Kamis, 22 Maret 2018

Adinda

Aku jatuh hati padamu, sebab kau berbeda dengan wanita yang lain. Kau lebih suka membeli buku daripada barang bermerek untuk dipamer. Kau memilih sibuk dengan kegiatan kemanusiaan, literasi, atau organisasi kemahasiswaan, ketimbang jalan-jalan di pusat perbelanjaan. Paling tidak, begitulah yang kuketahui dari media sosial, di blog pribadimu, ruang tulismu, di mana aku dapat mengenalmu secara sembunyi-sembunyi.
 
Kukira, aku suka padamu karena kau menulis. Sebagai lelaki pemendam yang kikuk kala berhadapan dengan lawan jenis, maka lewat tulisanlah kita dapat berkomunikasi, atau tepatnya, aku mengomunikasikanmu. Tapi menarikmu tak sebatas soal aksara. Itu hanya caraku menyukaimu, sebab belum tentu aku menyukai seorang penulis jika itu bukan kau. Dan juga, belum tentu aku menyukai sebuah tulisan jika itu bukan tulisanmu.

Tentang dirimu, tentu saja cantik. Tak usah diperinci dengan penggambaran komponen tubuhmu satu per satu. Yang pasti, segala kata yang tak sanggup menggambarkan makna kesempurnaan seorang perempuan, pantas dilekatkan padamu, sebab cantikmu bahkan melampaui makna kata sempurna. Dan paripurnalah cantikmu, sebab kau cerdas dan pekerja keras. Paling tidak, itu tampak dari kegemaranmu membaca buku dan menyibukkan diri sebagai pengurus organisasi mahasiswa.

Tentu saja tulisanmu di kanal blog, begitu menarik. Sangat, malah. Kau memiliki bakat menjadi seorang penulis besar, meski tak menulis sesering yang kuharapkan. Kau menulis dengan tata kata yang baik dan benar. Menyajikan cerita dengan alur yang begitu mengalir. Hingga, setiap kali selesai membaca tulisanmu, aku kadang berharap kau menulisnya lebih panjang lagi, sampai aku terhanyut di samudera ceritamu yang tak bertepi, tenggelam, selamanya. 

Atas kekagumanku padamu, beberapa kali sudah aku menulis tentangmu. Menulis cerita tentang seorang penulis cerita. Aku tak mengingat tepatnya berapa kali. Tapi bisa dipastikan, kau hidup dalam semua cerita gubahanku. Entah sebagai tokoh utama, pemeran pembantu, atau menjadi motivasiku dalam menulis. Dan jelas saja, kau tertulis dengan banyak nama, bahkan kadang-kadang tanpa nama. 

Jika kau bertanya mengapa aku tetap menulis di blog ini, di sela-sela aku mengabaikan hal-hal besar dalam hidup, maka alasan adalah kau. Paling tidak, aku berhasrat bisa menyamai kelihaianmu, atau bahkan mengatasimu dalam soal menulis, suatu saat nanti. Itu karena aku seorang lelaki, dan butuh menjaga wibawa, meninggikan harga diri, kalau-kalau kita berkenalan di dunia nyata, kelak. Dan tentu saja, aku tak ingin kelihatan bodoh dan tak bisa mengimbangi kelihaianmu soal tulis-menulis.

Untuk memahami karaktermu, sebagai bekal menghadirkanmu dalam cerita-cerita, maka kutiliklah cerita yang kau tuliskan di blog pribadimu. Aku yakin, kau mencerminkan dirimu di sana. Entah dengan mengisahkan kehidupanmu secara polos, atau sekadar mengungkapkan rasa dan pandanganmu soal apa pun dengan menggunakan tameng fiksi. Dan belakangan, aku merasa semakin mengenalmu setelah aku membaca sebagian besar cerita gubahanmu itu, hingga aku merasa diri, pantas dinobatkan sebagai pembaca terbaik blog pribadimu.

Tapi semakin jauh aku mengenalmu di ruang cerita itu, semakin galau pula kurasakan. Setelah kutilik kisah-kisahmu di tahun-tahun yang lalu, kusaksikan juga, kau pernah terjebak dalam kisah kekanak-kanakan dengan seorang yang lain, dalam waktu yang panjang. Tentu saja, aku cemburu. Dan aku tak bisa menghindar dari kelukaan itu, sebab aku jatuh hati padamu terlalu dalam, sebelum aku tahu alur cintamu di kehidupan nyata. Sampai akhirnya aku sadar satu hal, bahwa kau berbeda dari yang kubayangkan. Kau tak akan pernah menjadi milikku seutuhnya.

Perlahan-lahan, aku berusaha merangkak ke posisi normal. Mendaki dari titik terdalam lembah cintamu, tempatku mendarat setelah dijatuhkan cinta. Setidaknya, aku mencoba untuk tidak lagi menambah kesan-kesan kekagumanku padamu. Berhenti membaca ulang tulisan-tulisanmu yang terunggah di awal-awal pembentukan blogmu, sebab itu akan membuatku semakin sakit. Termasuk juga, aku berhenti membaca unggahan barumu, sebab itu kadang membuatku merasa-rasa diri berada dalam cerita, dan aku senang. Aku ingin mengabaikanmu, entah untuk hal yang menyakitkan atau menyenangkan.

Beruntunglah, sebab soal mengenalmu, tak selamanya buruk bagiku. Setidaknya, karena kaulah, aku mengenal sesosok wanita yang menjadi dambaanku sesungguhnya. Kau bisa menyebut Adinda. Sosok yang kukenal sebelum aku menemukan ruang celotehmu, sampai ketika aku membaca beberapa unggahan ceritamu yang baru-baru. Dia hadir, karena kehadiranmu. Dan karena itu, aku sempat jatuh hati padanya, sebagaimana aku jatuh hati padamu, dalam satu waktu yang sama.

Untuk Adinda, telah juga aku menulis banyak cerita tentangnya, sebanyak yang aku tulis tentangmu. Dua bulan lalu, aku bahkan mengisahkan sesi perjumpaan dengannya, di mana kau juga terkisahkan di sana. Satu sesi yang belum bisa dikategorikan sebagai sesi perkenalan, sebab kami tak saling bersalaman, berbalas senyum, dan berbagi identitas dengan kata-kata bersuara. Hingga, yang terjadi berikutnya adalah sesi pengenalan sepihak, yang kulakukan dengan menguntit akun media soaialnya, yang telah tertaut dengan akun media sosialku.

Kini, hiduplah Adinda di dalam kehidupanku, di kala kupenggal sepanjang usiamu, di antara masa lalu dan masa depan. Hiduplah Adinda sebagai masa depanku, meski kau tetap turut, tentu saja, tanpa membawa masa lalumu yang kubenci. Aku mengingatnya, sebagaimana aku mengingatmu untuk masa depan. Aku mencintainya, bersamaan dengan aku mencintaimu tanpa masa lalu. Sebab yang kuinginkan adalah masa depan yang indah, yang ada pada diri Adinda, bukan pada kau yang berkubang dengan masa lalu yang abadi.

Adinda selalu hadir di dalam diriku, seperti yang aku mau. Abadi dan berkembang biak dalam benakku. Menjadi pelakon di dalam khayalku kala mentari berpijar, lalu merajai mimpiku kala siang berganti malam. Tak pernah kulewatkan hari tanpa kehadirannya. Aku selalu memeluknya di jiwaku, meski pada saat yang sama, raganya tak akan bisa kuindrai. Dia tak akan pernah kulepaskan, meski kau terus hadir menghantui, bersama cerita-cerita masa lalumu.

Semenjak saat ini, kutekadkan untuk menulis kisah tak berkesudahan tentang aku dan Adinda dalam dimensi masa depan. Aku akan menulis cerita-cerita fiksi tentang perkenalan kami yang barangkali berlangsung di toko buku, sesi kedekatan kami yang terisi perbincangan soal buku-buku, sesi pengucapan sumpah cintaku yang bermahar buku-buku, kehidupan keluarga kecil kami yang gemar membaca buku, hingga kami yang merampungkan buku tentang kisah kami berdua. Semua tentang buku, sebab ia pencinta aksara yang gemar membaca dan menulis, sebagaimana kau.

Dan kuharap, kelak, ketika kisahku dan dia bertumpuk-tumpuk, bahkan sempurna dalam novel berseri, kau akan cemburu setengah mati, kemudian meracau padaku:

“Apa semudah itu kau menyerah, sampai tak lagi menulis kisah tentangku?” tanyamu dengan nada tinggi. Menangis. Putus harapan.

Aku pun melangkah mundur. Mengambil jarak darimu. “Jangan mendekat! Jangan menyentuhku!”

Matamu pun berkaca-kaca, meredam sedih dan merasa terhina. “Apa kurangnya aku bagimu?”

Lekas aku berpaling darimu. Aku tak sudi menatap matamu yang memancarkan cerita kelam, bak jendela masa lalu. “Jangan salahkan aku! Salahkan dirimu sendiri!”

Kau mencoba mendekatiku. Mencoba memelukku beserta kenanganmu yang kelam. 

Aku terus menghindar.

“Ada apa dengan diriku?” tanyamu. Tampak kebingungan. “Apa yang kau takutkanku?”

“Kau bukan dirimu yang kuinginkan,” jelasku, seketika. “Dan aku takut, jika kita bersama, kau malah membuat masa depanku menyedihkan.”

Kau jadi kesal. “Bagaimana kau begitu jahat menghakimiku? Bagaimana kau bisa menghukumi kalau masa depanku tak akan bahagia bersamamu?”

Kujawab kau dari kejauhan, “Bertanya-tanyalah pada dirimu sendiri, mungkinkah kau mencintai seseorang di masa lalu, sambil mencintai seorang di masa depan? Tidakkah itu hal yang mustahil?”

Seketika mulutmu tercekat. Terbungkam. Tangismu menjadi lagi.

Dan entah kenapa, aku iba padamu. 

“Lalu, yakinkah kau dengan kebahagiaan masa depanmu bersama Adinda?” tanyamu lagi, dengan emosi yang tenang dan suara yang merendah. “Tak adakah jalan untukku agar bisa hidup bersamamu?”

Aku menggeleng. Melangkah, mendekat padamu. “Kau serupa dengannya, kecuali bahwa kau masih menyimpan kenangan cinta di masa lalumu.”

Kau menyergah, “Lalu apa yang kau inginkan?”

“Aku ingin kau menjadi cinta masa depanku, tanpa membawa cinta masa lalumu,” jawabku.

Kau mengangguk penuh harapan. “Aku sanggup!”

Seketika, aku memelukmu. Dan tepat di saat itulah, Adinda mati, terkubur dalam dirimu yang baru, untuk masa depanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar