggema. Obrolan soal pilkada, mengisi ruang-ruang
publik. Tidak hanya ramai di layar-layar gawai, tetapi juga di kehidupan nyata.
Yang terlibat bukan hanya mereka yang terdidik dan mengerti soal politik secara utuh,
tetapi juga masyarakat awam yang memahami politik hanya sekadar pemilihan.
Antusias masyarakat terkait
penyelenggaraan pilkada, tentu merupakan situasi yang menggembirakan. Hal itu mengindikasikan
bahwa masyarakat mulai menghargai dan memahami arti penting demokrasi dalam
rezim otonomi daerah. Yang diharapkan tentu adalah proses pilkada melahirkan
pemimpin yang mampu mewujudkan pembangunan.
Namun ekspektasi masyarakat soal
korelasi kualitas kepala daerah dan pembangunan daerah, nyatanya terhalang oleh
sistem ketatanegaraan. Pada realitasnya, kepala daerah provinsi atau
kebupaten/kota, memiliki jarak dengan masyarakat. Gubernur, bupati, dan
walikota, tak lain hanyalah peramu dan penerus konsep pembangunan nasional di daerah untuk disarankan kepada pemerintah desa, yang kemudian diimplementasikan di dalam kehidupan masyarakat.
Konsep
Otonomi Daerah
Secara konstitusional, Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945
menetapkan bahwa pemerintahan daerah dibagi atas daerah-daerah provinsi, yang
kemudian dibagi lagi atas daerah kabupaten/kota. Tiap-tiap pemerintahan daerah itu,
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya berdasarkan konsep otonomi
seluas-luasnya, dan tugas pembantuan.
Konstruksi pemerintah daerah, pada
dasarnya berakar dari tiga asas, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan. Asas desentralisasi, yaitu penyerahan urusan pemerintahan oleh perintah
pusat kepada pemerintah daerah otonom. Asas dekonsentrasi, yaitu pelimpahan urusan
pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedang asas tugas
pembantuan adalah pelaksanaan urusan pemerintah pusat oleh
pemerintah daerah..
Tiga asas pemerintahan daerah di atas, menjadi dasar pengalokasian urusan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Berdasarkan Pasal 9 dan 10 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat
yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter-fiskal
nasional, dan agama. Namun begitu, serangkaian urusan tersebut, bisa
juga dilimpahkan kepada gubernur berdasarkan asas dekonsentrasi.
Di luar daripada urusan
pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat, pada dasarnya, secara
otomatis menjadi urusan pemerintah daerah. Urusan-urusan itu, terjabarkan dalam
Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 23 Tahun 2014, yaitu pendidikan,
kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan
permukiman, tenaga kerja, pangan, lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
Urusan pemerintahan daerah di atas,
dapat juga menjadi urusan pemerintah pusat. Pengambilalihan oleh permerintah
pusat didasarkan pada alasan yang tercantum dalam pasal 13 ayat (2) UU No. 23
Tahun 2014, yaitu urusan pemerintahan berlokasi dan berdampak lintas daerah provinsi
atau lintas negara, urusan pemerintahan lebih efisien apabila dilakukan
oleh pemerintah pusat, dan urusan pemerintahan bersifat strategis bagi kepentingan
nasional.
Adanya sistem pengalokasian urusan pemerintahan berdasarkan konsep otonomi daerah, tak pelak membuat urusan pemerintah daerah menjadi sangat
luas. Tapi secara konstitusional, tata pemerintahan memang mengharapkan urusan pemerintahan dititipberatkan pada pemerintah daerah. Pasal 18 ayat (5) UUD NRI
Tahun 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat.
Hierarki
Pemerintahan
Penyelenggaraan pemerintahan yang bertingkat
di era otonomi daerah, akhirnya menimbulkan dampak pada hubungan pemerintahan. Antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terdapat ruang-ruang yang tak bisa
bersinggungan. Secara struktural, pemerintah pusat di tingkat tertinggi memang membawahi
pemerintah daerah. Namun secara fungsional, pemerintah pusat tak bisa “merajai”
pemerintah daerah dalam soal urusan pemerintahan daerahnya sendiri.
Yang terjadi akhirnya, pemerintah
pusat hanya sebagai koordinator dalam menjaga ritme pembangunan nasional. Fungsi
utamanya sebagai penengah dalam urusan pemerintahan antardaerah. Paling mungkin,
pemerintah pusat hanya bertindak sebagai fasilitator program, pengawas, dan
juga evaluator demi menjamin bahwa pembangunan di setiap daerah berjalan secara
seimbang dan berkontibusi terhadap citra pembangunan nasional.
Lemahnya
kuasa pemerintah pusat di daerah, setidaknya tampak dalam Pasal 7 ayat (1) UU
No. 23 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa pemerintah pusat sekadar melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Meski memiliki fungsi pengawasan, namun hal itu tak berdampak apa-apa, sebab pemerintah pusat,
tidak dapat pemberhentikan kepala pemerintahan daerah sekiranya terdapat masalah pembangunan.
Adanya sekat antara pemerintah
pusat dan daerah, akhirnya membuat implementasi kebijakan nasional sangat
tergantung pada pemerintah daerah. Untuk pelaksanaan program berasaskan tugas
pembantuan, mungkin saja terjadi sinergitas yang baik, sebab daerah diuntungkan
dengan pembiayaan pemerintah pusat. Namun pelaksanaan urusan pemerintahan yang
tunduk pada asas desentralisasi, misalnya, sangat tergantung pada kebijakan
pemerintah daerah.
Pun, di tingkat pemerintah daerah,
ada juga sekat antarpemerintah. Pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan
pemerintah pusat di daerah, yang bertugas sebagai penyelaras antara pembangunan
nasional dan daerah, juga tak punya kuasa untuk memaksakan urusan pada
pemerintah kabupaten/kota. Bagaimana pun juga, pemerintah kabupaten/kota sebagai
daerah otonom, memiliki priotitas urusan pemerintahan sendiri.
Akhirnya, implementasi program pembangunan
nasional atau provinsi, ditumpukan pada keputusan dan kebijakan pemerintah
kabupaten/kota. Karena itulah, kedudukan pemerintahan kabupaten/kota menjadi
sangat stategis dalam pembangunan nasional. Pada tataran penyelenggaraan
pemerintahan daerah, di pihak pemerintah kabupaten/kotalah, konsep otonomi diharapkan
memberi dampak langsung pada perbaikan kehidupan masyarakat.
Kuasa
Pemerintahan Desa
Tapi, implementasi program pembangunan di
daerah, nyatanya, tak berhenti dan tak bertumpu pada pemerintah kabupaten/kota.
Pasca lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, terciptalah tingkat
pemerintahan bawah yang kokoh, yaitu pemerintahan desa. Posisinya bahkan tak
bisa dianggap suboordinasi pemerintah daerah semata. Secara kelembagaan, pemerintah
desa punya posisi yang terlepas dari sistem pemerintahan pusat maupun
pemerintahan daerah.
Kedudukan pemerintah desa sebagai
satu entitas yang “kokoh”, diperkuat oleh kenyataan bahwa kepala desa sebagai pemerintah
desa, juga dipilih secara demokratis, sebagaimana bupati/walikota, gubernur,
atau presiden. Dengan demikian, tak ada kuasa bagi pemerintah pusat dan daerah
untuk memaksakan pelaksanaan urusan pemerintahan tertentu, sebab daulat
pemerintah desa adalah daulat rakyat di desa. Tanggung jawab dan legitimasi
kedudukan kepala desa pun, ditumpukan pada masyarakat desa.
Atas legitimasinya yang kuat,
pemerintah desa pun menjadi satu entitas yang otonom. Paling tidak, pemerintahan
desa memiliki kemandirian untuk mengatur dan melaksanakan urusannya sendiri,
sebagaimana berlaku pada tingkat pemerintahan pusat dan daerah. Pemerintahan desa
berwenang menyusun program pembangunan desa, hingga membuat peraturan desa yang
mengikat bagi masyarakat.
Pasal
19 UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan bahwa kewenangan desa meliputi kewenangan
berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala desa, serta kewenangan
yang ditugaskan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah berserta biayanya. Serangkaian kewenangan tersebut tampak mengokohkan pemerintah desa sebagai penyelenggara urusan pemerintahan secara mandiri, pun melaksanakan
tugas yang dilimpahkan dari pemerintahan tingkat atas, sebagaimana pada pemerintah
daerah yang berdasarkan otonomi seluas-luasnya.
Sepanjang
yang terbaca dalam UU No. 6 Tahun 2014, pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah, memang memiliki kuasa untuk menata desa secara kelembagaan, misalnya dalam hal
pembentukan desa. Secara fungsional, dalam hal pelaksanaan urusan pemerintahan
di desa, pemerintah pusat ataupun pemerintah, juga memiliki kewenangan pembinaan dan
pengawasan penyelengaraan pemerintahan desa. Namun kewenangan tersebut, lebih ditujukan
pada fungsi koordinatif, bukan komando, sebab urusan pemerintahan desa
tetap tergantung pada kehendak masyarakat desa.
Pada tata pemerintahan demikian,
tampak bahwa kebijakan pemerintahan desa, jadi lebih mempengaruhi kebijakan
pemerintah pusat dan daerah, ketimbang sebaliknya. Pemerintah desa menjadi satu
anak tangga yang harus dilalui bagi implementasi kebijakan pemerintah pusat dan
daerah di desa. Perumusan kebijakan pembangunan desa, beserta implementasinya
yang menyentuh langsung pada kehidupan masyarakat, tergantung pada khayalak
desa.
Konsep keotomian desa, pun, semakin
kokoh dengan lahirnya kebijakan pemerintah pusat untuk menggenjot pembangunan
di desa, yaitu dengan pemberian dana desa. Program ini membuat pemerintahan desa
semakin berdaya dalam melaksanakan program pembangunan dan pemberdayaan desa. Demi
efektifitas dan efisiensi pembangunan desa, program berskala nasional ini
bahkan hanya mendudukkan pemerintah daerah sebagai fasilitator atau perantara
antara pemerintahan pusat dengan desa.
Atas posisinya yang sangat
menentukan bagi pembangunan masyarakat secara nyata, bahkan menyasar hingga ke
pelosok terpencil, perhatian masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan
negara, patut difokuskan pada pemerintahan desa. Tanpa mengesampingkan
keberadaan pemerintah daerah sebagai perantara program pembangunan nasional di
desa, masyarakat sudah seharusnya memberikan kepeduliannya pada tata kelola
pemerintahan desa.
Akhirnya, segaduh apa pun perhelatan
pilkada, tak selayaknya menutup perhatian kita pada perhelatan demokrasi di
desa yang benar-benar memiliki dampak pada kehidupan individu per individu. Di
desalah, konsep pembangunan dari, oleh, dan untuk rakyat, bisa berlangsung
efektif dan berdampak nyata. Oleh karena itulah, percuma larut dan menaruh
harapan pada perhelatan demokrasi di tingkat pusat dan daerah, jikalau akhirnya
mengabaikan demokrasi di tataran desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar