Rabu, 28 Maret 2018

Darah Kuasa

Aku tak akan lupa pada waktu-waktu itu. Para pemberontak mengobrak-abrik kampung halaman kami. Menjarah harta benda para penduduk. Menagih uang untuk bekal perjuangan mereka menegakkan negara dalam negara. Tak peduli pada perempuan atau anak-anak, mereka memalak dengan cara sadis. Tangis pun berjatuhan, darah berceceran, hingga nyawa menandas.
 
Tak lama kemudian, datanglah bala tentara negeri. Melawan para pemberontak dengan penuh emosi. Mengadu kekuatan. Berbalas peluru. Meledakkan granat, susul-menyusul. Mencabut nyawa demi hidup. Bertempur atas nama perdamaian. Sampai kulihatlah kehancuran yang sesungguhnya. Mayat-mayat bergelimang darah, tergeletak di tanah kampung yang porak-poranda.

Hingga datanglah tiga orang tentara ke rumah kami. Masuk dengan tingkah beringas, seolah mereka menyasar sarang pemberontak. Memeriksa segala ruang tanpa permisi, kemudian menyeret aku dan ayah-ibuku dengan kasar, bak penjahat. Sampai terkumpullah kami di ruang utama. Dinterogasi penuh tendensi buruk. Dituduh sebagai bagian dari pemberontak.

“Kami tahu kalau Si Tua Bangka ini adalah seorang kepala desa. Dan entah demi apa, ia rela menjadi antek para pemberontak. Mengumpulkan pajak untuk persenjataan para sialan itu. Bangsat!” bentak salah seorang di antaranya, yang mengenakan topeng, sembari mendaratkan ujung senjata di pelipis ayahku. “Benar begitu kan?” 

Kami bertiga menggeleng. Tak menjawab. Hanya bungkam. Takut.

Terdengar tawa salah seorang di antaranya, yang berwajah beringas. “Oh. Bodohnya kita, Kawan,” katanya. “Apa gunanya kita meminta pengakuan dari mereka? Ya pastilah, sekhinat apa pun Si Tua ini, mereka akan kompak untuk berbohong.”

“Kami tetap setia pada negara, Pak!” kata ayahku. Lirih. 

Tapi kata-kata kejujuran, malah membuat mereka semakin beringas. Seakan-akan kami tengah berdusta sepenuh jiwa. 

“Kacung pembohong!” bentak seorang yang bertopeng lagi.

Tanpa aba-aba, si petopeng pun menghantam ayahku dengan sepatu, lutut, dan popor senjata, silih berganti. Dan ketika ayahku terkulai lemah di pojok ruang utama, si petopeng pun menembakkan sebuah peluru, tepat di kepala ayahku.

Kami kaget. Ketakutan tak terkira. Tak menduga kalau mereka akan setega itu.

Seketika, ibuku bangkit sembari menyeretku tanganku. Berusaha berlari. Meloloskan diri.

Namun akhirnya, satu tembakan terdengar menggelegar di udara. Membuat genggaman ibuku melemah perlahan. Ia lalu jatuh tak berdaya, dengan darah yang terus mengalir dari dadanya.

Aku yang dicekam ketakutan, pasrah menghentikan langkah. Menjatuhkan tubuh di atas dedaunan kering. Berlutut, menangisi ibuku yang meregang nyawa. Tak peduli jika harus mati juga seketika.

“Kita apakan dia?” tanya seseorang yang berwajah tirus dan berhidung pesek, kala mereka telah berada di hadapanku, di sela pohonan yang tak jauh dari rumahku.

“Menurutmu, apa yang cocok untuk anak pengkhianat semacam ini, Kawan?” tanya balik si petopeng.

Kedua orang yang menampakkan wajah, menggeleng. Seperti tak punya ide.

Si petopeng pun tertawa terbahak-bahak. “Kau tahu sendiri, aku sudah lama tak berusua dengan wanita cantik!”

Kedua kawan si petopeng, menampakkan kekalutan di wajahnya. Seakan-akan tahu maksud si petopeng, namun bingung untuk bersepakat atau tidak.

Si petopeng, lalu membuka tabir wajahnya. “Kau masih ingat padaku?”

Seketika aku terkaget. Jelas saja, aku masih mengingatnya.

“Ya. Kau pasti masih ingat seseorang yang telah kau hinakan cintanya dahulu, yang kau tolak pinangannya, hanya karena ia tak setampan dan sekaya yang kau dan orang tuamu mau. Akulah orang itu!” bentaknya, lalu menggenggam kasar kedua belah pipiku dengan tangan kanannya. “Tapi tak mengapa. Lupakan itu. Setidaknya, aku bisa memberikan semua cintaku padamu, malam ini.”

“Jadi kau…?” tanya seorang kawannya yang lain, setelah tahu, ada cerita masa lalu tentang kami.

“Jadi kalian…?” timpal seorang yang lainnya lagi. “Aku tak mau ikut campur soal ini, Kawan. Ini semua rencanamu. Aku tak ingin dipersalahkan.”

Mereka berdua pun bergegas pergi.

“Aku tak peduli!” serunya, lalu tertawa. 

Dengan nafsu yang menderu serupa nafsu membunuhnya, ia lalu memperlakukan aku secara biadab.

Dan terjadilah semua.

Tapi di tengah ketidakberdayaan, beruntung, aku masih bisa menyelematkan diri. Aku berhasil menumbangkannya setelah menimpakan sepotong kayu tepat di pelipisnya.

Bersama ketakutan dan kecemasan yang tak terkira, aku pun berlari, menyelamatkan diri ke atas bukit, dan menetap di sana hingga waktu yang lama. Bersembunyi dari radar si pengkhianat negara, yang kutahu, akan terus mencariku sampai mati.

***

“Kau terlahir sebagai biang revolusi, Nak!” kata ibuku, di waktu yang lampau, saat aku mulai tahu tentang istilah-istilah rumit.

“Maksud Ibu?” tanyaku, penasaran, setelah ia mengucapkan soal tafsir kelahiranku di tanah air ini untuk ke sekian kalinya, dan aku tak paham betul apa yang ia maksud.

Ia pun tersenyum, lalu mengusap-usap kepalaku. “Kehadiranmu di dunia ini, dibarengi dengan ketidakadilan dan kebiadaban yang tak terkira, Nak. Kakek-nenekmu, mati terbunuh di tangan pengkhiant negara.” 

Aku mendengar penuturannya dengan seksama.

“Sejak aku mengandungmu, aku telah menjadi kejaran pengkhianat negara. Semua karena kau, Nak. Mereka takut kalau kelak, kau lahir dan meruntuhkan kekuasaan mereka,” katanya, dengan tatapan yang tegas. “Tapi aku yakin, kelak, kau akan menggulingkan kekuasaan mereka yang zalim.”

“Kenapa pemerintah ini dikatakan zalim, Bu?” tanyaku, penasaran.

Ia tersenyum lagi. “Aku paham sejarah, Nak, sebab aku mengalaminya. Dan aku tahu, sejarah negara ini hanyalah perjalanan waktu yang tak membawa perubahan apa-apa, selain perubahan aktor. Kebiadaban tetap merajalela. Ketidakadilan di mana-mana. Para penjahat bahkan masih dihormati bak raja. Dan parahnya, mereka menjadi penguasa negara saat ini,” katanya, lalu menepuk-nepuk pundakku. “Kau akan mengubah keadaan ini, Nak! Aku yakin itu!”

Waktu pun bergulir cepat menuju ke masa depan.

Dan kini, kulihatlah di layar televisi, orang-orang berkumpul di seluruh pelosok negeri. Mereka menuntut agar presiden yang telah meneteskan noda hitam pada sejarah bangsa di masa kelam, segera dihukum mati. Satu tuntutan yang mencuat setelah aku mengungkapkan surat wasiat ibuku, tentang kronologi kepergian anggota keluargaku dahulu, dan semua peristiwa yang menyertainya.

Nyawa sang presiden pun, telah berada di ujung waktu. Pengadilan telah memutuskannya sebagai tersalah dan dijatuhi hukuman mati. Ia dinyatakan sebagai seorang penjahat yang menyalahgunakan kekuasaannya sebagai anggota militer kala bertugas di masa lalu. Paling tidak, dua orang pensiunan tentara, sudah cukup membenarkan peristiwa itu. Satu peristiwa yang membuatku terlahir tanpa melihat anggota keluargaku secara utuh.

Hingga tampaklah di layar televisi, sebuah peti keluar dari ruang eksekusi. Satu penampakan yang membuat segenap penduduk yang mendamba keadilan, bersorak-sorai tanpa henti. Mereka tahu, di dalam peti itu, terbaring kaku seorang mantan presiden, pensiunan tentara, dengan bekas peluru yang menembus tubuhnya untuk tindak pengkhianat terhadap negara yang ia lakukan di waktu lampau.

Tiba-tiba, aku jadi rindu pada ibuku. Aku ingin sekali menyampaikan padanya bahwa aku telah menjadi biang revolusi. Aku ingin menyampaikan padanya bahwa aku telah berhasil menumbangkan kekuasaan yang zalim demi menegakkan keadilan, sebagaimana yang ia idam-idamkan.

Dan seketika, aku juga merindukan sosok ayahku yang barangkali turut mendambakan aku sebagai biang revolusi, sebagaimana ibuku. Sosok yang entah siapa, yang selama ini, tak pernah diterangkan ibuku, sampai akhirnya ia meninggal.

“Ceritakan padaku soal ayah, Bu?” pintaku pada satu hari di masa lampau.

“Kau tak perlu tahu  tentang dia! Itu tidak penting!” tegasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar