Kamis, 22 Maret 2018

Penantian Lalu

Anggapan kalau laki-laki dan perempuan dewasa bisa berteman dekat tanpa saling jatuh cinta, kukira omong kosong terbaik di muka bumi. Kesimpulan gegabah dari mereka yang tak pernah menjalin pertemanan serius dengan lawan jenis. Satu kesimpulan dari mereka yang takut jatuh cinta, hingga menahan kadar pertemanannya pada derajat tertentu.
 
Bagiku, pertemanan adalah soal waktu. Kebersamaan dalam ruang hari, bulan, atau tahun. Sampai memerangkap siapa saja dalam hitungan masa lalu yang tak mungkin terhapus. Menjebak dan menjerat. Mencipta saling ketergantungan. Membuat sepasang insan tak sanggup berpisah, terjebak dalam cinta, entah terucap atau tidak.

Sialnya, aku tak pernah melalui sesi pertemanan yang panjang denganmu. Atau setidaknya, masa pertemanan kita, tak bisa menandingi masa pertemananmu dengannya. Kalian telah berteman jauh-jauh hari, sebelum kita bertemu. Bahkan karena dialah, aku mengenalmu. Kau pasti masih ingat hari pertama kita berkenalan, kala ia membawamu padaku. Dan, di hari itu pula, aku jatuh cinta padamu, teman dekat sahabatku sendiri.

Karena waktu kalian yang mendahului waktu kita, aku akhirnya ragu bisa mendapatkan hatimu seutuhnya. Kalau pun kita bersama, aku butuh waktu yang panjang untuk merebutmu dari masa lalu dengannya. Jika tak kulakukan, maka kau akan tertatih menyusulku ke masa depan. Itu karena aku selalu yakin, bahwa waktu kebersamaanlah yang mengikat dua insan untuk terus bersama. Dan jelas, kebersamaan kita, tak ada apa-apanya dibanding kebersaan kalian.

Untuk pertemanan kalian yang berlangsung sejak lama, mungkin telah banyak kesan-kesan indah yang mengabadi. Tapi, demi perasaanku padamu, aku tak menyerah begitu saja pada waktu. Kutekadkan untuk mengimpaskan waktu kalian, memupuskannya dengan waktu kebersamaan kita, walau sampai akhir hayatku. Akan kuindahkan hari-harimu, supaya tentang kalian di benakmu, lekas pupus, tak tersisa.

Tanpa ingin menunda waktu, dalam hitungan bulan sejak perkenalan kita, kuutarakanlah niatku padamu, agar kau sudi menjadi kekasihku, dan menikah sesegera mungkin. Kau menerimaku dengan raut bahagia, meski kuduga, itu tak sepenuhnya. Akan selalu ada dia di benakmu, yang hadir di antara kita. Namun merisaukan soal itu, tidaklah penting. Setidaknya, kau telah memberi jalan padaku untuk menggantikan ia di singgasana hatimu.

Mulailah kujajaki waktu bersamamu, dan ia sadar diri untuk mengambil jarak. Menjauh tanpa pertengkaran. Dia tetaplah tampil sebagai sahabat baik bagiku, meski kutaksir, ia hanya memendam rasa itu, sebagaimana ia memendam perasaannya padamu sebelum kita bersama. Kuduga, ia hanyalah seorang pemendam-pendendam yang mencoba bersahabat dengan seseorang kawan yang telah mengkhianatinya. 

Namun seburuk apa pun prasangkaku tentangnya, kuharap itu keliru. Aku selalu berdoa, untuk kebaikan kami. Belajar menerima kalau seorang lelaki memang bisa berteman baik dengan seorang perempuan di waktu yang lama, dan hanya ingin berteman. Paling tidak, aku tak melihat sedikit pun gelagat jahatnya padaku di kala bersama, di sisa-sisa waktu kebersamaan kita.

Namun akhirnya, pernikahan kita harus ditunda dari hari yang telah kita rencanakan. Bukan karena dia atau siapa pun, tapi karena tugas negara yang kuemban. Aku dan dia, harus pergi jauh, meninggalkanmu. Menyingkir ke medan kerusuhan untuk membasmi musuh-musuh negara. Membuktikan cintaku pada senegap bangsa, meski aku harus mengabaikan cintaku padamu.

Dan jauhlah aku. Terseret di hutan belantara. Mendekati kematian untuk mempertaruhkan cinta padamu, juga pada negara, tanpa kau di sisiku. Hanya ada wangi yang kau cipta untuk seragam lengkap yang kau persiapkan untukku sebelum berangkat. Aroma yang seakan-akan menghadirkanmu bersamaku, ke mana pun aku berlari. Seragam yang kau cuci dengan air mata, sambil berdoa semoga aku kembali tanpa bercak darah di sana. 

Berjuanglah aku. Bergerak dan berhenti, menelusuri arah, menghampiri musuh. Muncul dan bersembunyi, mencari kesempatan untuk membidik, melumpuhkan musuh. Berseru dan senyap, berbagi tanda untuk menyerang-memusnahkan musuh. Sesekali, langkahku bergegas, tak beraturan, kala detakan suara senjata, menggema di udara. 

Berserahlah aku. Memasrahkan nyawa dan cintaku pada garis takdir. Melawan dan bertahan demi sumpah yang telah kuikrarkan pada negara, atas nama Tuhan. Melukai dan dilukai, demi cinta kepada para pendahulu, juga demi masa depan anak-cucu kita kelak. Aku mempertaruhkan segalanya, tanpa peduli bagaimana aku pada akhirnya. Entah hidup atau mati.

Kulihatlah kenyataan sebagaimana perang. Darah-darah berceceran dari kaki, perut, dan kepala kawan seperjuanganku. Pertanda yang membuat semangatku berkobar. Membakar jiwaku untuk melesatkan peluru balasan, sambil berusaha menyeret kawan-kawanku yang terluka ke tempat yang aman, meski aku sendiri masih dalam bahaya.

Kutemukanlah dirinya. Dia, yang pernah menjadi teman dekatmu. Meringis kesakitan di antara teman-temanku yang terbujur kaku, mati, atau pasrah pada maut. Hingga kubopong ia ke balik batang kayu. Membalut luka tembak di pinggang dan pahanya. Tak peduli pada prasangka buruk yang masih membujukku, agar membiarkan ia mati saja secara perlahan. Pun, tak peduli ia akan melesatkan peluru tepat di kepalaku, sebab aku telah menyatakan perasaan padamu.

“Aku mohon, bertahanlah!”  kataku, memberinya semangat.

Ia mengangguk-angguk. Tampak ragu meyakinkan dirinya sendiri.

Segera kugendong ia menuju tepi tebing, pada tempat yang aman, di balik bebatuan yang terlindung barisan pepohonan.

Dan, sebelum aku benar-benar memasrahkan nyawaku demi cinta, kuutarakanlah padanya untuk menyampaikan secarik kertas padamu. Sebuah surat perpisahan. Satu surat tentang permintaan terakhirku untukmu, sebelum aku bertaruh pada maut. “Aku mohon, sampaikan padanya!”

Ia mencoba menyela, “Tapi…”

“Hanya ini permintaanku. Jika kau mewujudkannya, itu berarti kau telah menghidupkanku selama-lamanya. Bartahanlah untuk ini. Aku mohon!” pintaku dengan sungguh-sungguh, kemudian lekas berbalik, melanjutkan perjuangan, sebagaimana petarung sejati.

Kutuntunlah langkahku ke depan. Menapaki pusat arena pertempuaran. Berjuang dengan penuh kewaspadaan, di antara deru peluru yang susul-menyusul. Dan di waktu-waktu yang mendebarkan itu, kau pun datang menyerang di dalam benakku. Menampakkan senyumanmu yang indah, atau mendendangkan suaramu yang menentramkan.

Sampai akhirnya, dentuman keras membuyarkan pengindraanku. Sebuah granat meledak, melambungkan aku dan kawan-kawan seperjuanganku ke udara, lalu terhempas ke daratan. Gelap. Aku tak tahu apa setelahnya, hingga kujumpai diriku berada di dasar jurang, dalam keadaan yang mengenaskan. Luka di mana-mana, dahi yang sobek, dan tangan kiri yang patah tulang.

Dan, tersambutlah kini, empat tahun sesudah aku menjalani pertempuran dahsyat dengan dirinya. Kuharap, sampai juga ia padamu, beserta secarik kertas yang kuamanatkan. Aku yakin, ia berhasil melakukannya. Sedang, akulah yang tak sampai padamu. Setelah aku diselamatkan warga di dasar tebing, aku memutuskan tak kembali, sampai pada waktu yang tepat, sebab aku tak ingin menjadi penghianat cinta bagi dia untuk kedua kalinya.

Kini, tak kuasa juga aku menahan diri untuk bertahan lebih lama dalam persembunyian. Aku memutuskan pulang. Bukan untuk menemuimu, tapi untuk menemui dia, yang kudengar dari berita, bahwa ia telah meninggal setelah luka-luka sisa pertempuran di tubuhnya, mengganas. Setidaknya, aku ingin membalas budinya, memberinya penghormatan terakhir, sebab ia telah membahagiakanmu dalam rentang waktu tertentu, atau karena ia telah mempertemukanku denganmu, hingga sempat juga kucecap bahagia bersamamu.

Sehari setelah sesi penguburan yang kuhadiri secara sembunyi-sembunyi di antara beratus orang, kukuatkanlah diriku untuk kembali menemuimu. Kurasa, kau tak akan marah sebagaimana kekasih yang ditinggal pergi bersama janji nikah, selama bertahun-tahun. Kuduga, kau hanya akan tersenyum, menyerukan kata-kata rindu padaku sebagai teman lampau, kemudian berbagi cerita. Hingga, kita akan membahas dan bersuka-duka tentang dia, teman sejatimu yang telah pergi.

Sesampainya aku di depan pagar rumahmu, tiba-tiba kakiku berat untuk melangkah. Ada banyak kemungkinan-kemungkinan tentang responsmu yang aku takutkan. Tapi kau yang duduk menyendiri di pelataran depan rumah, seketika, menyaksikan kehadiranku. Kau lalu bangkit dari polisi duduk, melangkah maju secara perlahan, sambil menerka-nerka wajahku. 

Kutaksir, kau tak lagi mengenaliku. Kau mungkin akan bertanya apa kepentingan orang asing sepertiku datang bertamu. Tapi langkahmu, malah bergegas. Terus mendekat. Menampakkan raut wajah yang kuterka, menyiratkan kesedihan, bukan kerinduan padaku. Hingga akhirnya, kau setengah berlari, memelukku tanpa aba-aba, seakan-akan lupa diri bahwa kita belumlah mengikat cinta atas nama Tuhan.

Selepas beberapa detik dengan tangis tanpa kata, kau pun mengurai pelukanmu, lalu menatap wajahku. Kau lalu menamparku. Memukul-mukul dadaku, sambil terisak. “Untuk apa kau datang lagi!” 

Dan aku jadi tak mengerti, mengapa kau seemosional itu, hanya untuk kepulangan seorang teman lampau dalam waktu pertemanan yang singkat. Tapi aku diam saja. Bingung, bagaimana seharusnya menanggapi sikapmu.

Hingga, kau pun mengucapkan kata-kata, seakan-akan baru kemarin aku meninggalkanmu, dan kau tidaklah kehilangan teman sejatimu, “Aku merindukanmu! Kau tahu? Aku mencintaimu!” Lalu, kau jatuh lagi dalam pelukanku. Lebih erat.

“Maafkan aku.” Kubalas pelukanmu yang tak semestinya. Ragaku tak berdaya selain melakukan itu demi jiwaku.

Tangismu semakin menjadi-jadi. “Kenapa baru kembali…?” tanyamu, lirih.

Kuurai pelukanmu. Kuseka air mata yang membasahi pipimu. Dan kulihat, kau masih cantik seperti dulu, kecuali kelopak matamu yang tampak menggembung dan berona gelap. 

Kulihat, di balik kedukaan, kau mencoba tersenyum. Satu senyuman yang masih semanis kala aku menatapnya untuk kali pertama, dan seketika membuatku jatuh hati. 

Lalu, kau pun bertanya lagi. Seakan-akan aku sengaja mengalah pada janjiku untuk menaklukkan hatimu seutuhnya. Seakan-akan aku sengaja mengingkari janjiku untuk menikah denganmu. “Kenapa kau baru datang setelah aku setengah mati menunggu?”

Kubelai rambutmu yang terurai. “Aku memang salah, dan kau boleh menyalahkanku. Tak mengapa,” kataku, lalu mengenggam tanganmu. “Tapi percayalah, aku masih mencintaimu, merindukanmu, lebih dari yang bisa kau bayangkan.“

Isak tangismu pecah lagi. “Kenapa kau membiarkan aku menunggu selama ini. Kenapa kau mengulur janjimu untuk segera datang menemuiku? Kenapa?” 

Aku jadi tak mengerti soal membiarkanmu menunggu. Jelas saja, aku tak menginginkan itu. Dan, aku pun mulai curiga, kalau secarik kertas yang kutujukan untukmu melalui dirinya, tidaklah sampai.

“Aku kira, di rentang waktu kita berpisah, kau bisa melupakan orang bodoh sepertiku, dan bisa memberikan cintamu pada lelaki yang lain, yang mungkin lebih mencintaimu,” kataku, tanpa ingin menyentil atau menerangkan soal isi surat itu secara gamblang.

Raut kesedihan di wajahmu, seketika berubah kesal. Kau lalu menamparku, lagi, lebih keras dari yang pertama. “Jadi kau kira semudah itu aku mengalihkan perasaan dari dirimu untuk lelaki yang lain? Kau kira aku bisa berpaling? Lalu apa gunanya kau menulis di secarik kertas yang tak akan kulupakan: ‘…Tunggulah sampai aku kembali membawa cintaku. Entah hidup atau mati. Aku tak ingin kau jadi milik siapa-siapa, selain aku…’?”

Aku tersentak mendengar kesaksianmu. Jelas saja, aku tak memintamu menunggu. Malah, lewat secarik kertas itu, kupinta kau untuk berpaling ke lain hati, pada dirinya, teman terbaikmu di masa lalu, yang kuduga mencintaimu sebagaimana kau mencintainya. Kupesankan itu menjelang aku menantang maut, menghadapi kematian di garis pertempuran, meski kini, takdir berkata lain.

“Sekali lagi, maafkan aku,” tuturku, mengiba, dengan keyakinan baru tentang cintamu.

Dan kini, kuketahui sudah kalau aku telah memercayakan surat pada seseorang penangantar yang tak amanah. Pada dia, teman terbaikku, teman terbaikmu juga, yang telah menandaskan perjuangannya untuk menjaga cinta kita.

Kau menatapku dalam-dalam, lalu jatuh lagi ke dalam pelukku. Seketika, kau kembali mengucapkan kejujuran yang sedikit pun, tak lagi kuragukan, “Aku hanya mencintaimu! Dan aku tak akan jatuh cinta pada yang lain! Percayalah!”

1 komentar: