Senin, 20 November 2017

Terpasung Kenangan

Pilihan Alim untuk kembali ke kampung setelah memperoleh gelar sarjana, benar-benar di luar dugaan. Sebagaimana pandangan warga kampung pada umumnya, seorang sarjana akan dianggap gagal jika akhirnya pulang ke kampung, apalagi kembali untuk menjadi seorang petani. Tapi itulah kenyataan yang terjadi. Lelaki bergelar sarjana ekonomi itu, lebih memilih mengurus kebun kelapa, daripada menjadi pegawai di kantor dengan pendingin ruangan.
 
Almarhum Sudi, seorang lelaki yang telah membesarkan dan mengumpulkan bekal dana yang cukup untuk pendidikannya hingga selesai kuliah, jelas tak ingin Alim kembali mengais rezeki di kampung. Sudi bahkan sengaja menyekolahkan Alim jauh-jauh dari kampung sejak di bangku sekolah menengah pertama, agar ia mengenal pergaulan yang lebih luas. Namun apa boleh buat, mungkin malah atas kerinduan akibat terpisah jarak di waktu yang lama itulah, Alim tak kuasa lagi untuk pergi.

Keputusan Alim, juga begitu mengagetkan bagi istri alamarhum Sudi, Linda, sosok perempuan yang telah membesarkannya sejak kecil. Perempuan itu, jelas mengharapkan supaya Alim mencari penghidupan yang lebih baik di kota, dengan bekal gelar sarjana. Tapi setiap kali kerisauan itu ia ungkapkan, Alim akan punya sejuta alasan untuk mengelak. Salah satunya demi menjaga ia yang mulai renta; sebuah alasan yang membuatnya terharu ketimbang kecewa.

Dan di satu sore, pada hari kedua Alim tiba di kampung, peristiwa tak terduga pun terjadi. Alim terjatuh semasih menanjaki takik-takik di tengah pohon kelapa. Sebuah kejadian yang membuat Linda heran dan keget setengah mati. Apalagi, sedari kecil, Alim memang tak pernah diajar, bahkan dilarang untuk memanjat pohon kelapa. Linda dan suaminya, memang telah bersepakat bahwa Alim tak akan mereka biarkan melakukan pekerjaan yang membahayakan semacam itu.

“Apa yang kau lakukan, Nak? Untuk apa kau panjat-panjat pohon kelapa? Kan sudah kubilang, kau tak boleh sekali pun melakukannya,” gerutu Linda pada Alim, sambil mengecek serta mengobati luka di lutut dan siku lelaki itu.

Alim yang hanya meringis kesakitan, mencoba memelas. “Apa salahnya, Bu? Toh, tingginya kelapa memang untuk dipanjat. Tak ada yang salah, kecuali aku memang salah, sebab tak belajar memanjat kelapa dari dulu.”

Linda jadi kesal mendengar jawaban Alim yang terkesan berguyon. “Nak, aku mohon untuk satu hal saja, jangan anggap memanjat kelapa sebagai permainan yang patut dicoba-coba. Jangan lakukan lagi!” tegasnya, dengan mimik yang serius.

“Apanya yang salah, Bu? Ayah pun melakukannya. Masa aku tidak boleh?” tanya balik Alim, seakan menganggap penegasan Linda belum cukup untuk membuatnya diam dan menerima aturan tersebut begitu saja.

“Iya! Sebab Ayahmu meninggal karena itu!” tegas Linda. “Aku tak mau kehilangan orang yang kusayangi hanya karena persoalan panjat kelapa!”

Seketika, Alim terperanjat. “Apa? Bukannya kata Ibu dahulu, Ayah meninggal karena serangan jantung saat mengurusi ladang?”

Linda menggeleng. “Bukan, Nak,” katanya, sembari menatap mata Alim dengan penuh kesedihan. “Maaf karena telah merahasiakan kenyataan itu darimu, Nak. Tapi kurasa, memang sudah saatnya kau tahu.”

Tiba-tiba, air mata Alim menetes. Ia tak meragukan lagi dugaannya sedari dulu, bahwa memang ada rasa bersalah yang harus ia tebus pada Sudi, seorang lelaki yang dipanggilnya “ayah” sedari dulu. Ia tahu betul bahwa kepergian lelaki tangguh itu, terkait erat dengannya. 

Kala itu, hujan rintik-rintik sedang turun. Dan Alim tahu, Sudi memanjat kelapa bukan untuk mendapatkan buah yang hendak dijual atau ditanak. Ia tahu, sikap manjanyalah sebagai penyebab lelaki bertubuh kekar itu pergi untuk selamanya. Hanya karena tak ingin memarut buah kelapa, ia pura-pura sakit perut usai memakan tangkapan ikan dari sungai, seakan-akan keracunan. Tanpa pikir panjang, Sudi pun segera mendaki pohon kelapa dengan takik-takik yang licin. Hingga sampailah kabar duka itu. Sudi terjatuh dari pohon kelapa, dan kepalanya terbentur pada sebongkah batu. Ia meninggal beberapa jam kemudian.

Atas dosa-dosa yang telah membawanya pulang, Alim pun bertekad mendamaikan diri dengan rahasia besar itu. “Maafkan aku, Ibu. Kuduga, meninggalnya Ayah ada hubungannya denganku.”

Tanpa melanjutkan penuturannya, Linda seketika memeluk Alim.

“Akulah yang membuat Ayah meninggal. Aku…,” katanya Alim, disusul tangisnya yang pecah.

Linda kemudian menyela. “Tak usah lanjutkan penjelasanmu, Nak. Aku sudah tahu soal itu. Sebelum ayahmu pergi memanjat kelapa untukmu, waktu itu, ia telah mengutarakan tujuannya padaku,” tutur Linda, kemudian mengurai pelukannya. “Aku tak pernah sedikit pun menyalahkanmu, Nak. Itu memang sudah jalan takdirnya.”

Tangis Alim pun menjadi-jadi.

Linda kembali memeluknya.

Diam-diam, Linda menyimpan rahasia besar yang tak akan mungkin diketahui Alim. Sebuah rahasia yang juga menjadi alasannya, sampai tak sedikit pun berani menyalahkan Alim atas kepergian suaminya. Sebuah alasan yang terkait dengan suaminya, juga asal-usul Alim. 

Linda terkenang lagi beberapa tahun yang lampau, ketika Alim belum tertarik merekam peristiwa apa pun dalam memorinya. Kala itu, ayah kandung Alim dari desa yang jauh, datang berserta Alim, tanpa sosok ibu yang kabarnya telah meninggal. Ia tiba tanpa perbekalan apa pun, sambil memohon dijadikan pekerja di kebun. 

Dan Linda tahu betul, meninggalnya ayah Alim disebabkan oleh dirinya. Di tengah hujan gerimis, suaminya memerintahkan ayah Alim untuk memanjat pohon kelapa. Kala itu, Linda membutuhkan kelapa muda untuk mengatasi gejala keracunan yang ia alami. Ayah Alim yang tak ubahnya babu, akhirnya manut saja tanpa banyak kata. Dan ketika itu juga, ayah Alim jatuh dari pohon kelapa, lalu meninggal setelah dirawat selama dua hari di rumah sakit.

Kini, Linda masih terkurung dalam kenangan pahitnya. Sebuah cerita yang masih akan ia rahasiakan, entah sampai kapan.

“Nak, sudikah kau memaafkan aku atas segala sesuatu yang tidak kau ketahui?” tanya Linda.

Alim menatap Linda penuh keheranan. Seakan ada yang ganjil dengan permintaan maaf itu. “Ibu tak punya salah apa-apa padaku. Akulah yang banyak salah pada Ibu, dan mungkin tak pantas untuk dimaafkan. Kalau pun Ibu punya salah, aku telah memaafkannya, bahkan sebelum Ibu melakukan kesalahan itu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar