Senin, 15 Januari 2018

Seorang Anak yang Membunuh Ibunya Sejak Lahir

Tak semua dalam kendali sadar. Ada yang terlahir tertimpa cela, hingga mati membawa rasa bersalah. Hidup beserta kutukan yang hanya bisa diterima, sampai tak ada guna bertanya mengapa. Hanya sebuah ketidakberdayaan, yang lalu disangka tindakan aktif dan sengaja, meski itu berlangsung tanpa akal sehat sekali pun. Satu takdir kehidupan yang terjadi tanpa hak untuk memilih jalan selainnya. 
 
Hidup Jurgan dilingkupi misteri yang sama. Ia mengembuskan napas pertama, sembari membawa petaka. Ia terlahir ketika seseorang pergi meninggalkan dunia, selamanya. Terlahir, sembari membunuh ibunya sendiri. Satu kejadian tragis yang sebenarnya, tak ia sadari. Terjadi begitu saja, tanpa daya untuk melawan. Hingga ia harus menerima kenyataan, bahwa kelahirannya, adalah sebab ibunya meninggal. 

Terlahir sebagai pembunuh. Begitulah Jurgan menerima takdir. Kenyataan yang membuat ia hidup dalam keterasingan. Merasa bersalah dan terus dipersalahkan. Kala tak sempat mengecap kasih dari sang ibu, ia malah berkalang nestapa karena dikucilkan. Ibunya pergi, tanpa sekali pun memberinya belaian. Nahas, sang ayah yang begitu sedih ditinggal pergi istri tercinta, malah turut mempersalahkan dan membenci dirinya sejak lahir, sepanjang waktu.

Sampai akhirnya, terjadi satu peristiwa yang membuat Jurgan turut mengutuk dirinya sendiri. Di satu pagi yang tenang, saat umurnya genap 12 tahun, ia terbangun dalam suasana hening, tanpa suara gaduh dari tingkah emosional sang ayah. Tak ada gertakan memerintah, meminta sarapan dan segala macam. Hingga, ia menyaksikan ayahnya terkulai lemas, di samping belati yang memerah. Berbaring tak berdaya, diikelilingi darah yang mulai mengental dari arah lehernya. 

Seketika, setelah sang ayah mengakhiri hidupnya sendiri, trauma mendalam, bercokol di memori Jurgan. Ia jadi takut soal apa pun perihal darah. Bahkan untuk sekadar menepuk nyamuk yang hinggap di tubuhnya, ia tak mau, sebab takut melihat darah yang melepek. Tampakan darah bisa memunculkan rasa mual dan muak di benaknya, sebab ia akan terbayang dirinya sendiri yang terbalut darah pembunuhan sejak lahir, hingga ia pun teringat lagi, telah menjadi sebab ayahnya bersimbah darah, mati, di waktu kemudian.

Jurgan merasa ada roh kehausan darah yang menyertai hidupnya. Bernafsu seperti iblis yang ingin manusia saling menumpahkan darah di muka bumi. Rasa-rasanya, bau anyir darah, menyesaki ruang kehidupannya setiap saat. Darah sebagai pertanda kematian itu, seakan membalut jiwa dan raganya. Menyelubungi dirinya begitu erat, hingga ia tak bisa lepas dari bayang-bayang pembunuhan, sebagaimana kenyataan, bahwa ia memang terlahir berlumuran darah, bersamaan dengan kematian ibunya.

Nuansa kelam kehidupan Jurgan, akhirnya membuat ia menjadi seorang lelaki yang tak bernyali. Ia enggan melanglang ke mana-mana, sebab takut orang mengindrainya, dan musibah kematian terjadi lagi. Ia kukuh mengurung diri, sebab tak ingin lagi ada darah dan kematian akibat kehadirannya di bumi. Ia tak ingin banyak tingkah, hingga celaka berdarah menimpa dirinya atau orang lain. Bahkan, ia tak ingin menghadiri upacara penyembelihan hewan, sebab tampakan darah akan membuat ia bernapas setengah mati.

Dan, terjadilah kegemparan di desa. Jurgan yang fobia darah selama bertahun-tahun, berubah seketika. Di usia 22 tahun, ia malah menjadi seorang lelaki yang menikmati prosesi penyembelihan hewan yang dipesan di rumah jagal, tempat ia bekerja sejak tiga minggu lalu. Bahkan ia jadi sangat telaten menguliti dan mencincang hewan dengan pisau miliknya, sebuah pisau yang tajam-mengkilap. Dan warga, meskipun turut bersyukur atas kemampuan Jurgan mengendalikan diri, tetap dilanda keheranan.

Tak ada yang tahu pasti, apa gerangan yang membuat Jurgan berani bersentuhan dengan darah. Para warga hanya menduga, Jurgan telah menerima keadaan dirinya sebagai manusia biasa, yang tak semestinya takut pada darah. Kenyataan bahwa ibu dan ayahnya meninggal atas dirinya, diduga warga, telah mampu ia kompromikan. Begitu pun dengan kepergian istrinya yang tengah mengandung, yang menghilang entah ke mana, sejak sebulan lalu, diduga warga telah memberinya pemahaman bahwa darah dan kepergian, tak mesti bersangkut-paut.

Sejak Jurgan berani berurusan dengan darah, Senda, seorang duda, tetangganya sendiri di tepi bukit terpencil, menjadikannya partner terbaik dalam berkerja. Lelaki yang sering bertindak selaku penjagal hewan itu, jelas merasa terbantu atas kehadiran Jurgan. Pesanan daging ternak di rumah jagal milik Pak Jur, tempat mereka bekerja, terpenuhi tepat waktu. Semua karena Jurgan begitu telaten melaksanakan tugasnya. Urusan menguliti, memotong, dan mencincang, ia tunai dengan baik. 

Dan saat mereka begitu dekat, di waktu petang, tanpa dikira Senda yang baru saja pulang dari pasar, Jurgan datang menghampirinya di persimpangan jalan dengan napas terengah-engah. Ia lalu menyampaikan kabar buruk.

“Jangan pulang ke rumahmu!” kata Jurgan, dengan embusan napas yang memburu. “Warga sedang berkumpul di sana. Mereka sedang mencarimu.”

Senda sedikit menengadah. Matanya tertuju pada asap yang membumbung ke langit, tepat di sekitar lokasi rumahnya berada. “Apa yang terjadi?”

Jurgan menarik napas dalam-dalam. Tampak mencoba menenangkan diri. “Pak Jur ditemukan warga dalam keadaan meninggal di belakang rumah jagal.”

Jelas saja, Senda kaget. “Lalu?”

“Mereka menduga, kau adalah pelakunya,” tutur Jurgan seketika, lalu mengusap-usap dadanya. “Mereka menemukan pisau andalanmu, tergeletak di samping Pak Jur.”

Mata Senda membelalak. Raut wajahnya suram. Tampak ketakutan. “Bagaimana bisa?”

“Aku juga tak tahu,” kata Jurgan, sembari menampakkan raut kebingungan. “Lebih baik, kau menyelamatkan diri,” sambungnya lagi, sambil menyepah lengan Senda. “Ayo cepat, kita bergegas ke bukit. Di sana, ada balai kecil, tepat di lahan milik kakekku. Ada baiknya kau berdiam diri di sana, sebelum keadaan menjadi jelas dan tenang.”

Senda pun menuruti saran Jurgan. Tanpa banyak cakap, ia mengikuti ke mana pun Jurgan menuju. Mereka lalu melangkah ke belakang perkampungan, sampai menghilang di balik semak-semak. Menyeberangi sungai, hingga melewati belukar, juga pepohonan yang menjulang tinggi. Tak peduli perih tergores duri, kayu, atau batu, mereka terus melangkah, sekencang-kencangnya. Bergegas, demi lolos dari kejaran warga, sebagaimana yang tergambar dalam khayalnya. 

Lebih dari sejam kemudian, mereka berdua pun tiba di puncak bukit yang lengang. Tak ada apa-apa, kecuali bebatuan, pepohonan, juga binatang dengan kesibukan masing-masing. Mereka berdua kemudian menyeret raga yang kehabisan daya menuju tepi bukit, tepatnya di sebuah balai kecil beralaskan tanah. Untuk beberapa saat, mereka pun mengistirahatkan diri di bawah teduhan pohon kemiri yang berjajar dan menjulang. Meresapi tiupan angin yang menghapus peluh, sembari meneguk air hujan yang tertadah pada sebuah ember.

”Apa yang menjadi dugaanmu, sampai warga tiba-tiba menuduhku sebagai pelaku?” tanya Senda, setelah ia bosan dalam keheningan, sedangkan Jurgan hanya diam sedari tadi, sebagaimana wataknya yang memang tak banyak cakap, kecuali ada persoalan penting.

Dengan raut wajah yang datar-datar saja, seperti biasa, Jurgan mengutarakan pendapatnya. “Karena pisau andalanmu ditemukan di samping jasad Pak Jur.”

“Sial!” kesal Senda. “Bukankah sebaiknya mereka menemui dan meminta klarifikasi kepadaku terlebih dahulu? Kenapa hanya karena persoalan pisau itu, mereka seketika mencapku sebagai pelaku?”

Jurgan segera menimpali. “Aku kira, istri Pak Jur turut mempersangkakan dirimu. Ia tahu kalau kau beberapa kali protes soal imbalan kerja. Mungkin ia menduga, kau tega membunuh Pak Jur karena kau tak terima atas besaran gaji selama ini, dan warga mengamini dugaan itu.” 

Senda menggeleng-geleng saja. Tampak tak terima. Kekalutan, jelas tergambar di wajahnya. Ia lalu menarik napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan emosi. Tak berselang lama, ia bertanya, “Kau percaya padaku kan?” 

Lagi-lagi, dengan sikap yang biasa, Jurgan mengangguk, tanpa menoleh pada Senda.

Anggukan Jurgan, sedikit menenangkan perasaan Senda. Dengan perasaan aman, ia lalu membaringkan badan secara perlahan, kemudian menatap langit yang mulai kelabu.

Jurgan pun berdiri. Beranjak ke arah barat. Menuju pada sebuah drum, tempat air hujan tertampung. Ia lalu menggosok-gosok pisau kesayangannya pada sebuah batu asah. Sesekali, ia meraba sisi tajam pisau yang tampak mengkilap, kemudian digosoknya lagi. Begitu terus. Sampai nanti, ia berhenti kala memperoleh hasil terbaik.

Sambil terus mengasah pisaunya, pikiran Jurgan terbawa ke masa lalu. Ia teringat lagi pada satu obrolan dengan istrinya.

“Pak, aku hamil,” kata Sumi, istrinya.

Bukannya merasa senang, raut sedih berbalut amarah, malah tergambar di wajah Jurgan. “Apa? Kau hamil?”

Sumi mengangguk, takut. “Aku ingin seorang anak, Pak.”

Jurgan menyanggah seketika. “Perempuan bodoh! Berapa kali aku harus bilang, kau tak boleh hamil!” gertaknya, seusai melayangkan tamparan keras di wajah sang istri. 

Sumi tertunduk. Menangis. Kehabisan kata-kata.

Seketika, rasa kasihan, menjangkiti perasaan Jurgan. “Jangan menangis. Aku mohon…!”

Sumi berusaha meredakan tangisnya. Ia jelas tak ingin suaminya semakin murka.

Tapi tetap juga, emosi Jurgan, meninggi secara perlahan. Sampai terdengarlah erangan kerasnya di langit-langit kamar, sebelum ia kembali menuturkan perasaan kesal. “Aku tak menggaulimu! Tak akan pernah! Kau tahu kenapa? Karena aku tak ingin kau hamil! Semua itu karena aku menyayangimu! Aku tak ingin kau pergi meninggalkanku! Kau mengerti?” 

Sumi ketakutan. Tak kuasa bersuara. Hanya mengangguk.

“Kalau tahu, kenapa kau membangkang!” bentak Jurgan lagi, sembari meronta-ronta sendiri. Beberapa perabot rumah pun, dilemparnya ke sembarang tempat. Hingga akhirnya, ia bertanya dengan amarah terpendam, “Siapa yang telah mengantarkan bakal bayi terkutuk itu ke dalam rahimmu?”

Sumi bungkam.

Kesal, Senda pun melayangkan gertakan, tamparan, hingga pukulan bertubi-tubi kepada sang istri.

Dalam ketidakberdayaannya, Sumi lalu menyebutkan sebuah nama dengan tutur gagu. Sebuah nama yang jelas tak asing di telinga suaminya.

Dan seketika, sembari terbayang wajah seseorang yang telah mengantarkan istrinya pada gerbang kematian, Jurgan lalu menghujamkan pisau, tepat di tempat persemayaman janin yang dianggapnya terkutuk, di rahim istrinya, berulang kali. “Aku mencintaimu! Aku tak butuh siapa pun selain dirimu! Aku tak menginginkan seorang anak yang akan terlahir sebagai pembunuh dan membunuhmu! Aku tak ingin!” Ia lalu mendekap istrinya yang jatuh terkulai, bersimbang darah. “Tapi kenapa kau melakukannya!” murka Senda.

Tanpa sempat berkata-kata lagi, Sumi memejamkan mata untuk selamanya. Ia terbunuh, bersama bakal bayinya sendiri. Dan kini, tanpa diketahui siapa-siapa, jasadnya telah terurai di jurang lembah yang sepi. 

Bersama perpaduan amarah dan kesedihan, Jurgan pun tersadar dari menungannya.

Dan di sisi lain, Senda yang nyaris terlelap, bangkit dari pembaringan. Ia lalu menatap ke langit sore, kemudian menoleh ke segala arah. Mencar-cari keberadaan Jurgan. Hingga matanya tertuju ke sebelah utara, pada sebuah selendang yang menggantung di rentangan tali. Dengan penuh rasa penasaran, ia melangkah menuju kain berwarna biru itu. Kain pembalut badan yang selama ini terlipat rapi di dalam lemari kamarnya. Satu benda milik seorang perempuan, temannya memadu kasih secara sembunyi-sembunyi.

Tepat di langkah terakhir, kala ia hendak mengambil selendang kenangannya, tiba-tiba, ia menapaki sebuah benda tajam, sebuah besi pipih, yang seketika menembus punggung kakinya. Dan tak cukup sedetik, selingkaran besi, memborgol pergelangan kakinya, erat, sampai dagingnya terkelupas hingga ke tulang. Pelan-pelan, ia berhasil menarik kakinya dari tusukan besi yang tertanam. Lalu, sembari meredam rasa sakit yang tak terkira, ia mencoba lepas dari cengkraman besi. Tapi sia-sia. Borgol itu, tersambung dengan rantai logam yang terikat pada satu tiang besi. 

Sambil meringis kesakitan, dengan posisi tubuh yang tengkurap di tanah, Senda pun melihat kenyataan atas kepicikan yang telah menyeretnya sampai ke puncak bukit. Di sela-sela pepohonan, terlihat juga olehnya, di tempat yang jauh, di bawah lembah, di kaki bukit, sebuah atap rumah mengkilap terang. Dan tanpa keraguan sedikit pun, ia yakin bahwa rumahnya masih berdiri kokoh. Sedangkan rumah Jurgan yang semi permanen, telah menghilang di bawah bumbungan asap yang berarak ke langit.

Tak lama berselang, Senda mendengar gemerisik dedaunan kering, susul-menyusul. Semakin terdengar, detik demi detik. Dan kala ia menoleh, dilihatnya Jurgan berdiri tepat di sisi belakang. Berdiri dengan raut wajah yang datar, dengan tangan kanan yang menggenggam sebilah pisau yang tajam-mengkilap.

Setelah mengulur waktu beberapa detik, saat langit nyaris gelap, Jurgan pun menuntaskan kehendaknya yang terakhir. Kehendak yang ditandaskannya dengan sebuah pisau kesayangan, yang telah menyelamatkan istrinya dari kelahiran jabang bayi yang dianggapnya terkutuk. Kehendak yang dilakoninya dengan senang hati, sebagaimana saat ia mengurusi seekor sapi sembelihan. Dan semua itu dilakukannya dengan perlahan, setahap demi setahap. 

Hingga akhirnya, berpencarlah jasad Senda di satu jurang yang dalam, menyusul bakal bayinya yang masih tertanam dalam perut sang ibu. Dan dalam kekalutan hati yang sulit diterka, Jurgan pun melayangkan tubuhnya, jatuh ke dasar jurang yang sama, yang berbatu, menyusul Senda, seorang lelaki yang ia cap telah mengantarkan istrinya pada kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar