Senin, 20 November 2017

Akhir Sebuah Awal

Atas perasaanmu yang menggebu, sudah sewajarnya kau berucap jujur, atau setidaknya menulis tentang kita. Aku tahu kau menyukaiku sejak pertama kali bertemu, dan kau masih menumpuknya hingga saat ini. Itu terlihat dari sikapmu padaku, di sepanjang pengindraan kita. Dan, satu-satunya alasan kau memendam perasaan, hanya karena kau seorang perempuan, yang menurut hukum umum, kurang pantas dan jadi tak berharga jika mengungkapkan perasaan lebih dulu pada seorang lelaki.
 
Karena aku tahu kau pemalu dan berusaha agar perasaanmu tak ketahuan, walau sekadar kau tuliskan di bilik-bilik rahasiamu, maka izinkan aku membantu. Demi menenangkanmu dari kekalutan, maka dalam cerita ini, aku akan menuliskan soal perasaanmu. Akan kuungkapkan apa saja yang selama ini enggan kau ungkapkan. Setidaknya, setelah kau membacanya, kau hanya perlu mengiyakan, tanpa perlu melakukan tindakan apa-apa. 

Dan akhirnya, aku bingung sendiri menentukan bagian dari isyarat ketertarikanmu padaku, yang patut kutuliskan. Cerita tentang kita, menyebar dalam berkas-berkas pertemuan yang tak tersusun rapi. Tapi yang paling berkesan adalah pertemuan kita di satu sore, di sebuah toko buku yang kau jaga. Pada saat itulah, aku bisa mengeja maksud hatimu, hanya dengan mengamati caramu memandang, bentuk senyumanmu, atau gerak-gerik tanganmu. Kesimpulannya, kau tertarik padaku. 

Kala pertemuan kita di antara buku-buku bisu saat itu, kau tampak kalap dan salah tingkah. Kusodorkan sejumlah bayaran untuk tiga buku, dan kau beberapa kali salah menjumlahkan tagihan. Sebuah kegugupan yang kutaksir akibat perasaanmu yang berlebihan. Aku yakin, saat itu kau hendak mengatakan padaku: hai tampan, cobalah lebih nekat. Ajak aku berkenalan, dan kita bisa tukaran kontak. Tapi jelas, aku enggan memedulikanmu lebih dari sekadar pelayan biasa.

Seusai drama di sore itu, aku pun meninggalkanmu tanpa perasaan. Aku menghilang untuk waktu yang lama. Aku melenyapkan diri dari pantauanmu. Sedangkan bibit perasaan yang kutabur dalam hatimu, kuyakin, akan terus dipupuk oleh rasa penasaranmu sendiri, sepanjang waktu. Kau akan terus bertanya tentang kapan aku bertandang lagi ke toko bukumu. Dan demi waktu, kau pun menjadi pengagum rahasiaku yang fanatik.

Namun hari ini, rasa berdosaku yang membengkak setelah mengabaikanmu begitu lama, menyeret langkahku menuju ke hadapanmu. Aku menemuimu lagi dalam keadaan yang sama seperti dulu. Lebih tepatnya, kaulah yang sebenarnya menemukanmu dalam kondisi yang banyak berubah. Akulah yang pergi, sedangkan kau masih di sini, sebagai seorang  penjaga toko yang betah di tempat yang itu-itu saja.

Seperti di awal pertemuan, kau menyambutku dengan satu senyuman. Aku yakin, kau tak sekadar bermaksud membuatku nyaman sebagai pengunjung toko. Ada maksud lain di balik senyumanmu. Sebuah tanda yang mengisyaratkan rasa syukurmu, sebab aku telah kembali dan mengikis rasa rindumu yang membatu. Kau seakan hendak berkata: Dari mana saja kau? Kenapa tega pergi begitu lama dan membuatku rindu setengah mati?

Tapi lagi-lagi, aku tak peduli tentang rintihan hatimu itu. Seperti sebelumnya, aku pun bergegas ke sudut ruangan, mencari buku yang memang kusasar sebelum tiba. Dan setelah kutemukan, aku lalu menghadap kepadamu untuk menyelesaikan urusan pembayaran, serta untuk meninggalkanmu sesegera mungkin.

Kini kita sedang berhadapan.

“Kenapa baru datang lagi?” tanyamu, dengan suara lembut. Sebuah pertanyaan yang lebih cocok ditujukan kepada seorang kenalan dekat. Sedangkan kita, jelas tak akrab. Kurasa, kau keceplosan akibat keluh hatimu yang disesaki rindu.

Aku berusaha menampakkan sikap yang biasa saja. “Aku datang lagi karena aku membutuhkan buku,” kataku, datar. “Ya, hanya karena itu.”

Entah kenapa, kau malah tersenyum atas singgunganku, meski tak kuasa lagi beradu pandang. Kau tersipu dan melirikku malu-malu. “Ya. Mungkin aku salah bertanya. Tapi aku telah lama menunggumu.”

Jelas, kau telah mengungkapkan kejujuran hatimu saat ini. Kurasa, kau mulai tak tahan memendam perasaan dan menyia-nyiakan kesempatan. Kau takut aku lenyap lagi dari jangkauan radarmu, hingga kau terpaksa kembali menumpuk rindu.

Aku tak segera menyela. Kuberikan kau kesempatan untuk mengungkapkan semua isi hatimu.

“Sebenarnya aku hanya ingin menyampaikan bahwa kau telah meninggalkan sesuatu di sini, pada saat kunjunganmu yang pertama kali,” jelasmu, sembari membuka laci dan mencari-cari sesuatu. Tak lama kemudian, kau menyodorkan seamplop surat padaku. “Ini. Surat ini jatuh dari tasmu waktu itu,” terangmu lagi, sambil tersenyum.

Aku menerima sodoranmu dengan perasaan yang campur aduk. Aku tak tahu harus berkata apa. Hingga akhirnya, seorang lelaki bertubuh jangkung, menghampiri kita sambil menggendong balita. Dan dengan ejaan yang blepotan, balita itu menyapamu dengan kata “mama”.
 
“Terima kasih,” kataku, kemudian beranjak pergi dengan keringat yang mengucur deras.

Atas penjelasanmu soal cerita di balik surat itu, aku tahu jelas, kau sedang mengarang.

Kuingat lagi saat pertama kali aku menginjakkan kaki di toko buku yang kau jaga, setelah berhari-hari mengintaimu dari jarak jauh, di sekitar lingkungan kampus. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk menyelipkan sepucuk surat untukmu, di sela sebuah buku yang berada di atas meja, tempatmu menaruh segala hal tentang catatan penjualan buku. 

Aku yakin, kau telah membacanya. Kau sengaja mengarang cerita, sekadar untuk menjaga perasaanku.

Kusibak kembali surat itu. Sebuah surat berisi kejujuran hatiku padamu. Sebuah surat yang kutulis lebih dari dua tahun yang lalu.

Kini kusadari, semua sudah terlambat. Aku harus membunuhmu di dalam angan-anganku sendiri. Kau, seseorang yang telah diharamkan berpaling kepadaku, mungkin sejak aku melalaikanmu untuk waktu yang lama.

Seorang Penyebar

Di balik layar laptop, Jusran mengulik peristiwa yang sedang hangat diperbincangkan para warganet. Sebagai wartawan, ia merasa kalau berita yang baik bukan tentang apa yang sebaiknya perlu diketahui masyarakat, tapi tentang apa yang menggelitik rasa penasaran mereka. Maka tampaklah informasi terkait beberapa tindak kejahatan, kenakalan, atau asusila di beranda media sosialnya. Ia pun ikut arus dengan memilih salah satu di antara kasus penyimpangan itu sebagai bahan beritanya.
 
Yang berhasil mencuri perhatiannya kali ini adalah soal tersebarnya video mesum yang diduga diperankan seorang mahasiswi sebuah kampus ternama. Hal itu menarik baginya, sesuai dengan prinsipnya selama ini, bahwa nilai berita terbaik dan patut ditonjolkan adalah seksualitas. Baginya, pemenuhan kepentingan publik atas informasi, tergantung pada bagaimana sebuah informasi menarik bagi banyak pembaca. Tak ada pembaca, mengindikasikan sebuah berita tak berguna.

Demi mengejar target postingan, sebagaimana tuntutan atasannya di ruang redaksi, maka kerja-kerja jurnalistik yang dilakoninya, dibuat sesimpel mungkin. Tak perlu memilah dan memilih narasumber yang kiranya kompoten bicara soal perilaku sosial, semisal para sosiolog atau kriminolog yang teruji. Ia hanya perlu mengontak dan meminta pendapat satu-dua kenalan perempuannya yang berpenampilan menarik, agar mampu meningkatkan daya jual beritanya di mata para pembaca yang labil. Ia hanya ingin pendapat seseorang pengutuk, tanpa perlu ada solusi untuk memperbaiki keadaan sosial.

Tanpa harus berpeluh-peluhan ke sana-sini dan menguras waktu berlama-lama, sebuah berita yang menggelitik rasa penasaran pembaca, akhirnya berhasil ia selesaikan. Ia meramunya sesuai dengan selera redaktur dan pemimpin redaksi, sehingga dilansir tanpa perlu revisi, apalagi ditimbang dari segi etika jurnalistik. Maka, dalam hitungan beberapa menit saja, berita karangannya dengan judul yang sensasional, terpampang di media siber. Dan untuk kesekian kalinya, ia merasa bangga.

Kala malam masih panjang dan kopi di gelasnya baru terkuras seperlima, maka nalurinya sebagai penyebar kabar-kabar, kembali bekerja. Ia masih harus menyelesaikan empat berita lagi, sesuai tuntutan redaksi. Semua itu demi memastikan bahwa ia akan mendapat bonus kerjanya di awal bulan. Akhirnya, taktik yang sama pun, kembali dilakoninya. Kali ini, ia yang lihai mencari sudut pandang isu yang menarik bagi pembaca, kembali membuat dua ulasan tentang video asusila tersebut, dengan memperdalam pada soal identitas terduga pelakon dan tentang keluarganya. 

Dan soal bahan ramuannya kali ini, ia juga tak perlu mencari narasumber semacam ahli hukum atau telematika. Yang dibutuhkan cuma jaringan internet untuk menyusun kepingan-kepingan kabar burung yang berserakan di media sosial. Entah dengan mencomot informasi absurd dari portal berita lain, atau mengambil komentar-komertar para warganet soal video itu, lalu dijadikannya kutipan tanpa perlu konfirmasi.

Dalam sekejap saja, ia telah berhasil meramu dua berita selanjutnya. Berita yang selesai tanpa satu pun wawancara langsung. Berita yang kemudian segera ia kirimkan ke surel redaksi, tentu dengan ramuan judul bombastis. Sebuah judul yang kira-kira bisa menggelitik kelabilan atau kebodohan para pembaca, lalu mengklik tautan berita  itu di media sosial, sehingga rupiah pun mengalir deras untuknya dan perusahaan. Dan untuk ke sekian kalinya, ia merasa menang. 

Sebagai wartawan yang berpendirian, sindiran beberapa orang tentang profesionalitas dan nuraninya, tak berarti apa-apa. Soal dampak berita gubahannya pun, ia tak mau ambil pusing. Ia merasa para warganet yang dihuni orang tua hingga kanak-kanak, bisa menentukan pilihannya sendiri untuk membaca atau tidak membaca sebuah berita. Hitung-hitung, menurutnya, laporan soal video asusila, akan membuat para anak labil berpikir ulang untuk melakukan tindakan serupa, apalagi menyebarkannya. Ya, ia sebagai penyebar kabar, berharap konten tak senonoh semacam itu, tak menyebar.

Atas keletihannya yang ringan, ia pun meregangkan otot, sambil menunggu ilham soal hal-hal menggelitik apa lagi yang perlu ia beritakan. Ia masih menanggung kewajiban dua berita, dan kopinya masih tersisa dua per lima gelas. Dan sebagaimana alur pikirnya kemarin-kemarin, ia kemudian terdorong untuk mewawancarai seorang gadis cantik nan modis, yang masih duduk di bangku kelas I SMP. Mereka saling mengenal setelah gadis itu kerap mengunjungi kafe yang sama, sekadar untuk berleha-leha dengan teman-temannya. Ia pun sigap melakukan perbincangan ringan yang dianggapnya sebagai wawancara. Ia meminta pendapat si gadis soal Hari Anak, juga meminta alamat akun media sosialnya sebagai bumbu berita.

Tanpa menunggu lama, berita ke empatnya pun tandas. Berita soal pendapat seorang gadis tentang mental dan perilaku anak di negara ini. Lagi-lagi, tentu dengan judul yang menantang. Hingga akhirnya, berita itu dilansir beserta foto sang gadis yang dipilihnya sendiri, untuk kemudian disebar layaknya virus di ruang media sosial. Si wartawan pun berhasil melaksanakan pekerjaannya, sedangkan si narasumber senang kebanjiran pengikut di dunia maya. Dan atas berita itu, si wartawan merasa wajar-wajar saja. Bahkan ada kebanggaan di hatinya, sebab telah mewadahi suara seorang anak untuk kepentingan anak-anak sendiri.

Dan ia pun mengalami kebuntuan. Ia sulit menemukan ide menarik untuk berita terakhirnya hari ini. Memecah berita soal siswi dan Hari Anak, dipikirnya terlalu berlebihan. Bagaimana pun juga, ia tetap berusaha agar beritanya tak dianggap murahan atau gampangan. Hingga akhirnya, sebuah petunjuk, masuk di telepon genggamnya. Ada pesan singkat dari kantor kepolisian, tempatnya kerap memperoleh bahan berita kriminal dan kenakalan remaja. Pesan itu mengabarkan bahwa polisi baru saja mengamankan pelaku kejahatan seksual yang masih di bawah umur. Jelas, peristiwa itu memenuhi nilai berita yang ia idamkan.

Setelah menandaskan kopinya, ia pun bergegas pergi dengan hati yang gembira. Sebagai seorang penyebar kabar, ia merasa punya bahan lagi untuk berkontribusi bagi perlindungan anak di negeri ini. Menyebar berita-berita asusila untuk memberikan efek jera bagi para pelaku, juga sebagai pelajaran yang penting bagi masyarkat umum. 

Sesampainya di kantor polisi, ia sedikit kesal. Sial baginya, setelah terjebak macet di tengah hujan deras yang terus mengguyur, ia datang terlambat. Si pelaku, telah meninggalkan kantor kepolisian, sehingga ia harus mencarinya di tempat yang lain, demi foto dan kutipan. Tapi sebagai langkah taktis, ia pun terlebih dulu mewawancarai pihak kepolisian dengan sikap yang profesional, demi menjaga citra di mata para mitra kerjanya. 

Dan setelah mendapat kabar tentang identitas pelaku yang masih sumir dan samar, kronologi kejadian, juga proses hukum ke depan, sang wartawan pun bertanya soal bagaimana langkah identifikasi tindak kriminal remaja dan upaya pencegahan yang dilakukan pihak kepolisian. Ia tahu, setiap narasumber yang berpangkat, selalu suka jika diberikan wadah untuk menyampaikan ceramahnya kepada masyarakat. 

“Bagaimana hubungan pelaku dan korban,” tanya Jusran.

“Mereka sebenarnya bukan sahabat juga. Mereka baru berkenalan beberapa hari melalui media sosial. Dari pengakuan pelaku, si korban dikenalnya melalui sebuah portal media online yang melansir profilnya. Dan mereka pun sepakat berkenalan di dunia nyata,” jawab si polisi yang bertindak sebagai kepala operasi dalam kejadian tersebut.

“Dari pemeriksaan tadi, apa yang mendorong pelaku sampai tega melakukan pelecehan terhadap korban?” tanya Jusran, dengan mimik yang serius dan tangan yang kokoh menyodorkan alat perekam.

“Dari pengakuan pelaku, dia terpengaruh tayangan-tayangan porno. Lebih spesifiknya, ia terdorong setelah menyaksikan video mesum seorang mahasiswi yang belakangan menyebar di media sosial. Seperti yang sama-sama kita ketahui, anak-anak yang terpapar tanyangan semacam itu, jelas berdampak sangat buruk bagi emosi dan perilakunya,” kata sang aparat kepolisian.

Jusran lanjut bertanya, “Dari mana si pelaku mendapatkan tayangan video mesum itu?”

“Dari pengakuannya, ia mencarinya sendiri si internet, setelah banyak akun media sosial dan portal berita yang menggembar-gemborkannya. Apalagi sebagai anak-anak, ia jelas punya rasa penasaran yang menggebu-gebu untuk setiap hal yang belum ia ketahui,” jawab si polisi dengan suara jelas dan lantang.

Dan untuk terakhir kalinya, si wartawan meminta harapan atau imbauan si aparat. “Terakhir, Pak, sebagai pengayom masyarakat, apa yang Bapak harapkan bagi perlindungan anak-anak di negara ini, apalagi hari ini bertepatan dengan Hari Anak?”

Sang polisi pun menjawab, “Ya, perlindungan anak merupakan tanggung jawab semua pihak. Harus ada peran bersama antara pemerintah, orang tua, pihak pendidik di sekolah, termasuk juga para wartawan,” katanya.

Setelah merasa bahannya lengkap, Jusran pun segera beranjak mencari pelaku pelecehan yang berada di kantor lembaga bantuan hukum khusus anak dan perempuan. Jelas, ia hendak mengambil seberkas foto si pelaku sebagai bumbu penyedap berita, juga tambahan wawancara alakadarnya. Dengan begitu, ia akan optimis bahwa ramuan beritanya mendulang banyak pembaca, sebagai faktor pendapatan yang penting. Apalagi atasannya di redaksi sepaham dengannya soal berita yang baik, bahwa kadang-kadang perlu juga memuat identitas dan foto pelaku kejahatan, tanpa perlu mempertimbangkan umur dan kode etik jurnalistik. Langkah itu, demi menumbulkan efek jera, katanya.

Dan sesampainya di kantor bantuan hukum, tersentaklah Jusran kala menyaksikan istrinya meraung-raung sambil tersedu sedan di hadapan anaknya sendiri. Khayalan tinggi tentang berita yang fenomenal pun, luluh seketika. Lenyap, seiring kesadarannya, bahwa rancangan berita soal kasus asusila yang membuatnya menggebu-gebu, menempatkan anaknya sebagai objek, juga akan menyeret ia dan istrinya. Dan tingkah lihainya mengambil gambar pun, lenyap seketika. Tangannya gemetar, tak terkendali. Seketika, ia memahami satu hal, meski tak memahami satu persoalan yang lebih besar atas tindak-tanduknya sebagai seorang wartawan.

                                        

Gila!

Warga desa tahu betul watak Tamsil. Tak ada yang meragukan soal kejujurannya. Sejak masih kanak-kanak, ia telah menunjukkan perbedaan dibanding anak-anak lain dalam soal kejujuran. 
 
Tak akan lekang dari ingatan warga tentang satu peristiwa, saat Tamsil masih duduk bangku SMP. Kala itu, setiap pagi, ia lekas memunguti buah mangga yang jatuh dari satu pohon, di sebuah kebun, sebelum binatang dan anak-anak usil mendahuluinya. Pemilik kebun adalah Rumo, seorang kakek yang hidup sebatang kara. Seseorang tua renta yang meyambung hidup dengan menjual buah mangga. Tanpa pamrih, buah yang terkumpul, lalu diserahkan Tamsil kepada si empunya. 

Sungguh, tak ada yang tahu bagaimana jalan ceritanya, sampai kejujuran Tamsil begitu kokoh. Anak yatim-piatu yang diasuh seorang warga sejak berumur lima tahun itu, sungguh tak bisa berbohong. Yang pasti, kecurigaan warga menjurus pada lelaki tua yang dipanggilnya "kakek". Tamsil yang sering bergaul dengan si kakek sejak kecil, diduga belajar pendidikan budi pekerti darinya.

Sikap jujur Tamsil yang tanpa kompromi, terbawa hingga dewasa. Sampai akhirnya, ia telah cukup umur dan merasa diri cakap menjadi pemimpin warga desa. Niatnya baik, untuk mengubah perangai warga desa yang jauh dari sifat kejujuran. Ia ingin memperbaiki watak pemuda desa, bahkan para tetua yang masih gemar berdusta. 

Dan atas tekadnya yang menggebu, ia pun mengajukan diri sebagai calon kepala desa. Sebuah keputusan yang berani dan dianggap warga kurang rasional. Alasannya karena di bawah hitung-hitungan politik, jelas ia tak punya basis dukungan yang memadai. Perangai yang mulia, bukanlah jaminan untuk terpilih. Apalagi warga desa kerap memilih bukan dengan akal sehatnya, tapi demi uang dan ruang-ruang pemuas nafsu mereka.

Keraguan juga, bahkan datang dari ayah angkatnya sendiri, Ruli. Ia telah menasihati Tamsil agar mengurungkan niatnya menjadi kepala desa dengan sejumlah alasan politis. Namun Tamsil tak peduli. Ia merasa, kebenaran hanya bisa benar jika dicapai dengan cara yang benar. Ia tak mau pusing soal taktik politik yang menurutnya tak bisa lagi disebut politik, sebab baginya politik adalah pertarungan gagasan untuk kehidupan yang lebih baik. 

Prinsip soal poitik yang jujur, dipegang teguh Tamsil dari awal hingga akhir pemilihan kepala desa. Tak sepeser pun ia merogoh kocek pribadi hanya untuk merebut suara warga. Yang ia lakukan hanyalah mendatangi warga desa untuk berdialog secara langsung, serta menyosialisasikan visi-misinya. Sedang pada waktu yang sama, di ruang-ruang rahasia, seorang calon yang menjadi pesaingnya, merebut simpati warga desa dengan mengadakan pesta miras dan orkes dangdut.

Dan benar saja, di akhir perhelatan itu, Tamsil kalah telak dari seorang calon kepala desa yang lain. Ia bahkan hanya memperoleh satu suara dari jumlah suara yang ada. Suara yang dipastikan berasal dari dirinya sendiri. Sebuah kenyataan yang membuat Tamsil begitu radikal soal nilai kejujuran. Sampai akhirnya, ia tak memercayai siapa pun, kecuali dirinya sendiri. Bahkan segala hal tentang desanya, ia anggap berlumur dusta.

Dimulailah perangai Tamsil yang kelewat baik, hingga wataknya dianggap aneh oleh warga desa. Ia mulai menyendiri sebab menilai tak ada lagi kebenaran selain dirinya. Ia juga malas betutur sapa dengan siapa pun, sebab kata-kata orang lain, ia anggap kebohongan belaka. Sampai puncaknya, ia tak sudi lagi menginjakkan kali di tanah desa yang menurutnya terkutuk.

Demi idealismenya, berhijralah Tamsil ke sebuah perkebunan kecil, di selingkaran tanah yang dianggapnya suci. Ia pun memulai kesendirian di bawah sebuah pohon mangga, pada luasan sejauh daun pohon itu berjatuhan. Bahkan ia memutuskan membuat sebuah rumah pohon dari rerumputan dan tangkai kayu yang juga ia kumpulkan di bawah pohon tersebut. Tak lupa, ia membawa serta sandang pemberian kakek Rumo, sang pemilik pohon mangga yang telah meninggal.

Waktu akhinya dilewati Tamsil dalam keterasingan. Tak ada siapa-siapa bersamanya, kecuali binatang liar yang tak henti mendendangkan nyanyiannya masing-masing. Dan untuk bertahan hidup, ia hanya memanfaatkan buah mangga yang begitu lebat. Sesekali, ia juga mengkonsumsi udang dan ikan yang didapatkannya dari dalam aliran sungai yang masih dinaungi si pohon mangga. Dari sisi sungai itulah pulalah, ia menghapuskan dahaganya.

“Nak, aku bawa makanan untukmu,” kata Ruli, sosok di mana Tamsil menggantungkan hidup sejak kecil.

Dari atas rumah pohonnya yang menggantung, Tamsil pun terjaga. Hunian beratap daun dan alang-alang, serta berdinding dan berlantai kain itu, tampak bergoyang. Tamsil kemudian mengintip di celah-celah rumahnya. “Pulanglah! Aku tak akan sudi menerima pemberian dari para pendosa, termasuk darimu, penghianat!”

Kata-kata Tamsil, jelas terdengar tak sopan di telinga Ruli. “Bagaimana bisa kau mengatakan aku pendosa dan pengkhianat, Nak. Bukankah aku sendiri yang telah merawatmu sedari dulu?” kata Ruli, yang memang telah memosisikan diri sebagai ayah angkat bagi Tamsil.” 

Tamsil tertawa pendek. “Ya penghianat memang tetap merasa diri sebagai pahlawan?” katanya, kemudian tertawa meledek. Ia lalu menuturkan sindiran sarkas, “Ya, pahlawan yang telah merelakan dan mendukung seorang penjahat untuk menjadi pemimpin desa ini? Dan, dengan begitu, dia tetap menganggap diri sebagai pahlawan?”

Ruli bak menelan pil pahit. “Sadarlah, Nak. Aku tahu, aku telah memilih orang yang salah. Tapi itu demi kebaikanmu juga. Kau tahu sendiri, masih butuh waktu lama untuk warga desa belajar tentang kebaikan. Dan aku khawatir, jika kau terpilih sebagai kepala desa, kau akan menuai celaka,” ujar Ruli.

Tamsil mendengus. “Dasar penghianat. Memang seorang pengecut hanya akan jadi penghianat. Bilang saja kalau kau takut jika para warga mengendus bahwa kau telah mengalihkan suara padaku, dan hidupmu berakhir tragis. Kau takut pada para penjahat itu? Dasar! Kau memang penghianat!”

Ruli jadi bingung mencari alasan untuk mengelak dari tuduhan itu. “Anggaplah aku ini penghianat, Nak. Terserah kau saja. Yang pasti, aku melakukannya untukmu!”

“Kau memang penghinat!” sergah Tamsil. “Bagaimana bisa kau diam saja dan pura-pura tak tahu kalau ayahku telah meninggal dengan cara yang tragis, hanya karena ia hendak menunaikan tugas mulia? Bagaimana bisa kau pura-pura tak tahu, kalau ayahku meninggal demi memberantas aksi pencurian uang rakyat di desa ini?” vonis Tamsil lagi, disusul tawanya yang semakin tak keruan.

Ruli terdiam. Seperti kehabisan kata-kata. Ia tahu betul kenyataan itu, sebab ia dan ayahnya sendiri, kakek Rumo, adalah saksi sejarah serta korban intimidasi para warga sepanjang waktu. Ia tahu betul, ayah Tamsil yang duda kala itu, dilenyapkan para warga saat hendak mengungkap kasus korupsi pemerintah desa, bukan karena menghilang, sebagaimana rumor yang diembuskan para tetua desa sejak puluhan tahun lalu. Ia pun tahu alasan kenapa kebun ayahnya, Rumo, dipilih sebagai tempat untuk menguburkan ayah Tamsil, tepatnya di bawah sebuah pohon mangga. Semua itu agar keduanya tak banyak bicara. Atau kalau tidak, mereka akan mencelakakan diri mereka sendiri sebagai tertuduh di tengah konspirasi para warga desa.

“Kenapa diam? Kau pasti tak bisa menyangkal kenyataan yang kuketahui dari kakek Rumo ini, kan?” ledek Tamsil, dengan terus tertawa. “Aku tahu sekarang, di desa ini, hanya ada dua orang manusia sejati dan patut disebut pahlawan. Hanya ayahku dan kakek Rumo.”

Ruli tak ingin memperpanjang perdebatan dengan orang yang memang dianggapnya sudah tak waras. Maka sebelum pergi, ia menawarkan lagi makanan yang dibawanya pada Tamsil. “Aku tinggalkan makanan untukmu di sini. Aku harap kau sudi menyantapnya.”

Seketika, Tamsil mengulangi penegasannya. “Sudahlah, penghianat! Bawa pulang saja makanan itu. Makanan dari para pendosa adalah haram. Sehina makanan dari hasil korupsi!”

Dan, Ruli terpancing untuk menandaskan seruannya. “Bagaimana bisa kau menganggap makanan dariku haram, Nak, sedangkan kau tumbuh besar dari apa yang selama ini kuberikan padamu?” katanya, sambil berharap Tamsil luluh dan segera berubah pikiran.

Tak ada sanggahan dari Tamsil. Tak ada suara. Seakan ia sedang memikirkan tentang pikirannya sendiri.

Akhirnya, pulanglah Ruli dengan harapan besar, bahwa ia akan menjumpai rantang kosong esok pagi.

Kala senja masih membias di ufuk barat, sampai menerobos celah-celah dedaunan, Tamsil terus menggugat dirinya sendiri. Ia geli mendengar bahwa darah dan tulangnya, telah bertumbuh dari unsur-unsur yang haram. Ia miris membayangkan bahwa tubuhnya sekadar onggokan dosa yang menumpuk, yang membalut jiwa yang dipikirnya suci.

Dan kala burung masih menari-nari di atas langit sambil bersiul-siul, juga saat penghuni alam lainnya tengah mendendangkan lagu selamat datang malam, bunyi berdebam terdengar dari bawah pohon mangga. Dan bersama dengan itu, Tamsil pun melayang, meninggalkan raganya yang terbujur kaku, dengan darah yang tak henti mengucur deras dari kepalanya, hingga membasuh tanah suci, tempat ayahnya terkubur puluhan tahun lalu.

Terpasung Kenangan

Pilihan Alim untuk kembali ke kampung setelah memperoleh gelar sarjana, benar-benar di luar dugaan. Sebagaimana pandangan warga kampung pada umumnya, seorang sarjana akan dianggap gagal jika akhirnya pulang ke kampung, apalagi kembali untuk menjadi seorang petani. Tapi itulah kenyataan yang terjadi. Lelaki bergelar sarjana ekonomi itu, lebih memilih mengurus kebun kelapa, daripada menjadi pegawai di kantor dengan pendingin ruangan.
 
Almarhum Sudi, seorang lelaki yang telah membesarkan dan mengumpulkan bekal dana yang cukup untuk pendidikannya hingga selesai kuliah, jelas tak ingin Alim kembali mengais rezeki di kampung. Sudi bahkan sengaja menyekolahkan Alim jauh-jauh dari kampung sejak di bangku sekolah menengah pertama, agar ia mengenal pergaulan yang lebih luas. Namun apa boleh buat, mungkin malah atas kerinduan akibat terpisah jarak di waktu yang lama itulah, Alim tak kuasa lagi untuk pergi.

Keputusan Alim, juga begitu mengagetkan bagi istri alamarhum Sudi, Linda, sosok perempuan yang telah membesarkannya sejak kecil. Perempuan itu, jelas mengharapkan supaya Alim mencari penghidupan yang lebih baik di kota, dengan bekal gelar sarjana. Tapi setiap kali kerisauan itu ia ungkapkan, Alim akan punya sejuta alasan untuk mengelak. Salah satunya demi menjaga ia yang mulai renta; sebuah alasan yang membuatnya terharu ketimbang kecewa.

Dan di satu sore, pada hari kedua Alim tiba di kampung, peristiwa tak terduga pun terjadi. Alim terjatuh semasih menanjaki takik-takik di tengah pohon kelapa. Sebuah kejadian yang membuat Linda heran dan keget setengah mati. Apalagi, sedari kecil, Alim memang tak pernah diajar, bahkan dilarang untuk memanjat pohon kelapa. Linda dan suaminya, memang telah bersepakat bahwa Alim tak akan mereka biarkan melakukan pekerjaan yang membahayakan semacam itu.

“Apa yang kau lakukan, Nak? Untuk apa kau panjat-panjat pohon kelapa? Kan sudah kubilang, kau tak boleh sekali pun melakukannya,” gerutu Linda pada Alim, sambil mengecek serta mengobati luka di lutut dan siku lelaki itu.

Alim yang hanya meringis kesakitan, mencoba memelas. “Apa salahnya, Bu? Toh, tingginya kelapa memang untuk dipanjat. Tak ada yang salah, kecuali aku memang salah, sebab tak belajar memanjat kelapa dari dulu.”

Linda jadi kesal mendengar jawaban Alim yang terkesan berguyon. “Nak, aku mohon untuk satu hal saja, jangan anggap memanjat kelapa sebagai permainan yang patut dicoba-coba. Jangan lakukan lagi!” tegasnya, dengan mimik yang serius.

“Apanya yang salah, Bu? Ayah pun melakukannya. Masa aku tidak boleh?” tanya balik Alim, seakan menganggap penegasan Linda belum cukup untuk membuatnya diam dan menerima aturan tersebut begitu saja.

“Iya! Sebab Ayahmu meninggal karena itu!” tegas Linda. “Aku tak mau kehilangan orang yang kusayangi hanya karena persoalan panjat kelapa!”

Seketika, Alim terperanjat. “Apa? Bukannya kata Ibu dahulu, Ayah meninggal karena serangan jantung saat mengurusi ladang?”

Linda menggeleng. “Bukan, Nak,” katanya, sembari menatap mata Alim dengan penuh kesedihan. “Maaf karena telah merahasiakan kenyataan itu darimu, Nak. Tapi kurasa, memang sudah saatnya kau tahu.”

Tiba-tiba, air mata Alim menetes. Ia tak meragukan lagi dugaannya sedari dulu, bahwa memang ada rasa bersalah yang harus ia tebus pada Sudi, seorang lelaki yang dipanggilnya “ayah” sedari dulu. Ia tahu betul bahwa kepergian lelaki tangguh itu, terkait erat dengannya. 

Kala itu, hujan rintik-rintik sedang turun. Dan Alim tahu, Sudi memanjat kelapa bukan untuk mendapatkan buah yang hendak dijual atau ditanak. Ia tahu, sikap manjanyalah sebagai penyebab lelaki bertubuh kekar itu pergi untuk selamanya. Hanya karena tak ingin memarut buah kelapa, ia pura-pura sakit perut usai memakan tangkapan ikan dari sungai, seakan-akan keracunan. Tanpa pikir panjang, Sudi pun segera mendaki pohon kelapa dengan takik-takik yang licin. Hingga sampailah kabar duka itu. Sudi terjatuh dari pohon kelapa, dan kepalanya terbentur pada sebongkah batu. Ia meninggal beberapa jam kemudian.

Atas dosa-dosa yang telah membawanya pulang, Alim pun bertekad mendamaikan diri dengan rahasia besar itu. “Maafkan aku, Ibu. Kuduga, meninggalnya Ayah ada hubungannya denganku.”

Tanpa melanjutkan penuturannya, Linda seketika memeluk Alim.

“Akulah yang membuat Ayah meninggal. Aku…,” katanya Alim, disusul tangisnya yang pecah.

Linda kemudian menyela. “Tak usah lanjutkan penjelasanmu, Nak. Aku sudah tahu soal itu. Sebelum ayahmu pergi memanjat kelapa untukmu, waktu itu, ia telah mengutarakan tujuannya padaku,” tutur Linda, kemudian mengurai pelukannya. “Aku tak pernah sedikit pun menyalahkanmu, Nak. Itu memang sudah jalan takdirnya.”

Tangis Alim pun menjadi-jadi.

Linda kembali memeluknya.

Diam-diam, Linda menyimpan rahasia besar yang tak akan mungkin diketahui Alim. Sebuah rahasia yang juga menjadi alasannya, sampai tak sedikit pun berani menyalahkan Alim atas kepergian suaminya. Sebuah alasan yang terkait dengan suaminya, juga asal-usul Alim. 

Linda terkenang lagi beberapa tahun yang lampau, ketika Alim belum tertarik merekam peristiwa apa pun dalam memorinya. Kala itu, ayah kandung Alim dari desa yang jauh, datang berserta Alim, tanpa sosok ibu yang kabarnya telah meninggal. Ia tiba tanpa perbekalan apa pun, sambil memohon dijadikan pekerja di kebun. 

Dan Linda tahu betul, meninggalnya ayah Alim disebabkan oleh dirinya. Di tengah hujan gerimis, suaminya memerintahkan ayah Alim untuk memanjat pohon kelapa. Kala itu, Linda membutuhkan kelapa muda untuk mengatasi gejala keracunan yang ia alami. Ayah Alim yang tak ubahnya babu, akhirnya manut saja tanpa banyak kata. Dan ketika itu juga, ayah Alim jatuh dari pohon kelapa, lalu meninggal setelah dirawat selama dua hari di rumah sakit.

Kini, Linda masih terkurung dalam kenangan pahitnya. Sebuah cerita yang masih akan ia rahasiakan, entah sampai kapan.

“Nak, sudikah kau memaafkan aku atas segala sesuatu yang tidak kau ketahui?” tanya Linda.

Alim menatap Linda penuh keheranan. Seakan ada yang ganjil dengan permintaan maaf itu. “Ibu tak punya salah apa-apa padaku. Akulah yang banyak salah pada Ibu, dan mungkin tak pantas untuk dimaafkan. Kalau pun Ibu punya salah, aku telah memaafkannya, bahkan sebelum Ibu melakukan kesalahan itu.”

Putri Kayangan

Bertahun-tahun sudah, Riana hidup dalam kecemasan. Khawatir akan hidup seorang diri, hingga maut menjemput. Sebagaimana perempuan lain, kecemasan itu mulai menjadi-jadi saat umurnya menginjak kepala dua. Masa di saat kerapuhan melanda perasaan wanita begitu dalam, hingga membutuhkan sandaran hidup. Butuh kehadiran seorang lelaki yang membuatnya tenang, bahwa masalah dunia tak akan dihadapinya seorang sendiri.
 
Kini, kecemasannya telah berada di tubir keputusasaan. Jodohnya tak juga datang, di saat usianya telah meninginjak kepala tiga, tepatnya 32 tahun. Usia di saat wanita seharusnya telah menjadi seorang ibu. Menjadi seorang yang bahkan telah berhasil menghadiahkan cucu bagi ibunya sendiri. Menghadirkan generasi baru yang akan meneruskan alur keturunan mereka. Jelas, ia menginginkan keadaan itu, seperti juga wanita yang lain. 

Angan Riana untuk membentuk keluarga kecil, membuat batinnya tersiksa. Apalagi rambutnya mulai beruban dan kulitnya mengeriput. Sebagaimana anggapan umum, wanita yang tak lekas menemukan jodoh, akan tampak lebih tua dari seharusnya. Kenyataan itu pun membuatnya harus menerima kanyataan bahwa ia hanya daun tua di antara daun-daun muda, yang menunggu waktunya jatuh, hingga lenyap.

Kekesalan Riana pada dirinya sediri sebab tak mampu menjadi wanita seutuhnya, senantiasa diredam ibunya. Di saat ketakutannya berwujud kemurungan, ibunya selalu hadir untuk memberinya semangat, bahwa jodoh yang ditetapkan Tuhan, pasti akan datang untuknya. Kata ibunya, soal jodoh bukanlah tentang cepat atau lambat, tapi tentang orang yang tepat sebagai pendamping hidup. 

Nasihat ibunya, jelas tak begitu saja melenyapkan kerisauannya. Ada ketakutan yang lebih membayangkan masa mendatang, kala ibunya telah tiada, sedang dia menua seorang diri. Jelas, ia akan hidup seumpama anak ayam yang kehilangan induknya. Tapi ketakutan itu, lagi-lagi ditepis sang ibu. Katanya, pernikahan hanya gerbang kebersamaan. Tak ada gunanya cepat menikah kalau kebersamaan hanya seumur jagung, sebab itu lebih menyakitkan ketimbang tak menemukan jodoh sama sekali.

“Nak, bantu Ibu untuk membersihkan alat-alat pernikahan. Dua hari ke depan, akan ada orang yang akan menyewanya untuk acara pengantin,” pinta Sari, ibu Riana.

Dengan kesal hati, Riana tak menggubris. Jelas itu pukulan telak baginya. Bagaimana tidak, dia harus memastikan kain-kain riasan, manik-manik, tenda, dan kursi, harus berada dalam kondisi baik untuk pernikahan orang lain. Sedang entah kapan juga, perlengkapan itu akan digunakan untuk pernikahannya sendiri. 

“Ayolah, Nak. Kau tahu kalau Ibu sudah renta dan tak bisa mengerjakannya sendiri,” ajaknya lagi, dengan nada memanjakan, seakan membujuk seorang anak kecil.

Dan tiba-tiba, suara Riana meninggi, “Ibu urus saja sendiri,” katanya. “Apa tidak bisa aku tak perlu mendengar dan mengurusi pernikahan orang lain?”

Sebagai seorang ibu, Sari paham betul kalau anaknya sensitif soal pernikahan. Tapi bagaimana pun juga, usaha penyewaan alat pernikahan yang dirintisnya, menjadi mata pencaharian utama baginya. Jika harus membayar beberapa orang untuk mengurusi kebersihan perlangkapan itu, pendapatan mereka akan berkurang. Belum lagi potongan yang pasti, bahwa mereka akan menyewa mobil dan jasa para pemasang untuk sekali sewa.

Dengan sabar dan senyap, Sari pun menghampiri anaknya yang sedari tadi hanya berbalas-malasan di sofa. Hanya duduk atau berbaring, dan berkhayal. “Tak usah merisaukan terus tentang jodohmu, Nak. Tanpa perlu dicari, jodoh itu akan datang sendiri, bahkan di hari tua sekali pun,” katanya, sambil mengusap-usap rambut sang anak. “Menemukan jodoh itu, bukan soal waktu, Nak. Kau sendiri menyaksikan, bahwa banyak orang yang menikah muda dan malah berakhir dengan perceraian. Banyak juga yang menemukan jodohnya di hari tua, dan langgeng hingga maut memisahkan.”

Mendengar nasihat ibunya untuk ke sekian kali, tak jua menenangkan perasaan Riana. Dengan sikap cuek, ia lalu menyalakan televisi. Berharap menemukan hiburan dan menghindari ceramah ibunya soal jodoh. Tapi harapannya, gagal. Tak satu pun stasiun televisi yang bersedia menayangkan hiburan untuknya. Semua kompak menyiarkan pernikahan anak presiden. Semua seakan mengaggap itu penting untuk para pemuda di negara ini, yang masih menunggu jodoh dalam ketidakpastian.

Dengan hati yang semakin gusar, Riana pasrah dan berhenti di satu stasiun televisi yang tampilannya lebih terang. Hitung-hitung, ia ingin menegaskan kepada sang ibu bahwa pesta pernikahan jugalah yang ia inginkan.
 
“Sudah hampir sepuluh tahun Ibu menyatakan aku akan bertemu dengan jodohku. Tapi mana buktinya?” tanya Riana, kesal.
 
Dan sebagaimana sebelumnya, Sari tahu betul, anaknya yang benci dinasihati, hanya butuh pengulangan untuk kembali tenang. “Memang harusnya begitu, Nak. Selama orang masih bernyawa, selalu ada kemungkinan untuk seseorang bertemu dengan jodohnya. Dan yang pasti, aku tahu betul, penantian yang panjang, akan membuat kita menghargai kebersamaan dengan lebih baik. Seperti yang kukatakan sebelumnya, lekas bertemu jodoh, tak menjamin kebahagiaan hidup bersama,” katanya.

“Bagaimana mungkin Ibu terus mengatakan nasihat yang berulang semacam itu? Aku bosan mendengarnya, Bu,” sergah Riana. “Lihatlah anak presiden itu. Bagaimana mungkin wajah sesemringah itu bisa dikatakan tidak bahagia. Menikah saja sudah bahagia, Bu. Bagaimana selanjut-selanjutnya.”
 
“Iya. Aku tahu, Nak. Dan itu karena si anak presiden telah menemukan jodohnya yang tepat. Jodoh yang sepadan. Pernikahan mereka memang menyiratkan masa depan yang cerah,” terang Sari lagi. “Maksud aku, mereka memang beruntung, telah bertemu di waktu yang cepat dan sebagai jodoh yang tepat. Nah, kamu, Nak, memang tak bertemu jodohmu di waktu yang cepat. Tapi yakinlah, kau akan dipertemukan di waktu yang tepat. Dan itu lebih baik bagimu.”

Dan selanjutnya, Riana kembali terdiam. Ia tahu betul keterlambatannya menemukan jodoh, hanya akan disangkal ibunya dengan alasan “demi orang yang tepat”. Ya, lagi-lagi, ia memang kalah sabar dengan ibunya yang pasrah saja jika tak menimang cucu hingga akhir hayatnya.

“Kau harus pahami, Nak, bahwa pernikahan itu bukan permainan. Kita membutuhkan orang yang sungguh-sungguh siap untuk menjadi pasangan hidup. Siap dalam soal apa pun, termasuk dalam soal materi,” kata Sari lagi, kemudian mengungkapkan prinsipnya tentang kriteria yang pantas untuk sang anak, seperti yang diinginkannya sedari dulu. “Dan sebagai wanita, kita memang harus memilih lelaki yang berani meminang kita secara bermartabat. Berani berkorban demi memenangkan perasaan kita. Termasuk dengan mengadakan pesta yang sepantasnya. Itu agar orang banyak, tahu dan datang ke pernikahan, sehingga lelaki akan terikat dengan biaya yang telah ia keluarkan. Nak, aku cuma ingin mengatakan, pernikahan yang gampangan, akan  gampangan juga untuk berakhir.”  

Dan sebagaimana kenyataannya, di waktu penantian yang panjang, ada juga beberapa lelaki yang pernah menyampaikan maksudnya untuk menikah dengan Riana. Tapi dahulu, tiap ada lelaki yang datang menyampaikan niat, maka Sari akan memosisikan dirinya sebagai hakim. Ia akan bertanya tetang pekerjaan dan kesediaan si lelaki untuk menikahi sang anak dengan sebaik-baiknya. Hanya lelaki yang mapan serta bersedia untuk mengadakan pesta meriah yang akan diterimanya. Dan, kriteria itulah yang tak pernah datang menghadap.

“Bukankah sikap pilih-pilih Ibu yang malah membuat jodohku terhalang?” sergah Riana. “Jelas aku tak pernah sekali pun menolak jika harus menikah dengan lelaki miskin dan buruk rupa. Tapi selama ini, Ibulah yang selalu tidak setuju. Ibu selalu merasa berhak menentukan jodohku, sedangkan Ibu tak tahu bagaimana perasaanku sebagai perawan tua!”

“Itu karena aku peduli padamu, Nak,” elak Sari, sambil tersenyum.

“Bagaimana bisa sikap Ibu yang menghalangi jodohku pantas dianggap sebuah kepedulian!” bentak Riana “Jika saja aku tahu begini, aku akan memilih kawin lari dengan lelaki yang mengidamkanku dahulu.”

Sari berubah cemas melihat sikap sang anak. “Kau tahu, itu keputusan yang benar-benar salah, Nak. Demi dirimu sendiri, aku tak ingin kau menikah daripada akhirnya terluka karena pernikahan.”

“Bagaimana Ibu bisa mememastikan bahwa aku tak akan bahagia kalau menikah dengan salah satu dari lelaki yang mengidamkanku dahulu?” tanya Riana, dengan nada suara yang meninggi. “Apa Ibu sudah memastikan akan bahagia bersama Ayah sebelum Ibu menikah dengannya.”

“Ya, Ibu memang sudah memastikan akan hidup bahagia dengan Ayahmu. Ibu yakin itu, sebab ia meminang dengan cara yang terhormat. Ia mendatangi Ibu saat ia telah hidup mapan dengan pekerjaan yang menjamin, juga siap mengadakan pesta meriah untuk menikahi Ibu. Dan kenyataan itulah yang akhirnya mengikat kami dalam kebersamaan yang bahagia, hingga maut merenggutnya,” tegas Sari lagi.

Riana terdiam, dan tak berhasrat melanjutkan percekcokan.

Dan diam-diam, Sari memendam lagi rahasia besarnya dalam-dalam. Semua tentang dirinya dahulu, jelas tak ia inginkan terjadi pada anak semata wayangnya. Ia tak ingin anaknya diperdaya cinta, diperalat, lalu dicampakkan. Ia tak ingin anaknya menikah secara diam-diam atas nama cinta semata, tanpa memperhitungkan jaminan masa depan. Ia tahu betul, keputusan semacam itu, hanya akan berujung luka. Ia yakin, sebab ia mengalaminya sendiri, bahwa ia telah kawin lari demi cinta yang tergesa-gesa, hingga sang lelaki meninggalkannya tanpa beban apa-apa.

Atas trauma masa lalunya sendiri, Sari merasa telah mengambil keputusan yang terbaik untuk anaknya, sampai saat ini.

“Nak, kita perlu mengurus segera peralatan pernikahan yang akan disewakan. Kita tak boleh mengecewakan para penyewa,” kata Sari, setelah melihat emosi anaknya mulai mereda. “Aku ke belakang dulu. Kalau sempat, susullah Ibu secepatnya,” sambungnya, kemudian beranjak pergi.

Riana bergeming, sembari menatap layar televisi yang menyiarkan secara detail acara pernikahan sang putri presiden. Dan tepat saat presiden sedang menyampaikan sukacita di depan wartawan, perhatiannya tertuju penuh di layar kaca. Namun, ia jelas tak menyadari bahwa presiden bertanggung jawab dalam mewujudkan kesejahteraan bagi para pemuda. Ia jelas tak terpikirkan untuk menuntut presiden agar menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi para pemuda, agar tak hanya pengangguran yang datang menawarkan cinta untuknya. 

Sampai akhirnya, setelah semua stasiun televisi selesai menayangkan pernikahan sang putri presiden, ia pun bergegas menyusul ibunya, masih dengan perasaaan yang penuh cemas soal jodoh.

Ratapan di Hari Tua

Hari tua adalah sejarah yang panjang. Seperti lembaran akhir buku yang harus dicapai setelah lembaran-lembaran awal. Sebuah penghujung dari berkas-berkas cerita yang diistilahkan kenangan. Masa di mana usia menjadi deretan detik yang merangkai sebuah lakon yang nyaris lengkap dan tamat. Searsip kisah yang kerap dijadikan bahan refleksi dalam menimbang-bimbang, tetang apa yang telah dan akan dilakukan sepanjang waktu.
 
Jasri, lelaki tua yang kini berstatus kakek, terperangkap dalam ruang nostalgianya. Tersenyum-senyum sendiri kala mengenang jejaknya di masa lalu. Jejak yang membuat ia terkenang dalam memori segenap warga desa. Ada sebuah jasa yang membuatnya patut digolongkan sebagai pahlawan kemerdekaan, khusus di desanya sendiri. Dialah yang dahulu mengusahakan pemekaran desa, sehingga warga yang dahulu dianaktirikan, bisa berkembang lebih baik.

Lakon Jasri tak berhenti pada soal pemekaran. Di awal desa baru terbentuk, atas jasa-jasanya, para warga mengamanahkan ia sebagai kepala desa. Dimulailah sejarah kepemimpinannya. Sebuah momentum baginya untuk membuktikan bahwa bebas dari desa induk, memang merupakan keputusan terbaik. Bukan sebaliknya, bahwa warga desa tetap jatuh di lubang yang sama, di dalam kungkungan aparat pemerintah desa yang korup.

Dan seiring waktu, terperciklah noda-noda pada lembaran kehidupan Jasri. Balas budi warga yang mendaulatnya sebagai kepala desa, tak ia jalankan secara amanah. Semua program desa dirumuskan secara tertutup dari, oleh, dan untuk kroni-kroninya sendiri. Program itu pun diselenggarakan tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Hingga, sampailah ia pada masa kehancuran, tatkala hakim memvonisnya bersalah atas penyalahgunaan dana desa.

Sungguh, Jasri telah berlaku kalap. Jabatan dan tuntutan, benar-benar membuatnya lupa diri. Dana desa yang alakadarnya di masa lalu, sengaja ia salah gunakan demi kepentingan pribadinya. Entah untuk mewujudkan keinginan istrinya atas sebuah mobil, atau keinginan lain layaknya wanita sosialita. Entah juga untuk memenuhi keinginan anak semata wayangnya yang terus meminta sepeda motor kualitas terbaik, serta alat-alat elektronik lainnya. 

Atas noda hitam dalam sejarah hidupnya, Jasri pun dilanda kekalutan di masa tua. Raut wajah ceria yang ditampakkannya di masa muda, kini terkubur dalam rona murung. Ia bahkan kerap bersikap aneh. Dalam beberapa waktu, wajahnya terlihat berseri-seri, tapi lekas berubah masam. Ketidakstabilan itu, terus berulang. Dan akhirnya bisa dipastikan, ia tak waras lagi ketika terkenang masa lalu yang memosisikan dirinya di antara jasa dan dosa.

Oleh karena lembaran hidup yang abu-abu, Jasri pun kehilangan wibawa di mata warga desa. Jika dahulu ia dielu-elukan, maka sekarang, tidak lagi. Kata-katanya sekadar jadi bahan pergunjingan. Tingkah lakunya yang aneh, bahkan kerap jadi olok-olokan anak jail. Para warga sudah tak menyeganinya. Jika terpaksa berpapasan dan bertutur sapa, mereka hanya berpura-pura hormat, mengingat Jasri adalah tetua desa yang sangat berjasa pada pendirian desa.

Sikap acuh tak acuh warga, membuat Jasri tampak tak memiliki arti apa-apa. Jasa baiknya, seakan terkubur oleh kenangan pahit warga desa dalam masa pemerintahannya yang panjang. Jasri kini dipandang sebelah mata dan harus menjalani hari tuanya dalam keterasingan. Di acara-acara keagamaan dan sosial, ia bahkan harus tersisih di pojok ruangan, tanpa kesempatan untuk tampil sebagai orang terhormat, kecuali ia mengajukan diri.

Dan kini, aku lihat, ada sosok muda penuh semangat yang hadir di tengah warga desa. Semangatnya lahir dari keinginan mencontoh para pendahulu desa. Sosok itu adalah Arifandi, anakku sendiri. Ia yang menilai pembangunan desa berjalan di tempat kala bantuan dari pemerintah pusat begitu memadai, menjadi prihatin dan bertekad mengubah keadaan.

“Pak, aku akan ikut dalam pemilihan kepala desa tahun ini. Aku yakin, bisa menjadi pemimpin yang baik untuk warga desa,” katanya, dengan raut wajah yang tegas.

Tapi sebagaimana dahulu, aku tak merestui ia menjadi kepala desa, dengan satu alasan yang juga menjadi alasanku tak ingin menjadi kepala desa sejak dulu. “Sebaiknya kau urungkan niatmu, Nak. Politik tingkat desa, sama kejamnya dengan politik nasional. Aku tak pernah meragukan soal cita-cita baikmu. Tapi politik, tetaplah politik. Kita harus memperhitungan kalkulasi dukungan.”

Dia menggeleng-geleng. Seperti tak terima dengan pendapatku. “Apa yang perlu ditakutkan, Pak. Aku punya sekolah yang tinggi. Kurasa, warga desa juga menilai aku pantas menjadi pemimpin setelah aku sering tampil di acara dan rembuk warga. Lagi pula, sejarah telah membuktikan kalau keluarga kita memiliki jasa besar untuk desa ini.”

“Hitung-hitungannya, tak sesimpel itu, Nak. Politik itu kotor,” kataku, sembari berharap ia mengurungkan niatnya. “Kau tahu sendiri, sejarah telah dipelintir. Yang seharusnya jadi pahlawan, didramatisasi, sehingga ia dicap sebagai penjahat. Sejarah pemerintahan kakekmu, telah dicap penuh noda. Dan anggapan itulah yang diwariskan secara turun temurun di benak para warga. Dan sekeras apa pun kau mengubahnya, warga tak akan mudah terpengaruh. Dan aku yakin, lawan-lawan politikmu nanti, akan menggunakan cerita itu sebagai senjata.” 

Ia tetap tak terima. Dengan mimik yang serius, ia pun mengungkapkan tekadnya dengan sebuah rencana besar. “Apa masalahnya? Kalau mereka menyerang kita dengan cerita itu, maka sepatutunya kita besarkan nama kita dengan cerita itu pula. Aku kira, Bapaklah yang selalu mengajariku bahwa kebenaran harus diungkapkan, meskipun itu pahit. Dan sebagimana kenyataan yang Bapak ceritakan, maka sudah seharusnya nama baik Kakek dipulihkan, demi keluarga kita juga.”

Aku berkeras menolak, meski tanpa alasan yang memang patut diterima. “Aku masih sulit merestuimu, Nak. Aku takut niat baikmu akan dikalahkan dengan cara-cara politik yang busuk. Kau akan ditertawakan, hingga niat baik itu malah membuatmu jadi gila, seperti kakekmu sendiri,” kataku.

Dia hanya berdengus, lalu terdiam. Seperti tak ingin melanjutkan perdebatan di posisi yang sama-sama berkeras.

Di sela-sela keheningan kami, tersiarlah tayangan di layar televisi tentang ketua DPR yang kembali ditetapkan sebagai tersangka, namun berusaha keras bebas dari proses hukum dengan segala macam alasan. Tersiar juga kabar tentang tuduhan pelanggaran yang dilakukan pimpinan lembaga pemberantasan korupsi soal pencekalan “Si Papa” dahulu. Sederet tayangan itu, sungguh membuatku miris. Semua soal nama baik. Dan aku dapat satu pelajaran dari sana, bahwa sejarah kita adalah sejarah keluarga, masyarakat, bangsa, dan dunia; sejarah manusia.

Kupalingkanlah wajahku ke luar jendela. Kulihat lagi Jasri, ayahku sendiri, yang telah menanggalkan nama baiknya secara tragis. Seorang yang menjadi alasan anakku bertekad kuat menjadi kepala desa. Seseorang yang telah kubentuk menjadi sosok pahlawan di benak putraku sendiri. 

Dan jelas, kini Jasri telah menyadari, bahwa ratapannya di hari tua, juga ratapan kami dan generasi selanjutnya. Tapi atas ratapannya itu, aku menanggung rasa bersalah yang lebih, sebab mungkin demi keinginanku yang bermacam-macam jugalah, dia kalap di masa dahulu. Rasa bersalah itu bertambah mengingat dongeng kebohongan yang kuceritakan pada anakku tentang kakeknya sendiri.

“Kau lihat tayangan di televisi, Nak, semua tentang pejabat dan nama baik,” kataku.

“Maksud Bapak,”  tanya anakku, seakan butuh pemaknaan yang lebih jelas.
 
“Sebaiknya kau tak jadi pejabat, Nak. Memerintah secara baik saja, kita bisa disalah-salahkan. Apalagi kalau kita memang berbuat salah  atau khilaf. Yang pasti, akibatnya sama, bahwa nama baik kita jadi rusak. Dan genarasi kita selanjutnya, cucuku, anakmu, juga akan menanggung noda sejarah itu,” kataku, kemudian menoleh padanya. “Urungkanlah niatmu, Nak.”

Ia tak membalas. Mimiknya datar.

Warung Kopi

Pembaca yang budiman, sebelum mengeja bait-bait kata yang kususun, harus kusampaikan bahwa cerita ini lahir dari sebuah kenyataan. Kutulis berdasarkan realitas ketidakadilan yang kurasa paling tidak adil. Penting kalian tahu tentang itu, sebab cerita ini merupakan awal dari pergeseran fokusku pada tema cerita yang realistik dan berdimensi sosial, alih-alih tetap di ruang melankolis. Dengan begitu, jika kalian merasa bahwa aku kurang pas di tema semacam itu, ceritaku agak absurd, gaya bahasaku agak nyeleneh, maafkanlah.
 
Di awal-awal paragraf ini, tentu aku tidak akan mengungkapkan pokok ceritanya begitu saja. Aku ingin kalian sedikit bersabar. Bacalah dengan pelan-pelan. Ikuti saja alur cerita yang kuraingkai, serta jangan melewatkan kesan-kesan yang tersirat. Dan, jika kalian akhirnya merasa terhibur, meski tak perlu menyampaikannya secara langsung padaku, itu berarti aku telah berhasil, sehingga pantas berkecimpung di lahan cerita yang realistik. Aku pun akan memfokuskan gubahanku pada tema semacam itu, selanjutnya. Jika pun tidak, izinkan aku untuk mencobanya, lagi, dan lagi.

Oh, ya, sebagaimana lazimnya aku menulis cerita, sungguh tak ada kepolosan 100% dalam cerita ini. Aku tetap berusaha membuatnya dramatis nan imajinatif, sehingga pantas dimasukkan dalam label cerpen di blogku. Hal itu penting untuk menangkis tuduhan bahwa aku tumpul dalam berimajinasi. Maka sudah seharusnya para pembaca tak mengeluh jika realitas yang kutuliskan, begitu samar. Samar dalam soal identitas tokoh dan pokok cerita, namun tetap nyata pada soal makna dan pelajaran yang ingin aku sampaikan. 

Supaya tidak bertele-tele lagi dengan pengantar yang panjang-lebar, dan agar kalian tetap bertahan membacanya hingga akhir, maka langsung saja kutuliskan bahwa cerita ini tentang Adam dan Malik. Sekali lagi, camkan, mereka hanya tokoh rekaan yang kujadikan alat untuk menyampaikan pesanku. Dua tokoh yang kukisahkan bersahabat baik. Sangat erat, sebab mereka berteman di masa perkembangan yang penuh warna, di masa peralihan kekanak-kanakan menuju kedewasaan. Ya, mereka jadi sohib sejati sejak duduk di bangku SMA.

Kalian tahu kenapa pertemanan di masa SMA sangat mengenangkan? Ya, sebab di masa itulah pertemanan kita diuji dengan kedewasaan. Jika di masa kanak-kanak kepentingan melebur begitu saja satu sama lain, maka di usia dewasa, setiap orang punya sisi egois dan cenderung mengutamakan kepentingan pribadinya sendiri. Terlebih lagi kalau menyangkut lawan jenis. Bisa dipastikan, setiap orang dewasa yang mulai jatuh cinta, pastilah menjadikan sahabat sebagai prioritas ke sekian. Bahkan sahabat kadang kala jadi sekadar pelarian. Atas alasan itulah, mempertahankan persahabatan di masa-masa dewasa, sungguh tantangan yang luar biasa. Dan kukatakan, Adam dan Malik berhasil melakukannya.

Bukti eratnya persahabatan Adam dan Malik, tampak pada kesepakatan mereka berkuliah di kampus, fakultas, bahkan jurusan yang sama. Ya, mereka sepakat untuk kuliah ilmu hukum. Dan yang berkorban adalah Adam. Dialah yang harus pasrah pada bujukan Malik yang bersikukuh kalau kuliah hukum adalah pilihan terbaik. Adam jelas menolak keras, awalnya. Selain karena memang tak menjiwai hidup dalam pertempuran kata-kata, juga karena ayahnya adalah dosen bergelar professor hukum di kampus itu. Dan, keadaan tersebut akan membuatnya dianggap “anak papa” di mata orang lain, serta harus siap didikte sang ayah setiap saat. Sedangkan Malik, memang mengidamkan bidang hukum, sesuai cita-cita untuk menjadi dosen dan pakar hukum yang memiliki sumbangsih dalam perbaikan hukum di negeri ini.

Akhirnya, kuliahlah mereka di kampus dengan sikap yang jauh berbeda. Dan bisa ditebak, Adam menjalani masa kuliah dengan penuh kebosanan. Tidak suka membaca, menulis, apalagi mendengar khotbah dosen tentang keadilan dan pasal-pasal. Padahal, kebiasaan itulah yang harusnya jadi kesenangan mahasiswa hukum. Di setiap perkuliahan, pikirannya liar dan melayang ke mana-mana. Lebih sering tersesat di persoalan gedget keluaran baru, orderdil unik untuk menghiasi sepeda motornya, atau gadis paling menawan di kampus. Tapi di balik kebandelannya, ia tetap disegani sebagai anak seorang guru besar. Dan tanpa perlu dirinci bagaimana alurnya, ia mujur-mujur saja dalam persoalan nilai.

Sikap yang berbeda ditunjukkan Malik. Segala daya dan upaya, ia kerahkan untuk menyerap ilmu hukum sedalam-dalamnya. Menghadiri perkuliahan semaksimal dosen betah membawakan materi, menongkrong di perpustakaan, hingga coba-coba menulis di media mana saja, adalah kebiasaannya. Bahkan demi memenuhi rasa cintanya pada buku, ia harus rela mengabaikan jadwal makan yang seharusnya. Apalagi, orang tuanya di kampung memang tak mengerti jika ia meminta uang hanya untuk menumpuk-numpuk buku. Dianggap pemborosan oleh mereka. Karena itulah, ia harus mengusahakannya sendiri. Semua demi ilmu pengetahuan dan masa depan bangsa, katanya. Dan hanya dengan pengorbanan itu, ia bisa mendapatkan nilai yang baik.

Hingga akhirnya, setelah genap empat tahu, mereka berdua berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan predikat cum laude. Gelar sarjana hukum telah berhasil mereka sandang. Dan tanpa perlu jeda, mereka pun melanjutkan studi ke jenjang magister. Tentu dengan motovasi dan cara yang berbeda. Malik melanjutkan studinya demi memenuhi persyaratan menjadi dosen, serta dengan mengandalkan beasiswa dari pemerintah. Sebaliknya, Adam terpaksa melanjutkan kuliah atas desakan ayahnya, dengan beban biaya sepenuhnya dari kocek sang ayah yang kaya raya. Cukup dua tahun saja, mereka pun sama-sama berhasil menyelesaikan studi dan menyandang gelar master.

Sekilas, pada soal pencapaian gelar, mereka jelas setingkat dalam pasar kerja, meski secara nyata, ada kesenjangan dalam penguasaan ilmu. Tapi di dunia yang penuh aksi manipulatif ini, tolak ukur ilmu bukanlah pemahaman, tapi formalitas di atas kertas. Karena itu, mereka dapat bergulat dalam ruang-ruang persaingan kerja yang sama, hanya dengan bekal ijazah. Hingga akhirnya, mereka terlempar pada posisi kerja yang tak diduga sebelumnya. Malik gagal menggapai cita-citanya menjadi dosen, meski dengan usaha yang sungguh-sungguh. Dan sebaliknya, Adam malah menjadi seorang dosen di kampusnya sendiri. Sebuah posisi yang menurut nurani dan logika, harusnya menjadi hak Malik.
 
“Hari ini tak ada jadwal mengajar lagi?” tanya Malik pada Adam, yang pagi-pagi sekali telah nongkrong di warung kopi tempatnya bekerja.

Dengan sikap yang sama seperti hari-hari sebelumnya, Adam menjawab dengan enteng. “Ada sih. Tapi sekarang kan konsepnya student learning center. Cukup kasi GBRP ke mahasiswa, selanjutnya biar jadi urusan mereka untuk belajar sendiri,” katanya, sembari mengepulkan asap rokoknya.

Ada sedikit rasa kecut dalam perasaan Malik. Tapi hubungan sebagai sahabat, membuatnya tak bisa melakukan protes secara serius. “Ada benarnya juga, katamu. Tapi sebagai dosen, kau seharusnya tetap hadirlah di kelas. Mahasiswa kan butuh pengarahan, meskipun titik beratnya, mereka harus aktif dalam berdiskusi. Atau paling tidak, hadirlah, supaya tunjanganmu, serta bonus-bonus semacam itu, tetap layak kau dapatkan. Aku khawatir kau akan dipecat jika lebih suka nongkrong di warung kopi daripada mengajar di kelas.”

Adam berdecak. “Aku tak peduli. Kau tahu betul, dosen-dosen senior di kampus kita, juga banyak yang melakukannya. Entah karena alasan rangkap jabatan, urusan politik prastis, urusan proyek, atau sekadar jalan-jalan berkedok studi banding. Dan tak ada yang mempermasalahkannya. Orang-orang dalam sama-sama tahu, dan sama-sama sepakat untuk tidak mempersamalahkannya.”

“Iya. Aku setuju dengan hasil pengamatanmu itu. Dosen-dosen di kampus memang banyak yang bobrok. Tapi bukankah lebih baik jika kau bergabung dengan sedikit dosen yang tetap pada prinsipnya: demi ilmu pengetahuan dan masa depan bangsa?” tanya Malik, lalu menyorongkan asbak ke hadapan Adam.

“Itu hanya prinsip orang-orang sebelum jadi dosen. Setelah jadi dosen, itu soal lain lagi. Akan sangat tidak adil jika yang lain asyik-asyik dengan kebebasannya, sedangkan kita tetap terkungkung dalam kelas demi idealisme, tapi gaji dan tunjangan tetap sama. Aku rasa, keadilan itulah yang penting,” tangkis Adam, kemudian meneguk kopi hitam racikan Malik.

Dan atas keabaian Adam pada tanggung jawabnya, Malik pun tak sabar untuk menggugat. “Jika begitu, kukira, kau belum memahami hak dan kewajibanmu sebagai dosen, Kawan!”

Adam tertawa pendek. “Aku memang tak pernah bercita-cita jadi dosen. Aku hanya melakukan yang seharusnya kulakukan, tanpa harus pusing soal yang lain, termasuk soal tanggung jawab,” katanya, lalu terdiam beberapa saat. “Ngomong-ngomong, keadaanku saat ini, tak lepas dari peran Ayahku dan peranmu juga. Kusadari, ada juga untungnya aku mengikuti saranmu dahulu untuk kuliah hukum, atau manut pada ayahku untuk beberapa hal. Setidaknya, saat ini, aku bisa hidup dengan bekerja sebagai dosen, dan dapat penghasilan dan martabat dari pekerjaan itu.”

Perasaan Malik semakin kecut. Ada kesan keterlaluan yang ia rasakan dari sikap abai Adam soal arti penting profesinya sebagai seorang dosen hukum, khususnya bagi perbaikan bangsa. Di usia matang, ia merasa bahwa temannya itu masih menganggap hal-hal serius patut untuk dipermainkan. 

Kali ini, ia berniat tak memperpanjang perbincangan.

Tiba-tiba, Adam balik bertanya, “Kau sendiri, bagaimana? Apa sepanjang waktu, kau akan bekerja sebagai pelayan warung kopi dengan gelar magister?”

Malik menjawab dengan sikap santai, “Entahlah. Aku tetap bertekad menjadi dosen. Tapi untuk saat ini, bekerja sebagai pelayan di warung kopi, kurasa mengasyikkan juga. Setidaknya, aku bisa menyaksikan kejujuran di sini. Kau tahu, di kampus terlalu banyak kebohongan. Dan di warung-warung kopilah, kita bisa menyaksikan orang-orang berbicara tentang kebenaran sejujur-jujurnya.”

“Maksudmu?” tanya Adam.

"Saksikanlah saja, kritik-kritik atas penyimpangan sosial oleh mereka yang berduit dan berpangkat, disuarakan dengan bebas di sini. Tak ada ketakutan yang akan membungkam nurani. Tak ada senjata yang mengancam akal sehat. Tak ada kemunafikan. Aku suka itu," terang Malik.

Raut wajah Adam, berubah jadi serius.

“Aku merasa bahagia hidup dalam dunia kejujuran. Melakukan sesuatu yang benar-benar ingin kulakukan. Mendapatkan sesuatu yang benar-benar ingin kudapatkan. Makan dari keringat sendiri,” terang Malik, sambil memandang mata Adam lekat-lekat. “Kau tahu, kita bisa membohongi siapa pun, tapi tak bisa membohongi diri kita sendiri. Kita bisa mendapatkan apa pun melalui cara-cara culas, tapi kita tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa kita memang tak pantas mendapatkan hal itu. Dan aku rasa, kita tak akan bahagia selama masih berbohong pada diri sendiri.”

Akhirnya, Adam bungkam. Seperti dikutuk nuraninya sendiri.

Pintu pun berderit. Beberapa pengunjung memasuki warung kopi. Malik pun beranjak dari hadapan Adam. Ia lalu menyibukkan diri melayani para pengunjung. Mulai dari meracik pesanan, menerima bayaran, atau membersihkan piring dan gelas, dilakukannya dengan cekatan. 

Setelah merasa pekerjaannya beres dan bisa ditinggalkan untuk beberapa saat, Malik pun melangkah menuju ke pojok ruangan, tempat Adam menyendiri. Tapi sohib yang ditujunya itu, telah lenyap dari posisinya. Malik pun hanya menjumpai gelas kosong yang menindih beberapa lembar uang bayaran dalam jumlah yang lebih.

Malam sudah begitu larut. Kopi yang kusesap dalam jeda yang panjang, masih tersisa lebih dari setengah gelas. Tapi, aku yang tengah menulis cerita ini, masih saja bingung bagaimana membuat konflik yang lebih dramatis. Namun sebagaimana tulisan realistik yang seharusnya, drama-drama berlebihan akan membuat realitasnya semakin kabur. Karena itu, aku tak ingin memaksakan efek dramatis. Setidaknya, melalui cerita sederhana ini, aku telah mengabarkan tentang fenomena dan nilai-nilai yang hidup dalam kenyataan. Dan aku kira, kita sepaham tentang semua itu, termasuk tentang bagaimana kita harus bersikap.

“Sudah hampir subuh, Kawan. Mungkin sebaiknya kita pulang,” sergah Akhyar, sahabat karibku selama kuliah.

“Sebentar. Tulisanku belum kelar. Warkop juga buka 24 jam. Tak usah buru-buru,” kataku, sembari berpikir untuk sebuah akhir cerita yang mengesankan.

“Mungkin sebaiknya kau lanjutkan besok saja. Besok kan warkop ini tetap buka,” sarannnya.

Aku menggeleng. Tak membalas dengan kata-kata, dan terus saja memikirkan ketikanku. Seketika, aku berpikir bahwa sebaiknya aku menuliskan kenyataan di sini, jikalau beberapa hari yang lalu, sebuah kabar, sampai juga di telingaku. Kudengar kalau beberapa seniorku di kampus, gagal dalam seleksi penerimaan dosen. Menyesakkan, tentunya, sebab aku tahu, mereka  layak untuk diterima. Bahkan aku yakin, mereka pasti menang dalam kompetisi yang sehat. 

Hingga akhirnya, aku dapat kabar bahwa seorang anak dosen, telah menyingkirkan mereka dengan mudah. Demi anaknya, si dosen yang punya nama besar dan kuasa lebih di kampus, jelas punya segala macam cara untuk mempermaikan proses. Kalian tentu sepaham bahwa banyak jalan yang salah bagi keburukan untuk menang, tapi kebaikan hanya bisa menang dengan jalan yang benar.

Dan akhirnya, kampusku saat ini, tak ubahnya rumah beberapa sanak famili. Bagaimana dengan kampus kalian? 

“Kawan, ayo pulang. Sekitar dua jam lagi kita harus kuliah. Kita belum tidur semenit pun. Bisa-bisa kita tak masuk lagi,” bujuk Akhyar, seakan-akan itu akan membuatku tergugah dan segera beranjak.  

“Jangan terlalu mengkhawatirkan soal perkuliahan. Kau tahu, besok pagi, kalau pun kita masuk kuliah, palingan kita mendapatkan kelas tanpa dosen. Kau jelas tak suka dikecewakan kan? Ya, kalau pun dosen datang, kita tak akan mendapatkan apa-apa selain khotbah kosong tentang keadilan, yang mereka sendiri tak pernah tegakkan,” tegasku, lalu menyesap kopi di gelas, yang masih meninggi.

Dia mengeluh, seperti anak-anak yang meminta sesuatu. “Tak usah ceramah begitu kawan. Yang pasti, kita harus masuk demi nilai, dan itu demi masa depan kita. Dengan IP jongkok dengan masa studi yang lama, kau mau jadi apa?”

“Aku mau jadi dosen,” tandasku.

Dia tertawa.