Senin, 30 Oktober 2017

Selepas Hujan

Suasana adalah pintu masuk bagi kenangan. Kadang menyusup melalui pengindraan suhu, nada, juga aroma. Dan bagiku, hujan adalah suasana yang komplit. Ia selalu menghadirkan kenangan tentang kita. Dentingnya mengenangkan kita yang terperangkap di balai kecil, dinginnya mengenangkan kita yang berbagi jaket, atau aromanya yang mengenangkan perjalanan kita selepas reda.
 
Ini adalah musim hujan kedua yang kulalui tanpamu. Sejak dua tahun lalu, hujan telah menjadi bingkai kenangan kita. Kenangan yang semakin menjauh, seumpama kumpulan titik hujan yang mengalir entah ke mana. Kenangan yang menyatukan kita di masa lalu, meski kita telah berjarak saat ini. Semua karena kau telah mengikatkan hati pada seseorang, yang menyudahi adegan-adegan kita selanjutnya.

Aku masih ingat hujan yang mengakhiri tentang kita. Kala itu, rasaku yang menumpuk dan mambuncah bertahun-tahun, hendak kuluruhkan padamu. Kuhampirilah kau di sebuah kedai kopi, tempatmu menjadi pramusaji, sambil membawa selingkaran gelang untukmu. Aku menunggu hingga lewat tengah malam, saat tugasmu selesai, dan tak ada lagi halangan bagiku menyampaikan maksud.

“Aku punya hadiah,” kataku, sambil menyerahkan sekotak kado berisi gelang.

Kau yang duduk tepat di depanku, terlihat semringah. “Terima kasih. Ada momen apa hingga kau tiba-tiba memberiku sesuatu?”

Aku berdeham sekali. “Coba lihat jam dan tanggal sekarang,” pintaku.

Kau lalu mengecek waktu di telepon genggammu. “Jam 1 lewat 2 menit. Tanggal 12 Desember. Lalu?”

“Itu artinya kau berulang tahun hari ini,” ucapku, sambil tersenyum.

Seketika, raut wajahmu menampakkan keterkejutan yang tak terkira. Dan kuduga, itu bukan karena kado yang kuberikan, tapi karena aku memberikannya di harimu yang spesial. “Terima kasih! Aku benar-benar lupa. Terima kasih!” katamu, sedikit terharu.

Aku mengangguk.

Senyap sejenak.

Tiba-tiba kau bertanya, “Ada lagi yang ingin kau katakan?”

Dan entah kenapa, aku tak berdaya mengutarakan maksud yang sebenarnya, jikalau aku ingin kita lebih dari sekadar sahabat. Mungkin karena kita terlalu dekat, sampai aku tak tahu bagaimana caranya. Mungkin juga karena aku takut perasaanku tak bersambut, dan aku malah kehilangan sahabat dekatku. Akhirnya, aku memilih membiasakan keadaan. Kurasa, kita cukup bahagia dalam kebersamaan, meski bukan atas nama apa-apa.

“Tak ada. Aku hanya berharap yang terbaik untukmu,” kataku.

“Begitu saja?” tanyamu, dengan raut datar.

Aku mengangguk, menegaskan kebodohanku, kemudian bermaksud memecah keheningan, “Bukalah kado itu. Aku harap kau sudi mengenakan sesuatu yang sederhana dariku.”

“Nanti saja kalau kita sedang tidak bersama. Aku kadang lebih suka melakukan sesuatu yang spesial tanpa diketahui siapa-siapa,”  dalihmu, sembari melempar senyuman yang singkat. “Aku permisi sebentar. Ada pekerjaan di belakang.”

Kau lalu pergi, melanjutkan tugasmu. Merapikan perkakas sajian hingga beberapa waktu.

Tak lama setelah itu, pekerjaanmu kelar. Aku lalu mengantarmu pulang. Kita melintasi jalan yang lengang tanpa obrolan hangat seperti biasa. Kau tiba-tiba tak banyak bertanya, sedangkan aku tak enak hati mengganggu ketenanganmu meredakan lelah. Maka, di bawah rintik hujan malam itu, dimulailah hubungan kita yang dingin.

Keesokan harinya, kulihatlah kenyataan yang sungguh membuatku terenyuh. Kau tak mengenakan gelang dariku, dan malah mengenakan gelang lain yang tak kutahu dari siapa. Hingga seiring waktu, kubaca juga bahwa kau semakin dekat dengan teman sekampus kita, dengan seseorang lelaki yang juga menjadi sahabat dekatku selama ini. 

Hari demi hari, aku menjadi seseorang yang tak kau butuhkan lagi. Kau tak tertarik meminta apa-apa pun dariku, seperti sebelumnya. Tak lagi memohon agar aku mengantarkanmu ke mana saja yang kau mau, atau merengek sampai aku bersedia menggendong tasmu yang kau bilang membebani. Kenyataan itu berhasil membuatku merasa seperti lelaki yang tak berguna. 

Akhirnya, sebagaimana hubungan kita yang terjalin tanpa ikrar apa-apa, kita pun berjarak tanpa perlu mengucapkan selamat tinggal.

Di tengah kekalutanku tentang kita, tepat tanggal 1 Mei lalu, kutulislah pengharapanku yang canggung di akun media sosial milikku: Selagi langit yang menaungimu masih cerah, biarlah aku menunggu musim depan, ketika hujan membasahimu dan aku ada untuk menghangatkanmu kembali.

Kuharap kau sempat membawa untaian kata itu. Aku ingin kau tahu bahwa aku masih sedia menunggumu, meski harus ada kenangan yang lain di antara kenangan kita. Jika pun benar kau menyimpan perasaan yang sama padaku, kau boleh kembali kapan saja. Tak perlu menyalahkan dirimu yang sempat berpaling. Akulah yang salah, yang tak pernah benar-benar menegaskan perasaanku padamu sedari awal.

Dan entah bagaimana kronologinya, hujan benar-benar telah membasahi perasaanmu di musim ini. Kemarin, aku dapat kabar dari seseorang yang telah mengikat hati denganmu, seseorang yang kusebut sahabatku juga:

“Kau datang sendiri? Si dia mana?” tanyaku, tanpa kuasa mengeja namamu, kala lelaki yang bersamamu selama ini, datang menemuiku di sebuah kafe untuk beberapa kepentingan.

Lelaki itu pun mengambil posisi duduk tepat di depanku. “Aku tak ada hubungan lagi dengannya. Dia kukuh menyudahi hubungan kami. Aku sungguh berat menerima kenyataan itu. Tapi aku juga tak bisa memaksa dia untuk terus bersamaku,” katanya, dengan raut wajah yang penuh kekecewaan.

Aku melanjutkan pertanyaan. Bermaksud mengorek informasi tentang alasan apa yang membuatmu mengakhiri hubungan dengannya. “Ada masalah serius apa yang terjadi di antara kalian?”

Dengan cekatan, ia lalu membakar dan mengisap-isap sebatang rokok. “Aku juga tak tahu. Masalah itu ada padanya. Yang pasti, aku masih menginginkannya sampai kapanpun. Dan aku tak akan sudi seseorang merebut hatinya sebelum aku benar-benar merelakan ia pergi,” katanya, dengan keteguhan yang tampak mendalam.

Atas kerisauannya, juga atas perasaanku yang menggantung padamu, aku memilih untuk tak membahas tentang kita dan tentang kalian lagi. Untuk waktu selanjutnya, obrolan kami pun beralih pada topik yang lain.

Sampai akhirnya, selang berapa hari, kulihatlah sebuah bukti yang membuatku tercengang. Di tengah hubungan kita yang telah membeku, aku melihat gelang pemberianku melingkar di pergelangan tanganmu. Gelang itu tampak elok menggantikan posisi gelang pemberian darinya.

Dan sore ini, kala aku tengah mengetik cerita tentang kita, hujan, dan sebuah cincin, gerimis turun di bawah mentari yang tengah bersinar terang. Kurasa, itu sebuah pertanda untuk jalan hatiku yang bimbang, kala kisah kita yang masih menggantung, tersandera kisahmu dengannya, dengan seseorang yang juga sahabat baikku sendiri, yang menyudahi kisah kalian tanpa kerelaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar