Entah
berapa kali sudah kita melalui jalan bersama. Sudah sering, pastinya. Kau suka
memintaku mengantarmu ke segala tempat. Ke kampus, pusat perbelanjaan, tempat
hiburan, atau ke mana pun yang kau mau. Dan menjelang sore ini, kau kembali memintaku
membawamu ke satu tempat yang baru. Tempat yang belum pernah kau datangi
sebelumnya, bersamaku.
Tanpa
pikir panjang, aku lekas mempersiapkan diri untuk segera menjemputmu. Tak
peduli kalau aku harusnya mandi terlebih dahulu, mengenakan pakaian yang wangi
dan menarik, serta menata rambutku semodis mungkin. Aku yakin, kau tak
mempermasalahkan soal rupa. Selama ini, kau sudi berdampingan denganku yang apa
adanya.
Akhirnya,
aku tiba di depan rumahmu dalam waktu singkat. Mungkin lebih cepat dari yang kau
bayangkan. Sampai aku pun harus menunggu sekitar dua puluh menit hingga kau
selesai berdandan. Menunggu kau muncul dengan kecantikan sempurna, dan mambuatku
takjub, sampai aku tak pernah merasa rugi menghabiskan waktu untuk sekadar
menunggu.
Dan
benar saja. Kau muncul dengan penampilan yang sangat menawan. Rambutmu hitam
terurai, wajahmu cerah berseri, matamu bernaung di bawah alis yang hitam-tebal,
dan bibirmu yang basah. Kau seakan tahu model dandanan yang mampu mempertegas
aura kecantikmu secara pas. Hingga aku, sebagai seorang lelaki, jadi terkesima
menyaksikan rupamu.
“Kau
tak punya kepentingan lain yang mendesak kan?” tanyamu.
Aku
menggeleng, “Tak ada,” kataku, sembari merahasiakan kalau aku punya janji untuk
mengantar ibuku berbelanja setengah jam ke depan.
Senyap
sejenak.
Tiba-tiba,
aku berhasrat menyelidik “Kau ada kepentingan apa di kafe itu?” tanyaku, kala
kita telah mengawali perjalanan, berdua, di atas sadel motor bututku yang
jadul.
Kau
menjawab seketika, “Akan ada peristiwa spesial yang berlangsung di sana.”
“Peristiwa
apa maksudmu?” telisikku lagi. Penasaran.
Tawamu
mengalun. “Kau tak perlu tahu sekarang. Nanti, kau akan tahu juga.”
Setelah
kau menegaskan rahasiamu, aku pun menahan tanya. Kuyakini saja kalau perihal
yang akan kau lalui, adalah sesuatu yang membuatmu senang, dan aku pun senang.
Aku bahkan membayangkan jika kau akan memberiku sebuah kejutan, atau
menjebakku, sehingga kita sampai pada adegan untuk mengakhiri hubungan
pertemanan, kemudian memulai satu hubungan sebagai kekasih.
Di
waktu kemudian, beserta tanya di kepala, kukerahkan saja perhatianku pada lalu-lintas
kendaraan yang padat. Bergegas dan berhati-hati, agar kau sampai dengan selamat,
tepat pada waktu yang kau inginkan. Kulakukan itu agar kau tak terlalu lama dalam
bahaya jalan raya, juga tak terpapar keras debu dan terik matahari yang akan
membuat kecantikanmu tertutupi.
Hingga,
sampailah kita pada sebuah kafe. Kau pun turun, lalu mengucapkan kata terima
kasih, beserta satu senyuman yang memesona. Lekas, kau berpaling dariku, kemudian
melangkah masuk, tanpa mengajakku turut, atau memintaku untuk pulang saja. Kau
pergi, tanpa basa-basi. Seolah-olah ada yang ingin segera kau lakoni. Dan
kuyakin sudah, itu bukan soal aku.
Sontak
setelah kau berlalu, perlahan, tanya dalam hatiku soal apa atau siapa gerangan
yang membuatmu tak lagi mengacuhkanku sehangat sebelumnya, menyeruak kembali. Aku
tak sanggup menunggu jawaban tentang itu lebih lama. Entah satu jawaban yang akan
kujadikan alasan untuk menggantungkan harapanku padamu, atau memusnahkan
harapan itu sekalian.
Dan
akhirnya, kususullah kau ke dalam ruang kafe, tanpa peduli apa setelahnya.
“Kenapa
kau masuk ke sini?” tanyamu seketika, setelah menyaksikan kehadiranku.
Aku
lalu duduk di depanmu tanpa permisi. Berusaha bertingkah wajar dan menganggap
semua biasa saja. “Tak mengapa,” kataku, lalu tersenyum. “Aku hanya mengira kau
masih membutuhkanku. Apalagi, tadi, kau tak memintaku pulang lebih dulu, sambil
mengucapkan selamat tinggal atau sampai jumpa.”
Kau
tampak kurang senang atas jawabanku. Seolah kau menganggap responsku serupa
ledekan. “Iya! Tapi aku juga tak memintamu masuk ke sini!” tegasmu, sembari
menatapku, tajam. Rasa kesal, mulai tampak di raut wajahmu.
Aku
pun jadi kelimpungan. Bingung bagaimana menjelaskan kelancanganku yang
terlanjur. Hingga, kuutarakanlah maksudku, meski tak sejujurnya hatiku,
“Sebenarnya, aku penasaran saja tentang siapa yang akan kau temui, dan apa yang
akan kalian lakukan,” terangku, tanpa memberi kesan bahwa aku tengah mendesakmu
untuk berkata lugas.
Seperti
pasrah atau terpaksa, kau akhirnya menuturkan perihal yang telah membuatku
begitu penasaran. “Aku punya janji dengan seorang teman lama. Seorang lelaki. Dia
teman baikku waktu sekolah,” jelasmu dengan tubuh mengulai. “Soal apa maksudnya,
aku juga tak tahu. Tiba-tiba saja, ia mengajakku ke sini.”
Jelas
saja, aku sedikit tenang mendengar penjelasanmu. “Kalau cuma teman, tak ada
salahnya dong kalau aku bertemu juga dengannya? Teman dari seorang teman, kan, teman
juga.”
Raut
wajahmu, kembali menyiratkan kekesalan. “Sebaiknya kau jangan di sinilah!”
“Kenapa?”
tanyaku, seketika. “Apa aku menganggu? Atau aku adalah aib yang harus kau
sembunyikan dari kenalanmu yang lain?”
“Jangan
berprasangkan buruk begitu, dong!” katamu, memelas. “Aku hanya ingin bertemu
dengan seorang teman lama dalam suasana yang lebih khusus. Tak ada yang lain.”
“Kau
menyukainya?” sergahku.
Kau
tak menjawab. Kekesalanmu malah tampak menjadi-jadi.
“Lalu,
kau anggap aku ini apa? Apa yang membuatmu harus menyingkirkan seorang lelaki sepertiku
untuk seorang lelaki yang kau sebut teman?” tanyaku, mendesak.
Seketika,
kau meluruhkan amarahmu, “Karena kau jelek! Lihatlah, penampilanmu kuno begitu!
Kulitmu gelap! Kumal! Bau!” katamu, penuh emosi.
Sontak,
mulutku tersekat mendengar kata-katamu.
“Aku
mohon, pergilah,” pintamu, dengan nada suara yang merendah.
Aku
lalu berpaling darimu. Melangkah pergi sebagai seorang lelaki yang putus
harapan atas cintamu. Pergi, membawa serta kecewa yang mendalam, sebab aku yang
telah banyak berkorban untukmu, ternyata, tak kau anggap siapa-siapa. Mungkin
benar, aku hanya seorang babu yang kau perdaya dengan pesona cantikmu.
Kutitilah jalan pulang, sambil terus menasihati diri untuk berhenti berkhayal dan memaksakan perasaan. Wanita di dunia, bukan hanya kau seorang. Kuyakin, kamulah yang tak layak untuk cintaku, dan bukan cintamu yang layak untukku. Aku pasti menemukan sosok yang bisa menghargai cintaku, semulia-mulianya, dan kau akan menyesal.
Di
tengah keguncangan hati, kusadarilah, memang sudah sebaiknya aku pulang. Aku harus
mengantar ibuku. Dia, yang begitu mencintaiku. Seseorang yang telah dan akan selalu
membaktikan dirinya untuk kebaikan hidupku, sejak lahir sampai mati. Sosok wanita
yang akan selalu membahagiakan diriku atas cintanya yang melimpah dan tak
bersyarat.
Dan
sesampainya aku di rumah, kutemukanlah sebuah pesan singkat darimu. Satu pesan
yang coba menawar perasaanku, kembali, seperti sedia kala:
Jika kau tak punya kepentingan, tolong
jemput aku kembali, ya. Kau bisa kan? Dia buru-buru ke bandara dan tak sempat
mengantarku pulang.
Seketika,
kumatikan telepon genggamku, kemudian bergegas mempersiapkan diri untuk
mengantar ibuku berbelanja di pasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar