Selasa, 23 Januari 2018

Hari-Hari di Bulan Januari

Dingin menusuk saat cerita ini dituliskan. Satu cerita yang terbingkai dalam hujan sendu bulan Januari. Cerita tentang kau dan seorang lelaki yang jatuh cinta kepadamu. Sosok yang hadir memisahkan kalian dengan mereka yang lain. Sebuah cerita pendek tentang kau dan dia, berdua saja, meski jalan ceritanya, ditulis hanya dengan pandangan sepihak darinya.
 
Dikisahkanlah, dia, seorang lelaki yang biasa saja, memendam perasaan yang begitu dalam kepadamu. Sudah begitu lama. Jauh sebelum kau menyadari kehadirannya di antara begitu banyak sosok yang melingkupi kehidupanmu. Jauh sebelum ingatanmu terangsang untuk merekam apa pun tentang sosoknya. Bahkan dengan sangat berlebihan, ia mengaku diri telah mencintaimu, sebelum kalian terlahir ke dunia, sejak di alam hakikat.

Dan, sejak pertama kali menatapmu di kampus, mulailah ia merasa, berada dalam proses pengingatan kembali. Entah bagaimana, pandangannya seketika tertuju pada kau yang berada di antara ratusan mahasiswa baru dengan penampilan serupa. Di satu sisi yang jauh, ia memandangimu lekat-lekat. Penuh keseganan, sampai ia lupa pada statusnya sebagai senior. Dan seiring debaran jantung, yakinlah ia, Tuhan telah menampakkan belahan jiwanya di dunia.

Pengamatan terselubung itu, jelas tak kau sadari. Apalagi pengisahan cerita kalian, memang berlangsung sepihak. Hanya dari dirinya. Tak ada sesi perkenalan yang akan membuat kau menganggap cerita itu sebagai kenangan bersama. Tapi bukan berarti bertepuk sebelah tangan. Semua kemungkinan tentang pertautan hati kalian, masih mungkin terjadi. Takdir gelap dan menegangkan itu, hanya dibatasi oleh bentangan rasa malu yang menyelubungi dirinya sendiri. 

Dalam waktu-waktu yang bergulir, ia pun semakin terseret ke dalam kubangan khayalan liar. Tak ada hari berlalu tanpa menemuimu dalam ruang imaji. Tanpa bosan, ia menguntitmu di media sosial, lalu merasa-rasa diri tersinggung atas setiap unggahanmu. Tanpa merasa hina, ia kemudian menyeretmu dalam dunia yang semu. Mengajakmu berkenalan, mengobrol, jalan-jalan, sampai memintamu jadi seorang kekasih, berlangsung terus dalam dunia imajinasinya.

Sepanjang aksi spionase itu, ia memang tak mendapatkan apa-apa, selain bahwa ia lebih mengerti tentang lelaki yang kau idam-idamkan. Semua itu ia ketahui dari bilik penampungan keluh kesahmu sehari-hari, di berbagai lini media sosial. Dan, berusahalah ia menjadi sosok lelaki yang selama ini kau cita-citakan. Ia memaksa diri membaca buku banyak-banyak, menulis cerita pendek beberapa kali, hingga berlatih bermain gitar, agar kelak, kau merasa telah menemukan pria idamanmu, kala perkenalan benar-benar berlangsung di dunia nyata.

Dan akhirnya, sampailah ia di satu momen yang sangat istimewa, hanya menurut perasaannya sendiri. Di satu hari, ia bertemu denganmu di sebuah pelataran kampus yang lengang, di bawah percikan hujan bulan Januari. Kalian berpapasan, hanya berdua, dalam suasana hening, di tengah deru hatinya yang mengguncang. Dia menatapmu sepanjang jarak, hingga kau pun balas menatapnya di jarak terdekat, sembari memicingkan mata rabunmu yang tanpa kacamata.

Cukup dengan raut wajahmu yang bersahabat di momen perpapasan itu, ia merasa tak perlu menunggu bulan Januari berlalu untuk melakukan sedikit langkah maju. Dan dengan penuh percaya diri, ia memohonkan jalinan komunikasi dua arah padamu, di sebuah platform media sosial yang bersifat sepihak. Hingga, kau pun mewujudkan harapannya, hanya dalam hitungan jam. Maka menjalarlah keakuannya, seperti jamur-jamur yang tumbuh di musim hujan.

Imbas kegilaannya pun, berlanjut. Tak ada malam yang ia lalui tanpa mengunggah bentuk perasaannya padamu, melalui status-status yang ia gubah sesastrais mungkin. Ia berharap kau mengeja alur perasaannya dengan rasa berbunga-bunga, meski kau tak harus menunjukkannya dengan memberi balasan atau tanggapan dalam bentuk apa pun. Baginya, mengutarakan perasaan di media sosial, meski tak berbalas, terhitung cukup untuk menenangkan perasaan. 

Jauh dari apa yang ia perkirakan, kau ternyata menunjukkan sikap yang sangat bersahabat di media sosial. Berberapa kali kau menanggapi status yang ia unggah, dan ia merasa, itu semacam berkah yang tak ternilai. Membuatnya merasa menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Dan hari demi hari, ia menunjukkan gejala ketidakwarasan yang berbahaya. Ada indikasi bahwa ia betah menggantung dirinya sendiri di antara ilusi dan kenyataan, sampai tak sadar jadi gila.

“Jangan terlalu merasa. Dia mungkin tak bermaksud apa-apa padamu.” Satu peringatan untuknya, setelah ia menguraikan secara detail kisah hidupnya yang serupa cerita fiksi.

Tapi dengan sikap tak peduli, ia tetap bersikukuh bahwa kau juga punya benih perasaan padanya, yang hanya butuh sekelumit kondisi untuk tumbuh jadi subur. “Apalagi yang perlu diragukan. Jelas, ia punya ketertarikan padaku!”

“Bukti nyata apa yang membuatmu yakin, bahwa ia menyukaimu. Apa kau pernah bersalaman, mengobrol, hingga menyatakan perasaan padanya? Tidak kan? Lalu, apa yang membuatmu yakin bahwa kau tak akan salah menerka?” Satu bantahan lagi, agar ia sudi berpikir jernih, dan tak memastikan apa-apa sebelum bertindak.

Mulutnya pun tercekat. Seakan-akan tak punya balasan, kecuali ia bersedia mengakui kekeliruannya, sebab telah menanggapi tanda-tanda darimu secara berlebihan.

“Rasa suka yang tak terkontrol, memang bisa membuat orang lupa diri.” Kemudian, terbersitlah satu saran terbaik, sebagaimana akan terpikirkan oleh orang waras pada umumnya. “Tidakkah sebaiknya kau mulai keluar dari dunia imajinasimu? Berhentilah sekadar menjadi pengagum! Berhentilah jadi penulis pengecut, yang hanya bisa jujur lewat kata-kata tertulis! Sudah semestinya kau menyampaikan perasaanmu secara langsung kepadanya!” 

Seketika, ia tampak kalut. Matanya menatap kosong pada layar laptop. Ia jadi bingung harus menjawab apa. Bingung membuat narasi ataupun dialog cerita selanjutnya. Bingung, setelah sadar berada dalam ketidakyakinan yang logis tentang masa depan, bersamamu. 

Di dalam kekalutan, ia pun mendiamkan cerita yang masih menggantung. Ia lalu menghempaskan badan ke sandaran kursi, menghela dan mengembuskan napas yang dalam, kemudian mengambil gitar berwarna merah yang tergeletak di sebelah kirinya. Dan untuk kisah tentang dia dan kau, satu kisah yang tak tahu akan berujung ke mana, ia pun menyanyikan lagi Gigi-11 Januari, diiringi petikan gitarnya sendiri.

Dan di bulan Januari ini, fase awal cerita sepihaknya bersamamu, berakhir setelah tanda titik terakhir, bersamaan dengan matinya aku sebagai sosok pencerita yang ia peralat hanya untuk menghindari penyebutan “aku”, orang pertama dalam cerita, sebab ia khawatir jika kau membaca jelas bahwa cerita ini bukanlah rekayasa, tentang dirinya.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar