Kamis, 22 Maret 2018

Demi Aku

Aku benci menjadi lelaki dewasa. Semua serba kaku. Tak ada kepolosan. Sekadar untuk berucap saja, harus pandai-pandai memilih kata. Salah-salah, bisa dicap bodoh. Bertindak pun, harus kuat-kuatan. Berkeluh kesah dengan manja, bisa dicap aneh. Dan atas status dewasa, lelaki harus mengkhianati diri. Membungkam jiwa anak-anak dalam dirinya, sepenuh daya.
 
Belenggu kedewasaan, jelas membuat komunikasi menjadi rumit. Maksud-maksud sederhana, tak bisa diungkapkan selugu anak balita. Kalau suka atau benci pada sesuatu, harus dengan alasan yang masuk akal. Tak cukup karena alasan suka atau benci saja. Karena itu pula, banyak lelaki dewasa suka memendam keinginan, daripada dicecar tanya, termasuk pula aku.

Banyal hal yang membebani hidupku belakangan ini. Yang paling utama, soal kuliah. Sebagai mahasiswa semester X, aku bertekad menyelesaikan studi sesegera mungkin. Bukan karena siapa-siapa. Bukan pula tuntutan orang tuaku, sebab mereka bisa memahami tiap kali aku beralasan. Aku hanya sadar diri, agar lekas berbakti kepada kedua orang tua.

Dilema pun terjadi. Banyak embel-embel yang menyertai proses penyelesaian tugas akhirku. Entah soal pencarian data, pencetakan dan pemberkasan, juga konsumsi tambahan di kala berjibaku dengan laptop. Semua itu butuh biaya, sehingga kuputuskanlah untuk pulang kampung, membantu ayahku mengurus ternak, sambil berharap kecukupan biaya setelah aku pulang.

Tapi jelas saja, aku sedikit prihatin menyaksikan perkembangan usaha ternak ayah yang terus merosot. Aku masih ingat, semasa kecil dahulu, kala sore hari, aku diajak ayah mengadangkan beberapa ekor kambing. Dan kala sore hari, aku akan pulang sambil menunggangi salah satu di antara delapan sapi yang gemuk-gemuk. Tapi kini, aku hanya melihat dua ekor kambing saja.

“Perasaan, tahun lalu Ayah masih menggembalakan seekor sapi betina?” tanyaku padanya, kemarin, saat kami duduk beristirahat, seusai menengok dan memberi pakan untuk sepasang kambing.

Ia pun menoleh padaku. “Aku titipkan ke pamanmu untuk jadi indukan agar bisa berkembang biak,” katanya, lalu tersenyum, menampakkan barisan giginya yang telah hilang beberapa biji. “Nah, hasilnya, nanti dibagi.” 

Aku bisa memahami itu.

Kami pun saling mendiamkan beberapa saat.

Berselang beberapa detik, ia memberi saran yang menegaskan ketangguhanya sabagai seorang ayah. “Nak, kau lihat sendiri, tak ada pekerjaan yang berarti di sini. Ayah bisa mengurusnya sendiri,” katanya, kemudian melepas batuknya yang kering. “Aku kira, di kota, kau punya urusan yang lebih penting. Ada baiknya, kau kembalilah secepatnya, dan mengurus persoalan kualihmu baik-baik.”

Ada niatku menyanggah. Tapi kulihat dari matanya, itulah yang sebenarnya ia inginkan. Aku pun mengangguk, mengisyaratkan persetujuan, tanpa kuasa berkata-kata.

Dan hari ini, setelah menetap dua hari saja di kampung, membantu kerja ayah alakadarnya, kuputuskanlah untuk kembali ke kota, memulai misiku untuk menyelesaikan kuliah. Aku akan pergi, dengan mengikat janji pada diriku sendiri, bahwa aku tak akan pulang kampung lagi sebelum menyandang gelar sarjana.

Menjelang keberangkatan, kebimbangan pun kembali mengguncang jiwaku. Ada ketidaktegaan meninggalkan mereka berdua untuk ke sekian kalinya, bersepi-sepi berdua, ditemani senda-gurau binatang. Ada kekhawatiran kalau-kalau mereka jatuh sakit atau tertimpa bala, dan aku tak ada untuk sekadar menemani. Ada ketakutan jikalau musibah terjadi, hingga tak tersisa waktu untukku menyampaikan rasa cinta dan terima kasih yang mendalam.

Jelas, bayangan soal keadaan mereka, menjadi rintangan terberat bagiku sebelum pergi. Tapi aku berusaha menyembunyikan kegalauan itu. Kupendam saja sebisa mungkin, sebab aku tahu, mereka tak ingin aku pergi dengan beban pikiran yang tidak-tidak. Dan kemungkinan besar, mereka malah khawatir jika aku pergi dengan kekhawatiran. Khawatir kalau aku gagal mewujudkan cita, hanya karena terlalu mencemaskan mereka. 

Belum lagi kalau kupikir-pikir, setangguh-tangguhnya aku menahan rasa, tak ada apa-apanya dibanding ketangguhan mereka yang begitu menyayangiku, namun tak menampakkan kekhawatiran secara berlebihan. Tak ada kesedihan, tangis, ataupun ratapan, meski aku bisa menerka, ada kegalauan yang tak terkira, yang tersamar dalam senyuman mereka berdua.

Pada menit-menit terakhir sebelum berangkat, sebagaimana adabnya, duduklah aku, berhadapan dengan mereka berdua. Meresapi baik-baik nasihat yang mereka pesankan, agar aku menjaga diri dan fokus menyelesaikan kuliah. Mereka pun meminta agar aku tak memusingkan hal lain, termasuk diri mereka. Kepentinganku lebih utama bagi mereka. Dan aku melihat, nasihat itu terucap dari hati.

Hingga akhirnya, terucaplah doa perjalanan yang akan mengiringiku sampai ke tujuan. Doa yang kuyakin mujarab. Doa yang akan memberkatiku dalam kepergian, meski aku sering lupa melakukan sebaliknya untuk kebaikan mereka yang tinggal. Aku pun memperoleh keyakinan, bahwa atas doa mereka, semua akan baik-baik saja, sampai kami kembali bertemu, seiring doa-doa yang juga akan terus kupanjatkan untuk mereka.

Bersama cinta tak terucap, aku pun berdiri, mencium tangan ibuku. Merasa-rasai kasarnya telapak tangan yang telah lama mencurahkan kasih padaku. Melindungiku dari kerasnya dunia. Hingga aku kembali menegakkan badan, menyampaikan pinta agar ia menjaga diri selama aku pergi, tanpa memandang bola matanya terlalu lama, sebab takut aku takut mengucurkan air mata.

“Sekali lagi aku pesankan, jaga dirimu baik-baik!” pintanya, sambil menepuk-nepuk pundakku.

Aku mengangguk, lalu menoleh pada ayah.

Kulihat, ayahku tersenyum, lalu bergegas mengantarkan sekotak barangku menuruni tangga.

Seketika, ibuku menyodorkan sejumlah uang. “Hanya ini yang bisa kami berikan.”

Sepintas kulihat, jumlahnya jauh lebih banyak dari yang kuperkirakan. Jumlah yang tak pernah kuminta sebagaimana anak kecil yang suka mematok nominal. Jumlah itu, atas dasar pengertiannya saja. “Terima kasih banyak, Bu,” balasku.

Sambil tersenyum, ibuku lalu berpesan, “Gunakanlah baik-baik. Bukan demi aku, tapi demi ayahmu. Kau tahu sendiri, dia tak lagi sekuat dahulu.”

Aku mengangguk. Takzim.

“Uang itu adalah hasil penjualan seekor sapi betina kita seminggu yang lalu” katanya.

Sontak saja, aku terkaget. “Jadi sapi itu dijual?”

Ibu hanya mengangguk.

Aku jadi sangat iba.

Dengan keteguhan hatiku yang mulai digerogoti rasa haru atas kasih ayah secara diam-diam, aku pun meniti anak tangga, menghampiri ayah di tepi jalan. Dan lagi-lagi, kurasakan bencinya menjadi lelaki dewasa, sebab aku tak lagi kuasa mengucapkan kasih dan cinta, sambil memelukkannya. Aku benci itu. Sungguh. 

Yang akhirnya kulakukan hanyalah mencium tangannya sebagaimana biasa, sambil berterima kasih untuk segala yang telah ia lakukan. Selepas itu, kupintalah juga agar ia tak bekerja terlalu keras, sampai lupa menjaga diri. Dan tentu saja, kuucapkan itu tanpa memandang bola matanya, sebab aku takut menitihkan air mata, sampai ia kecewa, sebab anak lelakinya yang telah dewasa, ternyata masih cengeng.

Dan akhirnya, pergilah aku. Membawa bekal semangat, doa, dan materi yang harusnya cukup bagiku untuk menyelesaikan kuliah sesegera mungkin. Dan untuk semua itu, aku menekadkan dalam hatiku untuk tidak lagi berurusan dengan lela-leha yang tak penting. Tidak lagi menghabiskan waktu dengan bermain game, bergurau tak keruan, atau melanglang ke pusat perbelanjaan dengan teman-temanku, atau dengan seseorang wanita yang seringkali membuatku lupa pada ayah-ibuku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar