Kamis, 22 Maret 2018

Aku dan Seorang Lelaki

Hari ini, tepat tiga tahun kepergianmu. Aku memperingatinya dengan penuh kerinduan. Menelusuri bekas tapak kaki kita di ruang kenangan. Menjelajahi sebuah taman kota, tempat kita bersama di detik-detik terakhir. Memandangi rerumputan, tempatmu menghempaskan tubuh, terlentang, kala penat. Menghirup udara segar, di bawah pepohonan, di mana wangimu pernah menyerbak. Hingga kuraba-raba bunga yang masih terbalut titik-titik embun, sebagaimana yang sering kau lakukan.
 
Lalu duduklah aku pada satu bangku, di sisi kanan, tepat di posisi favoritmu. Berangan-angan kalau kita menyatu di satu titik, walau terpisah pada dimensi yang berbeda. Berkhayal-khayal kalau-kalau kau melihatku dari alam lain, walau kau tak tampak di mataku. Dan jika benar begitu, biarpun tanpa jawabmu, maka saksikanlah kalau aku tetap setia hingga saat ini. Kau saksikanlah bahwa tidak adanya ragamu di sisiku, tak cukup membuat perasaanku berubah.

Dan kini, kukenang lagi tingkah lakumu yang menggemaskan di sini, dahulu. Tiap kali kau bosan duduk di bangku, seusai berceloteh tentang masalah pekerjaan dan yang lain, kau akan melanglang ke segala arah, berbuat sesuatu. Yang paling kau suka adalah melangkah-langkah senyap, mencoba menangkap burung merpati yang terlihat jinak, sampai kau jadi kesal sendiri kalau tak berhasil. Atau, kau akan melangkah ke tepi danau. Membubarkan segerombolan bebek, sampai terbagi ke dalam beberapa kawanan. Lalu, kau akan tertawa kegirangan saat mereka berpencar menuju danau.

Pun, akan selalu terbayang soal keisenganmu yang menggemaskan. Begitu banyak, sampai aku bingung harus mengisahkan yang mana. Tapi yang tak akan kulupa adalah keusilanmu di dermaga kecil, saat manjamu memuncak. Kau mengancam akan terjun ke danau jika aku tak segera datang menjemputmu di sana. Dan entah bagaimana, kau terpeleset, dan benar-benar tercebur ke dalam danau. Tapi aku tak peduli. Hingga aku sadar kalau kau tak bisa berenang.

Sungguh, segala tentangmu tak akan bisa kulupakan. Jelas, masih teringat kali pertama aku mengindraimu di taman ini, kala kau tengah beristirahat di sela-sela lari sore. Itu tak bisa disebut perjumpaan, sebab aku saja yang melihatmu. Aku saja yang terpaku padamu yang sedang menyendiri di satu bangku, memandang kosong ke danau, sambil menyobek-nyobek daun kering, atau memelintir rambutmu yang terurai.

Dan berselang beberapa hari kemudian, setelah menyaksikan tingkah anehmu yang berulang, aku pun menjajaki sesi perkenalan kita. Dengan langkah-langkah yang telah kurencanakan, aku lalu duduk di satu bangku favoritmu, hingga kau datang dengan sikap yang tak ramah. Kau tampak kesal soal tempat dudukku. Kukira begitu. Tapi jelas, kau tak berhak mengusik atau mengusirku, sembari mengklaim tempat umum sebagai milikmu. 

Hingga pada awal-awal kedekatan yang pertama itu, kita sama-sama saling mengabaikan, tanpa ada yang kuasa memulai kata. Bahkan, tidak juga untuk sekadar saling menoleh dan berbagi senyuman.

Aku pun berdeham keras. Sengaja mengirim pesan aba-aba padamu.

Kau menoleh. Seakan-akan tahu kalau tak ada dahak yang membuatku perlu berdeham. “Mau minum?” tanyamu, tanpa menyodorkan sebotol air minum.

Aku yang tiba-tiba gugup, mengangguk saja. Mengiyakan kalau-kalau kau bersedia menawarkan air minum.

“Minumlah,” katamu, lalu menoleh ke sisi bawah, pada dudukan bangku. “Apa gunanya kau membawa air minum kalau tidak diminum.”

Seketika, aku tersadar membawa sebotol air minum yang tergeletak di sampingku sendiri. Maka dengan tingkah bodoh, aku menangguk saja, lalu melayangkan senyuman canggung padamu.

Kau berpaling dariku. Raut wajahmu datar saja. Seperti tak acuh atas kedunguanku. 

Tak ingin bertingkah semakin kacau, kuberanikanlah untuk berkenalan denganmu, sembari berharap suasana segera mencair. “Perkenalkan, namamu Ringgo,” tuturku, sambil menyodorkan tangan.

Kau tak menoleh. “Panggil saja aku Lisa,” balasmu.

Dan, di sore itu, tak berapa lama setelah berbagi nama, kebersamaan kita yang pertama pun berakhir. Kau pergi entah ke mana, tanpa mengucapkan kata-kata pamit.

Pada hari-hari selanjutnya, di tengah kecanggungan yang masih mendera, kita semakin sering duduk di bangku taman ini. Sama-sama menjadikannya tempat favorit untuk melepas penat, meski tanpa kesepakatan atau sekadar ajakan. Hingga, entah karena pasrah atas kehadiranku atau butuh teman baru untuk berbagi, kau pun mulai membuka diri untuk meresponsku secara baik. Perlahan, kau mulai belajar bertanya padaku. Sampai akhirnya, kau berani menanyakan hal-hal yang bersifat personal.

Komunikasi kita pun, berlangsung dua arah, secara seimbang. Tidak hanya di bangku taman ini, tapi juga di ruang tak terbatas, di dunia maya, setelah kita berbagi nomor kontak. Sampai obrolan hangat, berhasil membuat kita semakin dekat. Melunturkan sekat keseganan di antara kita. Hingga perlahan, kau jadi butuh padaku sebagai tempat berkeluh-kesah, atau sekadar meminta pendapat tentang sesuatu. Aku pun demikian padamu, meski seringnya, aku cuma menjadi pendengar yang baik.

Hingga, sampailah aku dan kau pada satu obrolan yang sangat menentukan makna hubungan kita:

“Kau pasti punya kekasih,” katamu, tiba-tiba, setelah berbagi cerita tentang hari-harimu di kampus sebagai seorang dosen. Satu kalimat penyimpulan yang bermakna pertanyaan.

Aku menggeleng. Tak sanggup berucap. Heran atas kelancanganmu bertanya soal asmara.

Kau lalu bertanya lagi. Tampak antusias. “Kenapa belum? Masa iya?”

Akhirnya, kutanggapi saja, sebiasa mungkin. “Aku masih ingin bebas.”

Kau mengangguk-angguk. “Aku sepakat denganmu. Hubungan dalam bentuk apa pun, hanya membuat kebebasan kita terenggut.”

Aku tak menanggapi.

Kau menoleh padaku. Seakan menanti sepatah-kata, apa pun itu.

“Ya, kita ternyata sependapat,” balasku, sekenanya. Sekadar menegaskan. “Hubungan dalam status apa pun, bahkan pernikahan, kadang-kadang hanya pemenjaraan yang dilegalkan. Kadang malah serupa perbudakan.”

 “Ya, serupa penjara,” timpalmu. Lalu, bertanya lagi. “Jadi, kau tak mungkin sepakat dengan nikah paksa atau perjodohan?”

Lekas kujawab. “Ya, tentu. Itu sungguh keterlaluan. Tapi syukurlah, itu hanya tradisi lama. Sekarang, siapa yang mau.”

Kau menoleh padaku. Tersenyum singkat, lalu berpaling pada danau yang tenang. “Tentu tak ada yang mau. Tapi aku menyaksikan sendiri, itu masih terjadi, kok. Tapi lucunya, praktik semacam itu semakin jarang terjadi di kalangan masyarakat bawah, tapi marak di kalangan masyarakat atas. Dan salah satu alasan utamanya adalah untuk kepentingan bisnis,” jelasmu, lalu menoleh padaku, melayangkan satu senyuman. “Sungguh kasihanlah anak mereka yang harus menikah demi kepentingan bisnis keluarga.” 

Kubalas kau seketika, dengan sanjungan, “Sebagai dosen sosiologi, aku tak meragukan pandanganmu.” 

Kau tersenyum lagi. Dan tak berselang lama, kau kembali bertanya, “Boleh aku minta pendapat padamu?”

Aku mengangguk. “Silahkan saja.”

“Apa yang akan kau lakukan jika kau mencintai seseorang yang sebenarnya mencintaimu juga, tapi ia telah terikat dalam ikatan pernikahan dengan seseorang yang lain? Dramatisnya, ia menikah karena paksaan. Dijodohkan demi kepentingan dan kemauan orang tua. Bagaimana kau akan bersikap?” tanyamu, tampak sangat serius, sebagaimana seorang dosen bertanya kepada mahasiswa.

“Ya, aku akan membawanya pergi, demi cinta,” jawabku.

“Argumentasinya?” Kau tampak kurang puas.

“Alasannya karena mereka dinikahkan secara paksa. Maksud saya, pernikahan haruslah dengan kepasrahan jiwa dan raga kedua belah pihak, yaitu si laki-laki dan si perempuan. Nah, kalau nikah paksa, jelas, kedua-duanya tak setuju, atau paling tidak, salah satunya tidak setuju. Kalau dalam kasus tadi, keputusanku pergi membawa seseorang yang kucintai, pastilah demi menyelamatkan ia ataupun juga suami dari penjara pernikahan. Itu jelas demi kebaikan semua,” terangku, lalu menatap bola matamu yang jernih.

“Jawabanmu bagus. Kau konsisten dengan pendapatmu di awal,” pujimu, kemudian mengutarakan pertanyaan susulan, “Tapi aku ingin tahu pendapatmu kalau itu benar-benar terjadi padamu, apakah kau akan melakukan tindakan yang sama?”

Tiba-tiba, keraguan mengguncang keyakinanku yang terlanjur memuncak. Aku mengangguk ragu. “Entahlah,” kataku.

Kau tersenyum tanggung. Tampak kecewa atas kebimbanganku soal korelasi konsep dan tindakan.

Kita lalu terdiam beberapa lama.

Seketika, terbersit satu pertanyaan mendesak di benakku, “Apa kau juga belum punya hubungan dengan siapa-siapa?”

Kau pun menggeleng, setelah tiga detik berlalu. Kutahu, sebagai perempuan, kau pasti malu berbicara soal status, apalagi di usia yang sangat matang untuk menikah.

Kita terdiam lagi untuk beberapa lama. Aku menoleh padamu, dan kau berpaling. Kau menoleh padaku, dan aku berpaling. Entah kenapa, kita tiba-tiba segan bertatapan.

“Lisa, bolehkah aku memenjarakanmu?” tanyaku, kikuk, tanpa menatap ke arahmu.

Kau menoleh padaku, tapi lekas berpaling, “Maksudmu?”

Jantungku berdegup kencang. Kuteguhkan hati untuk berani menatap ke arahmu, kemudian berucap, “Maksudku, maukah kau menjalin hubungan denganku? Terpenjara dalam cintaku?”

Kau tak menjawab. Matamu berkaca-kaca. Ada kebahagiaan yang tampak tersirat di wajahmu. Kusimpulkan itu sebagai satu jawaban. Satu penerimaan.

Dan sejak saat itu, kita terikat dalam satu hubungan yang tak pernah kita sebut apa-apa. Hanya satu ikatan untuk saling mengerti dan lebih peduli satu sama lain. Hingga demi kita, mengulurlah waktu yang kita lewati bersama. Kita sesekali menghabiskan waktu di tempat umum yang tenang-sepi, sebab kau sebagaimana juga aku, sama-sama tak suka pada keriuhan. Paling sering, kita berkunjung ke toko buku, makan di warung sederhana, atau merutinkan kebersamaan kita di taman kota.

Tapi berselang tiga minggu setelah kita sama-sama sepakat untuk satu ikatan, kita pun harus berpisah. Aku harus meninggalkanmu untuk urusan bisnis di kota seberang, barang sebulan. Aku pergi demi pekerjaan untuk masa depan kita, agar kelak, tak ada halangan materi jika aku dan kau sepakat untuk memenjarakan diri dalam cinta. Aku pergi dengan janji untuk kembali menemuimu, dalam keadaan baik-baik saja.

Kuingat lagi di hari terakhir kebersaan kita, di taman ini, pada satu pagi yang damai. Kebersmaan terakhir yang harus berakhir lebih cepat dari waktu yang kita rencanakan. Hanya berlangsung sekitar dua jam, yang terasa sangat pendek. Itu karena kau memiliki kepentingan mendadak di kampus, dan harus di sana sebelum jam 9, yang telah kita patok batas. Aku coba menawarkan diri untuk mengantarmu. Tapi sebagaimana seringnya, kau menolak, sembari menyarankan supaya aku bersiap-siap saja sebelum penerbangan. Dan aku mengalah.

Pergilah aku setelah kita bertukar pesan dan nasihat. Pergi, setelah kita berjanji untuk segera bertemu setelah aku kembali. Pergi, membawa rindu yang berat. Hingga kudapatilah kenyaataan kalau aku harus merindukanmu seumur hidup, sebab kau telah pergi untuk selama-lamanya. Kau menjemput ajal hari itu juga, di hari terakhir kebersamaan kita. Hanya berselang beberapa menit setelah aku menatap matamu untuk yang terakhir kalinya. Kau pergi secara mengenaskan. Tertabrak sebuah mobil yang melaju kencang kala kau menyeberangi jalan, sampai meninggal seketika.

Dan saat ini, di tengah menunganku tentang masa lalu kita, aku tersadar untuk menuju ke satu titik tertentu, meresapi jejak-jejak langkahmu yang terakhir. Apalagi, sudah hampir jam sembilan, sebagaimana sekitaran waktu yang menjadi penghujung usiamu. Maka bangkitlah dari bangku favorit kita. Melangkah menuju pada sebuah bangku taman di tepi jalan, di mana pesan-pesan terakhir kita masih menggantung. Satu bangku perpisahan kita yang menghadap ke jalan raya, tak jauh dari garis penyeberangan jalan yang tak sepenuhnya kau jajaki di hari itu.

Duduklah aku, bersampingan dengan dua orang yang duduk lebih dahulu. Hingga seorang di antaranya, yang duduk di tengah, pergi entah ke mana. Maka tinggalah aku dan seorang lelaki yang lain. Seorang lelaki yang kukira, tak akan mengganggu khidmatku mengenangmu. Bahkan kutaksir, ia hanya singgah sejenak di bangku perpisahan kita, sebelum pergi juga, entah ke mana.

Namun setelah kuperhatikan secara seksama, ada yang aneh pada penampilannya. Ia tampak memangku serangkai bunga, sambil memeluk seberkas foto. Coba kuperhatikan baik-baik rupanya. Dan aku pun yakin, pernah melihat ia sebelumnya. Masih teringat jelas tentang dua waktu perjumpaanku dengannya, yang tepat dua tahun lalu, dan tepat setahun lalu. Dan itu sungguh aneh, sebab dari sekian banyak hari dalam satu tahun, bisa-bisanya aku betemu dengannya pada satu hari di antaranya, sebanyak dua kali, pada satu tempat.

“Bapak menunggu seseorang?” tanyaku, dengan rasa penasaran yang sangat. 

Dia tampak melayangkan senyuman singkat, menggeleng, lalu mengucapkan balasan pendek, “Tidak.”

Tentu saja, rasa penasaran tetap memaksaku bertanya, “Lalu, untuk siapa bungan itu?”

Dia menoleh padaku. Mencoba tampil biasa saja di sela kekalutan yang tampak di wajahnya. “Aku mengenang seseorang. Dia meninggal tepat di jalan sana, saat sedang menyeberangi jalan. Ia meninggal tepat tiga tahun lalu. Meninggal tertabrak sebuah mobil yang melaju kencang,” tuturnya, penuh kedukaan. “Bunga ini untuknya.”

Seketika, aku merasa ada satu kebetulan yang tak terjelaskan, bahwa kau meninggal di tempat dan waktu yang sama dengan seseorang yang ia maksud.

“Anak bapak?” tanyaku.

“Istriku,” balasnya, seketika. “Namanya Mona.”

Di tengah tanyaku yang menggebu, aku jadi turut prihatin melihat kesedihannya, meski aku sendiri memiliki kesedihan yang mungkin lebih memprihatinkan. “Bapak pastilah merasa sangat kehilangan,” kataku, sembari menatap ke arahnya. “Aku turut berduka soal itu, Pak.”

Dengan nada suara yang rendah, ia pun berucap setengah berdaya, “Tentu aku sangat kehilangan. Aku sangat mencintainya, walau kutahu, cintaku tak berbalas,” katanya, lalu mengambil jeda untuk menguatkan hatinya sendiri. “Ia sering memperlakukan aku secara tak layak, seakan-akan aku bukan suaminya. Tapi aku tak bisa memaksakan perasaannya. Aku tahu, kami menikah bukan dengan kemauannya secara penuh, tapi karena desakan orang tuanya. Tapi biarpun begitu, aku sungguh mencintainya.” Ia menjeda lagi. Tampak mengenang. “Dia seorang wanita yang sangat cantik,” pujinya, sambil menatap selembar foto yang sedari tadi ia jaga.

Kutoleh foto yang ada padanya. Kupandangi lamat-lamat. Dan betapa kagetnya aku, kala melihat wajahmu terpampang di sana, seorang diri. “Monalisa?”

“Bapak mengenalnya?” sergahnya seketika.

Aku menggeleng saja, bersama separuh nyawaku yang tersisa.

Ia tak menyelidik.

Keheningan pun menjeda obrolan kami beberapa detik. Tak ada suara.

Hingga setelahnya, ia kembali bertanya, “Bapak sendiri, ada rencana apa sampai mampir di sini?”

Aku yang masih dilanda kekalutan, perlahan, tersadar untuk segera merespons, meski aku tak benar-benar menjawab, “Tak ada apa-apa. Aku hanya mampir,” tuturku, kemudian melayangkan senyuman singkat, beranjak, pergi, menjauh.

Dan kini, bayang-bayang kita di dalam benakku, datang menyerang silih berganti, bagai bom waktu. Muncul mencipta sembilu yang menyayat-nyayat perasaan, sampai menghancurleburkan hatiku kapan-kapan. Adegan tentang perkenalan kita, kebersamaan kita, juga perpisahan kita untuk selama-lamanya, kini jadi serupa virus yang menggerogoti diriku seutuhnya, setelah kudengar kenyataan tentang dirimu, sembari mengenang pembahasan kita soal esensi pernikahan, di waktu yang lampau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar