Rabu, 28 Maret 2018

Pelukan Sore

Tiba-tiba saja, aku berdiri di sebuah jalan setapak. Di satu titik yang membuatku mempertanyakan keberadaan diri sendiri. Bingung dan penasaran. Bak terdampar ke dunia yang asing. Entah dari mana dan ke mana. Hanya menduga-duga kalau mungkin aku terlalu asyik bertualang, sampai jauh, hingga tersesat.
 
Namun setelah menelisik, aku sadar berada di sebuah lokasi yang kukenal. Di satu puncak bukit yang menjulang tinggi. Tempatku sering meneropong indahnya bentangan alam di lembah. Satu panorama yang tetap, meski telah banyak berubah. Tampak, bukit-bukit meranak-pinak. Pepohonan semakin rimbun. Bebatuan, lenyap, terbungkus rerumputan yang menjalar.

Atas keindahan alam yang semakin menawan, aku pun terkesima. Seolah melihat gambaran surga kala kaki masih menapak di bumi. Dan aku sadar, tak seharusnya menikmati keindahan itu seorang diri. Hingga aku teringat padamu. Teringat kita yang menanjak-menuruni bukit, berlari-lari mengejar belalang, atau terlentang menatap langit berganti warna. 

Perlahan, bersama takjub yang tak bertepi, rinduku pun memuncak. Aku ingin menemukan dan membawamu ke bukit ini, sesegera mungkin. Berdua saja, menikmati keindahan alam yang semakin memesona. Kemudian kita akan berdansa. Diiringi siulan burung, dibingkai kembang liar, di bawah teduhnya langit. Aku yakin, kau akan sangat senang kalau begitu. 

Kutapakilah semua arah. Menjelajah segenap permukaan bukit, menelusiri lembah terdalam, hingga menyelisik jejeran batu dan pepohonan. Tapi sia-sia. Kau tak juga kutemukan. Seolah-olah kau lenyap dari semesta. Dan aku berharap, kau cuma sengaja bersembunyi sampai rindu menumpuk, hingga nanti, kita luruhkan secara menggebu-gebu.

Seketika, terpikirlah olehku sebuah air terjun, tempat persembunyian favoritmu. Seperti dahulu, tanpa pamit pada siapa-siapa, kau suka ke sana di waktu lowong. Kau suka duduk di tepi bebatuan, sambil menyelonjorkan kakimu pada aliran air yang dingin. Kadang juga, kau hanya duduk sambil menanti penampakan ikan, atau menghanyutkan dedaunan kering satu per satu.

Kujajakilah jalan menuju air terjun. Berharap menemukanmu di sana penuh kegirangan, sebab kau berhasil melakoni adegan yang membuatku khawatir setengah mati. Namun jalanku, tak semulus yang kubayangkan. Lagi-lagi, rintangan mengadang. Gerimis mengucur di bawah sinar mentari. Aku pun berteduh di sebuah balai kecil, tempat kita sering menikmati langit sore. 

Tak lama kemudian, mungkin demi kita, tiba-tiba saja, gerimis berhenti. Menyisakan titik-titik hujan di udara yang menjelma jadi sebentuk pelangi. Satu lukisan alam yang membujur dan berujung di atas air terjun favoritmu. Sebuah pemandangan indah yang mencoba menawar kegundahan hatiku, bahwa aku akan menemukanmu untuk menikmati pelangi itu, bersama-sama.

Di detak waktu selanjutnya, aku jadi semakin berhasrat menjumpaimu secepatnya. Langkahku bergegas, setengah berlari, agar lekas tiba di hadapanmu. Dan seperti ditopang keajaiban, tanpa terasa, dalam sekejap mata, aku pun tiba di air terjun indahmu yang beratap pelangi. Seolah titik di antara kita saling mendekat, dan aku melalui jarak berkilometer dalam sedetik saja.

Namun, aku harus kecewa. Setelah kujejaki segala arah, menelusuri sepanjang sungai, aku tak menemukan pertanda kehadiranmu. Aku hanya menemukan sebuah selendang tersangkut di sela-sela bebatuan, di tengah aliran sungai. Satu selendang yang begitu indah, dengan harum yang menyerbak. Dan seketika, aku yakin saja kalau itu adalah punyamu.

Terpaksa, dengan penuh kepasrahan, kutiti lagi langkahku, kembali ke tepi air terjun idamanmu. Aku kembali menunggumu penuh harap, bahwa kau akan datang, entah dari mana. Apalagi kuduga, kau sebenarnya cuma menepi pada satu tempat saat gerimis berjatuhan. Dan kukira, saat ini, kau sedang di tengah perjalanan untuk kembali.

Tiba-tiba, keajaiban terjadi lagi. Kau datang menampakkan dirimu. Tidak dengan menapak di bebatuan, atau berenang di aliran sungai. Kau datang dari balik udara dengan melayang. Muncul di kaki pelangi, dengan cahaya berbinar-binar yang melingkupi dirimu. 

Perlahan, kau menghampiriku di sebuah permukaan batu yang datar dan melebar.

“Kau membawakan selendang itu untukku?” tanyamu, dengan bentuk senyuman yang begitu menawan.

Aku yang takjub dan terpaku memandangi cantikmu, seketika, tersadar juga untuk menjawab, “Ya. Aku yakin ini punyamu,” balasku, sambil menyodorkan selendang itu padamu. 

Kau tersenyum lagi, lalu menampakkan rona wajah yang berseri-seri. “Terima kasih,” katamu, lalu menyambut pemberianku.

“Kau dari mana saja?” tanyaku, penasaran. “Aku sudah lama menunggumu di sini.”

Kau pun menjawab dengan tatapan yang meneduhkan, “Aku tersesat di antara langit dan bumi. Aku tak bisa ke mana-mana tanpa selendang itu. Tapi beruntung, kau menemukannya,” jelasmu. Tampak sangat bahagia. 

“Lalu, hendak ke manakah kau dengan selendang itu?” selidikku lagi.

“Aku akan ke langit,” jawabmu, beserta satu senyuman yang menentramkan hati. “Seperti yang aku harap sejak dahulu, aku telah menjadi seorang bidadari langit. Aku turun dari kayangan.”

Aku terkesiap mendengar penuturanmu. Cemasku pun menjadi-jadi. “Apa itu berarti kau akan meninggalkanku? Apa itu berarti kita akan berpisah dan tak akan bertemu lagi?”

“Entahlah,” balasmu, tanpa raut kecemasan yang berlebihan. “Sore sudah hampir berlalu. Aku harus pergi.”

Seketika, hatiku dirundung kesedihan. Aku pun menuturkan satu permintaan terakhir, “Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?”

Senyumanmu yang menawan, kembali merekah. Kau lalu mengangguk. Memberiku satu persetujuan. “Tapi kau harus menutup matamu!”

Dan akhirnya, kupeluklah kau dengan segenap perasaanku. Kupeluk begitu erat.

Hingga kurasakanlah, satu pelukan balas mendekapku begitu lembut. Membuat tubuhku terasa hangat. Sampai dingin yang membias dari sisa gerimis atau percikan air terjun pun, jadi tak terasa.

“Aku mencintaimu,” bisikku.

Seketika, kurasakan satu kecupan di pipiku. “Aku juga mencintaimu, Sayang!”

Perlahan-lahan, kusibaklah mataku. Tapi akhirnya, aku tak melihatmu. Juga tak tampak pelangi, air terjun, pepohonan, atau gambaran lain tentang alam. Aku hanya menemukan diriku pada sebuah kasur, di balik selimut, bersama seorang wanita yang kusadari, telah menjadi kekasihku atas nama Tuhan, dua tahun yang lalu.

Dia pun memandangiku, penuh perhatian, lalu mempertanyakan perihal yang sudah berulang kali, “Apa aku bisa memegang janjimu, bahwa kau hanya akan mencintaiku sepanjang hidupmu?”

Dengan bias-bias mimpi yang masih tersisa, kutegaskan kembali janjiku untuknya. “Ya. Aku mencintamu, selama waktu selamanya!”

Dia pun tampak tersipu. “Kalau begitu, ceritakan lagi padaku tentang seorang perempuan yang menanti maut setelah mengidap penyakit paru-paru yang akut, dan ia pun berdoa supaya kelak menjadi sesosok bidadari, sehingga kapan-kapan, ia bisa menemui kekasihnya di sebuah air terjun. Apakah doanya terkabul?”

Akhirnya, kuceritakan lagi tentang dirimu. Kuceritakan, semua tentang keinginanmu, dan sebab kita berpisah, serta janji kita untuk bertemu suatu saat nanti, pada dimensi yang lain. Kuceritakan semenarik mungkin dengan penuh hiasan khayal, bak sebuah dongeng, dan bukan kisah nyata tentang kita.

“Doanya terkabul,” tandasku.

Seketika, ia berseru, “Aku ingin jadi bidadari, agar kelak, maut pun tak akan mampu memisahkan kita!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar