Aku
jatuh hati padamu, sebab kau berbeda dengan wanita yang lain. Kau lebih suka
membeli buku daripada barang bermerek untuk dipamer. Kau memilih sibuk dengan
kegiatan kemanusiaan, literasi, atau organisasi kemahasiswaan, ketimbang
jalan-jalan di pusat perbelanjaan. Paling tidak, begitulah yang kuketahui dari media
sosial, di blog pribadimu, ruang tulismu, di mana aku dapat mengenalmu secara
sembunyi-sembunyi.
Kukira,
aku suka padamu karena kau menulis. Sebagai lelaki pemendam yang kikuk kala
berhadapan dengan lawan jenis, maka lewat tulisanlah kita dapat berkomunikasi,
atau tepatnya, aku mengomunikasikanmu. Tapi menarikmu tak sebatas soal aksara.
Itu hanya caraku menyukaimu, sebab belum tentu aku menyukai seorang penulis
jika itu bukan kau. Dan juga, belum tentu aku menyukai sebuah tulisan jika itu
bukan tulisanmu.
Tentang
dirimu, tentu saja cantik. Tak usah diperinci dengan penggambaran komponen
tubuhmu satu per satu. Yang pasti, segala kata yang tak sanggup menggambarkan
makna kesempurnaan seorang perempuan, pantas dilekatkan padamu, sebab cantikmu
bahkan melampaui makna kata sempurna. Dan paripurnalah cantikmu, sebab kau
cerdas dan pekerja keras. Paling tidak, itu tampak dari kegemaranmu membaca
buku dan menyibukkan diri sebagai pengurus organisasi mahasiswa.
Tentu
saja tulisanmu di kanal blog, begitu menarik. Sangat, malah. Kau memiliki bakat
menjadi seorang penulis besar, meski tak menulis sesering yang kuharapkan. Kau menulis
dengan tata kata yang baik dan benar. Menyajikan cerita dengan alur yang begitu
mengalir. Hingga, setiap kali selesai membaca tulisanmu, aku kadang berharap
kau menulisnya lebih panjang lagi, sampai aku terhanyut di samudera ceritamu
yang tak bertepi, tenggelam, selamanya.
Atas
kekagumanku padamu, beberapa kali sudah aku menulis tentangmu. Menulis cerita
tentang seorang penulis cerita. Aku tak mengingat tepatnya berapa kali. Tapi
bisa dipastikan, kau hidup dalam semua cerita gubahanku. Entah sebagai tokoh
utama, pemeran pembantu, atau menjadi motivasiku dalam menulis. Dan jelas saja,
kau tertulis dengan banyak nama, bahkan kadang-kadang tanpa nama.
Jika
kau bertanya mengapa aku tetap menulis di blog ini, di sela-sela aku
mengabaikan hal-hal besar dalam hidup, maka alasan adalah kau. Paling tidak,
aku berhasrat bisa menyamai kelihaianmu, atau bahkan mengatasimu dalam soal menulis,
suatu saat nanti. Itu karena aku seorang lelaki, dan butuh menjaga wibawa,
meninggikan harga diri, kalau-kalau kita berkenalan di dunia nyata, kelak. Dan
tentu saja, aku tak ingin kelihatan bodoh dan tak bisa mengimbangi kelihaianmu soal
tulis-menulis.
Untuk
memahami karaktermu, sebagai bekal menghadirkanmu dalam cerita-cerita, maka
kutiliklah cerita yang kau tuliskan di blog pribadimu. Aku yakin, kau
mencerminkan dirimu di sana. Entah dengan mengisahkan kehidupanmu secara polos,
atau sekadar mengungkapkan rasa dan pandanganmu soal apa pun dengan menggunakan
tameng fiksi. Dan belakangan, aku merasa semakin mengenalmu setelah aku membaca
sebagian besar cerita gubahanmu itu, hingga aku merasa diri, pantas dinobatkan
sebagai pembaca terbaik blog pribadimu.
Tapi
semakin jauh aku mengenalmu di ruang cerita itu, semakin galau pula kurasakan.
Setelah kutilik kisah-kisahmu di tahun-tahun yang lalu, kusaksikan juga, kau
pernah terjebak dalam kisah kekanak-kanakan dengan seorang yang lain, dalam
waktu yang panjang. Tentu saja, aku cemburu. Dan aku tak bisa menghindar dari
kelukaan itu, sebab aku jatuh hati padamu terlalu dalam, sebelum aku tahu alur
cintamu di kehidupan nyata. Sampai akhirnya aku sadar satu hal, bahwa kau
berbeda dari yang kubayangkan. Kau tak akan pernah menjadi milikku seutuhnya.
Perlahan-lahan,
aku berusaha merangkak ke posisi normal. Mendaki dari titik terdalam lembah
cintamu, tempatku mendarat setelah dijatuhkan cinta. Setidaknya, aku mencoba
untuk tidak lagi menambah kesan-kesan kekagumanku padamu. Berhenti membaca ulang
tulisan-tulisanmu yang terunggah di awal-awal pembentukan blogmu, sebab itu
akan membuatku semakin sakit. Termasuk juga, aku berhenti membaca unggahan barumu,
sebab itu kadang membuatku merasa-rasa diri berada dalam cerita, dan aku senang.
Aku ingin mengabaikanmu, entah untuk hal yang menyakitkan atau menyenangkan.
Beruntunglah,
sebab soal mengenalmu, tak selamanya buruk bagiku. Setidaknya, karena kaulah,
aku mengenal sesosok wanita yang menjadi dambaanku sesungguhnya. Kau bisa menyebut
Adinda. Sosok yang kukenal sebelum aku menemukan ruang celotehmu, sampai ketika
aku membaca beberapa unggahan ceritamu yang baru-baru. Dia hadir, karena
kehadiranmu. Dan karena itu, aku sempat jatuh hati padanya, sebagaimana aku
jatuh hati padamu, dalam satu waktu yang sama.
Untuk
Adinda, telah juga aku menulis banyak cerita tentangnya, sebanyak yang aku tulis
tentangmu. Dua bulan lalu, aku bahkan mengisahkan sesi perjumpaan dengannya, di
mana kau juga terkisahkan di sana. Satu sesi yang belum bisa dikategorikan
sebagai sesi perkenalan, sebab kami tak saling bersalaman, berbalas senyum, dan
berbagi identitas dengan kata-kata bersuara. Hingga, yang terjadi berikutnya
adalah sesi pengenalan sepihak, yang kulakukan dengan menguntit akun media
soaialnya, yang telah tertaut dengan akun media sosialku.
Kini,
hiduplah Adinda di dalam kehidupanku, di kala kupenggal sepanjang usiamu, di
antara masa lalu dan masa depan. Hiduplah Adinda sebagai masa depanku, meski
kau tetap turut, tentu saja, tanpa membawa masa lalumu yang kubenci. Aku
mengingatnya, sebagaimana aku mengingatmu untuk masa depan. Aku mencintainya,
bersamaan dengan aku mencintaimu tanpa masa lalu. Sebab yang kuinginkan adalah
masa depan yang indah, yang ada pada diri Adinda, bukan pada kau yang berkubang
dengan masa lalu yang abadi.
Adinda
selalu hadir di dalam diriku, seperti yang aku mau. Abadi dan berkembang biak
dalam benakku. Menjadi pelakon di dalam khayalku kala mentari berpijar, lalu
merajai mimpiku kala siang berganti malam. Tak pernah kulewatkan hari tanpa
kehadirannya. Aku selalu memeluknya di jiwaku, meski pada saat yang sama,
raganya tak akan bisa kuindrai. Dia tak akan pernah kulepaskan, meski kau terus
hadir menghantui, bersama cerita-cerita masa lalumu.
Semenjak
saat ini, kutekadkan untuk menulis kisah tak berkesudahan tentang aku dan
Adinda dalam dimensi masa depan. Aku akan menulis cerita-cerita fiksi tentang
perkenalan kami yang barangkali berlangsung di toko buku, sesi kedekatan kami yang
terisi perbincangan soal buku-buku, sesi pengucapan sumpah cintaku yang
bermahar buku-buku, kehidupan keluarga kecil kami yang gemar membaca buku, hingga
kami yang merampungkan buku tentang kisah kami berdua. Semua tentang buku,
sebab ia pencinta aksara yang gemar membaca dan menulis, sebagaimana kau.
Dan
kuharap, kelak, ketika kisahku dan dia bertumpuk-tumpuk, bahkan sempurna dalam
novel berseri, kau akan cemburu setengah mati, kemudian meracau padaku:
“Apa
semudah itu kau menyerah, sampai tak lagi menulis kisah tentangku?” tanyamu
dengan nada tinggi. Menangis. Putus harapan.
Aku
pun melangkah mundur. Mengambil jarak darimu. “Jangan mendekat! Jangan
menyentuhku!”
Matamu
pun berkaca-kaca, meredam sedih dan merasa terhina. “Apa kurangnya aku bagimu?”
Lekas
aku berpaling darimu. Aku tak sudi menatap matamu yang memancarkan cerita
kelam, bak jendela masa lalu. “Jangan salahkan aku! Salahkan dirimu sendiri!”
Kau
mencoba mendekatiku. Mencoba memelukku beserta kenanganmu yang kelam.
Aku
terus menghindar.
“Ada
apa dengan diriku?” tanyamu. Tampak kebingungan. “Apa yang kau takutkanku?”
“Kau
bukan dirimu yang kuinginkan,” jelasku, seketika. “Dan aku takut, jika kita
bersama, kau malah membuat masa depanku menyedihkan.”
Kau
jadi kesal. “Bagaimana kau begitu jahat menghakimiku? Bagaimana kau bisa
menghukumi kalau masa depanku tak akan bahagia bersamamu?”
Kujawab
kau dari kejauhan, “Bertanya-tanyalah pada dirimu sendiri, mungkinkah kau
mencintai seseorang di masa lalu, sambil mencintai seorang di masa depan?
Tidakkah itu hal yang mustahil?”
Seketika
mulutmu tercekat. Terbungkam. Tangismu menjadi lagi.
Dan
entah kenapa, aku iba padamu.
“Lalu,
yakinkah kau dengan kebahagiaan masa depanmu bersama Adinda?” tanyamu lagi, dengan
emosi yang tenang dan suara yang merendah. “Tak adakah jalan untukku agar bisa
hidup bersamamu?”
Aku
menggeleng. Melangkah, mendekat padamu. “Kau serupa dengannya, kecuali bahwa
kau masih menyimpan kenangan cinta di masa lalumu.”
Kau
menyergah, “Lalu apa yang kau inginkan?”
“Aku
ingin kau menjadi cinta masa depanku, tanpa membawa cinta masa lalumu,”
jawabku.
Kau
mengangguk penuh harapan. “Aku sanggup!”
Seketika,
aku memelukmu. Dan tepat di saat itulah, Adinda mati, terkubur dalam dirimu yang
baru, untuk masa depanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar