Jumat, 27 Oktober 2017

Memeluk Jarak

Di masa kanak-kanak, kita melalui banyak hari yang kurang harmonis. Aku terbiasa abai, tapi kau cerdik mencari perhatian. Saat waktuku bermain sepak bola, kau malah merengek. Kau memaksaku berbetah-betahan bersamamu, entah bermain boneka, parade masak-masakan, atau mengejar capung di halaman rumah. Dan akhirnya, aku sering mengalah.
 
Kau memang manja dan beruntung. Tak perlu memohon untuk segala keinginan. Bahkan cukup menangis, apa pun bisa terkabulkan, termasuk agar aku menjadi pelayanmu. Dan terperangkap bersamamu, sering kali berbuah celaka bagiku. Kau pasti masih ingat saat kupatahkan kepala  boneka barbiemu, tanpa sengaja. Kau lalu menangis, dan aku mesti dapat jeweran. 

Hubungan kita, memang terikat dalam nuansa ketidakadilan. Hanya karena kau lebih muda, aku harus menyayangimu tanpa alasan. Tapi tidak sebaliknya, bahwa aku yang lebih tua, harusnya kau hormati tanpa perlu kumohon sekali pun. Kau jelas menyalahgunakan kekanak-kanakanmu untuk menang, sedangkan aku yang lebih tua, tak bisa apa-apa.
 
Aku memang sial, sebab dilahirkan tujuh tahun lebih dulu darimu. Saat kau berumur 5 tahun, aku sudah 12 tahun. Bagimu kala itu, wajar jika laki-laki dan perempuan bermain bersama. Tapi aku mulai keki. Akhirnya, atas kuasamu, aku terpaksa menemani, dengan rasa benci. Dan saat kau berumur 10 tahun, sedang aku 17 tahun, petaka berlanjut. Kau masih manja, sedang aku mulai berjarak dengan wanita karena rasa yang belum bisa kau mengerti.

Sampai akhirnya, waktu bergulir begitu cepat. Saat ini, umurmu 17 tahun. Kau tampak mulai mengerti maksudku, tentang kenapa lawan jenis berjarak bukan karena rasa benci, tapi mau berbalut malu. Aku jelas paham kekalutan itu, sebab telah melewatinya sekian lama. Hingga kini, di usia 24 tahun, perasaanku jadi seumpama mentari pagi; segan, tapi hadir demi tanggung jawab.

Kini, di usia dewasa, kau semakin menawan. Itu wajar. Kuduga, kau mulai dilanda badai kasmaran. Sesuatu yang akan membuatmu berpikir berulang kali sebelum keluar rumah. Tentang bagaimana riasan di wajahmu, keserasian warna rok dan bajumu, juga aroma badanmu; segala hal yang tak pernah kau hiraukan secara detail sebelumnya.

Atas perubahanmu, aku pun jadi korban. Sebelum mengantarmu ke sekolah setiap pagi, misalnya, aku harus menunggu lebih lama hingga kau selesai berdandan. Kau sungguh lelet. Mungkin karena kau yakin bahwa aku akan mengantarmu sampai di sekolah tepat waktu. Apalagi, kau memang tak peduli bahwa sesampaimu dengan selamat, aku harus menempuh jalur yang berlawanan, menuju ke kantorku, sekitar 15 menit, sampai aku sering terlambat.

Tapi pagi ini, ada yang berbeda. Kau bersiap lebih cepat, dengan tampilan yang tak kurang mengangumkan dari kemarin. Kau tiba di halaman rumah saat aku masih memperbaiki motor yang bermasalah. Memeriksa isi tangki, membersihkan busi, hingga mencoba menyalakannya berulang-ulang. Hingga akhirnya, motor butut itu kembali menyala.

“Tisu,” tuturmu, sambil menyodorkan beberapa lembar dari tasmu.

Kuterima dengan senang hati, lalu membersihkan tanganku yang penuh noda.

Tiba-tiba kau mendekat, lalu menyeka dahiku seketika. “Makanya, kalau kerja yang ikhlas, supaya tidak lepotan begini,” katamu, sambil menjumput dagu dan memaling-malingkan wajahku. Kau mengecek dan mengelap noda lain di bagian pipiku.

Aku hanya terpaku memandangmu. Ada sedikit perasaan aneh, sebab kau tak pernah memerhatikanku selebih ini.

“Sekarang sudah bersih. Kalau begini, lumayanlah. Kurasa, hari ini, akan ada wanita yang terpesona melihat penampilan Kakak,” pujimu, meski kau bermaksud meledek.

Aku memandangmu untuk beberapa saat lagi. Sekadar memastikan bahwa kau memang lebih cantik daripada yang kulihat sepintas selama ini.

“Kenapa bengong? Ayo berangkat!” titahmu, tegas. Terlihat menggemaskan. ”Kali ini, bukan salahku lagi kalau Kakak terlambat.”

Aku tersenyum. “Baiklah Nona manis, yang hari ini tampak menawan,” kataku, sejujurnya, meski kau pasti menganggap itu ledekan semata.

Kita pun melalui jalan seperti biasa. Sesadel tanpa banyak bicara. Aku fokus di jalan demi keselamatanmu, sedang kau hanya menyandarkan lenganmu di punggungku. Sesekali, kau akan melingkarkan tangan di perutku, saat jalan lowong dan aku memacu kendaraan tiba-tiba. Selebihnya, aku tak tahu apa yang kau lakukan di belakangku. Yang pasti, di saat dekat seperti ini, aku memikirkan banyak hal tentangmu, meski kau mungkin sedang memikirkan seseorang yang lain.

Belakangan, batinku memang berbeda terhadapmu. Perasaanku dekat saat kau jauh. Tapi, pikiranku berkata, memang sebaiknya kau menjauh saat kita sedang berdekatan. Ada jarak di antara kita yang tak bisa disatukan hanya dengan pelukan. Ada hati yang tak berpadu, meski raga beradu. Kita sedunia, tapi tak sealam. Aku tak tahu bagaimana cara mengubah keadaan itu.

Di tengah kegundahanku yang menjalar, sampai juga kita di halaman sekolahmu. Tak seperti biasa, kali ini senyumanmu tampak merekah sempurna. Kau seakan melepas rona kebahagiaan sejati. Prasangka burukku pun menguat, bahwa itu karena beberapa detik lagi, kau akan bertemu dengan lelaki pujaanmu. Kau akan meninggalkanku; seseorang yang masih membawa bayang-bayangmu hingga bertemu lagi siang nanti, saat kembali datang menjemputmu.

Setelah kau menghilang di sudut ruangan, dengan berat hati, aku pun pergi, menggulung kembali lintasan yang baru saja kita lalui. Membentangkan jarak di antara kita. Membuat waktu kerjaku akan terasa semakin lama dan menyiksa. Hingga menyusun laporan keuangan yang sederhana saja, menjadi perkerjaan yang sangat memusingkan bagiku. Aku tak bisa konsentrasi. Semua ini bermula di hari kemarin, setelah kutemukan kado dan surat cinta untukmu.

Waktu terus bergulir. Akhirnya, setelah jam sekolahmu kuduga telah berakhir, aku pun menelusuri jalan yang kulalui ke sekian kalinya, untukmu. Kulajukan sepeda motorku secepat mungkin, sebab untuk kali ini, aku tak ingin membuatmu menunggu barang sedetik saja. Aku takut ada seseorang yang menawarkan tumpangan padamu, dan kau mengiyakan saja. Atau malah, kau yang memintanya.

Namun setiba di satu titik, di tempat biasanya kau menunggu, aku sedikit heran. Kau belum tampak. Aku pun menunggu. Detik berganti menit, kau tak juga datang. Menit berganti jam, kau bahkan tak meresponsku melalui telepon atau pesan singkat. Sejam lebih, aku masih bertahan sambil bertanya-tanya. Hingga akhirnya, aku menyerah. 

Tanpa petunjuk apa-apa, aku pasrah dan pulang ke rumah, sambil berharap menjumpaimu di sana dalam keadaan baik-baik saja. Aku tak kuasa mengkhawatirkanmu lebih lama lagi.

Tapi, ternyata aku tak juga menjumpaimu. Kau menghilang tanpa kabar. 

Sampai akhirnya, di sore hari yang hampir gelap, kau tiba dengan seorang lelaki. Kupastikan, dialah lelaki yang membuatmu terlena. Karena itu, ia pantas dienyahkan dari muka bumi.

Dengan emosi yang tak keruan, aku pun bergegas menghampiri lelaki itu. Dan entah setan apa yang merasukiku, tanpa basa-basi, kulayangkan sebolak-balik tamparan di pipinya. Tamparan pertama untukmu sebagai adikku. Tamparan ke dua untukmu sebagai wanita pujaanku.

“Lelaki macam apa kau, sampai membawa seorang wanita tanpa kabar hingga nyaris malam begini!” bentakku.

Lelaki itu tertunduk mematung. Seakan tak yakin kalau aku telah memberi ucapan selamat datang yang tak lazim untuknya.

Kau juga tak kalah kagetnya. Kau tampak terenyak sambil memeluk tasmu. Tanganmu sedikit gemetar. Bibirmu memucat. Pastinya, kau tak menyangka aku bisa selancang itu. Serupa kau tak menyangka bentuk perasaanku padamu.

“Jangan macam-macam dengan Adikku. Pokoknya, aku tak sudi lagi melihat kau dekat-dekat dengannya,” gertakku. Kemudian dengan intonasi kata yang merendah, aku mengucapkan kalimat penutup, “Pulanglah. Aku tak butuh penjelasan apa-apa darimu.”

Tanpa berkata-kata lagi, lelaki yang tak kutahu namanya itu, pulang. Ia bahkan pergi tanpa sedikit pun melirik kepadamu. Dan karena itu, aku yakin, ancamanku berhasil.

Setelah terpaku beberapa detik untuk memahami momen yang tak mungkin kau sangka-sangka, kau pun bergegas masuk ke dalam rumah. Berlari, sambil menjatuhkan air matamu. Lalu, kudengar suara gaduh dari dalam ruangan. Kuduga, kau membung tasmu di sembarang tempat, hingga mengenai perabotan. Dan kulihatlah, guci peninggalan ayah, telah berserakan di lantai.

Akhirnya, aku jadi khawatir sendiri terhadapmu. Aku takut kau melakukan tindakan yang tidak-tidak. Karena itu, aku pun menyusulmu ke lantai dua rumah, yang menjadi wilayah kekuasaanmu selama ini. Aku bermaksud mengecek keadaanmu, juga untuk menenangkanmu.

“Dik, maafkan aku atas kejadian tadi,” kataku, memelas, meski sedikit pun aku tak menyesal telah bertindak demikian.

Tangisanmu semakin kencang. “Kenapa Kakak melakukan itu? Kenapa?”

Aku tetap membela diri demi martabat sebagai lelaki, “Dik, itu demi kebaikanmu juga. Aku yakin, tak ada laki-laki baik yang memperlakukan wanita seperti itu, yang membawa anak orang lain tanpa kabar hingga hampir malam.”

 “Tapi itu bukan salahnya, Kak. Dia tak tahu apa-apa. Dan tentang mengabari Kakak, HP-ku lobet, sedangkan aku tak hafal nomor telepon Kakak,” katamu, sambil terisak.

Kuulangi lagi kata-kata penyesalanku. “Maafkan aku kalau kau kurang berkenan, Dik. Tapi yakinlah, aku bermaksud baik untukmu.”

“Sudahlah,” selamu seketika, dengan tangis yang kembali menjadi-jadi. “Aku sudah dewasa, Kak. Aku tahu dengan siapa aku aku mesti bergaul!”

“Tapi aku merasa kau bergaul dengan laki-laki yang salah, Dik,” tegasku lagi.

Kau lalu berdiri, menamparku, kemudian mendorong badanku hingga terhempas ke dinding.

Aku sungguh tak menyangka kau tega melakukan itu.

Kini, aku ingat lagi almarhum ayah. Kala itu, kau memaksa ikut bermain ke sungai. Karena kesal, aku pun meninggalkanmu seorang diri di sana, sambil berharap kau lenyap saja dari muka bumi. Dibawa arus sungai sampai jauh. Sungguh, saat itu, aku menganggapmu hanyalah perempuan kecil yang telah mencuri kasih sayang ayah dariku. Tapi akhirnya, ayah menghadiahiku sebuah tamparan atas tindakan itu. Dan dari tamparanmu dan tamparan ayah, aku disuguhi kebingungan yang sama: bagaimana bisa aku dipersalahkan hanya karena mengharapkan cinta yang seharusnya menjadi milikku?

Di saat ini pula, teringatlah satu rahasia terbesar yang diungkapkan ayah di akhir hidupnya kepadaku. Saat itu, aku sudah berumur 17 tahun, dan mungkin dianggap telah cakap memegang amanah. Kuketahuilah bahwa kau bukanlah siapa-siapa kami. Kau hanyalah seorang bayi malang yang ditemukan ayah di depan rumah, di saat aku masih belum mengerti apa arti kakak-adik selain serumah dan bersama sejak kecil. 

Kala itu, ayah pun berpesan: Nak, sepeninggal ibumu saat kau masih enam tahun, aku tak pernah berpikir lagi untuk menikah. Aku tak akan merasa sepi karena punya kamu. Karena itu, aku berharap, sepeninggalku nanti, kau juga tak akan merasa kesepian, sebab kau punya seseorang yang bisa kau jadikan teman hidup. Soal rahasia besar ini, tunggulah sampai kira-kira ia siap menerima kenyataan yang sesungguhnya.

Dan kini, aku pun bingung sendiri, kapan waktu yang tepat untuk menjelaskan rahasia itu kepadamu. Menjelaskan asal-usulmu. Menjelaskan bahwa tak ada rintangan untuk kita menyatu dalam cinta, selain bahwa kau selama ini hanya menganggapku seorang kakak, dan tak mungkin lebih.

“Kakak turun saja! Kali ini, aku benci Kakak!” katamu dengan air mata yang terus menetes. Tapi aku masih melihat ada keseganan di balik tatapanmu. Aku yakin, kau tak akan benar-benar membenciku. 

Aku berdiam diri saja. Memandangimu dan mencoba memastikan bahwa hubungan kita akan segera membaik.

Kau pun kembali berdiri, lalu mendorongku, sambil memukul-mukul punggungku. Kau melakukan itu, sampai akhirnya aku keluar dari kamarmu, lalu kau menutup pintu rapat-rapat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar