Senin, 20 November 2017

Seorang Penyebar

Di balik layar laptop, Jusran mengulik peristiwa yang sedang hangat diperbincangkan para warganet. Sebagai wartawan, ia merasa kalau berita yang baik bukan tentang apa yang sebaiknya perlu diketahui masyarakat, tapi tentang apa yang menggelitik rasa penasaran mereka. Maka tampaklah informasi terkait beberapa tindak kejahatan, kenakalan, atau asusila di beranda media sosialnya. Ia pun ikut arus dengan memilih salah satu di antara kasus penyimpangan itu sebagai bahan beritanya.
 
Yang berhasil mencuri perhatiannya kali ini adalah soal tersebarnya video mesum yang diduga diperankan seorang mahasiswi sebuah kampus ternama. Hal itu menarik baginya, sesuai dengan prinsipnya selama ini, bahwa nilai berita terbaik dan patut ditonjolkan adalah seksualitas. Baginya, pemenuhan kepentingan publik atas informasi, tergantung pada bagaimana sebuah informasi menarik bagi banyak pembaca. Tak ada pembaca, mengindikasikan sebuah berita tak berguna.

Demi mengejar target postingan, sebagaimana tuntutan atasannya di ruang redaksi, maka kerja-kerja jurnalistik yang dilakoninya, dibuat sesimpel mungkin. Tak perlu memilah dan memilih narasumber yang kiranya kompoten bicara soal perilaku sosial, semisal para sosiolog atau kriminolog yang teruji. Ia hanya perlu mengontak dan meminta pendapat satu-dua kenalan perempuannya yang berpenampilan menarik, agar mampu meningkatkan daya jual beritanya di mata para pembaca yang labil. Ia hanya ingin pendapat seseorang pengutuk, tanpa perlu ada solusi untuk memperbaiki keadaan sosial.

Tanpa harus berpeluh-peluhan ke sana-sini dan menguras waktu berlama-lama, sebuah berita yang menggelitik rasa penasaran pembaca, akhirnya berhasil ia selesaikan. Ia meramunya sesuai dengan selera redaktur dan pemimpin redaksi, sehingga dilansir tanpa perlu revisi, apalagi ditimbang dari segi etika jurnalistik. Maka, dalam hitungan beberapa menit saja, berita karangannya dengan judul yang sensasional, terpampang di media siber. Dan untuk kesekian kalinya, ia merasa bangga.

Kala malam masih panjang dan kopi di gelasnya baru terkuras seperlima, maka nalurinya sebagai penyebar kabar-kabar, kembali bekerja. Ia masih harus menyelesaikan empat berita lagi, sesuai tuntutan redaksi. Semua itu demi memastikan bahwa ia akan mendapat bonus kerjanya di awal bulan. Akhirnya, taktik yang sama pun, kembali dilakoninya. Kali ini, ia yang lihai mencari sudut pandang isu yang menarik bagi pembaca, kembali membuat dua ulasan tentang video asusila tersebut, dengan memperdalam pada soal identitas terduga pelakon dan tentang keluarganya. 

Dan soal bahan ramuannya kali ini, ia juga tak perlu mencari narasumber semacam ahli hukum atau telematika. Yang dibutuhkan cuma jaringan internet untuk menyusun kepingan-kepingan kabar burung yang berserakan di media sosial. Entah dengan mencomot informasi absurd dari portal berita lain, atau mengambil komentar-komertar para warganet soal video itu, lalu dijadikannya kutipan tanpa perlu konfirmasi.

Dalam sekejap saja, ia telah berhasil meramu dua berita selanjutnya. Berita yang selesai tanpa satu pun wawancara langsung. Berita yang kemudian segera ia kirimkan ke surel redaksi, tentu dengan ramuan judul bombastis. Sebuah judul yang kira-kira bisa menggelitik kelabilan atau kebodohan para pembaca, lalu mengklik tautan berita  itu di media sosial, sehingga rupiah pun mengalir deras untuknya dan perusahaan. Dan untuk ke sekian kalinya, ia merasa menang. 

Sebagai wartawan yang berpendirian, sindiran beberapa orang tentang profesionalitas dan nuraninya, tak berarti apa-apa. Soal dampak berita gubahannya pun, ia tak mau ambil pusing. Ia merasa para warganet yang dihuni orang tua hingga kanak-kanak, bisa menentukan pilihannya sendiri untuk membaca atau tidak membaca sebuah berita. Hitung-hitung, menurutnya, laporan soal video asusila, akan membuat para anak labil berpikir ulang untuk melakukan tindakan serupa, apalagi menyebarkannya. Ya, ia sebagai penyebar kabar, berharap konten tak senonoh semacam itu, tak menyebar.

Atas keletihannya yang ringan, ia pun meregangkan otot, sambil menunggu ilham soal hal-hal menggelitik apa lagi yang perlu ia beritakan. Ia masih menanggung kewajiban dua berita, dan kopinya masih tersisa dua per lima gelas. Dan sebagaimana alur pikirnya kemarin-kemarin, ia kemudian terdorong untuk mewawancarai seorang gadis cantik nan modis, yang masih duduk di bangku kelas I SMP. Mereka saling mengenal setelah gadis itu kerap mengunjungi kafe yang sama, sekadar untuk berleha-leha dengan teman-temannya. Ia pun sigap melakukan perbincangan ringan yang dianggapnya sebagai wawancara. Ia meminta pendapat si gadis soal Hari Anak, juga meminta alamat akun media sosialnya sebagai bumbu berita.

Tanpa menunggu lama, berita ke empatnya pun tandas. Berita soal pendapat seorang gadis tentang mental dan perilaku anak di negara ini. Lagi-lagi, tentu dengan judul yang menantang. Hingga akhirnya, berita itu dilansir beserta foto sang gadis yang dipilihnya sendiri, untuk kemudian disebar layaknya virus di ruang media sosial. Si wartawan pun berhasil melaksanakan pekerjaannya, sedangkan si narasumber senang kebanjiran pengikut di dunia maya. Dan atas berita itu, si wartawan merasa wajar-wajar saja. Bahkan ada kebanggaan di hatinya, sebab telah mewadahi suara seorang anak untuk kepentingan anak-anak sendiri.

Dan ia pun mengalami kebuntuan. Ia sulit menemukan ide menarik untuk berita terakhirnya hari ini. Memecah berita soal siswi dan Hari Anak, dipikirnya terlalu berlebihan. Bagaimana pun juga, ia tetap berusaha agar beritanya tak dianggap murahan atau gampangan. Hingga akhirnya, sebuah petunjuk, masuk di telepon genggamnya. Ada pesan singkat dari kantor kepolisian, tempatnya kerap memperoleh bahan berita kriminal dan kenakalan remaja. Pesan itu mengabarkan bahwa polisi baru saja mengamankan pelaku kejahatan seksual yang masih di bawah umur. Jelas, peristiwa itu memenuhi nilai berita yang ia idamkan.

Setelah menandaskan kopinya, ia pun bergegas pergi dengan hati yang gembira. Sebagai seorang penyebar kabar, ia merasa punya bahan lagi untuk berkontribusi bagi perlindungan anak di negeri ini. Menyebar berita-berita asusila untuk memberikan efek jera bagi para pelaku, juga sebagai pelajaran yang penting bagi masyarkat umum. 

Sesampainya di kantor polisi, ia sedikit kesal. Sial baginya, setelah terjebak macet di tengah hujan deras yang terus mengguyur, ia datang terlambat. Si pelaku, telah meninggalkan kantor kepolisian, sehingga ia harus mencarinya di tempat yang lain, demi foto dan kutipan. Tapi sebagai langkah taktis, ia pun terlebih dulu mewawancarai pihak kepolisian dengan sikap yang profesional, demi menjaga citra di mata para mitra kerjanya. 

Dan setelah mendapat kabar tentang identitas pelaku yang masih sumir dan samar, kronologi kejadian, juga proses hukum ke depan, sang wartawan pun bertanya soal bagaimana langkah identifikasi tindak kriminal remaja dan upaya pencegahan yang dilakukan pihak kepolisian. Ia tahu, setiap narasumber yang berpangkat, selalu suka jika diberikan wadah untuk menyampaikan ceramahnya kepada masyarakat. 

“Bagaimana hubungan pelaku dan korban,” tanya Jusran.

“Mereka sebenarnya bukan sahabat juga. Mereka baru berkenalan beberapa hari melalui media sosial. Dari pengakuan pelaku, si korban dikenalnya melalui sebuah portal media online yang melansir profilnya. Dan mereka pun sepakat berkenalan di dunia nyata,” jawab si polisi yang bertindak sebagai kepala operasi dalam kejadian tersebut.

“Dari pemeriksaan tadi, apa yang mendorong pelaku sampai tega melakukan pelecehan terhadap korban?” tanya Jusran, dengan mimik yang serius dan tangan yang kokoh menyodorkan alat perekam.

“Dari pengakuan pelaku, dia terpengaruh tayangan-tayangan porno. Lebih spesifiknya, ia terdorong setelah menyaksikan video mesum seorang mahasiswi yang belakangan menyebar di media sosial. Seperti yang sama-sama kita ketahui, anak-anak yang terpapar tanyangan semacam itu, jelas berdampak sangat buruk bagi emosi dan perilakunya,” kata sang aparat kepolisian.

Jusran lanjut bertanya, “Dari mana si pelaku mendapatkan tayangan video mesum itu?”

“Dari pengakuannya, ia mencarinya sendiri si internet, setelah banyak akun media sosial dan portal berita yang menggembar-gemborkannya. Apalagi sebagai anak-anak, ia jelas punya rasa penasaran yang menggebu-gebu untuk setiap hal yang belum ia ketahui,” jawab si polisi dengan suara jelas dan lantang.

Dan untuk terakhir kalinya, si wartawan meminta harapan atau imbauan si aparat. “Terakhir, Pak, sebagai pengayom masyarakat, apa yang Bapak harapkan bagi perlindungan anak-anak di negara ini, apalagi hari ini bertepatan dengan Hari Anak?”

Sang polisi pun menjawab, “Ya, perlindungan anak merupakan tanggung jawab semua pihak. Harus ada peran bersama antara pemerintah, orang tua, pihak pendidik di sekolah, termasuk juga para wartawan,” katanya.

Setelah merasa bahannya lengkap, Jusran pun segera beranjak mencari pelaku pelecehan yang berada di kantor lembaga bantuan hukum khusus anak dan perempuan. Jelas, ia hendak mengambil seberkas foto si pelaku sebagai bumbu penyedap berita, juga tambahan wawancara alakadarnya. Dengan begitu, ia akan optimis bahwa ramuan beritanya mendulang banyak pembaca, sebagai faktor pendapatan yang penting. Apalagi atasannya di redaksi sepaham dengannya soal berita yang baik, bahwa kadang-kadang perlu juga memuat identitas dan foto pelaku kejahatan, tanpa perlu mempertimbangkan umur dan kode etik jurnalistik. Langkah itu, demi menumbulkan efek jera, katanya.

Dan sesampainya di kantor bantuan hukum, tersentaklah Jusran kala menyaksikan istrinya meraung-raung sambil tersedu sedan di hadapan anaknya sendiri. Khayalan tinggi tentang berita yang fenomenal pun, luluh seketika. Lenyap, seiring kesadarannya, bahwa rancangan berita soal kasus asusila yang membuatnya menggebu-gebu, menempatkan anaknya sebagai objek, juga akan menyeret ia dan istrinya. Dan tingkah lihainya mengambil gambar pun, lenyap seketika. Tangannya gemetar, tak terkendali. Seketika, ia memahami satu hal, meski tak memahami satu persoalan yang lebih besar atas tindak-tanduknya sebagai seorang wartawan.

                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar