Senin, 20 November 2017

Ratapan di Hari Tua

Hari tua adalah sejarah yang panjang. Seperti lembaran akhir buku yang harus dicapai setelah lembaran-lembaran awal. Sebuah penghujung dari berkas-berkas cerita yang diistilahkan kenangan. Masa di mana usia menjadi deretan detik yang merangkai sebuah lakon yang nyaris lengkap dan tamat. Searsip kisah yang kerap dijadikan bahan refleksi dalam menimbang-bimbang, tetang apa yang telah dan akan dilakukan sepanjang waktu.
 
Jasri, lelaki tua yang kini berstatus kakek, terperangkap dalam ruang nostalgianya. Tersenyum-senyum sendiri kala mengenang jejaknya di masa lalu. Jejak yang membuat ia terkenang dalam memori segenap warga desa. Ada sebuah jasa yang membuatnya patut digolongkan sebagai pahlawan kemerdekaan, khusus di desanya sendiri. Dialah yang dahulu mengusahakan pemekaran desa, sehingga warga yang dahulu dianaktirikan, bisa berkembang lebih baik.

Lakon Jasri tak berhenti pada soal pemekaran. Di awal desa baru terbentuk, atas jasa-jasanya, para warga mengamanahkan ia sebagai kepala desa. Dimulailah sejarah kepemimpinannya. Sebuah momentum baginya untuk membuktikan bahwa bebas dari desa induk, memang merupakan keputusan terbaik. Bukan sebaliknya, bahwa warga desa tetap jatuh di lubang yang sama, di dalam kungkungan aparat pemerintah desa yang korup.

Dan seiring waktu, terperciklah noda-noda pada lembaran kehidupan Jasri. Balas budi warga yang mendaulatnya sebagai kepala desa, tak ia jalankan secara amanah. Semua program desa dirumuskan secara tertutup dari, oleh, dan untuk kroni-kroninya sendiri. Program itu pun diselenggarakan tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Hingga, sampailah ia pada masa kehancuran, tatkala hakim memvonisnya bersalah atas penyalahgunaan dana desa.

Sungguh, Jasri telah berlaku kalap. Jabatan dan tuntutan, benar-benar membuatnya lupa diri. Dana desa yang alakadarnya di masa lalu, sengaja ia salah gunakan demi kepentingan pribadinya. Entah untuk mewujudkan keinginan istrinya atas sebuah mobil, atau keinginan lain layaknya wanita sosialita. Entah juga untuk memenuhi keinginan anak semata wayangnya yang terus meminta sepeda motor kualitas terbaik, serta alat-alat elektronik lainnya. 

Atas noda hitam dalam sejarah hidupnya, Jasri pun dilanda kekalutan di masa tua. Raut wajah ceria yang ditampakkannya di masa muda, kini terkubur dalam rona murung. Ia bahkan kerap bersikap aneh. Dalam beberapa waktu, wajahnya terlihat berseri-seri, tapi lekas berubah masam. Ketidakstabilan itu, terus berulang. Dan akhirnya bisa dipastikan, ia tak waras lagi ketika terkenang masa lalu yang memosisikan dirinya di antara jasa dan dosa.

Oleh karena lembaran hidup yang abu-abu, Jasri pun kehilangan wibawa di mata warga desa. Jika dahulu ia dielu-elukan, maka sekarang, tidak lagi. Kata-katanya sekadar jadi bahan pergunjingan. Tingkah lakunya yang aneh, bahkan kerap jadi olok-olokan anak jail. Para warga sudah tak menyeganinya. Jika terpaksa berpapasan dan bertutur sapa, mereka hanya berpura-pura hormat, mengingat Jasri adalah tetua desa yang sangat berjasa pada pendirian desa.

Sikap acuh tak acuh warga, membuat Jasri tampak tak memiliki arti apa-apa. Jasa baiknya, seakan terkubur oleh kenangan pahit warga desa dalam masa pemerintahannya yang panjang. Jasri kini dipandang sebelah mata dan harus menjalani hari tuanya dalam keterasingan. Di acara-acara keagamaan dan sosial, ia bahkan harus tersisih di pojok ruangan, tanpa kesempatan untuk tampil sebagai orang terhormat, kecuali ia mengajukan diri.

Dan kini, aku lihat, ada sosok muda penuh semangat yang hadir di tengah warga desa. Semangatnya lahir dari keinginan mencontoh para pendahulu desa. Sosok itu adalah Arifandi, anakku sendiri. Ia yang menilai pembangunan desa berjalan di tempat kala bantuan dari pemerintah pusat begitu memadai, menjadi prihatin dan bertekad mengubah keadaan.

“Pak, aku akan ikut dalam pemilihan kepala desa tahun ini. Aku yakin, bisa menjadi pemimpin yang baik untuk warga desa,” katanya, dengan raut wajah yang tegas.

Tapi sebagaimana dahulu, aku tak merestui ia menjadi kepala desa, dengan satu alasan yang juga menjadi alasanku tak ingin menjadi kepala desa sejak dulu. “Sebaiknya kau urungkan niatmu, Nak. Politik tingkat desa, sama kejamnya dengan politik nasional. Aku tak pernah meragukan soal cita-cita baikmu. Tapi politik, tetaplah politik. Kita harus memperhitungan kalkulasi dukungan.”

Dia menggeleng-geleng. Seperti tak terima dengan pendapatku. “Apa yang perlu ditakutkan, Pak. Aku punya sekolah yang tinggi. Kurasa, warga desa juga menilai aku pantas menjadi pemimpin setelah aku sering tampil di acara dan rembuk warga. Lagi pula, sejarah telah membuktikan kalau keluarga kita memiliki jasa besar untuk desa ini.”

“Hitung-hitungannya, tak sesimpel itu, Nak. Politik itu kotor,” kataku, sembari berharap ia mengurungkan niatnya. “Kau tahu sendiri, sejarah telah dipelintir. Yang seharusnya jadi pahlawan, didramatisasi, sehingga ia dicap sebagai penjahat. Sejarah pemerintahan kakekmu, telah dicap penuh noda. Dan anggapan itulah yang diwariskan secara turun temurun di benak para warga. Dan sekeras apa pun kau mengubahnya, warga tak akan mudah terpengaruh. Dan aku yakin, lawan-lawan politikmu nanti, akan menggunakan cerita itu sebagai senjata.” 

Ia tetap tak terima. Dengan mimik yang serius, ia pun mengungkapkan tekadnya dengan sebuah rencana besar. “Apa masalahnya? Kalau mereka menyerang kita dengan cerita itu, maka sepatutunya kita besarkan nama kita dengan cerita itu pula. Aku kira, Bapaklah yang selalu mengajariku bahwa kebenaran harus diungkapkan, meskipun itu pahit. Dan sebagimana kenyataan yang Bapak ceritakan, maka sudah seharusnya nama baik Kakek dipulihkan, demi keluarga kita juga.”

Aku berkeras menolak, meski tanpa alasan yang memang patut diterima. “Aku masih sulit merestuimu, Nak. Aku takut niat baikmu akan dikalahkan dengan cara-cara politik yang busuk. Kau akan ditertawakan, hingga niat baik itu malah membuatmu jadi gila, seperti kakekmu sendiri,” kataku.

Dia hanya berdengus, lalu terdiam. Seperti tak ingin melanjutkan perdebatan di posisi yang sama-sama berkeras.

Di sela-sela keheningan kami, tersiarlah tayangan di layar televisi tentang ketua DPR yang kembali ditetapkan sebagai tersangka, namun berusaha keras bebas dari proses hukum dengan segala macam alasan. Tersiar juga kabar tentang tuduhan pelanggaran yang dilakukan pimpinan lembaga pemberantasan korupsi soal pencekalan “Si Papa” dahulu. Sederet tayangan itu, sungguh membuatku miris. Semua soal nama baik. Dan aku dapat satu pelajaran dari sana, bahwa sejarah kita adalah sejarah keluarga, masyarakat, bangsa, dan dunia; sejarah manusia.

Kupalingkanlah wajahku ke luar jendela. Kulihat lagi Jasri, ayahku sendiri, yang telah menanggalkan nama baiknya secara tragis. Seorang yang menjadi alasan anakku bertekad kuat menjadi kepala desa. Seseorang yang telah kubentuk menjadi sosok pahlawan di benak putraku sendiri. 

Dan jelas, kini Jasri telah menyadari, bahwa ratapannya di hari tua, juga ratapan kami dan generasi selanjutnya. Tapi atas ratapannya itu, aku menanggung rasa bersalah yang lebih, sebab mungkin demi keinginanku yang bermacam-macam jugalah, dia kalap di masa dahulu. Rasa bersalah itu bertambah mengingat dongeng kebohongan yang kuceritakan pada anakku tentang kakeknya sendiri.

“Kau lihat tayangan di televisi, Nak, semua tentang pejabat dan nama baik,” kataku.

“Maksud Bapak,”  tanya anakku, seakan butuh pemaknaan yang lebih jelas.
 
“Sebaiknya kau tak jadi pejabat, Nak. Memerintah secara baik saja, kita bisa disalah-salahkan. Apalagi kalau kita memang berbuat salah  atau khilaf. Yang pasti, akibatnya sama, bahwa nama baik kita jadi rusak. Dan genarasi kita selanjutnya, cucuku, anakmu, juga akan menanggung noda sejarah itu,” kataku, kemudian menoleh padanya. “Urungkanlah niatmu, Nak.”

Ia tak membalas. Mimiknya datar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar