Rocky
Gerung kembali diobrolkan khalayak setelah berbicara di acara ILC episode
“Jokowi-Prabowo Berbalas Pantun”, 10 April 2018. Pasalnya, ia melontarkan
pernyataan bahwa segala hal yang bersifat prediktif, atau pernyataan yang pembuktiannya
menunggu waktu di masa mendatang, adalah fiksi. Pun, katanya, termasuk juga
kitab suci. Hingga akhirnya, beberapa orang penganut agama melaporkan ia ke pihak
kepolisian atas dugaan penodaan agama.
Telepas
dari bersalah tidaknya Rocky berdasarkan hukum, nanti, bangunan argumentasi
yang ia lontarkan, kiranya perlu ditelaah lebih mendalam. Yang penting adalah
mendalami terkait kadar kelogisan atas setiap kalimat yang ia kemukakan. Dalam
hal ini, telaah kebahasaan, terutama soal korelasi antara makna yang ingin ia
sampaikan dengan kata yang ia gunakan, perlu dijadikan titik fokus.
Fiksi dan Fiktif
“Fiksi itu baik. Yang buruk itu fiktif,” Kata
Rocky, “Selama ini kata fiksi dibebani
oleh kebohongan. Seolah-olah fiksi itu bohong. Tadi saya katakan, bohong itu fiktif.”
Secara
keseluruhan, pernyataan Rocky dibangun di atas kata “fiksi” dan “fiktif” yang
telah ia definisikan ulang. Fiksi, katanya, tak lain adalah sesuatu yang belum
terhukumi sebab masih menggantung pada waktu. Ia baru bisa dikatakan benar atau
salah ketika realitasnya telah mewujud di masa depan. Dikatakan benar ketika wujud
realitas itu sejalan dengan prediksi, dan salah jika sebaliknya.
Menghukumi
prediksi, menurut Rocky, adalah sikap yang keliru. Termasuk juga menghukumi fiksi.
Karena itu, memvonis pernyataan “Indonesia bubar 2030” sebagai sebuah kesalahan,
juga keliru. Penghukuman sesuatu sebagai kesalahan, menurut Rocky, hanya bisa ditujukan
pada keadaan faktual yang melenceng dari perkiraan, yaitu kenyataan yang dengan
sendirinya masuk kategori “fiktif”, yakni sebuah kata yang didefinisikan Rocky sebagai
“kebohongan”.
Sejauh
pernyataan di atas, argumentasi Rocky jelas terbangun di atas kata “fiksi”
dan “fiktif” sesuai definisinya sendiri. Maka dari itu, kata-kata yang ia
ucapkan, tak bisa dilepaskan dari alur argumentasi yang hendak ia sampaikan. Paling
tidak, ia bermaksud menyatakan bahwa fiksi tak bisa dikatakan fiktif, sebab taksiran
tentang peristiwa di masa depan, bisa saja terjadi, bisa juga tidak. Maka, kenyataanlah
yang bisa dihukumi, bukan fiksi, katanya.
Tapi
pemahaman umum yang berbeda terhadap pernyataan Rocky, jelas tak bisa dibendung.
Fiksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai cerita
rekaan; rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan. Definisi yang melandasi
anggapan umum itu, jelas saja menggiring khalayak pada kesimpulan bahwa novel
fiksi yang memprediksi Indonesia bubar 2030, tidak bisa dipercaya, sebab itu hasil
rekaan semata.
Sebagai
hasil rekaan, menurut pemahaman umum, fiksi kemudian dikatakan fiktif. Hal itu
karena fiktif dalam KBBI tak lain adalah adjektiva dari fiksi. Fiktif berarti “bersifat
fiksi”. Fiktif senantiasa hadir dalam diri fiksi. Fiktif bukanlah wujud nyata fiksi
yang bertentangan dengan prediksi, sebagaimana pernyataan Rocky, tetapi sesuatu
yang melekat pada fiksi sebagai esensi.
Akhirnya,
pertentangan pemahaman awam dengan argumentasi Rocky, tidak bisa dihindari. Pertentangan
itu mungkin bisa didamaikan pada soal maksud yang bersifat konteksual, tatapi
akan sulit pada tataran kata yang tektual. Alasannya karena pertentangan
tersebut terjadinya atas persengketaan makna kata, sebab Rocky meredefinisi
kata fiksi dan fiktif yang maknanya telah tertancap di kepala masyarkat secara
umum, lalu ia gunakan itu untuk mengurai argumentasinya sendiri.
Fiksi dan Imajinasi
“Fiksi itu sangat bagus. Dia adalah
energi untuk mengaktifkan imajinasi,” kata Rocky.
Sebagai
sesuatu yang abstarak dan prediktif, Rocky menganggap fiksi bisa menjadi
landasan untuk menerka keadaan di masa mendatang, sebab ia hadir sebelum
kenyataan. Baginya, fiksi adalah sesuatu yang membangun imajinasi tentang apa
yang mungkin terjadi, sehingga seseorang bisa lebih antisipatif untuk
mempersiapkan diri menyongsong masa depan.
Namun
pada soal fiksi sebagai perangsang imajinasi, Rocky tidak memberikan penegasan
kalau fiksi itu merujuk pada novel Ghost Fleet secara khusus, ataukah fiksi
secara umum sesuai definisinya sendiri. Jika itu menunjuk pada novel Ghost
Fleet, maka bisa dikatakan bahwa ia bersepaham untuk menjadikan novel tersebut
sebagai bahan untuk memprediksi bubar Indonesia di tahun 2030, sehingga
masyarakat patut was-was.
Di
sisi lain, jika fiksi sebagai perangsang imajinasi itu mencakup segala hal yang
prediktif, maka ia tetap pada posisi bahwa segala sesuatu yang mungkin terjadi,
bermanfaat untuk dijadikan bahan bakar imajinasi. Paling tidak, di posisi ini,
ia hendak menyatakan bahwa fiksi itu belum bisa dihukumi benar atau salah, tapi
sudah dipastikan baik karena mampu membangkitkan imajinasi demi mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan di masa mendatang.
Tapi
benarkah fiksi melahirkan imajinasi? Bukankah sebaliknya bahwa imajinasilah
yang melahirkan fiksi?
Nah,
jika fiksi yang dimaksud Rocky merujuk pada novel Ghost Fleet, maka pernyataan
bahwa fiksi membangkitkan imajinasi, bisa dibenarkan. Alasannya karena membaca karya
fiksi berupa novel, jelas bisa memacu gambaran ilusi di benak pembaca ketika
memvisualisasikan diksi-diksi. Namun jika itu merujuk pada fiksi secara umum,
dalam artian konsep yang abstrak dan belum terhukumi, maka pernyataan bahwa
fiksilah yang membangkitkan imajinasi, perlu dipersoalkan.
Gugatan
soal fiksi yang determinan terhadap imajinasi, dapat disandarkan pada filsafat
pengetahun. Titik fokusnya adalah, apakah imajinasi sebagai gerak kualitatif
dari otak, mampu menghasilkan gambaran tertentu tanpa bersinggungan dengan alam
indrawi, dan cukup mengandalkan konsep abstrak fiksi semata?
Jawaban
atas itu dapat merujuk pada ranah epistemologi, yaitu teori disposesi yang menyatakan
bahwa konsep yang dibangun di dalam pikiran, termasuk juga hal-hal yang
imajinatif, senantiasa membutuhkan persingungan dengan alam indrawi di tahap
awal. Ini berarti bahwa penglihatan terhadap realitas di alamlah yang menjadi
bahan imajinasi yang kemudian melahirkan fiksi, bukan fiksi yang menjadi bahan
imajinasi untuk melihat realitas di alam.
Secara
ringkas, bisa dikatakan bahwa nalar imajinatif hanyalah instrumen untuk
mengolah bahan-bahan faktual-aktual untuk memprediksi keadaan di masa
mendatang. Dari kenyataan terkini, diolah oleh imajinasi, menghasilkan prediksi
kenyataan di masa depan. Untuk itu, wajar jika pendapat umum sulit menerima jika
hasil imajinasi atas sesuatu yang fiksi, dapat dijadikan pegangan untuk
menyongsong kenyataan di masa depan.
Fiksi dan Realitas
“Fiksi lawannya realitas, bukan
fakta,” tegas Rocky.
Berangkat
dari kerangka pikir bahwa segala keadaaan yang menggantung pada waktu
dikategorikan sebagai fiksi, akhirnya membawa Rocky pada kesimpulan bahwa fiksi
bisa dipertantangkan dengan realitas. Fiksi, katanya, tidak bisa dilekatkan dengan
nilai benar atau salah. Soal benar atau salah, hanya bisa ditimpakan pada
realitas yang maujud.
Anggapan
bahwa tak ada kesalahan pada fiksi sebab penghukumannya menggantung pada waktu,
membuat terang kalau Rocky hendak menyatakan bahwa fiksi pun patut digunakan
sebagai bahan atau indikator untuk membaca realitas di masa depan. Itu karena menurutnya,
fiksi bisa jadi sejalan dengan realitas, meski bisa jadi juga menentangi
realitas, sehingga menjadi perihal yang fiktif menurut definisinya sendiri.
Pandangan
Rocky yang menyamaratakan segala sesuatu yang menggantung pada waktu sebagai
fiksi, jelas dapat menimbulkan kegamangan umum. Alasannya karena generalisasi
tersebut, juga akan menyeret hasil kajian ilmiah yang sifatnya masih prediktif.
Dengan alasan bahwa prediksi kajian ilmiah tentang keadaan di masa depan belumlah
pasti kebenarannya, maka ia kemudian dikategorikan sebagai fiksi, sebagaimana
novel.
Penyamarataan
ini, jelas menyalahi norma akademis dan iklim intelektual yang menjunjung
tinggi kaidah ilmiah. Pendapat Rocky itu mendistorsi metodologi ilmiah yang dipercaya
dan dianggap sebagai jalan terbaik untuk menuju realitas kebenaran di masa
depan. Rocky membiaskan nilai prediksi kajian ilmiah yang diyakini lebih
menjamin kebenaran daripada prediksi fiksi dalam pemahaman umum.
Secara
mendasar, hasil kajian ilmiah dengan karya fiksi, jelas berbeda pada kadar objektivitasnya.
Kajian ilmiah diupayakan untuk sebisa mungkin menghindari distorsi
subjektivitas, yaitu dengan membiarkan objek berbicara pada sang peneliti. Di
sisi lain, pada karya fiksi, subjektivitaslah yang berbicara pada realitas.
Penggubah fiksi menafsirkan keadaan sesuai dengan rasa dan persepsinya sendiri,
demi estetika, bukan demi kebenaran.
Memang,
tidak tertutup kemungkinan bahwa prediksi masa depan dari hasil kajian ilmiah,
akan melenceng dari realitas yang maujud. Bahkan tak sedikit bukti untuk itu. Tapi
setidaknya, menyamakan nilai ilmiah dengan fiksi, bukanlah sikap yang tepat. Karena
itu, perlu kiranya merenungi pernyataan Mahfud MD di acara ILC episode “Tahun
Politik Memanas: Prabowo Menyerang”, pada Selasa, 3 April 2018, kala menanggapi
soal pernyataan Prabowo bahwa Indonesia akan bubar tahun 2030 berdasarkan novel
Ghost Fleet:
“Yang
pro maupun kontra tidak menolak sama sekali bahwa kita harus diberi peringatan.
Indonesia ini, harus diselamatkan. Cuma bedanya, Pak Prabowo menyebut angka.
Itu yang salah. Mengutip 2030 tanpa tahapan-tahapan perkembangan menuju 2030,
itu fiktif. Apalagi memang diakui bahwa itu hanya novel,” katanya Mahfud.
“Sudah menyebut tahapan-tahapan (sebagaimana hasil penelitian ilmiah, Pen.) saja masih salah, apalagi cuma ngawur.”
Persinggungan Agama
“Kalau saya pakai definisi bahwa
fiksi itu mengaktifkan imajinasi, kitab suci itu adalah fiksi, karena belum
selesai, belum tiba, begitu,” papar Rocky Gerung. “Anda
percaya pada kitab suci? Kenapa anda abaikan sifat fiksional dari kitab suci?
Kan itu bukan faktual. Belum terjadi.” katanya lagi. “Anda ucap doa, sebetulnya, anda masuk dalam energi fiksional, karena
anda pupuk harpan, bahwa dengan untaian doa itu, anda akan tiba di tempat yang
indah. Begitu fiksi bekerja. Lalu, bisakah itu disebut keyakinan? Bisa. Di
dalam agama, fiksi itu adalah keyakinan.
Pernyataan
Rocky bahwa kitab suci adalah fiksi, menjadi sisi yang paling menuai polemik. Dengan
berpegang teguh pada definisi “fiksi” sebagai sesuatu yang menggantung pada
waktu, Rocky menilai kitab suci pun fiksi, sebab ia mengandung realitas yang
belum mewujud dan baru akan terbukti di masa depan, termasuk soal eskatologi.
Penyimpulan
Rocky, kemudian disokong oleh tesisnya bahwa fiksi dalam agama adalah
keyakinan. Setidaknya, ia ingin menyatakan bahwa dalam keberagamaan, para
penganut membenarkan fiksi masa mendatang dalam kitab suci, hanya berdasarkan
keyakinan semata. Keyakinan, yang juga tidak dibangun atas dasar realitas, tapi
berdasarkan keterangan kitab suci, yang sebelumnya telah ia angggap mengandung
dimensi fiksi.
Jika
ditelaah, untuk sampai pada kesimpulan bahwa kitab suci adalah fiksi, Rocky
pada dasarnya mengikuti alur argumentasi dan kukuh pada hasil redefinisi kata
“fiksi" yang ia lakukan sejak awal. Karena itu, secara substansial, persinggungan
dimensi keagamaan atas pernyataan dan maksud Rocky, terletak pada apakah setiap
orang sepakat atau tidak bahwa kitab suci mengandung gambaran tentang masa
depan yang masih belum menjadi realitas.
Tapi
di luar dari pada keterkaitan antara argumentasinya dengan ketersinggungan
penganut agama, Rocky memang telah menempuh jalan yang berisiko. Jelas,
masyarakat awam memahami bahwa fiksi adalah rekayasa pikiran manusia semata,
sehingga menyamakan karya fiksi dengan kitab suci yang diwahyukan Tuhan, adalah
sebuah kelancangan.
Selain
itu, keyakinan bagi para penganut agama, seringkali mengatasi segala sesuatu,
bahkan kadangkala mendahului rasionalisasi. Keyakinan, bagi penganut agama,
adalah kepercayaan sepenuh hati pada firman Tuhan. Karena itu, meski keadaan yang
digambarkan dalam ayat kitab suci belum terjadi, keyakinan sudah membenarkan
keniscayaannya di masa depan.
Akhirnya,
persingungan dan ketersinggungan yang tercipta atas pernyataan Rocky, pada
dasarnya berawal dari keputusannya untuk meredefinisi kata “fiksi” dan “fiktif”.
Ia mengenyampingkan pemaknaan awam pada dua kata tersebut untuk ia dijadikan “cangkang”
argumentasi. Hingga ia pun terjebak untuk menggeneralisasi segala hal yang
bersifat prediktif sebagai fiksi, tanpa mengindahkan ragam pemahaman dan
keyakinan khayalak soal dari mana dan bagaimana “prediksi” tersebut muncul,
entah dari karya fiksi, kajian ilmiah, atau kitab suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar