Rabu, 28 Maret 2018

Rupa Luka

Entah berapa kali sudah kita melalui jalan bersama. Sudah sering, pastinya. Kau suka memintaku mengantarmu ke segala tempat. Ke kampus, pusat perbelanjaan, tempat hiburan, atau ke mana pun yang kau mau. Dan menjelang sore ini, kau kembali memintaku membawamu ke satu tempat yang baru. Tempat yang belum pernah kau datangi sebelumnya, bersamaku.
 
Tanpa pikir panjang, aku lekas mempersiapkan diri untuk segera menjemputmu. Tak peduli kalau aku harusnya mandi terlebih dahulu, mengenakan pakaian yang wangi dan menarik, serta menata rambutku semodis mungkin. Aku yakin, kau tak mempermasalahkan soal rupa. Selama ini, kau sudi berdampingan denganku yang apa adanya.

Akhirnya, aku tiba di depan rumahmu dalam waktu singkat. Mungkin lebih cepat dari yang kau bayangkan. Sampai aku pun harus menunggu sekitar dua puluh menit hingga kau selesai berdandan. Menunggu kau muncul dengan kecantikan sempurna, dan mambuatku takjub, sampai aku tak pernah merasa rugi menghabiskan waktu untuk sekadar menunggu. 

Dan benar saja. Kau muncul dengan penampilan yang sangat menawan. Rambutmu hitam terurai, wajahmu cerah berseri, matamu bernaung di bawah alis yang hitam-tebal, dan bibirmu yang basah. Kau seakan tahu model dandanan yang mampu mempertegas aura kecantikmu secara pas. Hingga aku, sebagai seorang lelaki, jadi terkesima menyaksikan rupamu.

“Kau tak punya kepentingan lain yang mendesak kan?” tanyamu.

Aku menggeleng, “Tak ada,” kataku, sembari merahasiakan kalau aku punya janji untuk mengantar ibuku berbelanja setengah jam ke depan.

Senyap sejenak.

Tiba-tiba, aku berhasrat menyelidik “Kau ada kepentingan apa di kafe itu?” tanyaku, kala kita telah mengawali perjalanan, berdua, di atas sadel motor bututku yang jadul.

Kau menjawab seketika, “Akan ada peristiwa spesial yang berlangsung di sana.”

“Peristiwa apa maksudmu?” telisikku lagi. Penasaran.

Tawamu mengalun. “Kau tak perlu tahu sekarang. Nanti, kau akan tahu juga.” 

Setelah kau menegaskan rahasiamu, aku pun menahan tanya. Kuyakini saja kalau perihal yang akan kau lalui, adalah sesuatu yang membuatmu senang, dan aku pun senang. Aku bahkan membayangkan jika kau akan memberiku sebuah kejutan, atau menjebakku, sehingga kita sampai pada adegan untuk mengakhiri hubungan pertemanan, kemudian memulai satu hubungan sebagai kekasih.

Di waktu kemudian, beserta tanya di kepala, kukerahkan saja perhatianku pada lalu-lintas kendaraan yang padat. Bergegas dan berhati-hati, agar kau sampai dengan selamat, tepat pada waktu yang kau inginkan. Kulakukan itu agar kau tak terlalu lama dalam bahaya jalan raya, juga tak terpapar keras debu dan terik matahari yang akan membuat kecantikanmu tertutupi.

Hingga, sampailah kita pada sebuah kafe. Kau pun turun, lalu mengucapkan kata terima kasih, beserta satu senyuman yang memesona. Lekas, kau berpaling dariku, kemudian melangkah masuk, tanpa mengajakku turut, atau memintaku untuk pulang saja. Kau pergi, tanpa basa-basi. Seolah-olah ada yang ingin segera kau lakoni. Dan kuyakin sudah, itu bukan soal aku.

Sontak setelah kau berlalu, perlahan, tanya dalam hatiku soal apa atau siapa gerangan yang membuatmu tak lagi mengacuhkanku sehangat sebelumnya, menyeruak kembali. Aku tak sanggup menunggu jawaban tentang itu lebih lama. Entah satu jawaban yang akan kujadikan alasan untuk menggantungkan harapanku padamu, atau memusnahkan harapan itu sekalian. 

Dan akhirnya, kususullah kau ke dalam ruang kafe, tanpa peduli apa setelahnya.

“Kenapa kau masuk ke sini?” tanyamu seketika, setelah menyaksikan kehadiranku.

Aku lalu duduk di depanmu tanpa permisi. Berusaha bertingkah wajar dan menganggap semua biasa saja. “Tak mengapa,” kataku, lalu tersenyum. “Aku hanya mengira kau masih membutuhkanku. Apalagi, tadi, kau tak memintaku pulang lebih dulu, sambil mengucapkan selamat tinggal atau sampai jumpa.”

Kau tampak kurang senang atas jawabanku. Seolah kau menganggap responsku serupa ledekan. “Iya! Tapi aku juga tak memintamu masuk ke sini!” tegasmu, sembari menatapku, tajam. Rasa kesal, mulai tampak di raut wajahmu.

Aku pun jadi kelimpungan. Bingung bagaimana menjelaskan kelancanganku yang terlanjur. Hingga, kuutarakanlah maksudku, meski tak sejujurnya hatiku, “Sebenarnya, aku penasaran saja tentang siapa yang akan kau temui, dan apa yang akan kalian lakukan,” terangku, tanpa memberi kesan bahwa aku tengah mendesakmu untuk berkata lugas.

Seperti pasrah atau terpaksa, kau akhirnya menuturkan perihal yang telah membuatku begitu penasaran. “Aku punya janji dengan seorang teman lama. Seorang lelaki. Dia teman baikku waktu sekolah,” jelasmu dengan tubuh mengulai. “Soal apa maksudnya, aku juga tak tahu. Tiba-tiba saja, ia mengajakku ke sini.”

Jelas saja, aku sedikit tenang mendengar penjelasanmu. “Kalau cuma teman, tak ada salahnya dong kalau aku bertemu juga dengannya? Teman dari seorang teman, kan, teman juga.”

Raut wajahmu, kembali menyiratkan kekesalan. “Sebaiknya kau jangan di sinilah!”

“Kenapa?” tanyaku, seketika. “Apa aku menganggu? Atau aku adalah aib yang harus kau sembunyikan dari kenalanmu yang lain?”

“Jangan berprasangkan buruk begitu, dong!” katamu, memelas. “Aku hanya ingin bertemu dengan seorang teman lama dalam suasana yang lebih khusus. Tak ada yang lain.”

“Kau menyukainya?” sergahku.

Kau tak menjawab. Kekesalanmu malah tampak menjadi-jadi. 

“Lalu, kau anggap aku ini apa? Apa yang membuatmu harus menyingkirkan seorang lelaki sepertiku untuk seorang lelaki yang kau sebut teman?” tanyaku, mendesak.

Seketika, kau meluruhkan amarahmu, “Karena kau jelek! Lihatlah, penampilanmu kuno begitu! Kulitmu gelap! Kumal! Bau!” katamu, penuh emosi. 

Sontak, mulutku tersekat mendengar kata-katamu.

“Aku mohon, pergilah,” pintamu, dengan nada suara yang merendah.

Aku lalu berpaling darimu. Melangkah pergi sebagai seorang lelaki yang putus harapan atas cintamu. Pergi, membawa serta kecewa yang mendalam, sebab aku yang telah banyak berkorban untukmu, ternyata, tak kau anggap siapa-siapa. Mungkin benar, aku hanya seorang babu yang kau perdaya dengan pesona cantikmu.

Kutitilah jalan pulang, sambil terus menasihati diri untuk berhenti berkhayal dan memaksakan perasaan. Wanita di dunia, bukan hanya kau seorang. Kuyakin, kamulah yang tak layak untuk cintaku, dan bukan cintamu yang layak untukku. Aku pasti menemukan sosok yang bisa menghargai cintaku, semulia-mulianya, dan kau akan menyesal.

Di tengah keguncangan hati, kusadarilah, memang sudah sebaiknya aku pulang. Aku harus mengantar ibuku. Dia, yang begitu mencintaiku. Seseorang yang telah dan akan selalu membaktikan dirinya untuk kebaikan hidupku, sejak lahir sampai mati. Sosok wanita yang akan selalu membahagiakan diriku atas cintanya yang melimpah dan tak bersyarat.

Dan sesampainya aku di rumah, kutemukanlah sebuah pesan singkat darimu. Satu pesan yang coba menawar perasaanku, kembali, seperti sedia kala: 

Jika kau tak punya kepentingan, tolong jemput aku kembali, ya. Kau bisa kan? Dia buru-buru ke bandara dan tak sempat mengantarku pulang.

Seketika, kumatikan telepon genggamku, kemudian bergegas mempersiapkan diri untuk mengantar ibuku berbelanja di pasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar