Kamis, 28 Desember 2017

Bukan Hanya Untukmu

Tak ada yang berubah dengan sifatmu. Kau masih seperti dulu, perempuan sederhana yang tak banyak mau. Enggan meminta, sungkan menerima. Begitu selalu. Hingga tak terhitung sudah, berapa banyak hari raya berlalu, tapi kau tak merengek untuk sebuah hadiah. Tak ada pakaian baru di hari lebaran, tak ada kue dan makanan lezat di peringatan hari pernikahan kita, bahkan tak ada kado apa-apa di hari ulang tahunmu.  
 
Kau memang berbeda dari ibu rumah tangga yang lain. Tampak bersahaja dalam segala hal. Tak perlu mobil mewah untuk mengantarmu ke mana saja. Tak ada hasratmu menghias rumah dengan guci dan pernak-pernik berbahan keramik lainnya. Bahkan, tak ada nafsumu mengoleksi sepatu dan tas bermerek dengan harga yang tinggi. Kau tampak merasa cukup dalam kesederhanaan. Tampil dengan dandanan seadanya, serta daster bermotif batik.

Menyaksikan hasrat duniamu yang redup, kadang membuatku merasa kurang berarti. Kau seharusnya meminta lebih dibanding apa yang selama ini kau terima. Kau tahu sendiri, aku tak bisa disetarakan dengan para tetangga yang menggantungkan hidupnya pada otot. Aku adalah seorang pegawai negeri yang dilingkupi kemewahan. Aku adalah seorang atasan berpangkat, yang dengan mudah saja menghadiahkanmu baju baru, perhiasan, ataukah mobil, jika kau mau.

Dan akhirnya, tak ada dayaku mengubah watakmu yang serba biasa-biasa saja. Aku terpaksa menerima diriku sebagai sosok suami yang tak kau butuhkan lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan dasarmu. Aku menyerah mengupayakan apa-apa untukmu, sebab tahu, kau telah bahagia dengan kebiasaan yang biasa, sampai kau tak beselera lagi menjajaki kemewahan demi kemewahan. Kesederhanaan telah cukup bagimu, sebagaimana cara hidup orang-orang desa.

Kuingat lagi di masa lampau, setelah kuutarakan perasaan kepadamu, seorang gadis yang bekerja sebagai pramusaji di warung sederhana. Tanpa rasa takut tentang masa depan, kau memintaku segera menikahimu, meski aku hanyalah seorang sarjana yang belum punya pekerjaan. Alasanku bahwa kita butuh rumah, juga tabungan untuk memulai rumah tangga, tak kau terima. Katamu, rezeki akan mengalir sendirinya, semakin deras, saat kita telah terikat dalam tali pernikahan. 

Dan waktu itu, aku menyerah dan mengalah pada keinginanmu. Hatiku telah terperangkap pada wajahmu yang manis, dan aku takut kau menjadi milik orang lain. Aku pun segera menghadap pada orang tuamu dengan bekal materi yang nihil. Dan tanpa rintangan apa pun, mereka menyambut niat baikku begitu saja, layaknya orang desa yang tak mau pusing soal harta dan kasta sosial, asalkan anak mereka bahagia. Hingga akhirnya, aku menikahimu tanpa beban dan tuntutan apa-apa.

Kini, di tahun ke-22 usia pernikahan kita, kau masih saja sederhana, seperti dulu. Tapi keadaan telah banyak berubah, dan aku malah ingin kau tetap seperti itu. Bukan agar kau bersetia pada jati dirimu, tapi demi aku yang tak bisa lagi memberimu lebih dari seadanya. Aku punya kepentingan sendiri, yang menuntut penghasilanku lebih banyak, lagi dan lagi. Sesuatu yang sebaiknya tak kau tahu, sebagaimana wanita pada umumnya.

“Genteng rumah bocor, Pak. Perlu diperbaiki. Dinding rumah juga mulai retak. Butuh dicat ulang sepertinya,” tuturmu, sambil tersenyum. Sebuah permintaan yang kau ungkapkan dengan kesan menyarankan.

Kutoleh atap serta dinding rumah, dan memastikan kau memang mengungkapkan keluhan yang wajar. “Aku akan memperbaikinya segera, Bu. Aku pastikan, besok, tukang-tukang akan segera datang membenahi,” kataku, sambil membelai rambutmu yang tampak diselingi helaian berwana putih.

Kau tersenyum, hingga pipimu yang keriput dan terhias bintik-bintik hitam, merentang kaku. “Apa boleh aku meminta sesuatu lagi, Pak?” tanyamu, sambil melepas batuk yang mengering. Mengisyaratkan penyakit paru yang kau idap dan tak sembuh-sembuh, meski telah berobat dengan segala cara.

Aku lalu menyerongkan badan, menghadap kepadamu. “Katakan saja, Bu. Kalau aku sanggup, pasti kupenuhi.”

Bola matamu liar. Tampak segan. “Aku minta lemari dan kasur baru, Pak.”

Aku pun jadi berpikir berat. Jelas, aku masih sanggup memenuhi permintaan itu. Dana tiga juta rupiah, sepertinya lebih dari cukup. Sedang tabunganku masih melampaui jumlah itu. Tapi kupikir-pikir lagi, aku harus berhemat. Harus ada cadangan untuk membiayai kebutuhan yang lebih penting. Apalagi, kini, kau bukan tanggunganku satu-satunya. “Kalau bisa, kita benahi atap dan dinding rumah dulu, Bu. Nanti setelah itu, aku pikir-pikir lagi,” balasku, dengan lagak meminta dimaklumi.

Mendengar penuturanku, tak membuat wajahmu berubah murung, apalagi bersungut-sungut. Kau tampak biasa saja. “Tak apa-apa kalau begitu, Pak. Tak usah pusingkan,” katamu dengan tenang dan menenangkan. “Aku tahu kondisi keuangan Bapak harus dijaga. Apalagi Bapak perlu mencukupkan tabungan untuk membeli sebuah rumah di tengah kota. Bapak tak usah memaksakan permintaanku. Apa pula gunanya membeli perabotan dan menghias rumah sedemikian rupa, jika tak ada seorang pun yang akan mewarisinya.”

Aku terenyuh mendengar penuturanmu.

Mimikmu sontak menyiratkan kesedihan. Dan lagi, kau kembali menyalahkan dirimu untuk ke sekian kalinya. “Maafkan aku, Pak, sebab tak bisa menghadiahkan seorang anak pun untuk Bapak.”

Aku memelukmu seketika, bersama rasa bersalah, sebab telah menolak permintaanmu yang sederhana dan jarang-jarang, hingga kau harus menyalahkan dirimu lagi. “Jangan berkata seperti itu, Bu. Aku yang seharusnya minta maaf, sebab tak bisa memenuhi permintaan orang yang kusayangi, satu-satunya.”

Kau lalu menggenggam tanganku. “Bapak tak usah merasa bersalah kepadaku. Permintaan itu, juga bukan untuk aku, tapi untuk Leni, sepupuku. Bapak masih ingat dia kan? Sepupuh jauhku dari kampung yang saat ini tinggal di tengah kota?”

Seketika, aku terenyuh mendengar nama itu. Aku tak tak bisa berkata-kata, dan hanya kuasa menganggukkan pertanyaanmu.

“Lima hari ke depan, ia akan datang ke mari. Tidak berserta suaminya. Katanya dia rindu bertemu denganku.” Kau berucap dengan wajah berseri-seri. “Ya, sebagaimana baiknya, aku ingin dia merasa nyaman tinggal di rumah ini.”

Aku serasa kalang-kabut mendengar kabar itu. Seorang tamu istimewa akan datang, tapi aku baru mengetahuinya hari ini.

Kau lalu berdeham. “Oh, iya, kalau bisa dan tidak memberatkan. Aku minta Bapak menyisihkan sedikit uang untuk membeli sejumlah mainan, kereta anak, dan bahan makanan untuk balita Leni, sebelum ia datang. Besok, biar aku yang pergi belanja. Bapak tahu sendiri, ia mempunyai seorang anak perempuan yang mungkin telah berumur dua tahun lebih.”

Dan untuk permintaanmu itu, aku tak bisa menolak. Aku rasa, keinginan anak kecil, lebih penting daripada kebutuhan orang dewasa. “Kalau itu, harus, Bu,” kataku, masih dengan sikap yang kaku.

“Terima kasih, Pak,” katamu. Terlihat sangat bahagia. “Ah, akhirnya aku bisa memanja bayi beberapa hari lagi.” Kau tampak kegirangan, lalu menoleh padaku. ”Kini aku sadar, Pak, mungkin ada baiknya, Bapak mencari seorang wanita lain untuk dijadikan seorang istri. Aku sudah renta, dan dipastikan, tak akan bisa melahirkan keturunan.”

Seketika, aku tersentuh mendengar tulusnya pengorbananmu.

“Jika saja Leni belum menikah, aku sarankan pada Bapak untuk menikah saja dengannya,” ketusmu, sebuah kalimat yang kutaksir sebagai candaan, tapi kau tampak mengucapkan itu dengan sungguh-sungguh.

“Tak usah bahas soal itu, Bu,” pintaku, sambil mewanti-wanti bagaimana suasana rumah lima hari ke depan, kala seorang wanita datang membawa seorang anak yang terbiasa menyapaku dengan panggilan “ayah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar