Senin, 15 Januari 2018

Nada Cokelat

Musik adalah sesuatu yang aku nikmati, namun tak pernah bisa kukuasai. Aku telah mendengar banyak nasihat dan kiat untuk menjadi seorang musisi, namun tak ada yang benar-benar jitu. Dan dalam waktu yang panjang, aku bahkan telah mendengarkan lagu begitu banyak. Tapi sayang, tak banyak yang bisa aku nyanyikan dengan baik, apalagi kuiringi dengan petikan gitar yang menawan dan membius. 

Tapi akhirnya, aku terus berusaha menjadi seorang pemusik. Berhasrat bisa bernyanyi dan memetik gitar dengan lihai. Dan untuk itu, aku rela membeli beberapa buku tentang teknik bermain gitar. Aku juga mengunduh beberapa video tutorial permainan gitar, khususnya untuk beberapa lagu yang kuanggap menarik. Hingga setiap saat, aku memaksa diri untuk berlatih, meski untuk menyetel gitar saja, aku belum mahir.

Semangatku mendalami musik, bukan tanpa alasan. Sebagaimana semua hal di dunia, tak ada yang terjadi tanpa alasan. Dan pasti, butuh alasan yang gila untuk melakukan hal-hal gila. Seturut itu, aku pun menasbihkan perjuanganku pada seorang wanita yang kudamba. Satu dari sekian wanita yang menegaskan padaku, bahwa hidup sebagai seorang lelaki yang tak berseni, apalagi tak punya skill bermusik, sungguh menyedihkan.

Jelas, aku tak akan berkeras menekuni musik jika saja satu wanita yang kumaksud, memiliki pandangan yang berbeda. Sial saja, sebab hatiku telah terperangkap bersama dia, seorang wanita yang gandrung pada musik, sampai mencita-citakan seorang pemusik untuk menjadi pendamping hidupnya. Dan sebagai lelaki pantang menyerah, aku terus belajar, berbekal keyakinan bahwa bakat hanyalah mitos, dan minatlah yang menentukan.

Dan kupastikan, kau tak akan menduga kalau awal dari keteguhanku belajar musik, sampai handal seperti sekarang, dipacu oleh rasa kecewa yang mendalam. Kecewa atas perasaanku yang tak bersambut padanya, sampai aku harus menikmati kesepianku sendiri, bersama gitar. Hingga benda tua itulah yang terus menghiasi hari-hariku yang panjang. Mengiringiku kala melantunkan lagu-lagi lirih, untuk merayakan kekalahanku, juga sakit hatiku.

Jika saja kau tak akan kecewa mendengar sejarah hidupku, akan kuceritakan semuanya. Akan kututurkan bahwa aku pernah jatuh hati pada seorang wanita yang telah membuat perasaanku hancur. Dan mungkin kecewamu akan bertambah kala mengetahui bahwa kehebatan permainan gitarku yang kau puji-puji, juga tercapai karenanya. Untuk itu, fakta sejarah bahwa dimensi angan dan melodi gitarku, teruntuk perempuan yang lain, sepertinya tak patut kau ketahui.

Satu hal yang mungkin sedikit menawar kecewamu, bahwa kisah terselubungku itu, adalah kisah kasih tak sampai. Aku tak punya kisah cinta yang nyata dengannya, kecuali dalam angan yang kurangkai sendiri. Aku tak pernah mengutarakan perasaan padanya, meski dalam dunia imaji, aku memeluknya begitu erat. Dan mungkin benar, bahwa kisah menggantung itu, akan tetap jadi penghalang bagi kisah kita, kecuali kau mampu memberiku kesan-kesan yang lebih.

Dan kuingat lagi, satu malam yang menjadi awal dari kisahku yang menggantung di dunia angan-angan bersamanya. Waktu itu, di sebuah kafe, aku bertekad mengakhiri kekalutan hatiku yang terpendam sekian lama. Kutitilah langkah untuk menyatakan perasaan padanya, berbekal sebingkis cokelat sebagai perantara, sebab pada biodata singkatnya di media sosial, ia menulis: Pencinta Cokelat.

“Aku punya hadiah untukmu,” kataku, gugup, kemudian menyodorkan sebingkis cokelat.

Jelas saja, ada raut keheranan di wajahnya. Sebagai teman dekat, pastilah ia bisa membaca sikapku yang aneh. “Untuk?” sergahnya.

Aku jadi semakin deg-degan. Tapi, aku kuasa juga berucap, “Untukmu!”

Seketika, ia menggeleng. “Aku tak suka cokelat.” 

“Bukannya kau suka cokelat?” tanyaku segera, tak habis pikir, seakan ia berbohong.

Tanpa bersuara, ia menggeleng lagi.

Dengan perasaan kecewa, kubiarkan saja cokelat itu tergeletak di antara aku dan dia.

Beberapa detik selanjutnya, alunan lagu menyesaki ruang udara. Satu lagu yang seakan menyuarakan nyaliku yang ciut, hanya terdiam dalam kebingungan, sampai tak sanggup berterus terang tentang perasaan.

Aku mencoba ungkap rasa ini
Namun ku tak sanggup
Tak mampu kuberbicara

Begitu berat untuk kusampaikan
Tak mampu kumenatapmu
Terlalu indah bagiku

Kulihat, dia tampak terkesima, saat satu lagu itu, selesai dilantunkan oleh seorang lelaki dengan bekal gitar akustik. “Ah…, aku suka!” serunya, kemudian menoleh padaku. “Kau tahu, aku suka sekali lagu ini. Dan aku telah menemukan seseorang yang bisa membawakannya dengan sempurna!” 

Melihat raut kekagumannya, seketika, membuatku ingin jadi pemusik. Paling tidak, aku bisa bernyanyi dengan iringan gitar yang kupetik sendiri. Hitung-hitung, keterampilan itu akan membuatnya terkagum padaku. Hingga, aku pun berhasrat mengetahui identitas lagu yang selesai mengalun. “Memangnya, itu lagu siapa?”

Dengan sikap protes, ia lalu mengutarakan kekecewaan, “Dasar kamu! Harusnya kau tahu lagu keren begitu. Lagunya Cokelat! Terlalu Indah!”

Seketika, aku merasa bodoh sendiri. Dan aku pun sadar, bahwa sekian lama kami berteman, aku tak bernar-benar mengenalnya.

Semenjak saat itu, aku bertekad belajar memainkan gitar sambil bernyanyi. Aku berniat untuk mengkhatamkan semua lagu Cokelat dengan iringan gitar klasik yang telah kubeli sejak lama. Aku menggelutinya dengan serius, sembari berharap, kelak, aku akan menjadi seorang lelaki yang ia kagumi.

Hingga seiring waktu, kala aku mulai mengandalkan diriku sendiri dalam persoalan bernyanyi dan bermain gitar, kusaksikanlah satu kenyataan yang sungguh menyakitkan. Kulihat, sebelum aku sempat beradu, ia telah jatuh ke dalam pelukan seorang lelaki yang pernah membuainya. Seorang lelaki yang pernah menyanyikan lagu Cokelat-Begitu Indah dengan baik, kala cokelat yang kuberikan padanya, terabaikan begitu saja.

Semua sudah terlambat.

“Nyanyikanlah sebuah lagu untukku dong...!” pintamu, manja.

Dengan angan-angan yang terbelah dua, aku pun melantunkan sebuah lagu untukmu, diiringi petikan gitarku sendiri:

Biar saja malam menggelap
Aku tak peduli
Dalam mimpi yang dingin
Aku memelukmu

Pada terang yang mengganti
Aku terus mencari
Sejauh kaki melangkah
Kita akan bertemu

“Ah…, aku suka lagu itu!” serumu. Tampak senang. “Aku boleh tahu itu lagu siapa?”

Aku pun merasa terpuji. “Terima kasih,” balasku, sembari merekahkan senyuman. “Itu lagu ciptaanku.”

Kau tampak semakin senang. “Kau menciptakannya untukku?”

Aku jadi bingung menentukan jawaban. Ingin berkata jujur, tapi tak ingin kau kecewa. Ingin menegaskan bahwa dialah satu-satunya inspirasiku, tapi tak ingin kau merasa jadi yang ke dua. Dan kepadamu, kuputuskanlah untuk tidak menyinggung atau menceritakan apa pun tentang dia. Sampai akhirnya, dengan terpaksa, aku mengangguk saja untuk tanyamu, sekadar untuk menjaga perasaanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar