Kamis, 28 Desember 2017

Ada Dendam yang Harusnya Kuimpaskan dengan Cinta

Langit tampak cerah malam ini. Bintang-bintang yang kau puja, berpijar di tempat yang jauh. Menjadi serupa manik-manik yang berkerlipan di sekeliling purnama. Memancarkan kehangatan di hati kita masing-masing. Mendamaikan sepi. Sampai kita terbayang hari esok, dan sejauh masa depan kita bersama. Menuntun imajinasi kita menapaki anak tangga di jalan angan-angan, hingga kita berpisah suatu saat.

Kuyakin pasti, bersama rindu, kau sedang merenungkan kita di bilik kamarmu yang sunyi. Duduk pada sebuah kursi yang menghadap tepat di jendela, dengan tangan meneleku pada meja. Mendengarkan lagu Fireflies atau Vanilla Twilight milik Owl City, atau sejenisnya, sambil memandang benda-benda langit yang merangkai imajinasimu. Merenungkan jalan cerita terbaik, untuk kita menuju kebersamaan, suatu hari nanti.

Dan kupastikan, angan-angan liarmu menjelma jadi sebentuk puisi. Di bawah sorot lampu belajar, kau akan menulis kata-kata indah untuk menyiratkan hasratmu padaku. Hingga tergoreslah penamu pada kertas. Merangkai doa untuk kau dan aku, di sepanjang waktu. Mengukir bayangan keluarga kita di masa depan. Melukis hidup yang terhias anak-anak menggemaskan, kelak. Dan, tak ada yang kuasa mengakhiri.

Sampai akhirnya, hujan deras jatuh dari langit. Menerpa bumi yang membentangkan jarak di antara kita yang membisu. Mendentingkan senandung lirih, hingga kisah-kisah kita yang lampau, terkuak kembali. Menaburkan bunga-bunga rindu di antara kita, yang berada pada ruang berbeda, yang saling bertanya tanpa menuntut jawab. Kau di sana, dan aku di sini, saling menerka angan masing-masing. Sebatas begitu.

Kutaksir, kantuk akan menyerangmu di tengah kepungan dingin yang menusuk. Kau pun memilih berbaring nyaman di kasur empuk, sambil membungkam telingamu dengan lagu-lagu melankolis. Mungkin lagu Again-Bruno Mars, Amnesia-5SOS, atau lagu lain yang pernah kita dengar bersama. Sampai kau hanyut ke dalam khidmat yang tiada tara. Menenggelamkanmu dalam kenangan, hingga segenap indramu, terfokus untuk merespons sesuatu yang maya.

Ketika sadarmu pulih, bahwa kita tetaplah berjarak di dunia nyata, kau pun akan menyibak matamu, kemudian menoleh pada jendela kamar yang buram. Mencari-cari benda langit yang bisa kau ajak bicara dan berbagi keluh. Tapi semuanya bersembunyi. Hingga kau kembali menyerah pada keheningan. Kau lalu mematikan lampu-lampu. Meredupkan cahaya di bilik sepimu. Sebab tak ada lagi yang ingin kau lihat, selain berkas kenangan kita di memorimu, dari awal pertemuan, hingga sore tadi.

Di tengah nostalgia berulang itu, kala kau sedang menapaki kisah kita, detak jantungmu akan mengencang pada berkas momen tertentu. Merasa candu saat-saat kita begitu dekat, tanpa predikat apa-apa. Entah ketika kita bercanda di ruang kampus, selangkah di tengah kota, atau sesadel di bawah terik dan hujan. Kau akan mengkhidmati itu, sambil menarik napas dalam-dalam. Hingga bau tembok yang basah, menyesaki rongga pernapasanmu, dan kau semakin larut dalam suasana. 

Jelas, rasa rindu setelah kita berpisah tujuh jam yang lalu, akan mambuatmu tetap terjaga. Kau jadi betah mengulas tentang kita, ketimbang larut dalam adegan bunga tidur yang kadang mengecewakan. Kantung matamu yang berat pun, tersibak kembali, demi menemuiku lewat telepon genggammu. Mengulas percakapan kita di media sosial, sambil menebak-nebak maksud di setiap kata dan tanda. Hingga kau mengintip semua unggahan statusku, yang terpampang di berbagai lini media sosial.

Tak akan ada yang kuasa mengakhiri sakaumu itu, kecuali kantuk yang tak tertahankan lagi. Dan hampir jam 2, kuyakin, kau baru saja mengakhiri penelusuranmu di alur sejarah kita. Kau lalu memandangi langit-langit kamarmu yang remang, sambil berharap aku mengirimkan pesan secara tiba-tiba. Sampai akhirnya, kau lelah menunggu ketidakpastian, hingga terlelap tanpa rencana, saat daftar lagu melankolis, belum terputar seluruhnya.

Dan aku yang sedari tadi duduk termenung di sebuah kafe, sambil membayangkan adegan-adeganmu yang tengah dilanda kekalutan, menyerah juga pada kantuk. Demi menjamin bahwa kita akan bertemu di kampus esok pagi, aku pun beranjak pulang, untuk segera tidur. Aku tak ingin datang terlambat dengan tampilan buruk, hingga kau jadi tak senang. 

Soal tugas kuliah yang diperjanjikan untuk kita kerja bersama, sudah pula aku tuntaskan. Sisa disetor. Aku ikhlas mengerjakannya, dan tak mesti kau turut dan terbebani. Dan aku tahu, karena itu, esok pagi, kala kita bertemu, kau akan menyampaikan penyesalanmu. Kau akan mempersalahkan dirimu, sebab tega membiarkanku berkorban untukmu, dan kau malah tak peduli untuk ke sekian kalinya. Tapi sungguh, bagiku, itu bukanlah masalah. 

Detik demi detik berganti. Akhirnya, pagi menjelang. Aku pun meniti jalan ke kampus dengan penuh semangat. Aku berharap kita segera bertemu, sehingga kau tak perlu menahan rindu sedetik yang serasa setahun. 

Hingga, tak berselang lama sejak kedatanganku, kau muncul dengan langkah bergegas. Kau lalu mengungkapkan penyesalan seperti yang kukira. “Maafkan aku karena tak bisa menyusulmu di kafe semalam,” katamu, dengan mimik yang mengibakan. “Kamu tak marah, kan?”

Aku menggeleng, sambil tersenyum. “Tak apa-apa. Kau tak usah merasa bersalah. Aku tahu, semalam hujan,” kataku, lalu mengambil sebuah makalah yang telah terjilid rapi dari dalam tasku. “Kau juga tak usah khawatir. Aku sudah menyelesaikannya, kok. Sisa dikumpul saja.”

Kau mengecek hasil pekerjaanku. Perlahan, kau tampak semringah. Hingga seuntai senyuman, terukir di wajahmu. “Terima kasih banyak, ya. Aku tak tahu harus bilang apa. Ini pengorbananmu yang ke sekian kalinya. Dan aku yakin, tak akan bisa membalasnya.”

“Jangan berterima kasih. Anggap saja, ini memang sudah seharusnya,” sanggahku.

Kau tampak tersipu.

Seketika, aku ingin menyelisik kebenaran khayalku tentang dirimu semalam. “Apa tadi malam tidurmu nyenyak?” selidikku, sambil menafsir-nafsir bahwa kau akan menggeleng, kemudian menjelaskan bahwa kau sulit terlelap karena terbayang-bayang padaku.

Kau benar-benar menggeleng. “Semalam, aku tak sempat tidur enak,” katamu, kemudian menuturkan alasan yang tak sesuai dugaanku. Satu alasan yang tak aku suka. “Aku harus menemani Kak Reyon di rumah sakit. Ayahnya sakit, dan ia butuh teman untuk berjaga. Aku menemaninya sampai subuh. Memangnya kenapa?”

Dengan emosi tak terkendali, aku segera menimpali. “Bukankah sebagai seorang perempuan, kau sebaiknya pulang ke rumah sebelum tengah malam, dan tidur sebelum larut?” tanyaku, tak sadar menuturkan nasihat bak seorang ayah.

Sejenak, kau tampak heran dengan sikapku, tapi kemudian menjawab juga dengan sikap biasa. “Ya, benar. Aku juga tak suka begadang. Tapi kupikir, tak ada salahnya menemani dia begadang barang semalam untuk perihal yang memang perlu. Aku merasa harus melakukannya,” katamu, tanpa rasa bersalah, bahwa semalam, kau telah mengabaikanku. Tanpa sadar, kau telah berlaku tak adil.

Tak berselang lama, seorang lelaki, senior di kampus yang kau maksud, datang menghampiri kita. Dia hanya melayangkan senyuman padaku, sekenanya, kemudian bertutur padamu, “Aku berencana pergi belanja. Membeli beberapa keperluan untuk Ayah di rumah sakit. Kau bisa ikut, kan?”

Kulihat dengan kepahitan, kau mengiyakannya dengan begitu senang. Kau lalu menoleh padaku, kemudian berucap, “Maaf untuk ke sekian kalinya. Aku harus pergi. Maaf tak bisa hadir di kelas dan menemanimu mengumpulkan tugas.” 

Aku mengangguk bodoh. Bingung, seperti orang dungu yang tak waras.

Seketika, aku menyadari betapa tak adilnya hidup ini. Aku harus melanjutkan jejak pengorbananku untukmu, kala kau bersenang-senang dengan orang yang lain.

Tanpa basa-basi lagi, kau benar-benar menghancurkan khayalku bersamamu, “Sampai jumpa,” pungkasmu, sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Pergi, tanpa rasa berdosa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar