Pada
rumah panggung yang lengang dan sepi, tinggalah Mila bersama seorang anak
balita. Ia tiba dari kota seberang tiga hari yang lalu, dan berencana untuk
menetap. Datang tanpa menemui siapa-siapa. Ia hanya bersua dengan rumah panggung
dan seisinya, yang kini tampak semakin menua. Pemandangan yang membuat ia
terkenang masa lalu dengan rasa sesal. Terkenang pada harapan kedua orang
tuanya semasih hidup, yang tak mampu ia wujudkan.
Teringat
lagi Mila pada keinginan orang tuanya, yang telah membesarkannya dari hasil berpetani.
Mereka berharap agar ia menjadi sosok yang cerdik-pandai, mapan dalam soal
ekonomi, juga berjodoh dengan lelaki baik dan bertanggung jawab. Tapi apa yang
ia dapat, sungguh jauh berbeda. Ia pulang tanpa bersemat gelar akademik. Dan, ia
malah menyandang status sebagai seorang janda di enam bulan usia pernikahan,
setelah sang suami menceraikannya begitu saja.
Mila
memang tak pernah berpikir untuk kembali ke kampung, apalagi pulang untuk menggantungkan
hidup dari hasil bercocok tanam. Orang tuanya pun, tidak. Kepergian Mila ke
kota, jelas atas desakan ayah-ibunya. Mereka rela berkorban harta-benda, agar
kelak, Mila bisa mendapatkan pekerjaan yang bergengsi di bilik kantor. Sebuah
posisi kerja yang pas dan sepantasnya untuk seorang perempuan. Namun kenyataan
hidup berkata lain. Jalan yang ia pilih, telah mengantarnya pada akhir yang tak
diharapkan.
Kini,
ada kegalauan yang mendera perasaan Mila begitu dahsyat. Takut kalau-kalau ia
tak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi ia memiliki seorang anak yang jelas
memiliki kebutuhan segala macam. Sedangkan bekerja sebagai petani, bukanlah pekerjaan
yang bisa dilakoni perempuan secara baik. Termasuk juga Mila, yang sedari
kecil, tak biasa mengurus kebun. Sampai sejak kedatangannya, ia hanya kuasa memandangi
lahan perkebunan yang kosong di belakang rumah, tanpa tahu harus bertindak
bagaimana.
Pagi
ini, setelah membersihkan pekarangan rumah dari rumput liar, juga menata bunga
yang bercabang sembarangan, Mila pun rihat di kolong rumah, di atas bale-bale bambu.
Ia melepas penat, sembari mengayun sang anak yang kerap merengek. Ia merencanakan
untuk beristirahat sementara waktu, sembari menyusun rencana dan menguatkan
diri untuk segera menggarap kebun peninggalan ayahnya yang sempit.
Tekad
Mila pun bulat. Ia hendak melakukan pekerjaan kotor itu sesegera mungkin. Tak
peduli ia akan berpeluh di bawah terik, juga perih tergores benda-benda tajam. Jelas,
ia tak ingin menunggu lama untuk memanen singkong dan sayur dari kebunnya
sendiri. Paling tidak, hasil kerja keras itu, akan membuat uang simpanan yang ia
peroleh sebagai pekerja serabutan di kota, tak terkuras habis. Atau malah, ia
mendapatkan uang tambahan dengan menjual hasil panen yang lebih.
Syukur
bagi Mila. Untuk beberapa waktu, ia bisa bernapas tenang. Semasih sang surya
meninggi di titik tiga puluh derajat, rezeki datang tiba-tiba. Seorang wanita bernama
Inggit yang ia tahu tumbuh besar di desa seberang, yang ia pun tahu sedikit
latar belakang keluarganya, datang membawa semangkuk sup ubi dan sekantong ubi mentah.
Perempuan bertutur lembut itu, juga membawa serta beberapa pakaian bayi, bekas
anaknya sendiri yang telah bertumbuh.
“Bagimana
kabar anakmu?” tanya Mila, setelah mengucapkan kesan-kesan sungkan, terima
kasih, dan basa-basi secara berulang dan panjang lebar.
Inggit
tersenyum lepas. “Anakku baik-baik saja. Dia saat ini berada di rumah. Mungkin
sedang bermain-main dengan Ayahnya.”
Mendengar
pertanda keharmonisan keluarga Inggit, sungguh membuat perasaan Mila
cemburu. “Sungguh beruntungnya kau mendapat suami yang baik dan bertanggung
jawab,” tuturnya. Terkesan hendak berbagi keluh hati soal keluarganya sendiri
yang berantakan.
Inggit
mencoba menepis pujian itu. Apalagi ia tahu dari suaminya sendiri, kalau Mila
adalah seorang janda. Ia tak ingin melakukan perbandingan. “Tidak juga.
Kadang-kadang, ia jadi kurang bersahabat. Tapi selama ini, sikapnya masih dalam
batas yang wajar.”
“Tapi
kau bahagia punya suami sepertinya, kan?” tanya Mila lagi.
Inggit
mengangguk. Sedikit heran atas fokus pertanyaan Mila. “Sejauh ini, ia masih
menjadi suami yang baik untukku, dan menjadi ayah yang baik untuk anakku. Aku
akui, ia punya rasa tanggung jawab yang tinggi pada kepentingan keluarga,” katanya,
tapi enggan balas bertanya untuk tema yang sama.
“Syukurlah.
Andai saja suamiku sebaik suamimu, aku pastilah tak khawatir pada masa depan aku
dan anakku sendiri,” keluh Mila, tanpa perlu ditanya.
Inggit
pun jadi iba. “Aku mengerti perasaanmu. Tapi kau tak perlu bersedih. Tak perlu
kepikiran terus masa lalu. Lebih baik melakukan sesuatu demi masa depan anakmu,”
tutur Inggit, tanpa menyadari kalau ia telah mengutarakan kalimat-kalimat
serupa motivator.
Mila
tampak murung.
“Kudengar-dengar,
dulu kau sempat juga kuliah di kota. Kau sekampus dengan suamiku, kan?” tanya
Inggit dengan sikap segan.
Seketika,
Mila tersentak mendengar pertanyaan Inggit tentang masa-masa kuliahnya. Ada
keengganan untuk berbagi kisah. Tapi ia tetap ingin terlihat ramah, meski ia
harus menuturkan soal kepahitan hidup. “Ya, kami sekampus. Tapi kami punya
pergaulan yang berbeda.”
Timbul
keinginan Inggit untuk mengulik masa lalu suaminya lebih dalam. “Bagaimana pendapatmu
tentangnya?” selidik Inggit, sedikit kaku. “Maksudku, apa di kota ia berperangai
baik?”
Mila
mengangguk. “Ya. Sepanjang yang kutahu, ia adalah lelaki yang baik. Ia ogah turut
dengan tingkah liar anak-anak di kota. Ia termasuk mahasiswa yang tak banyak
tingkah, berprestasi, dan juga disegani.”
Inggit
tersenyum lebar. “Bagaimana soal kedekatannya dengan wanita? Maksudku, apa ia
punya kekasih semasa kuliah?” tanya Inggit segera, tanpa ingin mengulur jeda. Tampak
sangat penasaran.
“Aku tak tahu soal itu. Tanyakan saja padanya,” jawab Mila, seketika. “Memangnya kenapa?”
Inggit
termenung sejenak, kemudian menggeleng. “Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu.
Hitung-hitung, aku punya bahan singgungan saat kami bercanda,” katanya, sambil
tersenyum.
Dan
jelas saja, Mila menyimpan satu rahasia besar tentang suami Inggit. Ia tahu
betul tentang lelaki itu. Sosok yang pernah memiliki perasaan untuknya, dahulu.
Bahkan demi perasaan cinta, ia rela berkuliah di satu kampus yang sama dengan
Mila. Hingga, ia pun mengutarakan maksud untuk mengajak Mila pulang kampung dan
menikah, dengan janji akan menjadi sosok suami yang baik dan bertanggung jawab.
Tapi nahas, Mila menolaknya mentah-mentah, demi gairah masa mudanya, juga demi
seorang lelaki urakan, anak seorang bos perusahaan yang bergelimang harta.
Kau ini siapa? Mana mau aku menikah
dengan orang kampung sepertimu. Tak ada sedikit pun niatku untuk pulang dan
hidup sengsara di sana. Kau kira, bagaimana hidupku kalau menikah denganmu?
Bahagia? Paling juga kita hidup sengsara dari hasil berkebun yang nihil! Pokoknya,
jangan lagi kau katakan soal perasaanmu padaku. Aku tak suka!
Demikianlah
kata-kata Mila. Ia mengucapkan itu secara emosional. Satu adegan yang masih
membekas di memorinya sampai saat ini. Sumpah serapah yang ia sesali, mungkin
untuk seumur hidup.
Berselang
beberapa detik selanjutnya, Inggit pun membuyarkan keheningan. “Oh, iya, maksud
lain saya ke sini, sebenarnya untuk memberitahukan padamu, kalau kau perlu
menghadap ke kantor kepala desa besok. Kau butuh didata ulang sebagai penduduk
di sini. Suamiku yang berpesan begitu,” tutur Inggit, sambil tersenyum. “Mungkin
kau sudah tahu, suamiku adalah kepala desa di sini.”
Dan
seketika, kekalutan melanda perasaan Mila, semakin dahsyat. Ia menggguk pelan,
kemudian berucap kaku, “Aku usahakan, kalau tak ada halangan.”
Dalam
hatinya, Mila jelas tak kuasa membayangkan bagaimana suasana pertemuannya
dengan seorang lelaki, suami Inggit, esok hari. Betemu dengan seseorang lelaki yang
pernah memiliki kisah tak sejalan dengannya.
Detik
demi detik berganti. Inggit kemudian pamit dan pergi, meninggalkan Mila bersama
rahasianya.
Matahari kian meninggi. Pagi telah lewat. Dan tiba-tiba, Mila enggan berurusan dengan kebun di belakang rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar