Rabu, 25 April 2018

Kepala Daerah dan Cita Pembangunan


Keriuhan perihal pemilihan kepala daerah (pilkada), semakin menggema. Obrolan soal pilkada, mengisi ruang-ruang publik. Tidak hanya ramai di layar-layar gawai, tetapi juga di kehidupan nyata. Yang terlibat bukan hanya mereka yang terdidik dan mengerti soal politik secara utuh, tetapi juga masyarakat awam yang memahami politik hanya sekadar pemilihan.
Antusias masyarakat terkait penyelenggaraan pilkada, tentu merupakan situasi yang menggembirakan. Hal itu mengindikasikan bahwa masyarakat mulai menghargai dan memahami arti penting demokrasi dalam rezim otonomi daerah. Yang diharapkan tentu adalah proses pilkada melahirkan pemimpin yang mampu mewujudkan pembangunan.
Namun ekspektasi masyarakat soal korelasi kualitas kepala daerah dan pembangunan daerah, nyatanya terhalang oleh sistem ketatanegaraan. Pada realitasnya, kepala daerah provinsi atau kebupaten/kota, memiliki jarak dengan masyarakat. Gubernur, bupati, dan walikota, tak lain hanyalah peramu dan penerus konsep pembangunan nasional di daerah untuk disarankan kepada pemerintah desa, yang kemudian diimplementasikan di dalam kehidupan masyarakat.
Konsep Otonomi Daerah
Secara  konstitusional, Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 menetapkan bahwa pemerintahan daerah dibagi atas daerah-daerah provinsi, yang kemudian dibagi lagi atas daerah kabupaten/kota. Tiap-tiap pemerintahan daerah itu, mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya berdasarkan konsep otonomi seluas-luasnya, dan tugas pembantuan.
Konstruksi pemerintah daerah, pada dasarnya berakar dari tiga asas, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Asas desentralisasi, yaitu penyerahan urusan pemerintahan oleh perintah pusat kepada pemerintah daerah otonom. Asas dekonsentrasi, yaitu pelimpahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedang asas tugas pembantuan adalah pelaksanaan urusan pemerintah pusat oleh pemerintah daerah..
Tiga asas pemerintahan daerah di atas, menjadi dasar pengalokasian urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berdasarkan Pasal 9 dan 10 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter-fiskal nasional, dan agama. Namun begitu, serangkaian urusan tersebut, bisa juga dilimpahkan kepada gubernur berdasarkan asas dekonsentrasi.
Di luar daripada urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat, pada dasarnya, secara otomatis menjadi urusan pemerintah daerah. Urusan-urusan itu, terjabarkan dalam Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 23 Tahun 2014, yaitu pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, tenaga kerja, pangan, lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
Urusan pemerintahan daerah di atas, dapat juga menjadi urusan pemerintah pusat. Pengambilalihan oleh permerintah pusat didasarkan pada alasan yang tercantum dalam pasal 13 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014, yaitu urusan pemerintahan berlokasi dan berdampak lintas daerah provinsi atau lintas negara, urusan pemerintahan lebih efisien apabila dilakukan oleh pemerintah pusat, dan urusan pemerintahan bersifat strategis bagi kepentingan nasional.
Adanya sistem pengalokasian urusan pemerintahan berdasarkan konsep otonomi daerah, tak pelak membuat urusan pemerintah daerah menjadi sangat luas. Tapi secara konstitusional, tata pemerintahan memang mengharapkan urusan pemerintahan dititipberatkan pada pemerintah daerah. Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
Hierarki Pemerintahan
Penyelenggaraan pemerintahan yang bertingkat di era otonomi daerah, akhirnya menimbulkan dampak pada hubungan pemerintahan. Antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terdapat ruang-ruang yang tak bisa bersinggungan. Secara struktural, pemerintah pusat di tingkat tertinggi memang membawahi pemerintah daerah. Namun secara fungsional, pemerintah pusat tak bisa “merajai” pemerintah daerah dalam soal urusan pemerintahan daerahnya sendiri.
Yang terjadi akhirnya, pemerintah pusat hanya sebagai koordinator dalam menjaga ritme pembangunan nasional. Fungsi utamanya sebagai penengah dalam urusan pemerintahan antardaerah. Paling mungkin, pemerintah pusat hanya bertindak sebagai fasilitator program, pengawas, dan juga evaluator demi menjamin bahwa pembangunan di setiap daerah berjalan secara seimbang dan berkontibusi terhadap citra pembangunan nasional.
Lemahnya kuasa pemerintah pusat di daerah, setidaknya tampak dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa pemerintah pusat sekadar melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Meski memiliki fungsi pengawasan, namun hal itu tak berdampak apa-apa, sebab pemerintah pusat, tidak dapat pemberhentikan kepala pemerintahan daerah sekiranya terdapat masalah pembangunan.
Adanya sekat antara pemerintah pusat dan daerah, akhirnya membuat implementasi kebijakan nasional sangat tergantung pada pemerintah daerah. Untuk pelaksanaan program berasaskan tugas pembantuan, mungkin saja terjadi sinergitas yang baik, sebab daerah diuntungkan dengan pembiayaan pemerintah pusat. Namun pelaksanaan urusan pemerintahan yang tunduk pada asas desentralisasi, misalnya, sangat tergantung pada kebijakan pemerintah daerah.
Pun, di tingkat pemerintah daerah, ada juga sekat antarpemerintah. Pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, yang bertugas sebagai penyelaras antara pembangunan nasional dan daerah, juga tak punya kuasa untuk memaksakan urusan pada pemerintah kabupaten/kota. Bagaimana pun juga, pemerintah kabupaten/kota sebagai daerah otonom, memiliki priotitas urusan pemerintahan sendiri.
Akhirnya, implementasi program pembangunan nasional atau provinsi, ditumpukan pada keputusan dan kebijakan pemerintah kabupaten/kota. Karena itulah, kedudukan pemerintahan kabupaten/kota menjadi sangat stategis dalam pembangunan nasional. Pada tataran penyelenggaraan pemerintahan daerah, di pihak pemerintah kabupaten/kotalah, konsep otonomi diharapkan memberi dampak langsung pada perbaikan kehidupan masyarakat.
Kuasa Pemerintahan Desa
Tapi, implementasi program pembangunan di daerah, nyatanya, tak berhenti dan tak bertumpu pada pemerintah kabupaten/kota. Pasca lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, terciptalah tingkat pemerintahan bawah yang kokoh, yaitu pemerintahan desa. Posisinya bahkan tak bisa dianggap suboordinasi pemerintah daerah semata. Secara kelembagaan, pemerintah desa punya posisi yang terlepas dari sistem pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah.
Kedudukan pemerintah desa sebagai satu entitas yang “kokoh”, diperkuat oleh kenyataan bahwa kepala desa sebagai pemerintah desa, juga dipilih secara demokratis, sebagaimana bupati/walikota, gubernur, atau presiden. Dengan demikian, tak ada kuasa bagi pemerintah pusat dan daerah untuk memaksakan pelaksanaan urusan pemerintahan tertentu, sebab daulat pemerintah desa adalah daulat rakyat di desa. Tanggung jawab dan legitimasi kedudukan kepala desa pun, ditumpukan pada masyarakat desa.
Atas legitimasinya yang kuat, pemerintah desa pun menjadi satu entitas yang otonom. Paling tidak, pemerintahan desa memiliki kemandirian untuk mengatur dan melaksanakan urusannya sendiri, sebagaimana berlaku pada tingkat pemerintahan pusat dan daerah. Pemerintahan desa berwenang menyusun program pembangunan desa, hingga membuat peraturan desa yang mengikat bagi masyarakat.
Pasal 19 UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan bahwa kewenangan desa meliputi kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala desa, serta kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah berserta biayanya. Serangkaian kewenangan tersebut tampak mengokohkan pemerintah desa sebagai penyelenggara urusan pemerintahan secara mandiri, pun melaksanakan tugas yang dilimpahkan dari pemerintahan tingkat atas, sebagaimana pada pemerintah daerah yang berdasarkan otonomi seluas-luasnya.
Sepanjang yang terbaca dalam UU No. 6 Tahun 2014, pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah, memang memiliki kuasa untuk menata desa secara kelembagaan, misalnya dalam hal pembentukan desa. Secara fungsional, dalam hal pelaksanaan urusan pemerintahan di desa, pemerintah pusat ataupun pemerintah, juga memiliki kewenangan pembinaan dan pengawasan penyelengaraan pemerintahan desa. Namun kewenangan tersebut, lebih ditujukan pada fungsi koordinatif, bukan komando, sebab urusan pemerintahan desa tetap tergantung pada kehendak masyarakat desa.
Pada tata pemerintahan demikian, tampak bahwa kebijakan pemerintahan desa, jadi lebih mempengaruhi kebijakan pemerintah pusat dan daerah, ketimbang sebaliknya. Pemerintah desa menjadi satu anak tangga yang harus dilalui bagi implementasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah di desa. Perumusan kebijakan pembangunan desa, beserta implementasinya yang menyentuh langsung pada kehidupan masyarakat, tergantung pada khayalak desa.
Konsep keotomian desa, pun, semakin kokoh dengan lahirnya kebijakan pemerintah pusat untuk menggenjot pembangunan di desa, yaitu dengan pemberian dana desa. Program ini membuat pemerintahan desa semakin berdaya dalam melaksanakan program pembangunan dan pemberdayaan desa. Demi efektifitas dan efisiensi pembangunan desa, program berskala nasional ini bahkan hanya mendudukkan pemerintah daerah sebagai fasilitator atau perantara antara pemerintahan pusat dengan desa.
Atas posisinya yang sangat menentukan bagi pembangunan masyarakat secara nyata, bahkan menyasar hingga ke pelosok terpencil, perhatian masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan negara, patut difokuskan pada pemerintahan desa. Tanpa mengesampingkan keberadaan pemerintah daerah sebagai perantara program pembangunan nasional di desa, masyarakat sudah seharusnya memberikan kepeduliannya pada tata kelola pemerintahan desa.
Akhirnya, segaduh apa pun perhelatan pilkada, tak selayaknya menutup perhatian kita pada perhelatan demokrasi di desa yang benar-benar memiliki dampak pada kehidupan individu per individu. Di desalah, konsep pembangunan dari, oleh, dan untuk rakyat, bisa berlangsung efektif dan berdampak nyata. Oleh karena itulah, percuma larut dan menaruh harapan pada perhelatan demokrasi di tingkat pusat dan daerah, jikalau akhirnya mengabaikan demokrasi di tataran desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar