Senin, 20 November 2017

Tempat Persinggahan

Kehidupan berumah tangga, ternyata tak selamanya menentramkan. Sama pula yang dirasakan Hendro. Penantian dan kegelisahannya soal pendamping hidup selama belasan tahun, telah ia akhiri dengan menikah. Namun keputusan itu, malah memerangkapnya dalam kekalutan yang sempurna. Hendak mengenyahkan kesepian, tapi ia malah jatuh dalam keterasingan yang sempurna. Ada dalam kebersamaan, tapi tak saling melengkapi.
 
Hendro yang lahir di perkampungan, sebagai buah cinta sepasang petani, memang telah menyaksikan kebersamaan yang harmonis dalam ikatan suami-istri. Masa kecilnya dihiasi tayangan kasih sayang antara ayah dan ibunya. Dua insan yang membentuk konsepnya soal nuansa indah berumah tangga itu, betah saling melengkapi sepanjang waktu. Meski sesekali Hendro mendengar percekcokan, tapi ketegangan lekas mereda, sebab jiwa dan raga keduanya, tak pernah benar-benar berjarak.

Keharmonisan kedua orang tua Hendro, tak lain disebabkan oleh kesalingpengertian tentang tanggung jawab masing-masing. Ia menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya  memanjakan padi di sawah, hingga lewat tengah hari. Tugas itu dilaksanakan sang ayah dengan penuh keikhlasan, demi keluarga. Sedangkan di posisi lain, ibunya yang kadang ikut membantu sekadarnya di sawah, tak juga melalaikan perkerjaan rumah, terutama menyiapkan hidangan lezat dan menyambut suaminya dengan senyuman sepulang kerja.

Berkas-berkas keharmonisan orang tuanya, kini hanya jadi bahan pembanding yang memilukan bagi Hendro. Keluarga kecilnya yang menetap di kota, dalam suasana yang penuh hiruk-pikuk, membuatnya rindu mengecap kasih sayang dalam kesedehanaan, seperti kedua orang tuanya di desa dahulu. Tapi apa mau dikata, demi memenuhi kebutuhan hidup yang tinggi, ia dan istrinya, seakan tak bisa mengendalikan waktu. Mereka sama-sama sibuk, sampai tak sempat menyisakan waktu untuk kebersamaan yang intim.

Keterasingan Hendro setelah berkeluarga, bahkan semakin menjadi-jadi belakangan ini. Jika di awal pernikahan ia masih pulang kantor dengan rasa gembira demi senyuman manis dari sang istri, maka di tahun kelima pernikahan, keadaan berubah drastis. Sesampainya di rumah, tak ada seorang pun yang ia jumpai. Sang istri yang belum sempat melahirkan anak setelah keguguran sebanyak tiga kali, kini menghabiskan sebagian besar waktunya sebagai pegawai di sebuah perusahaaan. Istrinya itu bahkan kerap tiba di rumah lebih lambat darinya, hingga kelelahan selalu menjadi alasannya untuk cuek dan abai.

Dan sore ini, Hendro yang bekerja sebagai pegawai honorer dengan pendapatan yang pas-pasan, tiba di pekarangan rumah. Ia sampai dengan keyakinan akan kepastian yang sama, bahwa ia hanya akan menjumpai kehampaan di dalam rumahnya yang berantakan itu. Tak akan ada makanan yang tersaji di meja makan, atau setidaknya diawetkan di dalam kulkas. Tak akan ada yang menyambutnya, kecuali cicak yang berdecak atau tikus yang berdecit riang di kawasan dapur yang kumuh. Akhirnya pun jelas, semua itu benar-benar kenyataan.

Dengan kegetiran yang berulang, Hendro pun menghempaskan kepenatannya di sebuah kursi yang menghadap ke meja makan. Di depannya, hanya ada secerek air putih, seperti yang biasa tersaji. Sisanya, soal makanan, ia harus mengusahakan sendiri. Sebab itulah, sepulang kantor, ia kerap kali membawa panganan lengkap yang dibelinya di warung sederhana langganannya, di pinggir jalan, yang tak jauh dari rumahnya.

Soal ongkos jajan untuk sarapan, makan malam, juga makan siang, selama ini diperoleh Hendro dari pendapatannya sendiri. Namun beruntung, seminggu lalu, ia mendapat sokongan dana yang mungkin akan cukup untuk beberapa hari ke depan. Dana itu ia peroleh dari bawah pakaian, di dalam sebuah lemari, di antara sela-sela buku laporan keuangan perusahaan milik istrinya. Tambahan rezeki itu membuatnya merasa ringan, hingga tak perlu mengganggu gugat tabungan masa depannya. Terlebih, ia merasa itu adalah haknya sebagai suami yang tak pernah mendapat sajian makanan di rumah.

Keberuntungan lain bagi Hendro di tengah program penghematan, tak berhenti sampai di situ. Di antara hari-hari sejak seminggu yang lalu, ia juga tak sepenuhnya jajan untuk mengisi perut. Dua hari di antaranya, ia membawa pulang makanan pemberian dari seseorang yang dikujunginya sepulang kerja. Dan hari ini, untuk ketiga kalinya, rezeki itu berulang. Keberuntungan itu jelas membuat ia tenang, sebab ada jeda untuknya tidak bertemu dengan pemilik warung beserta para pelanggan yang lain, yang mulai mencurigai ada persoalan di dalam rumah tangganya sampai harus jajan tiap hari.

Dengan hati gembira, Hendro pun perlahan mengurai serantang makanan gratis nan lezat di hadapannya. Ia lalu meramu sajian itu dengan segala macam bumbu siap saji yang menyertai ikan bakar dan ayam goreng. Ramuan yang begitu lengkap, hingga menggugah selera makannya, yang selama ini tak pernah puas hanya dengan makanan sederhana dari warung. Tak butuh waktu lama, yang tersisa hanya rantang kotor berisi tulang belulang.

Kala makanan belum juga mengantre baik di dalam alur pencernaan Hendro, semasih meneguk air sedikit demi sedikit, daun pintu pun berderit. Tak ada suara, baik berupa sapaan atau salam. Karena itu, Hendro yakin, yang datang adalah istrinya sendiri, yang tiba lebih cepat dari biasannya. Dan benar saja, sang istri muncul di depannya, dengan mimik datar dan penampilan aur-auran, khas pegawai yang baru saja selesai menghadapi pekerjaan kantor, kemudian terjebak macet.

Kedatangan istrinya yang secepat kilat, jelas membuat Hendro tak sempat menghilangkan jejak. Bekas sajian, terpampang begitu saja di atas meja. Sesuatu yang memang sebaiknya ia sembunyikan dari pengetahuan sang istri. Bukan karena ada rahasia atau aib yang mesti ia tutup-tutupi, tetapi demi menghindari percekcokan yang tentu lebih menggerahkan daripada sekadar saling mendiamkan sepanjang waktu.

Namun di luar dugaan Hendro, sang istri ternyata tak melotarkan penyataan sepatah kata pun. Ia hanya melirik, kemudian berlalu dengan sikap cuek, tanpa merasa perlu mengomentari tentang rantang yang jelas bukan bagian dari perkakas rumah tangga. Keadaan itu jelas membuat Hendro terheran. Ia merasa sang istri telah begitu mengabaikan dirinya, termasuk pada soal yang memang patut diperkarakan. Ia pun hendak menjelaskannya sendiri, namun urung, sebab ia tahu kalau sikap istrinya tak bersahabat semasih penat sepulang kantor.

Akhirnya, tak ada tutur-sapa. Hanya terdengar dentingan piring yang dijentik Hendro dengan sendok, atau suara gemeresik air dari dalam kamar mandi.

Hingga, beberapa detik kemudian, istrinya, Marni, datang, kemudian berdiri lesu di antara perkakas dapur yang berserakan. Istrinya lalu mengetus tanpa aba-aba, “Besok aku tak masuk kerja lagi,” tuturnya, tanpa menjelaskan lebih lanjut soal alasannya, apalagi meminta tanggapan.

Dengan sikap yang tampak seperti peduli, Hendro pun menyampaikan keprihatinannya. “Memangnya ada apa? Ibu mengundurkan diri?”

“Aku dipecat!” kata Marni, dengan tekanan suara yang melemah. Kesedihan pun tampak di wajahnya. “Aku dituduh menilep uang perusahaan.”

Hendro berupaya tampak terenyak. “Apa? Ibu dipecat? Dituduh menggelapkan uang perusahaan?” katanya, lalu berdiri, menghampiri sang istri. Sambil memegang kedua lengan istrinya dengan kaku, ia kemudian menuturkan kata-kata penyemangat. “Aku yakin, pasti terjadi kesalahpahaman. Aku tahu Ibu orang yang jujur.”

Tanpa kuasa memandang wajah suaminya, Marni pun menunduk tanpa kata-kata.

“Lalu, bagaimana? Apa tak ada cara lagi agar pihak perusahaan memberi Ibu kesempatan untuk memperbaiki keadaan?” tanya Hendro, dengan wajah yang seakan penuh harapan.

Istrinya menggeleng-gelengkan kepala. “Mereka tak percaya lagi padaku,” katanya, sambil menyeka air mata yang tergelincir di pipinya. “Aku bahkan harus mengganti kekurangan uang itu. Jumlahnya tiga juta. Jika tidak, mereka akan melaporkan aku ke polisi.”

“Apa?” sergah Hendro. Ia pun berusaha menstabilkan tampilan dirinya, sebab berurusan dengan proses hukum, jelas tak pernah ia bayangkan. “Kalau begitu, Ibu tak usah khawatir. Masalah ganti rugi itu, biar aku yang tanggung,” kata Hendro, semringah, meski ia tak benar-benar akan mengganti apa-apa, tapi sekadar mengembalikan sesuatu yang telah diambilnya tanpa izin, demi memberikan pelajaran pada istrinya, juga demi sebuah rencana besar.

Seketika, Marni menghempaskan genggaman suaminya. Emosinya melunjak. “Bapak mau ganti dengan apa? Bapak punya persediaan uang?”

Terkesan dianggap remeh sebagai suami, tak membuat Hendro kalap. Itu karena ia memang menyadari, betapa sang istri tak pernah mengandalkannya dalam persoalan ekonomi. Bahkan sambil tersenyum, ia kembali meyakinkan sang istri tentang tawaran baiknya, “Aku punya tabungan yang melebihi jumlah itu. Ibu tenang saja,” tegasnya, sambil berharap-harap semoga akhir dari percakapannya dengan sang istri kali ini, akan menjadi awal kisah yang membahagiakan bagi keluarga kecilnya, seperti kisah rumah tangga orang tuanya dahulu.

Dengan mimik meremehkan, istrinya pun kembali bertanya atas keraguannya sendiri, “Bagaimana bisa? Bapak kan hanya pegawai honorer dengan pendapatan kecil!”

Hendro malah tertawa pendek mendengar remehan itu, “Ya bisalah, Bu. Selama ini kan uang yang harus aku berikan pada Ibu, kusimpan dalam tabungan. Sudah lama sekali Ibu tak meminta uang padaku. Kurasa, sebagai suami, aku wajib memberikan uang itu, sebagai hak Ibu.”

Emosi kemarahan Marni mereda, tapi ia masih tampak cemberut. “Baguslah kalau begitu. Seharusnya memang begitu,” katanya, kemudian mengutarakan singgungan yang berbeda, “Padahal selama ini, aku kira uang simpanan Bapak habis untuk perempuan lain!”

Dituduh main perempuan, jelas sesuatu yang sensitif. Tapi hal itu, juga tak membuat Hendro naik darah. “Mana bisa aku berpaling dari Ibu. Yakinlah, aku tak akan mengkhianati pernikahan kita.”

Kembali, kekesalan Marni berwujud kemarahan. Ia lalu memandang suaminya dengan tatapan nanar. “Lalu bagaimana dengan sepeda motor bapak yang terparkir di pondokan khusus perempuan? Bapak kira aku tak lihat dengan mata kepalaku sendiri?” tegasnya, dengan bola mata yang kembali berair. “Nah, rantang itu! Aku yakin itu pemberian dari wanita simpanan Bapak! Jujur saja!” 

Dan akhirnya, ada kesenangan dalam hati Hendro. Ia merasa jalan cerita yang diharapkannya berhasil. “Ibu jangan berpikiran negatif begitu,” katanya, kemudian menggenggam kembali tangan istrinya.

Lagi, Marni kembali menghempaskan tangan sang suami. 

“Aku memang mengunjungi seorang wanita di pondok itu. Seorang wanita yang juga beberapa kali memasakkan hidangan untukku. Tapi itu wajar, Bu. Dia adalah keponakanku sendiri,” sambungnya, sambil tersenyum-senyum. “Ia datang dari kota seberang untuk urusan kantor. Aku mengajaknya tinggal di sini, tapi ia menolak keras,” jelasnya lagi. “Sejak beberapa hari yang lalu, aku hendak menjelaskan itu pada Ibu. Tapi aku tidak menemukan waktu yang tepat, juga takut mengganggu waktu istirahat Ibu.”

Marni tak berkata-kata. Hanya berusaha meredakan tangisnya secara perlahan, dengan malu-malu.

“Yakinlah, aku akan setia dengan ibu sepanjang waktu. Dan karena itu, aku akan melakukan apa pun untuk ibu. Termasuk mencari pendapatan yang lebih menjamin,” katanya, mencoba membesarkan hati sang istri atas keadaan ekonomi rumah tangganya yang rentan.

Sang istri masih bergeming.

“Nah, mulai besok, supaya aku tak lagi berkunjung ke wanita simpananku, Ibu tinggallah di rumah. Biar aku saja, sebagai suami, yang mencari uang untuk kebutuhan hidup kita. Nah, setelah pulang, aku ingin disambut dengan masakan Ibu yang lezat, juga senyum dari wajah manis ini,” gombalnya, sambil menjumput dagu sang istri.

Marni pun tak kuasa lagi menahan senyuman.

Dalam hati, Hendro benar-benar merasa berhasil.

Dan beberapa saat kemudian, sang istri pun berceletuk dengan nada manja. “Tapi Bapak janji, tak akan meninggalkanku jika kupasrahkan kebutuhan hidupku seluruhnya? Bahwa aku tak akan menjadi janda tanpa penghasilan karena ditinggal pergi seorang suami demi wanita lain?” pinta Marni, satu ketakutan yang sebenarnya merupakan alasan pokok yang membuat ia ngotot mencari penghasilan sendiri selama ini.

Hendro membalas dengan anggukan dan senyuman yang meyakinkan, sembari menelan kenyataan pahit bahwa tabungan masa depan untuk keluarga kecilnya, harus terkuras lagi, sebab uang yang telah ditilepnya dahulu, telah berkurang hingga beberapa ratus ribu rupiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar