Aku
telah mendengar banyak kisah tentang cinta. Dan yang aku tahu, ujungnya tragis
melulu. Di awal mengesankan, puncaknya membahagiakan, tapi menyedihkan juga
akhirnya. Entah karena mengabaikan atau diabaikan, meninggalkan atau ditinggalkan,
sampai mengkhianati atau dikhianati. Dan jatuhnya hanya pada dua posisi: sesal,
atau duka cita berkepanjangan.
Kini,
kutambah lagi berkas cerita cinta yang pilu. Seorang sahabatku bernama Rini,
berkesah kalau cinta telah menghancurkan hatinya, hingga tak berbentuk.
Pasalnya, lelaki yang sedari dulu ia taksir, semakin menjauh, hari demi hari. Bahkan
hari ulang tahunnya sehari sebelum kami bertemu, terlewatkan begitu saja, tanpa
hadiah atau ucapan apa-apa dari sang pujaan. Padahal, mereka telah melewati
hari yang panjang, hingga sempat terucap janji untuk menikah.
Dan
kupikir, kepiluan Rini, memang tercipta di awal cerita. Rasa sakit itu, timbul
karena kesalahannya sendiri, sebab telah memasrahkan segenap rasa pada kisah yang
ujungnya masih abu-abu. Ia meyakini saja kalau cintanya akan berakhir indah,
seperti cerita di sinetron. Perhatian dan lelucon dari sang lelaki, dianggapnya
pernyataan rasa. Tapi jelas, ia salah terka. Sampai akhirnya, ia harus berjuang
menarik ulur hatinya, dan berusaha sembuh dari luka-luka batin.
Atas
kisahnya, Rini menyampaikan banyak pesan padaku. Ia mewanti-wanti, agar aku tak
mudah jatuh hati pada seorang lelaki. Ia menasihati agar aku tak menghibahkan segenap
rasa pada seorang, tanpa kepastian. Hingga ia menegaskan padaku, agar meninggalkan
episode awal dari kisah cinta. Tak perlu kata-kata romantis, sebelum janur
kuning melintang. Tak ada cinta, sebelum ikrar atas nama Tuhan.
Sebenarnya,
baru tiga hari yang lalu aku mendengan kisah Rini, berserta petuahnya. Tapi sampai
hari ini, aku menganggap itu hanya kesan sepihak. Sebuah drama yang berlebihan.
Satu anggapan yang tak patut dianggap kesimpulan umum. Biar pun kusadari bahwa pasti
ada akhir dalam sebuah kisah cinta, entah karena maut atau pengkhianatan, itu
tak seharusnya membuatku menutup diri untuk jatuh cinta, termasuk meresapi
adegan-adegan di awal ceritanya.
Aku
memang sedang jatuh cinta saat ini. Dan aku merasa, masih dalam kondisi sadar
diri. Waras. Tapi kalau menurut Rini, aku tengah berada di masa-masa yang
membutakan, sampai tak mempan dinasihati, juga tak bisa membedakan antara ilusi
dan kenyataan. Aku sedang dimabuk perasaan, sampai harus melawan dengan akal
sehat. Namun kuduga, itu jelas tuduhan yang keliru. Bagaimana mungkin sesuatu
yang menyenangkan dianggap salah? Bagaimana mungkin menyukai seseorang yang
membuat semangat hidup berlipat-ganda, menjadi sesuatu yang harus dihindari?
Akhirnya,
kubiarkan saja kisah cintaku mengalir sendiri. Dengan senang hati, aku mencicipi
kesan-kesan yang membuai, setapak demi setapak, menuju puncak yang
membahagiakan. Seperti halnya harus ada adegan-adegan awal untuk sebuah klimaks
yang mengesankan, cinta pun demikian. Meski aku menyadari akhir kisah yang
niscaya, tapi aku tak akan melewatkan cerita-cerita sebelum perpisahan itu
terjadi.
Saat
ini, aku berada di hari kelima, semenjak aku merasa jatuh cinta. Dengan riang
gembira, aku pun melanjutkan adegan-adegan kisahku. Sebuah fase awal yang
membuatku ingin memperlambat waktu demi kesan-kesan yang membuai, tanpa peduli
kata-kata Rini. Kupandangi saja raut wajah seorang lelaki yang resmi menjadi
atasanku di kantor beberapa hari lalu. Seseorang yang membuatku ingin bekerja
lembur tanpa batas waktu, hingga jam kerja kembali dimulai.
Sungguh,
ruang dan waktuku, terhias gambaran indah nan menyenangkan, karena dia. Gerak-geriknya
menjadi tontonan yang menarik bagiku. Aku suka mengamati raut wajahnya kala
serius memandang berkas dan layar laptop, tingkah bingungnya kala membutuhkan
sesuatu, ataukah gelak tawanya kala mengobrol dengan tamu-tamu. Aku merasakan
itu serupa pementasan seni yang penuh harmoni. Dan saat ia menunjukkan
perhatian padaku, atau setidaknya menyapaku sambil tersenyum, aku sungguh tak
bisa menggambarkan kegiranganku dalam hati.
Demi
meresapi lebih banyak kesan-kesan indah di awal cerita, aku pun rela mengulur waktu,
termasuk menahan diri untuk tahu lebih dalam tentangnya terlalu cepat. Aku
ingin membuat fase awal kisahku, jadi lebih dramatis, hingga aku sampai di
puncak kisah yang membahagiakan. Untuk itulah, aku tak memberi respons yang
berlebihan padanya. Apalagi, sebagaimana lelaki pada umumnya, akan selalu memandang
miring seorang perempuan yang terlalu agresif.
Tapi
seiring waktu, posisiku sebagai pengagum rahasia, membuat khayalku menjadi
liar. Tak kuasa juga aku membendung rasa penasaran yang selalu menuntut jawab.
Tanya tentang dirinya, beranak-pinak di benakku. Aku ingin tahu bagaimana
kabarnya saat ia tak berada di medan pengindraanku, apa yang sedang ia lakukan
di tempat yang lain, sampai pada bagaimana pendapatnya tentangku. Aku ingin
mengetahui semua itu, tanpa harus menampakkan tingkah yang aneh padanya.
Akhirnya,
seperti tanpa kendali, rasa penasaran menuntunku mengetik namanya di kolom
pencarian internet. Aku yakin akan menemukan banyak tentangnya di ruang maya.
Nalarku memastikan, orang selevel dia, tak akan menyamarkan identitas di media
sosial. Ia butuh tampil apa adanya, demi melancarkan komunikasi dengan klien
kantor, juga untuk menjaga nama baiknya di ruang publik. Dan, kutemukanlah
daftar hasil pencarian tentang dirinya, hingga kuulik satu per satu.
Seketika,
aku terenyuh menyaksikan apa yang kulihat. Sederet foto wanita, terpampang di
akun media sosialnya. Dia dan si wanita, telihat dengan pose yang sangat mesra.
Membuat aku cemburu tanpa ada hak untuk merasakan itu. Membuat angan-anganku
tentang puncak kisah yang penuh bahagia, hancur berkeping-keping.
Kini
kusadari, ada kebenaran dalam nasihat Rini. Aku memang salah, sebab begitu
mudah jatuh cinta. Aku salah, sebab telah menumbalkan segenap isi hatiku di
awal kisah yang tak pasti ujungnya. Aku salah, sebab tak belajar dari kisah pahitnya
cinta yang semu. Hingga, aku harus menyembuhkan luka yang telah kugores sendiri
dalam hatiku.
Tanpa
pikir panjang, aku pun bergegas pergi. Pulang bersama luka, tanpa permisi kepadanya
sebagai atasan. Aku beranjak, sembari menyalahkan diriku sendiri.
Di
tengah perjalanan, sebuah pesan singkat masuk di telepon genggamku: Kamu sudah pulang?
Aku
membaca pesan itu, tanpa berniat membalasnya segera. Satu pesan dari seorang
lelaki yang telah membuatku berserah hati begitu cepat.
Tak
berselang lama, sebuah pesan singkat dari Reni, menyusul: Nanti malam, kita jadi ketemuan, kan?
Aku
iyakan saja pintanya. Kurasa, itulah keputusan terbaik di malam berkabungku
yang pertama. Aku tahu, ia masih akan membahas persoalan yang sama. Mengulas
tentang seorang lelaki yang telah membuatnya ragu akan puncak kisah cinta yang
indah. Menelanjangi seorang lelaki yang telah membuatku berkhayal sendiri
tentang kisah cinta yang indah.
Kami
punya bahan pembahasan yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar