Tiba-tiba
saja, aku berdiri di sebuah jalan setapak. Di satu titik yang membuatku
mempertanyakan keberadaan diri sendiri. Bingung dan penasaran. Bak terdampar ke
dunia yang asing. Entah dari mana dan ke mana. Hanya menduga-duga kalau mungkin
aku terlalu asyik bertualang, sampai jauh, hingga tersesat.
Namun
setelah menelisik, aku sadar berada di sebuah lokasi yang kukenal. Di satu
puncak bukit yang menjulang tinggi. Tempatku sering meneropong indahnya
bentangan alam di lembah. Satu panorama yang tetap, meski telah banyak berubah.
Tampak, bukit-bukit meranak-pinak. Pepohonan semakin rimbun. Bebatuan, lenyap,
terbungkus rerumputan yang menjalar.
Atas
keindahan alam yang semakin menawan, aku pun terkesima. Seolah melihat gambaran
surga kala kaki masih menapak di bumi. Dan aku sadar, tak seharusnya menikmati
keindahan itu seorang diri. Hingga aku teringat padamu. Teringat kita yang
menanjak-menuruni bukit, berlari-lari mengejar belalang, atau terlentang
menatap langit berganti warna.
Perlahan,
bersama takjub yang tak bertepi, rinduku pun memuncak. Aku ingin menemukan dan membawamu
ke bukit ini, sesegera mungkin. Berdua saja, menikmati keindahan alam yang semakin
memesona. Kemudian kita akan berdansa. Diiringi siulan burung, dibingkai kembang
liar, di bawah teduhnya langit. Aku yakin, kau akan sangat senang kalau begitu.
Kutapakilah
semua arah. Menjelajah segenap permukaan bukit, menelusiri lembah terdalam, hingga
menyelisik jejeran batu dan pepohonan. Tapi sia-sia. Kau tak juga kutemukan.
Seolah-olah kau lenyap dari semesta. Dan aku berharap, kau cuma sengaja bersembunyi
sampai rindu menumpuk, hingga nanti, kita luruhkan secara menggebu-gebu.
Seketika,
terpikirlah olehku sebuah air terjun, tempat persembunyian favoritmu. Seperti
dahulu, tanpa pamit pada siapa-siapa, kau suka ke sana di waktu lowong. Kau
suka duduk di tepi bebatuan, sambil menyelonjorkan kakimu pada aliran air yang
dingin. Kadang juga, kau hanya duduk sambil menanti penampakan ikan, atau
menghanyutkan dedaunan kering satu per satu.
Kujajakilah
jalan menuju air terjun. Berharap menemukanmu di sana penuh kegirangan, sebab kau
berhasil melakoni adegan yang membuatku khawatir setengah mati. Namun jalanku,
tak semulus yang kubayangkan. Lagi-lagi, rintangan mengadang. Gerimis mengucur
di bawah sinar mentari. Aku pun berteduh di sebuah balai kecil, tempat kita
sering menikmati langit sore.
Tak
lama kemudian, mungkin demi kita, tiba-tiba saja, gerimis berhenti. Menyisakan
titik-titik hujan di udara yang menjelma jadi sebentuk pelangi. Satu lukisan
alam yang membujur dan berujung di atas air terjun favoritmu. Sebuah
pemandangan indah yang mencoba menawar kegundahan hatiku, bahwa aku akan
menemukanmu untuk menikmati pelangi itu, bersama-sama.
Di
detak waktu selanjutnya, aku jadi semakin berhasrat menjumpaimu secepatnya. Langkahku
bergegas, setengah berlari, agar lekas tiba di hadapanmu. Dan seperti ditopang
keajaiban, tanpa terasa, dalam sekejap mata, aku pun tiba di air terjun indahmu
yang beratap pelangi. Seolah titik di antara kita saling mendekat, dan aku melalui jarak
berkilometer dalam sedetik saja.
Namun,
aku harus kecewa. Setelah kujejaki segala arah, menelusuri sepanjang sungai, aku
tak menemukan pertanda kehadiranmu. Aku hanya menemukan sebuah selendang tersangkut
di sela-sela bebatuan, di tengah aliran sungai. Satu selendang yang begitu
indah, dengan harum yang menyerbak. Dan seketika, aku yakin saja kalau itu adalah
punyamu.
Terpaksa,
dengan penuh kepasrahan, kutiti lagi langkahku, kembali ke tepi air terjun
idamanmu. Aku kembali menunggumu penuh harap, bahwa kau akan datang, entah dari
mana. Apalagi kuduga, kau sebenarnya cuma menepi pada satu tempat saat gerimis
berjatuhan. Dan kukira, saat ini, kau sedang di tengah perjalanan untuk kembali.
Tiba-tiba,
keajaiban terjadi lagi. Kau datang menampakkan dirimu. Tidak dengan menapak di
bebatuan, atau berenang di aliran sungai. Kau datang dari balik udara dengan
melayang. Muncul di kaki pelangi, dengan cahaya berbinar-binar yang melingkupi
dirimu.
Perlahan,
kau menghampiriku di sebuah permukaan batu yang datar dan melebar.
“Kau
membawakan selendang itu untukku?” tanyamu, dengan bentuk senyuman yang begitu
menawan.
Aku
yang takjub dan terpaku memandangi cantikmu, seketika, tersadar juga untuk
menjawab, “Ya. Aku yakin ini punyamu,” balasku, sambil menyodorkan selendang
itu padamu.
Kau
tersenyum lagi, lalu menampakkan rona wajah yang berseri-seri. “Terima kasih,”
katamu, lalu menyambut pemberianku.
“Kau
dari mana saja?” tanyaku, penasaran. “Aku sudah lama menunggumu di sini.”
Kau
pun menjawab dengan tatapan yang meneduhkan, “Aku tersesat di antara langit dan
bumi. Aku tak bisa ke mana-mana tanpa selendang itu. Tapi beruntung, kau
menemukannya,” jelasmu. Tampak sangat bahagia.
“Lalu,
hendak ke manakah kau dengan selendang itu?” selidikku lagi.
“Aku
akan ke langit,” jawabmu, beserta satu senyuman yang menentramkan hati. “Seperti
yang aku harap sejak dahulu, aku telah menjadi seorang bidadari langit. Aku
turun dari kayangan.”
Aku
terkesiap mendengar penuturanmu. Cemasku pun menjadi-jadi. “Apa itu berarti kau
akan meninggalkanku? Apa itu berarti kita akan berpisah dan tak akan bertemu
lagi?”
“Entahlah,”
balasmu, tanpa raut kecemasan yang berlebihan. “Sore sudah hampir berlalu. Aku
harus pergi.”
Seketika,
hatiku dirundung kesedihan. Aku pun menuturkan satu permintaan terakhir, “Bolehkah
aku memelukmu untuk terakhir kalinya?”
Senyumanmu
yang menawan, kembali merekah. Kau lalu mengangguk. Memberiku satu persetujuan.
“Tapi kau harus menutup matamu!”
Dan
akhirnya, kupeluklah kau dengan segenap perasaanku. Kupeluk begitu erat.
Hingga
kurasakanlah, satu pelukan balas mendekapku begitu lembut. Membuat tubuhku
terasa hangat. Sampai dingin yang membias dari sisa gerimis atau percikan air
terjun pun, jadi tak terasa.
“Aku
mencintaimu,” bisikku.
Seketika,
kurasakan satu kecupan di pipiku. “Aku juga mencintaimu, Sayang!”
Perlahan-lahan,
kusibaklah mataku. Tapi akhirnya, aku tak melihatmu. Juga tak tampak pelangi, air
terjun, pepohonan, atau gambaran lain tentang alam. Aku hanya menemukan diriku pada
sebuah kasur, di balik selimut, bersama seorang wanita yang kusadari, telah
menjadi kekasihku atas nama Tuhan, dua tahun yang lalu.
Dia
pun memandangiku, penuh perhatian, lalu mempertanyakan perihal yang sudah
berulang kali, “Apa aku bisa memegang janjimu, bahwa kau hanya akan mencintaiku
sepanjang hidupmu?”
Dengan
bias-bias mimpi yang masih tersisa, kutegaskan kembali janjiku untuknya. “Ya. Aku
mencintamu, selama waktu selamanya!”
Dia
pun tampak tersipu. “Kalau begitu, ceritakan lagi padaku tentang seorang
perempuan yang menanti maut setelah mengidap penyakit paru-paru yang akut, dan ia
pun berdoa supaya kelak menjadi sesosok bidadari, sehingga kapan-kapan, ia bisa
menemui kekasihnya di sebuah air terjun. Apakah doanya terkabul?”
Akhirnya,
kuceritakan lagi tentang dirimu. Kuceritakan, semua tentang keinginanmu, dan
sebab kita berpisah, serta janji kita untuk bertemu suatu saat nanti, pada
dimensi yang lain. Kuceritakan semenarik mungkin dengan penuh hiasan khayal,
bak sebuah dongeng, dan bukan kisah nyata tentang kita.
“Doanya
terkabul,” tandasku.
Seketika,
ia berseru, “Aku ingin jadi bidadari, agar kelak, maut pun tak akan mampu memisahkan
kita!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar