Senin, 16 April 2018

Fiksi Rocky Gerung

Rocky Gerung kembali diobrolkan khalayak setelah berbicara di acara ILC episode “Jokowi-Prabowo Berbalas Pantun”, 10 April 2018. Pasalnya, ia melontarkan pernyataan bahwa segala hal yang bersifat prediktif, atau pernyataan yang pembuktiannya menunggu waktu di masa mendatang, adalah fiksi. Pun, katanya, termasuk juga kitab suci. Hingga akhirnya, beberapa orang penganut agama melaporkan ia ke pihak kepolisian atas dugaan penodaan agama.
 
Telepas dari bersalah tidaknya Rocky berdasarkan hukum, nanti, bangunan argumentasi yang ia lontarkan, kiranya perlu ditelaah lebih mendalam. Yang penting adalah mendalami terkait kadar kelogisan atas setiap kalimat yang ia kemukakan. Dalam hal ini, telaah kebahasaan, terutama soal korelasi antara makna yang ingin ia sampaikan dengan kata yang ia gunakan, perlu dijadikan titik fokus.

Fiksi dan Fiktif

Fiksi itu baik. Yang buruk itu fiktif,” Kata Rocky, “Selama ini kata fiksi dibebani oleh kebohongan. Seolah-olah fiksi itu bohong. Tadi saya katakan, bohong itu fiktif.” 

Secara keseluruhan, pernyataan Rocky dibangun di atas kata “fiksi” dan “fiktif” yang telah ia definisikan ulang. Fiksi, katanya, tak lain adalah sesuatu yang belum terhukumi sebab masih menggantung pada waktu. Ia baru bisa dikatakan benar atau salah ketika realitasnya telah mewujud di masa depan. Dikatakan benar ketika wujud realitas itu sejalan dengan prediksi, dan salah jika sebaliknya.

Menghukumi prediksi, menurut Rocky, adalah sikap yang keliru. Termasuk juga menghukumi fiksi. Karena itu, memvonis pernyataan “Indonesia bubar 2030” sebagai sebuah kesalahan, juga keliru. Penghukuman sesuatu sebagai kesalahan, menurut Rocky, hanya bisa ditujukan pada keadaan faktual yang melenceng dari perkiraan, yaitu kenyataan yang dengan sendirinya masuk kategori “fiktif”, yakni sebuah kata yang didefinisikan Rocky sebagai “kebohongan”. 

Sejauh pernyataan di atas, argumentasi Rocky jelas terbangun di atas kata “fiksi” dan “fiktif” sesuai definisinya sendiri. Maka dari itu, kata-kata yang ia ucapkan, tak bisa dilepaskan dari alur argumentasi yang hendak ia sampaikan. Paling tidak, ia bermaksud menyatakan bahwa fiksi tak bisa dikatakan fiktif, sebab taksiran tentang peristiwa di masa depan, bisa saja terjadi, bisa juga tidak. Maka, kenyataanlah yang bisa dihukumi, bukan fiksi, katanya.

Tapi pemahaman umum yang berbeda terhadap pernyataan Rocky, jelas tak bisa dibendung. Fiksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai cerita rekaan; rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan. Definisi yang melandasi anggapan umum itu, jelas saja menggiring khalayak pada kesimpulan bahwa novel fiksi yang memprediksi Indonesia bubar 2030, tidak bisa dipercaya, sebab itu hasil rekaan semata.

Sebagai hasil rekaan, menurut pemahaman umum, fiksi kemudian dikatakan fiktif. Hal itu karena fiktif dalam KBBI tak lain adalah adjektiva dari fiksi. Fiktif berarti “bersifat fiksi”. Fiktif senantiasa hadir dalam diri fiksi. Fiktif bukanlah wujud nyata fiksi yang bertentangan dengan prediksi, sebagaimana pernyataan Rocky, tetapi sesuatu yang melekat pada fiksi sebagai esensi.

Akhirnya, pertentangan pemahaman awam dengan argumentasi Rocky, tidak bisa dihindari. Pertentangan itu mungkin bisa didamaikan pada soal maksud yang bersifat konteksual, tatapi akan sulit pada tataran kata yang tektual. Alasannya karena pertentangan tersebut terjadinya atas persengketaan makna kata, sebab Rocky meredefinisi kata fiksi dan fiktif yang maknanya telah tertancap di kepala masyarkat secara umum, lalu ia gunakan itu untuk mengurai argumentasinya sendiri. 

Fiksi dan Imajinasi

“Fiksi itu sangat bagus. Dia adalah energi untuk mengaktifkan imajinasi,” kata Rocky.

Sebagai sesuatu yang abstarak dan prediktif, Rocky menganggap fiksi bisa menjadi landasan untuk menerka keadaan di masa mendatang, sebab ia hadir sebelum kenyataan. Baginya, fiksi adalah sesuatu yang membangun imajinasi tentang apa yang mungkin terjadi, sehingga seseorang bisa lebih antisipatif untuk mempersiapkan diri menyongsong masa depan.

Namun pada soal fiksi sebagai perangsang imajinasi, Rocky tidak memberikan penegasan kalau fiksi itu merujuk pada novel Ghost Fleet secara khusus, ataukah fiksi secara umum sesuai definisinya sendiri. Jika itu menunjuk pada novel Ghost Fleet, maka bisa dikatakan bahwa ia bersepaham untuk menjadikan novel tersebut sebagai bahan untuk memprediksi bubar Indonesia di tahun 2030, sehingga masyarakat patut was-was.

Di sisi lain, jika fiksi sebagai perangsang imajinasi itu mencakup segala hal yang prediktif, maka ia tetap pada posisi bahwa segala sesuatu yang mungkin terjadi, bermanfaat untuk dijadikan bahan bakar imajinasi. Paling tidak, di posisi ini, ia hendak menyatakan bahwa fiksi itu belum bisa dihukumi benar atau salah, tapi sudah dipastikan baik karena mampu membangkitkan imajinasi demi mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan di masa mendatang.

Tapi benarkah fiksi melahirkan imajinasi? Bukankah sebaliknya bahwa imajinasilah yang melahirkan fiksi? 

Nah, jika fiksi yang dimaksud Rocky merujuk pada novel Ghost Fleet, maka pernyataan bahwa fiksi membangkitkan imajinasi, bisa dibenarkan. Alasannya karena membaca karya fiksi berupa novel, jelas bisa memacu gambaran ilusi di benak pembaca ketika memvisualisasikan diksi-diksi. Namun jika itu merujuk pada fiksi secara umum, dalam artian konsep yang abstrak dan belum terhukumi, maka pernyataan bahwa fiksilah yang membangkitkan imajinasi, perlu dipersoalkan.

Gugatan soal fiksi yang determinan terhadap imajinasi, dapat disandarkan pada filsafat pengetahun. Titik fokusnya adalah, apakah imajinasi sebagai gerak kualitatif dari otak, mampu menghasilkan gambaran tertentu tanpa bersinggungan dengan alam indrawi, dan cukup mengandalkan konsep abstrak fiksi semata? 

Jawaban atas itu dapat merujuk pada ranah epistemologi, yaitu teori disposesi yang menyatakan bahwa konsep yang dibangun di dalam pikiran, termasuk juga hal-hal yang imajinatif, senantiasa membutuhkan persingungan dengan alam indrawi di tahap awal. Ini berarti bahwa penglihatan terhadap realitas di alamlah yang menjadi bahan imajinasi yang kemudian melahirkan fiksi, bukan fiksi yang menjadi bahan imajinasi untuk melihat realitas di alam.

Secara ringkas, bisa dikatakan bahwa nalar imajinatif hanyalah instrumen untuk mengolah bahan-bahan faktual-aktual untuk memprediksi keadaan di masa mendatang. Dari kenyataan terkini, diolah oleh imajinasi, menghasilkan prediksi kenyataan di masa depan. Untuk itu, wajar jika pendapat umum sulit menerima jika hasil imajinasi atas sesuatu yang fiksi, dapat dijadikan pegangan untuk menyongsong kenyataan di masa depan.

Fiksi dan Realitas

“Fiksi lawannya realitas, bukan fakta,” tegas Rocky.

Berangkat dari kerangka pikir bahwa segala keadaaan yang menggantung pada waktu dikategorikan sebagai fiksi, akhirnya membawa Rocky pada kesimpulan bahwa fiksi bisa dipertantangkan dengan realitas. Fiksi, katanya, tidak bisa dilekatkan dengan nilai benar atau salah. Soal benar atau salah, hanya bisa ditimpakan pada realitas yang maujud. 

Anggapan bahwa tak ada kesalahan pada fiksi sebab penghukumannya menggantung pada waktu, membuat terang kalau Rocky hendak menyatakan bahwa fiksi pun patut digunakan sebagai bahan atau indikator untuk membaca realitas di masa depan. Itu karena menurutnya, fiksi bisa jadi sejalan dengan realitas, meski bisa jadi juga menentangi realitas, sehingga menjadi perihal yang fiktif menurut definisinya sendiri.

Pandangan Rocky yang menyamaratakan segala sesuatu yang menggantung pada waktu sebagai fiksi, jelas dapat menimbulkan kegamangan umum. Alasannya karena generalisasi tersebut, juga akan menyeret hasil kajian ilmiah yang sifatnya masih prediktif. Dengan alasan bahwa prediksi kajian ilmiah tentang keadaan di masa depan belumlah pasti kebenarannya, maka ia kemudian dikategorikan sebagai fiksi, sebagaimana novel.

Penyamarataan ini, jelas menyalahi norma akademis dan iklim intelektual yang menjunjung tinggi kaidah ilmiah. Pendapat Rocky itu mendistorsi metodologi ilmiah yang dipercaya dan dianggap sebagai jalan terbaik untuk menuju realitas kebenaran di masa depan. Rocky membiaskan nilai prediksi kajian ilmiah yang diyakini lebih menjamin kebenaran daripada prediksi fiksi dalam pemahaman umum. 

Secara mendasar, hasil kajian ilmiah dengan karya fiksi, jelas berbeda pada kadar objektivitasnya. Kajian ilmiah diupayakan untuk sebisa mungkin menghindari distorsi subjektivitas, yaitu dengan membiarkan objek berbicara pada sang peneliti. Di sisi lain, pada karya fiksi, subjektivitaslah yang berbicara pada realitas. Penggubah fiksi menafsirkan keadaan sesuai dengan rasa dan persepsinya sendiri, demi estetika, bukan demi kebenaran.

Memang, tidak tertutup kemungkinan bahwa prediksi masa depan dari hasil kajian ilmiah, akan melenceng dari realitas yang maujud. Bahkan tak sedikit bukti untuk itu. Tapi setidaknya, menyamakan nilai ilmiah dengan fiksi, bukanlah sikap yang tepat. Karena itu, perlu kiranya merenungi pernyataan Mahfud MD di acara ILC episode “Tahun Politik Memanas: Prabowo Menyerang”, pada Selasa, 3 April 2018, kala menanggapi soal pernyataan Prabowo bahwa Indonesia akan bubar tahun 2030 berdasarkan novel Ghost Fleet:

“Yang pro maupun kontra tidak menolak sama sekali bahwa kita harus diberi peringatan. Indonesia ini, harus diselamatkan. Cuma bedanya, Pak Prabowo menyebut angka. Itu yang salah. Mengutip 2030 tanpa tahapan-tahapan perkembangan menuju 2030, itu fiktif. Apalagi memang diakui bahwa itu hanya novel,” katanya Mahfud. “Sudah menyebut tahapan-tahapan (sebagaimana hasil penelitian ilmiah, Pen.) saja masih salah, apalagi cuma ngawur.”

Persinggungan Agama

“Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, kitab suci itu adalah fiksi, karena belum selesai, belum tiba, begitu,” papar Rocky Gerung. Anda percaya pada kitab suci? Kenapa anda abaikan sifat fiksional dari kitab suci? Kan itu bukan faktual. Belum terjadi.” katanya lagi. “Anda ucap doa, sebetulnya, anda masuk dalam energi fiksional, karena anda pupuk harpan, bahwa dengan untaian doa itu, anda akan tiba di tempat yang indah. Begitu fiksi bekerja. Lalu, bisakah itu disebut keyakinan? Bisa. Di dalam agama, fiksi itu adalah keyakinan. 

Pernyataan Rocky bahwa kitab suci adalah fiksi, menjadi sisi yang paling menuai polemik. Dengan berpegang teguh pada definisi “fiksi” sebagai sesuatu yang menggantung pada waktu, Rocky menilai kitab suci pun fiksi, sebab ia mengandung realitas yang belum mewujud dan baru akan terbukti di masa depan, termasuk soal eskatologi.

Penyimpulan Rocky, kemudian disokong oleh tesisnya bahwa fiksi dalam agama adalah keyakinan. Setidaknya, ia ingin menyatakan bahwa dalam keberagamaan, para penganut membenarkan fiksi masa mendatang dalam kitab suci, hanya berdasarkan keyakinan semata. Keyakinan, yang juga tidak dibangun atas dasar realitas, tapi berdasarkan keterangan kitab suci, yang sebelumnya telah ia angggap mengandung dimensi fiksi.

Jika ditelaah, untuk sampai pada kesimpulan bahwa kitab suci adalah fiksi, Rocky pada dasarnya mengikuti alur argumentasi dan kukuh pada hasil redefinisi kata “fiksi" yang ia lakukan sejak awal. Karena itu, secara substansial, persinggungan dimensi keagamaan atas pernyataan dan maksud Rocky, terletak pada apakah setiap orang sepakat atau tidak bahwa kitab suci mengandung gambaran tentang masa depan yang masih belum menjadi realitas.

Tapi di luar dari pada keterkaitan antara argumentasinya dengan ketersinggungan penganut agama, Rocky memang telah menempuh jalan yang berisiko. Jelas, masyarakat awam memahami bahwa fiksi adalah rekayasa pikiran manusia semata, sehingga menyamakan karya fiksi dengan kitab suci yang diwahyukan Tuhan, adalah sebuah kelancangan. 

Selain itu, keyakinan bagi para penganut agama, seringkali mengatasi segala sesuatu, bahkan kadangkala mendahului rasionalisasi. Keyakinan, bagi penganut agama, adalah kepercayaan sepenuh hati pada firman Tuhan. Karena itu, meski keadaan yang digambarkan dalam ayat kitab suci belum terjadi, keyakinan sudah membenarkan keniscayaannya di masa depan.

Akhirnya, persingungan dan ketersinggungan yang tercipta atas pernyataan Rocky, pada dasarnya berawal dari keputusannya untuk meredefinisi kata “fiksi” dan “fiktif”. Ia mengenyampingkan pemaknaan awam pada dua kata tersebut untuk ia dijadikan “cangkang” argumentasi. Hingga ia pun terjebak untuk menggeneralisasi segala hal yang bersifat prediktif sebagai fiksi, tanpa mengindahkan ragam pemahaman dan keyakinan khayalak soal dari mana dan bagaimana “prediksi” tersebut muncul, entah dari karya fiksi, kajian ilmiah, atau kitab suci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar