Kamis, 28 Desember 2017

Yang Tercuri

Hujan deras turun ketika Risma sampai di pekarangan rumahnya. Hujan disertai angin kencang, bersilang-silang. Membuat ia enggan turun dari ruang kemudi mobil cepat-cepat. Takut terkena percikan air atau terpaan debu yang bisa membuat pakaian mewahnya tampak kumal. Ia menunggu saja sampai keadaan tenang, sembari mengurai pakaian dan melepas sepatunya, untuk diamankan.
 
Ketika hujan mengambil jeda, Risma segera keluar dari mobil. Menginjakkan kakinya pada lantai yang basah, kemudian berlari-lari kecil. Tetap bersikap awas, kalau-kalau ada benda yang menjegal kakinya yang halus. Tapi belum juga sampai di depan pintu, bulir hujan yang menyerong akibat tiupan angin, sempat menjilati roknya. Maka dengan perasaan kesal, ia bergegas melampaui pintu, kemudian menutupnya rapat-rapat. 

Setelah berada di ruang tamu, mata Risma sontak tertuju pada lantai yang kotor. Ada bekas kaki bercetak tanah di mana-mana. Keadaan yang membuatnya tambah suntuk. Ia pun mencari keberadaan sang anak yang mungkin telah puas bermain petak umpet tanpa batas. Sesekali ia menyahut, setengah berteriak. Tapi sia-sia. Tak ada tanda-tanda kalau sang anak akan segera datang menghampirinya. 

Jadilah Risma geram. Dengan emosi yang melunjak, ia bertekad menemukan seseorang yang harus bertanggung jawab. Ditelusurinya jejak langkah di lantai untuk segera memberi hukuman pada si pelaku. Sampai akhirnya, ia terhenti di depan lemari yang terbuka dan berantakan. Kenyataan yang membuat ia mulai curiga, bahwa ia telah kemalingan. Hingga tak berselang lama, didapatinya sejumlah uang dan perhiasan di antara pakaian, lenyap entah ke mana.

Atas harta benda yang telah raib, Risma pun dirundung kesedihan. Sungguh berat ia terbayang-bayang, bahwa di pesta pernikahan tetangga dua hari ke depan, ia akan hadir tanpa perhiasan yang memadai. Wibawa sebagai wanita berkasta, jelas akan keok. Maka disampaikannyalah kabar buruk itu kepada sang suami, sembari berharap ada langkah jitu demi mengembalikan perhiasan miliknya.

Setelah berkabar dan berkeluh kesah, Risma lalu menyeret tubuhnya ke ruang makan. Duduk menghadap ke meja makan yang menampilkan hidangan tak lengkap. Hanya ada nasi dan sayur, sisa sarapan pagi. Keadaan yang membuatnya jadi semakin lesu, hingga untuk memasak saja, ia ogah. Hanya kuasa menggoyang-goyangkan segelas air putih, meneguknya sesekali, sambil memikirkan nasibnya di pesta nanti, dua hari lagi.

Dan dari arah luar rumah, terdengarlah suara sahutan seorang perempuan. Berpikir itu sesuatu yang penting, Risma pun bergegas mengecek dengan perasaan malas. Ia kemudian mengintip di balik jendela. Sampai terlihat olehnya, seorang wanita tua berdiri lesu di depan pagar rumah, sambil bertumpu pada tongkat. Perempuan itu, terlihat menenteng keranjang berisi keripik. Tipe penjual yang dianggap Risma seperti pengemis. Penjaja yang berharap jajanannya dibeli atas rasa kasihan.

Risma pun memerhatikan si nenek tua sejenak. Mengawasi kalau-kalau si tua itu menunujukkan gelagat mencurigakan, seumpama hendak melakukan tindakan kriminal. Sebagaimana anggapan umum yang juga ia benarkan, orang semacam nenek tua, kadang hanyalah pencuri yang berkedok penjual sembari mengemis-ngemis. Mendatangi rumah orang untuk mencuri, atau sekadar mengamati keadaan untuk melakukan perampokan di lain waktu.

Tanpa ingin menunggu lama, Risma pun mengambil tindakan. Ia kemudian keluar ke teras, memberikan tanda pengusiran pada si nenek yang telah berkali-kali mendentingkan gembok pagar. Berharap adegan itu segera lenyap dari pandangannya, sehingga ia bisa merenung tenang. Dan setelah memastikan si nenek pergi, Risma pun masuk ke dalam rumah. Membentangkan gorden jendela, juga memastikan pintu terkunci. 

Dan sebagaimana inginnya, ia  kembali termenung pada satu kursi di ruang makan, tanpa mau memusingkan keadaan dan akhir perjalanan si nenek yang akan melangkah entah ke mana, di tengah hujan yang masih deras. Ia tak mau peduli, bahwa di tengah hujan dan angin ribut, payung tak akan mampu menepis bulir air sepenuhnya. Ia tak mau peduli, bagaimana basah dan dingin akan mengepung tubuh si nenek, sampai menggigil. 

Setengah jam berlalu sejak kedatangannya, Risma masih malas saja melakukan apa-apa. Ia hanya duduk berkhayal, menyetel siaran radio silih berganti, sambil meneguk air sedikit demi sedikit. Hanya beranjak jika tubuhnya terdesak ingin buang air kecil, kemudian kembali lagi pada posisi semula. Semangat hidupnya hilang, kecuali untuk berharap perhiasannya kembali, atau menunggu suaminya pulang dan memberikan solusi jitu.

Setengah jam berikut, suaminya, Milan, tiba dengan pakaian setengah basah. Ia datang dengan napas terburu-buru, seakan baru saja berlari jauh. Segera ia meminta maaf untuk kedatangannya yang lambat, kemudian bergegas mengecek isi rumah. Ia hendak memastikan, kalau informasi tentang pencurian, bukanlah khayalan Risma yang kadang terlalu paranoid kehilangan harta benda. Dan akhirnya, ia pun yakin, itu adalah kebenaran. 

Segera, Milan kembali ke hadapan istrinya, lalu berusaha memberikan ketenangan. “Ibu sabar saja. Pasti ada cara agar perhiasan Ibu kembali. Kalau perlu, kita lapor ke polisi,” kata Milan, sambil menggenggam tangan istinya. “Ya, kalau pun tidak, besok-besok, biar aku belikan yang baru.”

Risma tetap memberengut. Menegaskan keinginannya agar perhiasan itu kembali dengan utuh, seperti semula.

Beberapa detik, mereka saling mendiamkan. Larut dalam menungan masing-masing.

Melihat keadaan istrinya yang semakin lesu, di antara hidangan sisa yang tak mengggairahkan, Milan pun menyodorkan sekantong plastik yang berisi lebih dari sepuluh bungkus keripik. “Ibu kelihatannya lapar. Makanlah. Ini baik sebagai pengganjal perut sementara. Nanti setelah hujan reda, aku belikan makanan berat di warung kesayangan Ibu,” tutur Milan, kemudian menyobek sebungkus keripik pisang untuk istrinya. “Hari ini, Ibu tak usah masak.”

Risma menyambut sodoran suaminya. “Beli keripik banyak begini di mana?” tanya Risma, lesu, sambil melahap potongan pisang rasa keju, satu per satu.

“Aku beli dari seorang nenek tua di jalan, sepulang aku ke sini. Aku kasihan melihat ia yang harus menjajakan jualannya di tengah hujan yang deras. Dia terlihat lemah dan menggigil. Pakaiannya basah,” cerita Milan.

Sontak, Risma menyimak dengan serius.

“Ia tampak lemah. Kuduga, ia sakit. Aku pun menawarinya ke puskesmas. Tapi ia menolak. Maka kuputuskanlah untuk memberi tumpangan hinggga sampai di rumahnya,” lanjut Milan, sembari turut menyantap keripik bawaannya. “Ia sangat berterima kasih padaku, sampai memaksa agar aku menerima keripik jualannya secara cuma-cuma. Jelas saja aku menolak.”

Risma merasa terenyuh, sembari terus menyimak kelanjutan cerita yang dituturkan suaminya.

“Aku lalu memberinya bayaran untuk keripik yang ia berikan padaku. Aku memberinya bayaran yang lebih. Tapi ia menolak, dan hanya bersedia mengambil bayaran yang sewajarnya. Aku tak bisa memaksa,” sambung Milan lagi, lalu tersenyum, terkenang.

Seketika, Risma merasa terkutuk atas prasangka buruknya sendiri, beberapa saat lalu.

“Aku sangat kasihan padanya,” tutur Milan, dengan sepenuh hatinya. “Aku kadang heran, bagaimana orang tak mau peduli pada orang tua semacam itu. Orang-orang tampak tak berselera menyedekahi atau sekadar membeli jajanan mereka. Bahkan kukira, nenek tadi terpaksa menerobos hujan sebab tak ada orang yang sudi memberinya teduhan. Sungguh ironis, semakin maju kehidupan, ternyata membuat orang semakin abai pada sesama. Mudah-mudahan keluarga kita dihindarkan dari sikap semacam itu.”

Cerita penuh amanat dari sang suami, sontak membuat Risma merasa bersalah setengah mati. Bahkan rasa bersalahnya itu, mampu mengalahkan rasa kehilangan yang sedari tadi melandanya. 

Risma jadi tak kuasa berkata-kata. Ada pergolakan di dalam batinnya, tentang memberi dan kehilangan, atau soal ego pribadi dan kepedulian sosial. Ia merasa telah kehilangan dirinya sendiri. Hilang, bersama rasa cintanya pada benda yang lenyap entah ke mana. 

Mereka tak saling bercakap untuk beberapa saat. Hanya terpaku pada alur pikirannya masing masing.

Seketika, Milan memecah keheningan. Ia menuturkan satu langkah jitu demi menemukan si pencuri dan mengembalikan perhiasan sang istri. “Setahuku, tetangga sebelah telah memasang CCTV beberapa hari yang lalu,” katanya, semringah. “Aku yakin, identitas para pencuri akan segera terkuak dengan rekaman CCTV itu.”

Risma tampak terkejut.

“Kukira, meminta rekaman CCTV pada tetangga sebelah, lalu diserahkan kepada pihak kepolisian, adalah langkah terbaik,” kata Milan, tegas.

Mendengar soal rekaman, membuat Risma teringat sikapnya di teras rumah, pada lebih dari satu jam yang lalu. Itu jelas membuatnya berat hati menerima rencana sang suami. Ada sesuatu yang harus disembunyikannya di saat ia seharusnya mencari sesuatu yang lain.

Milan beranjak, mungkin untuk memulai rencananya.

Dan lagi, Risma masih terdiam. Hanya termenung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar