Senin, 18 Desember 2017

Tidak Seterusnya

Aku telah mendengar banyak kisah tentang cinta. Dan yang aku tahu, ujungnya tragis melulu. Di awal mengesankan, puncaknya membahagiakan, tapi menyedihkan juga akhirnya. Entah karena mengabaikan atau diabaikan, meninggalkan atau ditinggalkan, sampai mengkhianati atau dikhianati. Dan jatuhnya hanya pada dua posisi: sesal, atau duka cita berkepanjangan.
 
Kini, kutambah lagi berkas cerita cinta yang pilu. Seorang sahabatku bernama Rini, berkesah kalau cinta telah menghancurkan hatinya, hingga tak berbentuk. Pasalnya, lelaki yang sedari dulu ia taksir, semakin menjauh, hari demi hari. Bahkan hari ulang tahunnya sehari sebelum kami bertemu, terlewatkan begitu saja, tanpa hadiah atau ucapan apa-apa dari sang pujaan. Padahal, mereka telah melewati hari yang panjang, hingga sempat terucap janji untuk menikah.

Dan kupikir, kepiluan Rini, memang tercipta di awal cerita. Rasa sakit itu, timbul karena kesalahannya sendiri, sebab telah memasrahkan segenap rasa pada kisah yang ujungnya masih abu-abu. Ia meyakini saja kalau cintanya akan berakhir indah, seperti cerita di sinetron. Perhatian dan lelucon dari sang lelaki, dianggapnya pernyataan rasa. Tapi jelas, ia salah terka. Sampai akhirnya, ia harus berjuang menarik ulur hatinya, dan berusaha sembuh dari luka-luka batin.

Atas kisahnya, Rini menyampaikan banyak pesan padaku. Ia mewanti-wanti, agar aku tak mudah jatuh hati pada seorang lelaki. Ia menasihati agar aku tak menghibahkan segenap rasa pada seorang, tanpa kepastian. Hingga ia menegaskan padaku, agar meninggalkan episode awal dari kisah cinta. Tak perlu kata-kata romantis, sebelum janur kuning melintang. Tak ada cinta, sebelum ikrar atas nama Tuhan.

Sebenarnya, baru tiga hari yang lalu aku mendengan kisah Rini, berserta petuahnya. Tapi sampai hari ini, aku menganggap itu hanya kesan sepihak. Sebuah drama yang berlebihan. Satu anggapan yang tak patut dianggap kesimpulan umum. Biar pun kusadari bahwa pasti ada akhir dalam sebuah kisah cinta, entah karena maut atau pengkhianatan, itu tak seharusnya membuatku menutup diri untuk jatuh cinta, termasuk meresapi adegan-adegan di awal ceritanya.

Aku memang sedang jatuh cinta saat ini. Dan aku merasa, masih dalam kondisi sadar diri. Waras. Tapi kalau menurut Rini, aku tengah berada di masa-masa yang membutakan, sampai tak mempan dinasihati, juga tak bisa membedakan antara ilusi dan kenyataan. Aku sedang dimabuk perasaan, sampai harus melawan dengan akal sehat. Namun kuduga, itu jelas tuduhan yang keliru. Bagaimana mungkin sesuatu yang menyenangkan dianggap salah? Bagaimana mungkin menyukai seseorang yang membuat semangat hidup berlipat-ganda, menjadi sesuatu yang harus dihindari?

Akhirnya, kubiarkan saja kisah cintaku mengalir sendiri. Dengan senang hati, aku mencicipi kesan-kesan yang membuai, setapak demi setapak, menuju puncak yang membahagiakan. Seperti halnya harus ada adegan-adegan awal untuk sebuah klimaks yang mengesankan, cinta pun demikian. Meski aku menyadari akhir kisah yang niscaya, tapi aku tak akan melewatkan cerita-cerita sebelum perpisahan itu terjadi.

Saat ini, aku berada di hari kelima, semenjak aku merasa jatuh cinta. Dengan riang gembira, aku pun melanjutkan adegan-adegan kisahku. Sebuah fase awal yang membuatku ingin memperlambat waktu demi kesan-kesan yang membuai, tanpa peduli kata-kata Rini. Kupandangi saja raut wajah seorang lelaki yang resmi menjadi atasanku di kantor beberapa hari lalu. Seseorang yang membuatku ingin bekerja lembur tanpa batas waktu, hingga jam kerja kembali dimulai.

Sungguh, ruang dan waktuku, terhias gambaran indah nan menyenangkan, karena dia. Gerak-geriknya menjadi tontonan yang menarik bagiku. Aku suka mengamati raut wajahnya kala serius memandang berkas dan layar laptop, tingkah bingungnya kala membutuhkan sesuatu, ataukah gelak tawanya kala mengobrol dengan tamu-tamu. Aku merasakan itu serupa pementasan seni yang penuh harmoni. Dan saat ia menunjukkan perhatian padaku, atau setidaknya menyapaku sambil tersenyum, aku sungguh tak bisa menggambarkan kegiranganku dalam hati.

Demi meresapi lebih banyak kesan-kesan indah di awal cerita, aku pun rela mengulur waktu, termasuk menahan diri untuk tahu lebih dalam tentangnya terlalu cepat. Aku ingin membuat fase awal kisahku, jadi lebih dramatis, hingga aku sampai di puncak kisah yang membahagiakan. Untuk itulah, aku tak memberi respons yang berlebihan padanya. Apalagi, sebagaimana lelaki pada umumnya, akan selalu memandang miring seorang perempuan yang terlalu agresif. 

Tapi seiring waktu, posisiku sebagai pengagum rahasia, membuat khayalku menjadi liar. Tak kuasa juga aku membendung rasa penasaran yang selalu menuntut jawab. Tanya tentang dirinya, beranak-pinak di benakku. Aku ingin tahu bagaimana kabarnya saat ia tak berada di medan pengindraanku, apa yang sedang ia lakukan di tempat yang lain, sampai pada bagaimana pendapatnya tentangku. Aku ingin mengetahui semua itu, tanpa harus menampakkan tingkah yang aneh padanya.

Akhirnya, seperti tanpa kendali, rasa penasaran menuntunku mengetik namanya di kolom pencarian internet. Aku yakin akan menemukan banyak tentangnya di ruang maya. Nalarku memastikan, orang selevel dia, tak akan menyamarkan identitas di media sosial. Ia butuh tampil apa adanya, demi melancarkan komunikasi dengan klien kantor, juga untuk menjaga nama baiknya di ruang publik. Dan, kutemukanlah daftar hasil pencarian tentang dirinya, hingga kuulik satu per satu.

Seketika, aku terenyuh menyaksikan apa yang kulihat. Sederet foto wanita, terpampang di akun media sosialnya. Dia dan si wanita, telihat dengan pose yang sangat mesra. Membuat aku cemburu tanpa ada hak untuk merasakan itu. Membuat angan-anganku tentang puncak kisah yang penuh bahagia, hancur berkeping-keping.

Kini kusadari, ada kebenaran dalam nasihat Rini. Aku memang salah, sebab begitu mudah jatuh cinta. Aku salah, sebab telah menumbalkan segenap isi hatiku di awal kisah yang tak pasti ujungnya. Aku salah, sebab tak belajar dari kisah pahitnya cinta yang semu. Hingga, aku harus menyembuhkan luka yang telah kugores sendiri dalam hatiku.

Tanpa pikir panjang, aku pun bergegas pergi. Pulang bersama luka, tanpa permisi kepadanya sebagai atasan. Aku beranjak, sembari menyalahkan diriku sendiri.

Di tengah perjalanan, sebuah pesan singkat masuk di telepon genggamku: Kamu sudah pulang?

Aku membaca pesan itu, tanpa berniat membalasnya segera. Satu pesan dari seorang lelaki yang telah membuatku berserah hati begitu cepat.

Tak berselang lama, sebuah pesan singkat dari Reni, menyusul: Nanti malam, kita jadi ketemuan, kan?

Aku iyakan saja pintanya. Kurasa, itulah keputusan terbaik di malam berkabungku yang pertama. Aku tahu, ia masih akan membahas persoalan yang sama. Mengulas tentang seorang lelaki yang telah membuatnya ragu akan puncak kisah cinta yang indah. Menelanjangi seorang lelaki yang telah membuatku berkhayal sendiri tentang kisah cinta yang indah. 

Kami punya bahan pembahasan yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar