Kamis, 28 Desember 2017

Mila

Pada rumah panggung yang lengang dan sepi, tinggalah Mila bersama seorang anak balita. Ia tiba dari kota seberang tiga hari yang lalu, dan berencana untuk menetap. Datang tanpa menemui siapa-siapa. Ia hanya bersua dengan rumah panggung dan seisinya, yang kini tampak semakin menua. Pemandangan yang membuat ia terkenang masa lalu dengan rasa sesal. Terkenang pada harapan kedua orang tuanya semasih hidup, yang tak mampu ia wujudkan.
 
Teringat lagi Mila pada keinginan orang tuanya, yang telah membesarkannya dari hasil berpetani. Mereka berharap agar ia menjadi sosok yang cerdik-pandai, mapan dalam soal ekonomi, juga berjodoh dengan lelaki baik dan bertanggung jawab. Tapi apa yang ia dapat, sungguh jauh berbeda. Ia pulang tanpa bersemat gelar akademik. Dan, ia malah menyandang status sebagai seorang janda di enam bulan usia pernikahan, setelah sang suami menceraikannya begitu saja.

Mila memang tak pernah berpikir untuk kembali ke kampung, apalagi pulang untuk menggantungkan hidup dari hasil bercocok tanam. Orang tuanya pun, tidak. Kepergian Mila ke kota, jelas atas desakan ayah-ibunya. Mereka rela berkorban harta-benda, agar kelak, Mila bisa mendapatkan pekerjaan yang bergengsi di bilik kantor. Sebuah posisi kerja yang pas dan sepantasnya untuk seorang perempuan. Namun kenyataan hidup berkata lain. Jalan yang ia pilih, telah mengantarnya pada akhir yang tak diharapkan.

Kini, ada kegalauan yang mendera perasaan Mila begitu dahsyat. Takut kalau-kalau ia tak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi ia memiliki seorang anak yang jelas memiliki kebutuhan segala macam. Sedangkan bekerja sebagai petani, bukanlah pekerjaan yang bisa dilakoni perempuan secara baik. Termasuk juga Mila, yang sedari kecil, tak biasa mengurus kebun. Sampai sejak kedatangannya, ia hanya kuasa memandangi lahan perkebunan yang kosong di belakang rumah, tanpa tahu harus bertindak bagaimana.

Pagi ini, setelah membersihkan pekarangan rumah dari rumput liar, juga menata bunga yang bercabang sembarangan, Mila pun rihat di kolong rumah, di atas bale-bale bambu. Ia melepas penat, sembari mengayun sang anak yang kerap merengek. Ia merencanakan untuk beristirahat sementara waktu, sembari menyusun rencana dan menguatkan diri untuk segera menggarap kebun peninggalan ayahnya yang sempit.

Tekad Mila pun bulat. Ia hendak melakukan pekerjaan kotor itu sesegera mungkin. Tak peduli ia akan berpeluh di bawah terik, juga perih tergores benda-benda tajam. Jelas, ia tak ingin menunggu lama untuk memanen singkong dan sayur dari kebunnya sendiri. Paling tidak, hasil kerja keras itu, akan membuat uang simpanan yang ia peroleh sebagai pekerja serabutan di kota, tak terkuras habis. Atau malah, ia mendapatkan uang tambahan dengan menjual hasil panen yang lebih.

Syukur bagi Mila. Untuk beberapa waktu, ia bisa bernapas tenang. Semasih sang surya meninggi di titik tiga puluh derajat, rezeki datang tiba-tiba. Seorang wanita bernama Inggit yang ia tahu tumbuh besar di desa seberang, yang ia pun tahu sedikit latar belakang keluarganya, datang membawa semangkuk sup ubi dan sekantong ubi mentah. Perempuan bertutur lembut itu, juga membawa serta beberapa pakaian bayi, bekas anaknya sendiri yang telah bertumbuh. 

“Bagimana kabar anakmu?” tanya Mila, setelah mengucapkan kesan-kesan sungkan, terima kasih, dan basa-basi secara berulang dan panjang lebar.

Inggit tersenyum lepas. “Anakku baik-baik saja. Dia saat ini berada di rumah. Mungkin sedang bermain-main dengan Ayahnya.”

Mendengar pertanda keharmonisan keluarga Inggit, sungguh membuat perasaan Mila cemburu. “Sungguh beruntungnya kau mendapat suami yang baik dan bertanggung jawab,” tuturnya. Terkesan hendak berbagi keluh hati soal keluarganya sendiri yang berantakan. 

Inggit mencoba menepis pujian itu. Apalagi ia tahu dari suaminya sendiri, kalau Mila adalah seorang janda. Ia tak ingin melakukan perbandingan. “Tidak juga. Kadang-kadang, ia jadi kurang bersahabat. Tapi selama ini, sikapnya masih dalam batas yang wajar.”

“Tapi kau bahagia punya suami sepertinya, kan?” tanya Mila lagi.

Inggit mengangguk. Sedikit heran atas fokus pertanyaan Mila. “Sejauh ini, ia masih menjadi suami yang baik untukku, dan menjadi ayah yang baik untuk anakku. Aku akui, ia punya rasa tanggung jawab yang tinggi pada kepentingan keluarga,” katanya, tapi enggan balas bertanya untuk tema yang sama.

“Syukurlah. Andai saja suamiku sebaik suamimu, aku pastilah tak khawatir pada masa depan aku dan anakku sendiri,” keluh Mila, tanpa perlu ditanya.

Inggit pun jadi iba. “Aku mengerti perasaanmu. Tapi kau tak perlu bersedih. Tak perlu kepikiran terus masa lalu. Lebih baik melakukan sesuatu demi masa depan anakmu,” tutur Inggit, tanpa menyadari kalau ia telah mengutarakan kalimat-kalimat serupa motivator.

Mila tampak murung.

“Kudengar-dengar, dulu kau sempat juga kuliah di kota. Kau sekampus dengan suamiku, kan?” tanya Inggit dengan sikap segan.

Seketika, Mila tersentak mendengar pertanyaan Inggit tentang masa-masa kuliahnya. Ada keengganan untuk berbagi kisah. Tapi ia tetap ingin terlihat ramah, meski ia harus menuturkan soal kepahitan hidup. “Ya, kami sekampus. Tapi kami punya pergaulan yang berbeda.”

Timbul keinginan Inggit untuk mengulik masa lalu suaminya lebih dalam. “Bagaimana pendapatmu tentangnya?” selidik Inggit, sedikit kaku. “Maksudku, apa di kota ia berperangai baik?”

Mila mengangguk. “Ya. Sepanjang yang kutahu, ia adalah lelaki yang baik. Ia ogah turut dengan tingkah liar anak-anak di kota. Ia termasuk mahasiswa yang tak banyak tingkah, berprestasi, dan juga disegani.”

Inggit tersenyum lebar. “Bagaimana soal kedekatannya dengan wanita? Maksudku, apa ia punya kekasih semasa kuliah?” tanya Inggit segera, tanpa ingin mengulur jeda. Tampak sangat penasaran.

“Aku tak tahu soal itu. Tanyakan saja padanya,” jawab Mila, seketika. “Memangnya kenapa?”

Inggit termenung sejenak, kemudian menggeleng. “Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu. Hitung-hitung, aku punya bahan singgungan saat kami bercanda,” katanya, sambil tersenyum.

Dan jelas saja, Mila menyimpan satu rahasia besar tentang suami Inggit. Ia tahu betul tentang lelaki itu. Sosok yang pernah memiliki perasaan untuknya, dahulu. Bahkan demi perasaan cinta, ia rela berkuliah di satu kampus yang sama dengan Mila. Hingga, ia pun mengutarakan maksud untuk mengajak Mila pulang kampung dan menikah, dengan janji akan menjadi sosok suami yang baik dan bertanggung jawab. Tapi nahas, Mila menolaknya mentah-mentah, demi gairah masa mudanya, juga demi seorang lelaki urakan, anak seorang bos perusahaan yang bergelimang harta.

Kau ini siapa? Mana mau aku menikah dengan orang kampung sepertimu. Tak ada sedikit pun niatku untuk pulang dan hidup sengsara di sana. Kau kira, bagaimana hidupku kalau menikah denganmu? Bahagia? Paling juga kita hidup sengsara dari hasil berkebun yang nihil! Pokoknya, jangan lagi kau katakan soal perasaanmu padaku. Aku tak suka!

Demikianlah kata-kata Mila. Ia mengucapkan itu secara emosional. Satu adegan yang masih membekas di memorinya sampai saat ini. Sumpah serapah yang ia sesali, mungkin untuk seumur hidup.

Berselang beberapa detik selanjutnya, Inggit pun membuyarkan keheningan. “Oh, iya, maksud lain saya ke sini, sebenarnya untuk memberitahukan padamu, kalau kau perlu menghadap ke kantor kepala desa besok. Kau butuh didata ulang sebagai penduduk di sini. Suamiku yang berpesan begitu,” tutur Inggit, sambil tersenyum. “Mungkin kau sudah tahu, suamiku adalah kepala desa di sini.”

Dan seketika, kekalutan melanda perasaan Mila, semakin dahsyat. Ia menggguk pelan, kemudian berucap kaku, “Aku usahakan, kalau tak ada halangan.”

Dalam hatinya, Mila jelas tak kuasa membayangkan bagaimana suasana pertemuannya dengan seorang lelaki, suami Inggit, esok hari. Betemu dengan seseorang lelaki yang pernah memiliki kisah tak sejalan dengannya.

Detik demi detik berganti. Inggit kemudian pamit dan pergi, meninggalkan Mila bersama rahasianya.

Matahari kian meninggi. Pagi telah lewat. Dan tiba-tiba, Mila enggan berurusan dengan kebun di belakang rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar