Rabu, 28 Maret 2018

Cerita Terakhir

Kehampaan melingkupi jiwaku dalam waktu yang panjang. Mendewasa, tanpa cita-cita. Tak berhasrat menggapai sesuatu, bahkan bingung harus melakukan apa. Kubiarkan saja waktu berlalu, tanpa peduli pada banyak hal yang terlewatkan. Bak daun kering yang diombang-ambingkan angin entah ke mana. Seolah hidup saja, tanpa alasan dan tujuan.
 
Hingga, kutemukanlah dirimu yang sempurna apa adanya. Sesesok wanita yang membuatku jatuh hati. Mengikat jiwaku, sebagaimana aku mengikat diriku sendiri. Menyatu, begitu erat. Menjadi penghias waktuku di alam angan-angan. Sampai kau menjadi alasanku untuk terus hidup demi harapan yang indah, pada akhir yang kutuju: kita.

Karena kau, hari-hariku jadi semakin berwarna. Jatuh hati padamu, telah membuat jiwaku semakin berseni. Aku jadi bisa melukis, demi menghadirkan rupamu di ruang rinduku. Aku jadi bisa bernyanyi dan memainkan alat musik, bahkan mencipta lagu, setelah rasa-rasaku yang rahasia, terus kudendangkan dalam ruang-ruang sendiriku.

Dan perubahan paling drastis dalam hidupku adalah soal aksara, yang ogah kulakoni di hari-hari yang lampau. Aku jadi seorang pencinta buku, sebab khawatir kekurangan kata kala kita mengobrol di satu waktu nanti. Pun, aku giat menulis, sebab itu adalah caraku menyampaikan dan meluruhkan perasaanku sendiri, padamu, sebelum kita benar-benar berkenalan. 

Betahun-tahun berlalu, tanpa sadar, aku pun telah banyak mengukir jejak-jejak aksara. Aku seperti menumbalkan diri sebagai penulis, tanpa peduli dapat apa, bahkan untuk sekadar perhatian. Aku terus menulis tentang kita, tanpa peduli apa kau tahu, atau sudi membacanya. Kulakukan saja, sambil meniatkan itu sebagai kado terindah kala kita bersama, kelak.
 
Sampai akhirnya, kegandrungan menulis cerita yang berbalut khayal, tentang kita, menjerumuskanku pada kondisi psikologis yang aneh. Aku jadi kecanduan merangkai cerita di dalam imajinasi. Jadi tersiksa setengah mati jika melalui tiga hari saja tanpa menulis apa pun tentangmu. Aku ingin menulis, tanpa paduli pada siapa dan apa pun yang lain.

Seiring waktu, aku terus menumpuk gubahan cerita tanpa tahu bagaimana cara berhenti. Kusambung, dan terus kusambung. Hingga beberapa cerita di antaranya, berseliweran di ruang-ruang publik. Membuat diriku mulai dikenal sebagai seorang penulis muda yang kreatif dan produktif. Dikenal sebagai diri yang tak pernah kubayangkan sebelum kita bertemu.

Tersiarlah juga berita-berita tentang karya tulisku. Orang-orang mulai merespons buah tanganku dengan kesan-kesan yang beragam. Ada yang memuji, meski tak sedikit pula yang menghina. Namun, aku tak akan risau dan terlena atas semua tanggapan mereka, sebab aku hanya peduli jika itu soal dirimu, yang telah menjadi alasan terbesarku dalam menulis sepanjang waktu. 

Atas popularitasku yang menanjak, orang-orang pun mulai mengincarku di berbagai ruang. Entah menghampiriku di ruang publik, menyapaku di beragam lini media sosial, atau bahkan mendatangiku di rumah. Tapi elu-eluan itu, terkadang membuatku semakin sepi. Apalagi kala kusadari, kau tak juga memerhatikan diriku atas apa yang telah kucipta, sebagaimana yang lain.

Keadaan memang telah banyak berubah. Sebagian diriku, telah menjadi kepentingan orang lain. Aku harus menghadiri beragam acara penulisan, sampai aku tak bisa lagi menyendiri sambil bermain denganmu dalam imajinasi. Aku harus menjumpai mereka yang memuja karyaku, menyebar tanda tangan, kala aku merasa terasing, sebab tak menjumpaimu di antara mereka.

Sampai akhirnya, jalan berliku dalam dunia penulisan, berhasil juga mendekatkan dirimu padaku. Dan senanglah aku, sebab mulai terlihat tanda-tanda bahwa rencana besarku untuk merengkuhmu melalui jalan aksara, akan terwujud.

“Nama kakak sudah terkenal sebagai seorang penulis yang patut diperhitungkan. Perasaan Kakak bagaimana? Apa ada yang berubah dalam hidup Kakak?” tanyamu, sembari menatap mataku, dalam. Terlihat tegas dan penuh percaya diri, sebagaimana biasa.

Kulayangkanlah satu senyuman padamu, juga tawa yang pendek. Berharap kau tak terlalu serius melakoni obrolan kita. “Sedikit risih, sebenarnya,” kataku, lalu menjeda untuk berdeham, kemudian menyambung, “Yang berubah adalah, aku tak seutuhnya lagi menjadi seorang penulis. Aku kadang harus tampil sebagai seorang artis, atau pelayan. Dan, kau tahu, penulis hanya perlu menulis, bukan tampil pamer di depan publik.”

Kau tampak terkesiap mendengar jawabanku. Seperti tak menduga aku akan menjawab begitu. Mungkin terdengar naïf menurutmu. “Tapi bukankah popularitas dan penggemar adalah idaman semua penulis?” tanyamu lagi. Menyelidik.

“Aku rasa, anggapan itu salah. Penulis tak butuh popularitas yang penuh ingar-bingar. Ia butuh kesenyapan untuk menulis dengan hati,” kataku, sembari memandang matamu dalam-dalam. “Penulis juga tak butuh penggemar, apalagi yang fanatik. Ia hanya butuh para pembaca, yang syukur-syukur, terilhami pesan moral tulisan untuk mereka terapkan dalam kehidupan nyata.”

Lagi-lagi, kau tampak terkesima mendengar jawabanku. “Kalau dengan prinsip semacam itu, apa yang menjadi motivasi dan inspirasi terbesar Kakak dalam menulis?”

Seketika, mulutku tersekat. Aku terdiam beberapa detik. Bertanya pada diriku sendiri. Aku butuh ketepatan kata untuk menjawab pertanyaan itu dengan sedikit diplomatis, tapi tidak juga berbohong. “Kalau motivasi, tentu dari diri sendiri. Aku selalu yakin bahwa sebesar apa pun semangat yang diserukan orang lain, tak akan sanggup meyakinkan diri kita yang meragukan diri sendiri. Maka lakukanlah sesuatu untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain.”

Kau termangu saja. Seakan-akan aku baru saja menuturkan kata-kata puitis.

“Kalau inspirasi, bisa dari semua orang,” kataku. “Menulis itu butuh perasaan. Dan kita mengerti soal rasa perjuangan, penderitaan, dendam, cinta, benci, dan semuanya, bisa dari siapa saja,” sambungku lagi. Dan seketika, aku tak kuasa untuk memberikan sedikit isyarat padamu, “Bisa jadi, kau juga adalah motivasi dan inspirasiku dalam menulis.”

Kau tampak tersipu.

Tak lama kemudian, kau mengucapkan terima kasih, lalu mematikan alat perekam yang sedari awal tergeletak di antara kita.

“Jujur, secara pribadi, aku suka cerita yang Kakak tulis,” katamu, sambil menggaruk-garuk punggung tangan. Tampak segan. “Sejak dulu, aku telah menjadi pembaca blog pribadi Kakak. Semua tulisan di situ, mungkin telah selesai kubaca. Aku suka!”

Seketika, aku merasa sangat tersanjung. Sungguh!

“Boleh minta tanda tangan Kakak?” tanyamu, lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan cerpen karanganku.

Aku pun mewujudkan keinginanmu dengan senang hati. Lalu menyerahkan buku itu, kembali padamu.

“Aku yakin, Kakak tak akan terus menulis cerita yang menarik,” katamu, seperti menyatakan kalimat permintaan dan penyemangat sekaligus. “Entah di mana dan sibuk dengan apa pun, aku harap, Kakak terus menulis. Aku akan setia menanti dan menjadi pembaca pertama untuk setiap gubahan cerita dari Kakak!”

Dan tiba-tiba, aku seperti kehilangan diriku sendiri. Aku mulai curiga bahwa kau seperti juga penggemarku yang lain. Aku mulai khawatir bahwa kau lebih mendambakan apa yang kucipta, lebih dari diriku sendiri. 

“Entahlah. Kadang-kadang sebagai penulis, aku juga ingin menjalani hidup senyata-nyatanya, bukan menikmati hidup dalam imajinasi,” balasku.

Kau tertawa pendek. Seakan-akan aku bermaksud melucu, dan bukan sedang mengungkapkan keinginanku padamu, tentang kita. 

“Cetak majalahnya, mungkin selesai dua minggu ke depan,” katamu, dengan sikap profesional dan mimik yang tampak serius. “Hasil cetaknya, akan dikirimkan juga ke alamat Kakak.”

Aku mengangguk bodoh. “Baiklah.”

Kau tersenyum, lalu beranjak, pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar