Tak
ada yang berubah dengan sifatmu. Kau masih seperti dulu, perempuan sederhana
yang tak banyak mau. Enggan meminta, sungkan menerima. Begitu selalu. Hingga tak
terhitung sudah, berapa banyak hari raya berlalu, tapi kau tak merengek untuk
sebuah hadiah. Tak ada pakaian baru di hari lebaran, tak ada kue dan makanan
lezat di peringatan hari pernikahan kita, bahkan tak ada kado apa-apa di hari
ulang tahunmu.
Kau
memang berbeda dari ibu rumah tangga yang lain. Tampak bersahaja dalam segala
hal. Tak perlu mobil mewah untuk mengantarmu ke mana saja. Tak ada hasratmu
menghias rumah dengan guci dan pernak-pernik berbahan keramik lainnya. Bahkan,
tak ada nafsumu mengoleksi sepatu dan tas bermerek dengan harga yang tinggi. Kau
tampak merasa cukup dalam kesederhanaan. Tampil dengan dandanan seadanya, serta
daster bermotif batik.
Menyaksikan
hasrat duniamu yang redup, kadang membuatku merasa kurang berarti. Kau seharusnya
meminta lebih dibanding apa yang selama ini kau terima. Kau tahu sendiri, aku
tak bisa disetarakan dengan para tetangga yang menggantungkan hidupnya pada
otot. Aku adalah seorang pegawai negeri yang dilingkupi kemewahan. Aku adalah
seorang atasan berpangkat, yang dengan mudah saja menghadiahkanmu baju baru,
perhiasan, ataukah mobil, jika kau mau.
Dan
akhirnya, tak ada dayaku mengubah watakmu yang serba biasa-biasa saja. Aku
terpaksa menerima diriku sebagai sosok suami yang tak kau butuhkan lebih dari
sekadar memenuhi kebutuhan dasarmu. Aku menyerah mengupayakan apa-apa untukmu, sebab
tahu, kau telah bahagia dengan kebiasaan yang biasa, sampai kau tak beselera
lagi menjajaki kemewahan demi kemewahan. Kesederhanaan telah cukup bagimu,
sebagaimana cara hidup orang-orang desa.
Kuingat
lagi di masa lampau, setelah kuutarakan perasaan kepadamu, seorang gadis yang
bekerja sebagai pramusaji di warung sederhana. Tanpa rasa takut tentang masa
depan, kau memintaku segera menikahimu, meski aku hanyalah seorang sarjana yang
belum punya pekerjaan. Alasanku bahwa kita butuh rumah, juga tabungan untuk memulai
rumah tangga, tak kau terima. Katamu, rezeki akan mengalir sendirinya, semakin
deras, saat kita telah terikat dalam tali pernikahan.
Dan
waktu itu, aku menyerah dan mengalah pada keinginanmu. Hatiku telah terperangkap
pada wajahmu yang manis, dan aku takut kau menjadi milik orang lain. Aku pun segera
menghadap pada orang tuamu dengan bekal materi yang nihil. Dan tanpa rintangan
apa pun, mereka menyambut niat baikku begitu saja, layaknya orang desa yang tak
mau pusing soal harta dan kasta sosial, asalkan anak mereka bahagia. Hingga akhirnya,
aku menikahimu tanpa beban dan tuntutan apa-apa.
Kini,
di tahun ke-22 usia pernikahan kita, kau masih saja sederhana, seperti dulu.
Tapi keadaan telah banyak berubah, dan aku malah ingin kau tetap seperti itu.
Bukan agar kau bersetia pada jati dirimu, tapi demi aku yang tak bisa lagi
memberimu lebih dari seadanya. Aku punya kepentingan sendiri, yang menuntut
penghasilanku lebih banyak, lagi dan lagi. Sesuatu yang sebaiknya tak kau tahu,
sebagaimana wanita pada umumnya.
“Genteng
rumah bocor, Pak. Perlu diperbaiki. Dinding rumah juga mulai retak. Butuh dicat
ulang sepertinya,” tuturmu, sambil tersenyum. Sebuah permintaan yang kau
ungkapkan dengan kesan menyarankan.
Kutoleh
atap serta dinding rumah, dan memastikan kau memang mengungkapkan keluhan yang
wajar. “Aku akan memperbaikinya segera, Bu. Aku pastikan, besok, tukang-tukang
akan segera datang membenahi,” kataku, sambil membelai rambutmu yang tampak diselingi
helaian berwana putih.
Kau
tersenyum, hingga pipimu yang keriput dan terhias bintik-bintik hitam, merentang
kaku. “Apa boleh aku meminta sesuatu lagi, Pak?” tanyamu, sambil melepas batuk
yang mengering. Mengisyaratkan penyakit paru yang kau idap dan tak sembuh-sembuh,
meski telah berobat dengan segala cara.
Aku
lalu menyerongkan badan, menghadap kepadamu. “Katakan saja, Bu. Kalau aku
sanggup, pasti kupenuhi.”
Bola
matamu liar. Tampak segan. “Aku minta lemari dan kasur baru, Pak.”
Aku
pun jadi berpikir berat. Jelas, aku masih sanggup memenuhi permintaan itu. Dana
tiga juta rupiah, sepertinya lebih dari cukup. Sedang tabunganku masih
melampaui jumlah itu. Tapi kupikir-pikir lagi, aku harus berhemat. Harus ada
cadangan untuk membiayai kebutuhan yang lebih penting. Apalagi, kini, kau bukan
tanggunganku satu-satunya. “Kalau bisa, kita benahi atap dan dinding rumah dulu,
Bu. Nanti setelah itu, aku pikir-pikir lagi,” balasku, dengan lagak meminta
dimaklumi.
Mendengar
penuturanku, tak membuat wajahmu berubah murung, apalagi bersungut-sungut. Kau
tampak biasa saja. “Tak apa-apa kalau begitu, Pak. Tak usah pusingkan,” katamu dengan
tenang dan menenangkan. “Aku tahu kondisi keuangan Bapak harus dijaga. Apalagi
Bapak perlu mencukupkan tabungan untuk membeli sebuah rumah di tengah kota. Bapak
tak usah memaksakan permintaanku. Apa pula gunanya membeli perabotan dan
menghias rumah sedemikian rupa, jika tak ada seorang pun yang akan
mewarisinya.”
Aku
terenyuh mendengar penuturanmu.
Mimikmu
sontak menyiratkan kesedihan. Dan lagi, kau kembali menyalahkan dirimu untuk ke
sekian kalinya. “Maafkan aku, Pak, sebab tak bisa menghadiahkan seorang anak
pun untuk Bapak.”
Aku
memelukmu seketika, bersama rasa bersalah, sebab telah menolak permintaanmu
yang sederhana dan jarang-jarang, hingga kau harus menyalahkan dirimu lagi.
“Jangan berkata seperti itu, Bu. Aku yang seharusnya minta maaf, sebab tak bisa
memenuhi permintaan orang yang kusayangi, satu-satunya.”
Kau
lalu menggenggam tanganku. “Bapak tak usah merasa bersalah kepadaku. Permintaan
itu, juga bukan untuk aku, tapi untuk Leni, sepupuku. Bapak masih ingat dia
kan? Sepupuh jauhku dari kampung yang saat ini tinggal di tengah kota?”
Seketika,
aku terenyuh mendengar nama itu. Aku tak tak bisa berkata-kata, dan hanya kuasa
menganggukkan pertanyaanmu.
“Lima
hari ke depan, ia akan datang ke mari. Tidak berserta suaminya. Katanya dia rindu
bertemu denganku.” Kau berucap dengan wajah berseri-seri. “Ya, sebagaimana
baiknya, aku ingin dia merasa nyaman tinggal di rumah ini.”
Aku
serasa kalang-kabut mendengar kabar itu. Seorang tamu istimewa akan datang,
tapi aku baru mengetahuinya hari ini.
Kau
lalu berdeham. “Oh, iya, kalau bisa dan tidak memberatkan. Aku minta Bapak
menyisihkan sedikit uang untuk membeli sejumlah mainan, kereta anak, dan
bahan makanan untuk balita Leni, sebelum ia datang. Besok, biar aku yang pergi
belanja. Bapak tahu sendiri, ia mempunyai seorang anak perempuan yang mungkin
telah berumur dua tahun lebih.”
Dan
untuk permintaanmu itu, aku tak bisa menolak. Aku rasa, keinginan anak kecil,
lebih penting daripada kebutuhan orang dewasa. “Kalau itu, harus, Bu,” kataku,
masih dengan sikap yang kaku.
“Terima
kasih, Pak,” katamu. Terlihat sangat bahagia. “Ah, akhirnya aku bisa memanja bayi
beberapa hari lagi.” Kau tampak kegirangan, lalu menoleh padaku. ”Kini aku
sadar, Pak, mungkin ada baiknya, Bapak mencari seorang wanita lain untuk
dijadikan seorang istri. Aku sudah renta, dan dipastikan, tak akan bisa melahirkan
keturunan.”
Seketika,
aku tersentuh mendengar tulusnya pengorbananmu.
“Jika
saja Leni belum menikah, aku sarankan pada Bapak untuk menikah saja dengannya,”
ketusmu, sebuah kalimat yang kutaksir sebagai candaan, tapi kau tampak mengucapkan
itu dengan sungguh-sungguh.
“Tak usah bahas soal itu, Bu,” pintaku, sambil mewanti-wanti bagaimana
suasana rumah lima hari ke depan, kala seorang wanita datang membawa seorang
anak yang terbiasa menyapaku dengan panggilan “ayah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar