Senin, 30 Oktober 2017

Terpisah Kata-Kata

Sungguh berbunga-bunga perasaan Laila di awal perkenalannya dengan Khalil. Merasa seperti bidadari yang terus disanjung-sanjung. Setiap kata untuknya, dihiasi majas-majas yang indah. Jarang sekali ia disapa dengan namanya saja, tanpa disertai frasa seumpama mata bulan, dagu pelangi,  senyum surga, dan sejenisnya. 
 
Atas buaian yang tiada hentinya, tak butuh waktu lama bagi Laila untuk menjatuhkan hati pada Khalil. Di benaknya, tergambar bayang-bayang di masa depan, bahwa sang kekasih akan terus menghadirkan sanjungan yang membahagiakan. Sang kekasih akan terus menggubah puisi yang istimewa, untuknya seorang. Dan sebagai perempuan, itulah yang ia butuhkan.

Hanya tiga bulan perkenalan, Laila pun memasrahkan diri untuk menjadi suami Khalil. Ia jatuh sejatuh-jatuhnya. Ia jelas tak ingin kehilangan kesempatan untuk memiliki sang peramu kata. Apalagi, dipikirnya, kata-kata adalah sumber kesengsaraan dan kebahagiaan, tergantung siapa yang mengutarakannya. Dan atas kepandaian Khalil berkata-kata, ia yakin akan bahagia sepanjang masa.

Dan benar saja. Di awal penikahan, angan-angan Laila jadi kenyataan. Suaminya, semakin romantis saja. Setiap kali menjelang tidur, sang suami akan berlagak bak balerina, sambil melantunkan bait-bait puisi. Kala pagi menjelang pun, sang suami akan menyuguhkan puisi puja-puji atas kecantikan wajahnya, meski belum sempat dibasuh dan didandani.

Hingga akhirnya, waktu membawa Laila pada kenyataan hidup bahwa puisi bukanlah sebuah realita. Puisi hanya pelipur bagi orang-orang yang tak mampu memeluk isi bumi, hingga berangan-angan tentang seisi langit. Apalagi ketika ia telah melahirkan dua orang anak yang jelas tak membutuhkan puisi untuk bertahan hidup.

Mulailah keluarga Laila dirundung percekcokan. Pangkal masalahnya jelas karena kebutuhan keluarga kecil mereka terus meningkat, sedang Khalil tak juga punya inisiatif untuk mencari pendapatan lebih. Pekerjaannya sebagai pedagang buku bekas, jelas tak menjanjikan bagi kehidupan keluarga mereka. 

Seiring waktu, dua anak mereka semakin bertumbuh dengan kebutuhan yang bertambah pula, tapi pendapatan sebagai pedagang buku bekas, tetap begitu-begitu saja. Seadanya. Keadaan itu jelas membuat emosi Laila mudah tersulut. Terlebih kala melihat suaminya tetap dengan kebiasaan lama. Terus saja menggubah puisi yang tak memiliki nilai materi, di kala anak-anaknya mulai membutuhkan permaian, pakaian, pangan bergizi, dan sebagainya.

“Apa gerangan yang membuat bidadariku murung? Langit tak mendung, tapi wajahnya tak bersinar?” katanya Khalil, sebagaimana kebiasaannya.

Laila tetap cemberut dan menganggap kata-kata itu tidak patut membuatnya tersenyum. “Sudahlah, Pak. Berhentilah bicara dengan cara berlebihan.”

“Kenapa, Sayangku? Apa kau lupa, beginilah cara kita bermain-main di taman surga?" balas Khalil, sembari mengelus-elus rambut sang istri. "Masalah dunia boleh banyak dan bergunung-gunung, tapi ingatlah, langit masih lebih luas dan tinggi.”

Senyuman Laila tak juga terpancing. “Sudahlah, Pak. Aku tak butuh puisi dan kata-kata membuai seperti itu lagi. Bapak harusnya sadar sekarang, kita sudah punya dua orang anak yang butuh banyak hal. Kalaupun Bapak mengira aku masih senang mendengar puisi-puisi itu, tak apa-apa. Tapi sadarlah, anak-anak kita lebih membutuhkan popok daripada selangit puisi,” tegas Laila. Tampak kesal.

Akhirnya, Khalil pun bersikap biasa dan tak memosisikan dirinya sebagai pujangga lagi. “Tapi kebutuhan hidup kita dan anak-anak kan masih terpenuhi, Bu. Tak usahlah terlalu merisaukan masa depan. Apa gunanya kita pikir tentang waktu mendatang kalau kita malah lupa menikmati kebahagiaan di saat-saat ini.”

Kekesalan Laila, semakin menjadi-jadi. “Bapak kok malah menggampangkan keadaan?” katanya, solot. “Baiklah, kita memang hidup berkecukupan sekarang. Tapi bagaimana nanti kalau kedua anak kita sudah bersekolah? Kita butuh tabungan, Pak!”

Khalil malah jadi tertantang untuk meluluhkan kecemberutan sang istri. “Sudahlah, Sayang. Jangan khawatir begitu. Bukanlah lebih baik jika aku ada di sampingmu, daripada aku sibuk dan melupakan keluarga kecilku yang bahagia ini?” katanya, sambil tersenyum-senyum. “Apakah demi uang dan pekerjaan, kamu rela aku jarang di rumah dan tak lagi membacakan puisi untukmu. Kau tak cemburu jika puisiku malah untuk orang lain, bukan lagi untukmu seorang, Sayang?”

Bukannya malah tenang, emosi Laila malah pecah. Ia pun bangkit dan mencabut lembaran-lembaran puisi yang menempel di dinding. “Ini! ambil semua puisi Bapak! Aku tak suka lagi dan anak-anak pun tak membutuhkannya,” katanya, sambil membuang lembaran itu ke langit-langit kamar. Melayang-layang, dan jatuh berserakan di atas kasur dan lantai.

Khalil benar-benar tak menduga kalau sang istri akan memperlakukan puisi-puisi itu dengan cara tak patut.

“Besok, aku tak ingin Bapak menulis dan menempel puisi di dinding lagi. Kalau itu tetap Bapak lakukan, lihat saja, kata-kata tak berguna itu akan jadi asap dan debu!” ancamnya, kemudian melangkah pergi, menuju kamar sebelah, tempat kedua anaknya tertidur.

Pertengkaran Laila dengan sang suami, akhirnya membuat hubungan keduanya menjadi dingin. Keadaan itu berlanjut di hari-hari berikutnya. Raut wajah Laila tak kunjung bersahabat seperti dulu, dan Khalil pun tak ingin memancing pertengkaran dengan candaan dan gombalan. Mereka hanya mengobrol untuk hal-hal yang memang perlu diobrolkan. 

Dalam keadaan yang benar-benar tak nyaman, diam-diam, Khalil pun semakin terpacu menggapai sesuatu yang dapat membuat Laila ceria kembali. Masih dengan puisi. Ia mulai rajin menulis dan mengirimkan puisi ke beberapa media. Sejumlah puisi yang diarsipkannya selama ini, juga ia tawarkan ke beberapa penerbit. Ia terus melakukan itu dengan pantang menyerah, sebab ia merasa, hidup dan matinya, ada pada puisi.

Sampai akhirnya, setengah tahun berselang, usaha Khalil berbuah manis. Bukan karena penjualan buku bekas yang semakin membaik, tapi karena buku-buku karangannya mulai diterima khalayak. Perlahan, popularlah Khalil sebagai seorang penulis puisi dengan buku yang tersebar di mana-mana. Bahkan ia mulai diundang sebagai pembicara dalam acara kesastraan.

Kesohoran pun membuat jadwal kegiatan Khalil semakin padat. Ia jadi lebih sering berada di luar kota, sampai tak sempat berlama-lama dengan keluarga kecilnya. Ia jadi seperti ancamannya dahulu. Menjadi seorang penulis puisi untuk semua orang, bukan untuk istrinya seorang.

Suatu hari, masuklah panggilan ke telepon genggam Laila dari sang suami, Khalil:

“Bagaimana keadaan anak-anak?” tanya Khalil.

“Baik-baik saja, Pak,” balas Laila.

“Syukurlah kalau begitu,” Khalil jeda beberapa detik. “Oh, iya, aku sudah transfer uang ke rekeningmu dari honorku sebagai penulis. Kukira, jumlah itu sudah lebih dari cukup.”

Di ujung telepon, Laila menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mengering. “Baiklah. Semua akan akan kubelanjakan untuk keperluan anak-anak,” katanya, sambil berharap suaminya mengucapkan kata-kata yang lebih berkesan, yang khusus untuknya, seperti dahulu, bukan soal uang.

“Baiklah kalau begitu. Sudah dulu. Aku ada pertemuan beberapa saat lagi,” pungkas Khalil.

Tanpa mengucapkan kata-kata balasan, telepon terputus. Laila benar-benar merasa ada yang hilang. Ada keadaan yang diinginkannya kembali seperti dahulu.

Pencuri Hati

Awalnya, tak ada yang ganjil dari kepribadian Sutomo. Seperti lazimnya kepala keluarga, ia tetap bertanggung jawab demi keutuhan rumah tangganya. Tetap gigih mencari penghasilan untuk kebutuhan diri sendiri dan istrinya, Sumia. Bahkan tak hanya mengandalkan pendapatan sebagai pegawai negeri, ia juga menyambi sebagai penambak ikan lele. 
 
Harta benda yang berkecukupan, tak membuat Sutomo dan istrinya tampil bermewah-mewahan. Buktinya, ia hanya menggunakan sepeda motor jadul untuk menjalankan tugasnya sebagai sekretaris desa. Istrinya pun tak kalah sederhana. Jangankan menggunakan perhiasan di sana-sini, merias wajah dengan bedak seadanya saja, tak pernah ia lakoni.

Prinsip hidup Sutomo yang penuh kesederhaaan, sebenarnya bukanlah sebab Sumia rela tampil polos. Sebagai seorang wanita, besar juga keinginannya untuk berhias dan mengenakan anting, cincin, gelang, kalung, dan pernak-pernik lainnya. Apalagi, wajar ia berhasrat, sebab suaminya memang orang yang mampu. Namun kesederhaaan itu, terpaksa saja ia jalani, atas titah sang suami.

Setiap bulan, Sumia memang mendapat uang belanja yang cukup. Tapi penyerahan uang itu, selalu disertai wanti-wanti sang suami, bahwa ia tak boleh menggunakannya untuk membeli bahan tata rias, apalagi perhiasan. Jika ia membangkang, maka ia kemungkinan menuai gombalan kalau ia cantik tanpa perlu berhias, atau malah mendapat murka yang tak terkira. 

Larangan suaminya untuk berdandan dan berhias, tak pernah dipermasalahkan Sumia. Ia memang menyadari posisinya sebagai istri yang senantiasa harus patuh dan taat pada perintah suami. Kemauan dan kebahagiaan sang suami adalah tujuan utama baginya. Ia tak pernah menghiraukan olokan para tetangga atas penampilannya yang tawar.

Kepatuhan Sumia, sebenarnya, juga demi menjaga emosi sang suami yang kurang stabil. Apalagi ketidakstabilan itu paling sering terpancing karena soal penampilannya. Emosi yang meluap akibat kecembuaruan yang berlebihan. Emosi akibat prasangka yang tidak-tidak. Keadaan itu  pun, telah dipahami Sumia di awal pernikahan.

Jelas saja Sumia masih ingat kejadian dua tahun lalu. Kala itu, ia hendak berkunjung ke kediaman keluarga Kardi untuk membantu pengurusan mayat ibu sang bujang desa itu. Dengan riasan yang sesederhana mungkin, ia pun hendak berangkat. Namun Sutomo yang melihat gelagatnya menjadi geram, hingga melayangkan tamparan di pipinya. Sang suami menuding bahwa ia hendak bermain hati dengan Kardi. Sebuah alasan yang tak masuk akal sebab kala itu, Kardi telah mendekam di penjara atas kasus kepemilikan narkoba. Sebuah perihal yang harusnya diketahui juga oleh Sutomo, sebab ia bersama Kardi saat peristiwa penggerebekan terjadi.

Dan belakangan ini, emosi Sutomo jadi semakin liar dan sulit ditebak. Sebuah keadaan yang membuat pekerjaannya terbengkalai. Ia jadi suka bediam diri untuk waktu yang lama. Ketika disapa sang istri untuk hal-hal yang lazim, ia malah membalas dengan luapan amarah yang sulit diredakan. Karena itu, Sumia pun memilih untuk mendimkan keadaan. Hingga, jadilah suami-istri itu serupa patung yang tak bertegur sapa sepanjang waktu.

Puncak dari ketidakstabilan Sutomo, akhirnya pecah hari ini. Istrinya yang hendak berbelanja ke pasar, dicurigainya macam-macam.

“Mau ke mana kamu?” tanya Sutomo. Nada suaranya menggertak.

Sumia pun meringkuk takut. “Mau ke pasar, Pak. Keperluan dapur habis.”

Sutomo bangkit dari posisi duduknya. Ia menggeleng-geleng sambil berdecak-decak. Seakan menemukan kebohongan besar dari perkataan istrinya. “Jadi itu alasanmu, iya? Kau pura-pura pergi ke pasar lalu mengunjungi mantan kekasihmu yang hari ini keluar dari penjara. Begitu kan rencanamu?”

“Maksud Bapak?” tanya balik Sumia. Ia jadi semakin takut suaminya bertindak kasar.

“Kau jangan pura-pura tidak tahu kalau Kardi dibebaskan dari penjara hari ini. Dasar pembohong besar!” solot Sutomo. “Kau kira aku percaya saja selama ini, kalau kau tak ada rencana main hati lagi sama Kardi?” Sutomo lalu tertawa terbahak-bahak, seperti orang tak waras. “Aku tak bodoh, Sayang!” katanya, sambil menjumput dagu sang istri.

Bulir air mata pun meluncur ke pipi Sumia. “Sudahlah, Pak. Berapa kali sudah aku harus bilang kalau aku dengan Kardi tak ada hubungan apa-apa sejak dari dulu. Percayalah, Pak!” tegas Sumia, sambil menggenggam tangan sang suami. “Apa lagi yang tak aku syukuri menikah dengan Bapak. Sosok yang tak banyak menuntutku, segala macam. Mana bisa pula aku hendak hidup bersama penjahat macam Kardi, Pak. Percayalah!”  

Seketika, kata-kata dari sang istri, perlahan membuat ketidakwarasan Sutomo mereda. Ia merasa tenang dianggap lebih baik daripada Kardi. “Jadi kau benar-benar lebih percaya padaku kan, bahwa Kardi memang pemadat, pemilik barang haram, dan pantas dipenjara? Kau tak percaya kata orang-orang kan, bahwa aku telah menjahati Kardi?” tanya Sutomo, meminta penegasan.

Sumia mengangguk sambil tersenyum. 

Keadaan tersebut membuat Sutomo benar-benar tenang, hingga akhirnya membolehkan sang istri pergi ke pasar.

Dan, dugaan Sutomo tak benar-benar salah. Diam-diam, Sumia punya rencana bertamu ke rumah Kardi. Tapi maksudnya bukan untuk bermain hati. Ia cuma hendak meminta penjelasan, bahkan meminta maaf, sekiranya benar kata orang-orang kalau suaminya telah melakukan fitnah kepada Kardi karena cemburu buta di masa lalu.

Selepas Hujan

Suasana adalah pintu masuk bagi kenangan. Kadang menyusup melalui pengindraan suhu, nada, juga aroma. Dan bagiku, hujan adalah suasana yang komplit. Ia selalu menghadirkan kenangan tentang kita. Dentingnya mengenangkan kita yang terperangkap di balai kecil, dinginnya mengenangkan kita yang berbagi jaket, atau aromanya yang mengenangkan perjalanan kita selepas reda.
 
Ini adalah musim hujan kedua yang kulalui tanpamu. Sejak dua tahun lalu, hujan telah menjadi bingkai kenangan kita. Kenangan yang semakin menjauh, seumpama kumpulan titik hujan yang mengalir entah ke mana. Kenangan yang menyatukan kita di masa lalu, meski kita telah berjarak saat ini. Semua karena kau telah mengikatkan hati pada seseorang, yang menyudahi adegan-adegan kita selanjutnya.

Aku masih ingat hujan yang mengakhiri tentang kita. Kala itu, rasaku yang menumpuk dan mambuncah bertahun-tahun, hendak kuluruhkan padamu. Kuhampirilah kau di sebuah kedai kopi, tempatmu menjadi pramusaji, sambil membawa selingkaran gelang untukmu. Aku menunggu hingga lewat tengah malam, saat tugasmu selesai, dan tak ada lagi halangan bagiku menyampaikan maksud.

“Aku punya hadiah,” kataku, sambil menyerahkan sekotak kado berisi gelang.

Kau yang duduk tepat di depanku, terlihat semringah. “Terima kasih. Ada momen apa hingga kau tiba-tiba memberiku sesuatu?”

Aku berdeham sekali. “Coba lihat jam dan tanggal sekarang,” pintaku.

Kau lalu mengecek waktu di telepon genggammu. “Jam 1 lewat 2 menit. Tanggal 12 Desember. Lalu?”

“Itu artinya kau berulang tahun hari ini,” ucapku, sambil tersenyum.

Seketika, raut wajahmu menampakkan keterkejutan yang tak terkira. Dan kuduga, itu bukan karena kado yang kuberikan, tapi karena aku memberikannya di harimu yang spesial. “Terima kasih! Aku benar-benar lupa. Terima kasih!” katamu, sedikit terharu.

Aku mengangguk.

Senyap sejenak.

Tiba-tiba kau bertanya, “Ada lagi yang ingin kau katakan?”

Dan entah kenapa, aku tak berdaya mengutarakan maksud yang sebenarnya, jikalau aku ingin kita lebih dari sekadar sahabat. Mungkin karena kita terlalu dekat, sampai aku tak tahu bagaimana caranya. Mungkin juga karena aku takut perasaanku tak bersambut, dan aku malah kehilangan sahabat dekatku. Akhirnya, aku memilih membiasakan keadaan. Kurasa, kita cukup bahagia dalam kebersamaan, meski bukan atas nama apa-apa.

“Tak ada. Aku hanya berharap yang terbaik untukmu,” kataku.

“Begitu saja?” tanyamu, dengan raut datar.

Aku mengangguk, menegaskan kebodohanku, kemudian bermaksud memecah keheningan, “Bukalah kado itu. Aku harap kau sudi mengenakan sesuatu yang sederhana dariku.”

“Nanti saja kalau kita sedang tidak bersama. Aku kadang lebih suka melakukan sesuatu yang spesial tanpa diketahui siapa-siapa,”  dalihmu, sembari melempar senyuman yang singkat. “Aku permisi sebentar. Ada pekerjaan di belakang.”

Kau lalu pergi, melanjutkan tugasmu. Merapikan perkakas sajian hingga beberapa waktu.

Tak lama setelah itu, pekerjaanmu kelar. Aku lalu mengantarmu pulang. Kita melintasi jalan yang lengang tanpa obrolan hangat seperti biasa. Kau tiba-tiba tak banyak bertanya, sedangkan aku tak enak hati mengganggu ketenanganmu meredakan lelah. Maka, di bawah rintik hujan malam itu, dimulailah hubungan kita yang dingin.

Keesokan harinya, kulihatlah kenyataan yang sungguh membuatku terenyuh. Kau tak mengenakan gelang dariku, dan malah mengenakan gelang lain yang tak kutahu dari siapa. Hingga seiring waktu, kubaca juga bahwa kau semakin dekat dengan teman sekampus kita, dengan seseorang lelaki yang juga menjadi sahabat dekatku selama ini. 

Hari demi hari, aku menjadi seseorang yang tak kau butuhkan lagi. Kau tak tertarik meminta apa-apa pun dariku, seperti sebelumnya. Tak lagi memohon agar aku mengantarkanmu ke mana saja yang kau mau, atau merengek sampai aku bersedia menggendong tasmu yang kau bilang membebani. Kenyataan itu berhasil membuatku merasa seperti lelaki yang tak berguna. 

Akhirnya, sebagaimana hubungan kita yang terjalin tanpa ikrar apa-apa, kita pun berjarak tanpa perlu mengucapkan selamat tinggal.

Di tengah kekalutanku tentang kita, tepat tanggal 1 Mei lalu, kutulislah pengharapanku yang canggung di akun media sosial milikku: Selagi langit yang menaungimu masih cerah, biarlah aku menunggu musim depan, ketika hujan membasahimu dan aku ada untuk menghangatkanmu kembali.

Kuharap kau sempat membawa untaian kata itu. Aku ingin kau tahu bahwa aku masih sedia menunggumu, meski harus ada kenangan yang lain di antara kenangan kita. Jika pun benar kau menyimpan perasaan yang sama padaku, kau boleh kembali kapan saja. Tak perlu menyalahkan dirimu yang sempat berpaling. Akulah yang salah, yang tak pernah benar-benar menegaskan perasaanku padamu sedari awal.

Dan entah bagaimana kronologinya, hujan benar-benar telah membasahi perasaanmu di musim ini. Kemarin, aku dapat kabar dari seseorang yang telah mengikat hati denganmu, seseorang yang kusebut sahabatku juga:

“Kau datang sendiri? Si dia mana?” tanyaku, tanpa kuasa mengeja namamu, kala lelaki yang bersamamu selama ini, datang menemuiku di sebuah kafe untuk beberapa kepentingan.

Lelaki itu pun mengambil posisi duduk tepat di depanku. “Aku tak ada hubungan lagi dengannya. Dia kukuh menyudahi hubungan kami. Aku sungguh berat menerima kenyataan itu. Tapi aku juga tak bisa memaksa dia untuk terus bersamaku,” katanya, dengan raut wajah yang penuh kekecewaan.

Aku melanjutkan pertanyaan. Bermaksud mengorek informasi tentang alasan apa yang membuatmu mengakhiri hubungan dengannya. “Ada masalah serius apa yang terjadi di antara kalian?”

Dengan cekatan, ia lalu membakar dan mengisap-isap sebatang rokok. “Aku juga tak tahu. Masalah itu ada padanya. Yang pasti, aku masih menginginkannya sampai kapanpun. Dan aku tak akan sudi seseorang merebut hatinya sebelum aku benar-benar merelakan ia pergi,” katanya, dengan keteguhan yang tampak mendalam.

Atas kerisauannya, juga atas perasaanku yang menggantung padamu, aku memilih untuk tak membahas tentang kita dan tentang kalian lagi. Untuk waktu selanjutnya, obrolan kami pun beralih pada topik yang lain.

Sampai akhirnya, selang berapa hari, kulihatlah sebuah bukti yang membuatku tercengang. Di tengah hubungan kita yang telah membeku, aku melihat gelang pemberianku melingkar di pergelangan tanganmu. Gelang itu tampak elok menggantikan posisi gelang pemberian darinya.

Dan sore ini, kala aku tengah mengetik cerita tentang kita, hujan, dan sebuah cincin, gerimis turun di bawah mentari yang tengah bersinar terang. Kurasa, itu sebuah pertanda untuk jalan hatiku yang bimbang, kala kisah kita yang masih menggantung, tersandera kisahmu dengannya, dengan seseorang yang juga sahabat baikku sendiri, yang menyudahi kisah kalian tanpa kerelaan.

Bilik Renungan

Setelah menempuh perjalanan selama hampir satu jam dari desa, sampailah Judan di kota. Ditemani Mira, ibunya, ia hendak bertemu dengan sang ayah, Hamdi. Rindunya membucah setelah tak berjumpa hampir sebulan penuh. Tak berlebihan jika kaki mungilnya berlari kencang kala ayahnya tampak di satu titik. Ia pun bergegas memeluk sang ayah erat-erat, untuk beberapa detik.
 
Seusai berbalas salam dan berbagi kabar, Judan dan ayahnya pun duduk. Saling berhadapan di antara bekal yang digelar di atas meja. Saat ayahnya tengah bersantap dengan lahap, ia pun mulai bercerita tentang hari-hari tanpa sosok ayah. Ia menerangkan tentang anak ayam yang mulai tumbuh besar, buah rambutan di samping rumah yang mulai masak, juga soal prestasinya di kelas taman kanak-kanak.

Mendengar cerita anaknya, Hamdi jadi senang tak terkira. Ia pun bertanya banyak hal kepada sang anak yang dengan antusias menjelaskannya secara panjang lebar. Di sela-sela itu, Hamdi akan melemparkan pujian kalau anaknya memang sosok yang pintar, cerdas, baik, dan segalanya. Sikap itu jelas mampu mencitrakan dirinya sebagai seorang ayah yang peduli dan perhatian kepada sang anak.

Seusai melapas rindu dengan cara yang semarak, Judan pun menyampaikan harapannya dengan sikap yang polos. “Pekerjaan Ayah kapan selesainya? Ayah masih lama di sini?”

Hamdi mengelus-elus rambut anaknya. “Dalam waktu dekat, aku belum bisa pulang, Nak. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di sini. Memangnya kenapa?”

Raut wajah Judan jadi cemberut. “Minggu depan kan aku lulus TK. Ayah bisa hadir kan?”

Mengetahui keinginan besar sang anak, Hamdi tampak prihatin. Namun tetap senyuman juga yang ditampakkan di wajahnya. “Entahlah, Nak. Ayah tak bisa beri janji. Tapi jika Ayah berhalangan, kau tak usah bersedih. Kan, masih ada Ibumu,” katanya, lalu memandang sepintas pada istrinya.

Mira hanya melirik sekenanya pada sang suami, lalu mengalihkan wajahnya dengan sikap yang judes.

“Tapi aku mau Ayah datang juga! Teman-temanku bilang apa kalau Ayah tak ada!” kata Judan, lalu menoleh pada ibunya yang sedari tadi hanya berdiri dan mondar-mandir.

Mira terpaksa terlibat dalam obrolan. “Kalau Ayahmu tak ada, cukup Ibu saja yang datang, Nak.”

“Aku maunya Ayah datang!” tegas Judan, terkesan seperti merengek. “Kalau Ayah ada, kita bisa naik mobil ke sekolah.”

Lagi-lagi, Hamdi kasihan melihat anaknya, tapi ia memang tak bisa apa-apa. “Tak usah naik mobil, Nak. Jarak rumah ke sekolah kan dekat.”

Judan tampak semakin murung.

“Tak usah pikirkan kata orang-orang, Nak. Tampil dengan sederhana. Tak usah berlebihan, apalagi pamer,” nasihat Hamdi kepada sang anak, meski ia tahu betul, ego anak-anak mengalahkan segalanya.

Seketika, Mira berdengus mendengar kata bijak suaminya. Nasihat itu seakan tak pantas diutarakan sang suami kepada seorang anak yang belum mengerti apa-apa. “Judan, sudah waktunya kita pulang, Nak,” kata Mira, memecah kekhidmatan. Ia lalu menarik tangan sang anak untuk berdiri dari posisi duduknya.

“Tapi aku masih mau bersama Ayah, Bu,” kata Judan, sambil menarik kembali tangannya.

Hamdi yang harusnya membiarkan sang anak menuntaskan rindunya, malah tak membela. Melihat jam yang menggantung di dinding, ia tahu, memang sudah waktunya untuk berpisah. “Pulanglah, Nak. Jagalah dirimu baik-baik. Ayah akan segera pulang setelah urusan di sini selesai.”

Dengan berat hati, Judan pun menyeret langkahnya menjauh dari sang ayah. Hanya tatapan kesedihan yang terakhir kali ditampakkannya. Tak ada salam atau lambaian tangan.

Dan setelah melalui pelataran yang berkelok-kelok, melapor pada pos pemeriksaan, hingga melalui halaman depan yang luas, sampailah Judan dan ibunya di tepi jalan. Mereka lalu menunggu beberapa menit, hingga akhirnya sebuah angkutan umum berhenti. Mereka pun menumpang dan semakin menjauh dari papan nama gedung yang bertuliskan: Lapas Klas I Kota Pasir Selatan. Sebuah tulisan yang belum mampu dieja Judan secara baik, bahkan tak mungkin ia mengerti maksudnya. Yang ia tahu dari ibunya, gedung itu adalah tempat kerja yang baru bagi sang ayah sebagai kepala desa.

“Bu, panas!” ketus Judan, menaggapi ruang angkutan umum yang sempit dan pengap.

“Sabar, Nak. Sebentar lagi juga sampai. Kau tidur saja. Nanti ibu bangunkan kalau sudah sampai,” kata Mira, mencoba menenangkan anaknya.

“Mana bisa tidur kalau panas begini, Bu,” keluh Judan. “Harusnya kita pakai mobil ayah saja, Bu. Nanti setelah aku lulus, kita kembalikan lagi ke Ayah.”

Mira yang terus mengipas-ngipas sang anak pun, memelas, “Tak bisa, Nak. Setiap saat, Ayahmu membutuhkan mobil itu. Lagi pula, Ibu kan tak bisa menyetir,” katanya, meski mobil yang dimaksud sang anak, sebenarnya telah disita pihak kepolisian, sebab merupakan barang dari hasil korupsi dana desa.

Tentang Siapa

Di satu pagi, tanpa sebab yang bisa kuduga, kau datang menghampiriku seorang diri. Tanpa aba-aba, kau lalu duduk di satu bangku, tepat di depanku. Kau terlihat segan, dengan senyuman yang tanggung. Terkesan tersipu-sipu. Sesekali sanggup beradu tatap denganku, tapi lekas berpaling ke arah yang lain. 
 
Seketika, kau pun berucap dengan terbata-bata, “Kak, boleh-tidak aku bertanya sesuatu?” katamu, lalu tertunduk dan menggaruk-garuk pungung tanganmu.

Demi wibawa sebagai senior, aku pun berusaha menanggapimu dengan sikap yang biasa. “Ada apa, Dik? Tak usah permisi kalau ada sesuatu yang ingin kau tanyakan. Kalau aku tahu, ya pasti aku jawab.”

Kau masih tampak malu-malu. Lidahmu kelu berterus terang. Tapi setelah melayangkan senyuman yang canggung lagi, kau pun memberanikan diri berucap, ”Apa yang harus kulakukan agar aku bisa menulis cerpen, seperti Kakak?”

Jelas, pertanyaanmu lumrah saja. Sebagai anggota baru di sebuah organisasi penulisan, sudah sewajarnya kau bertanya pada senior, sepertiku. “Ya, tulis saja, Dik. Mulailah tanpa perlu memusingkan penilaian orang-orang! Tangan seorang penulis memang harus lebih gesit dari kecepatan berpikirnya. Tak baik kalau penulis terlalu banyak berteori. Baiknya, belajar dari aktivitas berpraktik,” kataku, sok-sok bijak dan filosofis.

Kau mengangguk, layaknya memahami. Kedua bibirmu berhimpitan, hingga kelok-kelok di dagu dan pipimu, timbul tenggelam. “Tapi bagaimana caranya aku bisa memulai, Kak. Kadang kala, keinginanku sangat kuat untuk menyelesaikan satu tulisan, tapi aku tak tahu bagaimana harus memulai. Akhirnya, tak satu pun tulisan yang bisa kuselesaikan,” keluhmu, dengan sikap yang lebih tenang.

Kulihat raut wajahmu yang cemberut dan menyiratkan keputusasaan. Kau seperti punya kemauan besar untuk bisa merampungkan tulisan. Maka, kuungkapkanlah satu rahasia besar di balik kesanggupanku selama ini. “Memulai itu, hanya persoalan motivasi. Untuk memulai dan terus menulis tanpa henti, kita harus punya alasan. Maka, carilah alasan yang membuat kita harus atau bahkan terpaksa menulis.”

Dahimu mengernyit. Kau tampak butuh penjelasan yang lebih mudah dipahami. “Alasan itu misalnya apa, Kak?”

“Ya, terserah kamu. Ada kalanya, seseorang penulis fiksi menulis untuk seseorang yang ia kagumi. Yang pasti, carilah alasan yang awet, yang tidak berlaku sementara saja, sehingga alasan itu akan membuat kita menulis tanpa henti.”

Kau pun tersenyum lepas mendengar penjelasannya. Sedikit tersipu. Seakan-akan kau telah menemukan motivasi menulis seketika itu juga.

Dan seiring waktu, sejak obrolan pendek kita di pagi itu, aku pun melihat ada perubahan pada kreativitas menulismu. Hari demi hari, tulisan cerpenmu terus bertambah. Cerita yang kau suguhkan, juga semakin mengagumkan. Kau bahkan telah mampu mengombinasikan diksi yang berirama, ide cerita yang tak lazim, juga alur yang membuat ceritamu sulit ditebak.

Atas pencapaian itu, kadang-kadang aku mamberimu pujian. Hanya sesekali saja. Aku takut pujianku akan membuat motivasi menulismu, terbunuh. Aku takut kau akan terbiasa dengan sanjungan, sampai merasa tak bersemangat lagi kala aku tak sempat atau lupa mengutarakannya untukmu. Itu pun kalau akulah motivasi menulis selama ini. Aku hanya merasa-rasa.

Sikapku yang dingin terhadapmu, sampai jarang mengomentari tulisan di blogmu, akhirnya membuatmu datang menghampiriku. Kau bermaksud meminta pendapatku secara langsung tentang beberapa tulisan yang baru saja kau unggah di bilik pribadimu itu.

“Kalau menurut Kakak, apa lagi yang harus kuperbaiki soal tulisan cerpenku?” tanyamu, tampak lebih berani ketimbang saat kau bertanya tentang tips menulis padaku.

“Sepanjang yang kutahu, kau menulis dengan sangat baik,” jawabku, tanpa semangat untuk merincinya, sebab itu hanya akan berupa puji-pujian terhadapmu.

Kau tersenyum sepintas. “Bagaimana dengan tulisan terbaruku?”

Aku menoleh padamu. Memandangimu lekat-lekat. “Maaf, aku banyak urusan belakangan ini. Aku tak sempat lagi membaca isi blogmu. Lain kali, kita bisa diskusi soal itu,” balasku, dengan sikap yang datar saja, tanpa ada maksud untuk membuatmu senang atau kecewa.

Kau pun tampak cemberut. Rona wajahmu yang cerah saat tiba, jadi padam seketika. “Baiklah. Aku berharap, Kakak berkenan membaca dan memberikan saran jika ada waktu,” pungkasmu, kemudian beranjak pergi.

Aku tahu, kau pergi dengan rasa kecewa yang mendalam. 

Sejujurnya, aku telah membaca tulisan terakhir yang kau unggah di blogmu. Dari cerita polos yang kau suguhkan, aku bisa menyimpulkan kalau dugaanku memang benar, bahwa kau menjadikan aku motivasimu dalam menulis cerpen. Dan, itulah yang tak kuinginkan terjadi. 

Entah sampai kapan, aku tak akan menghiraukan sikapmu padaku. Aku tak ingin peduli tentang perasaanku, juga perasaanmu, serta bagaimana hubungan keduanya. Aku tak ingin memusingkan tentang bagaimana akhirnya nanti, dalam kenyataan hidup. Hanya dengan cara itulah, kita akan terus menulis.

Mungkin kau masih ingat olokan teman-teman kita kepadaku, di suatu hari yang lampau. Saat itu, mereka menjulukiku sebagai penulis karatan. Seorang penulis cerpen melankolis yang tak juga menemukan pendamping hidup. Penulis yang selalu memenangkan percintaan dalam setiap gubahannya, namun tak pernah terbukti di dunia nyata.

“Apa gunanya menulis terus kalau menaklukkan hati satu orang saja tak bisa?” tanya seorang teman kita.

“Kawan, seorang penulis cerita fiksi, butuh motivasi yang awet untuk menulis. Sebuah angan-angan abadi, yang tak boleh diwujudkan dalam kenyataan. Sebuah hal yang akan membuat imajinasi terus hidup dan liar. Biarpun itu berupa harapan akan cinta, atau luka karena harapan itu. Dan mengikat hati pada cinta yang membuai, adalah kematian bagi seorang penulis,” kataku, yang membuat semua orang, juga teman kita, bahkan kau, mungkin sulit memahami maksudnya.

Ada Rindu di Matamu

Kau tak beranjak kecuali pergi
Hanya pulang untuk menjauh
Ke sana kau dan aku di sini
Yang terlupakan tentang kita
Sekadar jalan untuk bertemu
Dipintal kenangan yang membisu
Dari tempat kita berasal
Di titik jiwa kita terpasung
Masih saja seperti dulu

Adalah rindu
Yang kemarin kulihat dari matamu
Sebuah harapan dan keputusasaan
Tentang kisah yang menggantung
Tentang tawa dan canda
Yang melenyapkan ruang
Hingga tak ada jarak sedetik pun
Juga untuk melupakan
Kau, aku, dan semua
Hanya kita
Dalam kenangan

Jumat, 27 Oktober 2017

Memeluk Jarak

Di masa kanak-kanak, kita melalui banyak hari yang kurang harmonis. Aku terbiasa abai, tapi kau cerdik mencari perhatian. Saat waktuku bermain sepak bola, kau malah merengek. Kau memaksaku berbetah-betahan bersamamu, entah bermain boneka, parade masak-masakan, atau mengejar capung di halaman rumah. Dan akhirnya, aku sering mengalah.
 
Kau memang manja dan beruntung. Tak perlu memohon untuk segala keinginan. Bahkan cukup menangis, apa pun bisa terkabulkan, termasuk agar aku menjadi pelayanmu. Dan terperangkap bersamamu, sering kali berbuah celaka bagiku. Kau pasti masih ingat saat kupatahkan kepala  boneka barbiemu, tanpa sengaja. Kau lalu menangis, dan aku mesti dapat jeweran. 

Hubungan kita, memang terikat dalam nuansa ketidakadilan. Hanya karena kau lebih muda, aku harus menyayangimu tanpa alasan. Tapi tidak sebaliknya, bahwa aku yang lebih tua, harusnya kau hormati tanpa perlu kumohon sekali pun. Kau jelas menyalahgunakan kekanak-kanakanmu untuk menang, sedangkan aku yang lebih tua, tak bisa apa-apa.
 
Aku memang sial, sebab dilahirkan tujuh tahun lebih dulu darimu. Saat kau berumur 5 tahun, aku sudah 12 tahun. Bagimu kala itu, wajar jika laki-laki dan perempuan bermain bersama. Tapi aku mulai keki. Akhirnya, atas kuasamu, aku terpaksa menemani, dengan rasa benci. Dan saat kau berumur 10 tahun, sedang aku 17 tahun, petaka berlanjut. Kau masih manja, sedang aku mulai berjarak dengan wanita karena rasa yang belum bisa kau mengerti.

Sampai akhirnya, waktu bergulir begitu cepat. Saat ini, umurmu 17 tahun. Kau tampak mulai mengerti maksudku, tentang kenapa lawan jenis berjarak bukan karena rasa benci, tapi mau berbalut malu. Aku jelas paham kekalutan itu, sebab telah melewatinya sekian lama. Hingga kini, di usia 24 tahun, perasaanku jadi seumpama mentari pagi; segan, tapi hadir demi tanggung jawab.

Kini, di usia dewasa, kau semakin menawan. Itu wajar. Kuduga, kau mulai dilanda badai kasmaran. Sesuatu yang akan membuatmu berpikir berulang kali sebelum keluar rumah. Tentang bagaimana riasan di wajahmu, keserasian warna rok dan bajumu, juga aroma badanmu; segala hal yang tak pernah kau hiraukan secara detail sebelumnya.

Atas perubahanmu, aku pun jadi korban. Sebelum mengantarmu ke sekolah setiap pagi, misalnya, aku harus menunggu lebih lama hingga kau selesai berdandan. Kau sungguh lelet. Mungkin karena kau yakin bahwa aku akan mengantarmu sampai di sekolah tepat waktu. Apalagi, kau memang tak peduli bahwa sesampaimu dengan selamat, aku harus menempuh jalur yang berlawanan, menuju ke kantorku, sekitar 15 menit, sampai aku sering terlambat.

Tapi pagi ini, ada yang berbeda. Kau bersiap lebih cepat, dengan tampilan yang tak kurang mengangumkan dari kemarin. Kau tiba di halaman rumah saat aku masih memperbaiki motor yang bermasalah. Memeriksa isi tangki, membersihkan busi, hingga mencoba menyalakannya berulang-ulang. Hingga akhirnya, motor butut itu kembali menyala.

“Tisu,” tuturmu, sambil menyodorkan beberapa lembar dari tasmu.

Kuterima dengan senang hati, lalu membersihkan tanganku yang penuh noda.

Tiba-tiba kau mendekat, lalu menyeka dahiku seketika. “Makanya, kalau kerja yang ikhlas, supaya tidak lepotan begini,” katamu, sambil menjumput dagu dan memaling-malingkan wajahku. Kau mengecek dan mengelap noda lain di bagian pipiku.

Aku hanya terpaku memandangmu. Ada sedikit perasaan aneh, sebab kau tak pernah memerhatikanku selebih ini.

“Sekarang sudah bersih. Kalau begini, lumayanlah. Kurasa, hari ini, akan ada wanita yang terpesona melihat penampilan Kakak,” pujimu, meski kau bermaksud meledek.

Aku memandangmu untuk beberapa saat lagi. Sekadar memastikan bahwa kau memang lebih cantik daripada yang kulihat sepintas selama ini.

“Kenapa bengong? Ayo berangkat!” titahmu, tegas. Terlihat menggemaskan. ”Kali ini, bukan salahku lagi kalau Kakak terlambat.”

Aku tersenyum. “Baiklah Nona manis, yang hari ini tampak menawan,” kataku, sejujurnya, meski kau pasti menganggap itu ledekan semata.

Kita pun melalui jalan seperti biasa. Sesadel tanpa banyak bicara. Aku fokus di jalan demi keselamatanmu, sedang kau hanya menyandarkan lenganmu di punggungku. Sesekali, kau akan melingkarkan tangan di perutku, saat jalan lowong dan aku memacu kendaraan tiba-tiba. Selebihnya, aku tak tahu apa yang kau lakukan di belakangku. Yang pasti, di saat dekat seperti ini, aku memikirkan banyak hal tentangmu, meski kau mungkin sedang memikirkan seseorang yang lain.

Belakangan, batinku memang berbeda terhadapmu. Perasaanku dekat saat kau jauh. Tapi, pikiranku berkata, memang sebaiknya kau menjauh saat kita sedang berdekatan. Ada jarak di antara kita yang tak bisa disatukan hanya dengan pelukan. Ada hati yang tak berpadu, meski raga beradu. Kita sedunia, tapi tak sealam. Aku tak tahu bagaimana cara mengubah keadaan itu.

Di tengah kegundahanku yang menjalar, sampai juga kita di halaman sekolahmu. Tak seperti biasa, kali ini senyumanmu tampak merekah sempurna. Kau seakan melepas rona kebahagiaan sejati. Prasangka burukku pun menguat, bahwa itu karena beberapa detik lagi, kau akan bertemu dengan lelaki pujaanmu. Kau akan meninggalkanku; seseorang yang masih membawa bayang-bayangmu hingga bertemu lagi siang nanti, saat kembali datang menjemputmu.

Setelah kau menghilang di sudut ruangan, dengan berat hati, aku pun pergi, menggulung kembali lintasan yang baru saja kita lalui. Membentangkan jarak di antara kita. Membuat waktu kerjaku akan terasa semakin lama dan menyiksa. Hingga menyusun laporan keuangan yang sederhana saja, menjadi perkerjaan yang sangat memusingkan bagiku. Aku tak bisa konsentrasi. Semua ini bermula di hari kemarin, setelah kutemukan kado dan surat cinta untukmu.

Waktu terus bergulir. Akhirnya, setelah jam sekolahmu kuduga telah berakhir, aku pun menelusuri jalan yang kulalui ke sekian kalinya, untukmu. Kulajukan sepeda motorku secepat mungkin, sebab untuk kali ini, aku tak ingin membuatmu menunggu barang sedetik saja. Aku takut ada seseorang yang menawarkan tumpangan padamu, dan kau mengiyakan saja. Atau malah, kau yang memintanya.

Namun setiba di satu titik, di tempat biasanya kau menunggu, aku sedikit heran. Kau belum tampak. Aku pun menunggu. Detik berganti menit, kau tak juga datang. Menit berganti jam, kau bahkan tak meresponsku melalui telepon atau pesan singkat. Sejam lebih, aku masih bertahan sambil bertanya-tanya. Hingga akhirnya, aku menyerah. 

Tanpa petunjuk apa-apa, aku pasrah dan pulang ke rumah, sambil berharap menjumpaimu di sana dalam keadaan baik-baik saja. Aku tak kuasa mengkhawatirkanmu lebih lama lagi.

Tapi, ternyata aku tak juga menjumpaimu. Kau menghilang tanpa kabar. 

Sampai akhirnya, di sore hari yang hampir gelap, kau tiba dengan seorang lelaki. Kupastikan, dialah lelaki yang membuatmu terlena. Karena itu, ia pantas dienyahkan dari muka bumi.

Dengan emosi yang tak keruan, aku pun bergegas menghampiri lelaki itu. Dan entah setan apa yang merasukiku, tanpa basa-basi, kulayangkan sebolak-balik tamparan di pipinya. Tamparan pertama untukmu sebagai adikku. Tamparan ke dua untukmu sebagai wanita pujaanku.

“Lelaki macam apa kau, sampai membawa seorang wanita tanpa kabar hingga nyaris malam begini!” bentakku.

Lelaki itu tertunduk mematung. Seakan tak yakin kalau aku telah memberi ucapan selamat datang yang tak lazim untuknya.

Kau juga tak kalah kagetnya. Kau tampak terenyak sambil memeluk tasmu. Tanganmu sedikit gemetar. Bibirmu memucat. Pastinya, kau tak menyangka aku bisa selancang itu. Serupa kau tak menyangka bentuk perasaanku padamu.

“Jangan macam-macam dengan Adikku. Pokoknya, aku tak sudi lagi melihat kau dekat-dekat dengannya,” gertakku. Kemudian dengan intonasi kata yang merendah, aku mengucapkan kalimat penutup, “Pulanglah. Aku tak butuh penjelasan apa-apa darimu.”

Tanpa berkata-kata lagi, lelaki yang tak kutahu namanya itu, pulang. Ia bahkan pergi tanpa sedikit pun melirik kepadamu. Dan karena itu, aku yakin, ancamanku berhasil.

Setelah terpaku beberapa detik untuk memahami momen yang tak mungkin kau sangka-sangka, kau pun bergegas masuk ke dalam rumah. Berlari, sambil menjatuhkan air matamu. Lalu, kudengar suara gaduh dari dalam ruangan. Kuduga, kau membung tasmu di sembarang tempat, hingga mengenai perabotan. Dan kulihatlah, guci peninggalan ayah, telah berserakan di lantai.

Akhirnya, aku jadi khawatir sendiri terhadapmu. Aku takut kau melakukan tindakan yang tidak-tidak. Karena itu, aku pun menyusulmu ke lantai dua rumah, yang menjadi wilayah kekuasaanmu selama ini. Aku bermaksud mengecek keadaanmu, juga untuk menenangkanmu.

“Dik, maafkan aku atas kejadian tadi,” kataku, memelas, meski sedikit pun aku tak menyesal telah bertindak demikian.

Tangisanmu semakin kencang. “Kenapa Kakak melakukan itu? Kenapa?”

Aku tetap membela diri demi martabat sebagai lelaki, “Dik, itu demi kebaikanmu juga. Aku yakin, tak ada laki-laki baik yang memperlakukan wanita seperti itu, yang membawa anak orang lain tanpa kabar hingga hampir malam.”

 “Tapi itu bukan salahnya, Kak. Dia tak tahu apa-apa. Dan tentang mengabari Kakak, HP-ku lobet, sedangkan aku tak hafal nomor telepon Kakak,” katamu, sambil terisak.

Kuulangi lagi kata-kata penyesalanku. “Maafkan aku kalau kau kurang berkenan, Dik. Tapi yakinlah, aku bermaksud baik untukmu.”

“Sudahlah,” selamu seketika, dengan tangis yang kembali menjadi-jadi. “Aku sudah dewasa, Kak. Aku tahu dengan siapa aku aku mesti bergaul!”

“Tapi aku merasa kau bergaul dengan laki-laki yang salah, Dik,” tegasku lagi.

Kau lalu berdiri, menamparku, kemudian mendorong badanku hingga terhempas ke dinding.

Aku sungguh tak menyangka kau tega melakukan itu.

Kini, aku ingat lagi almarhum ayah. Kala itu, kau memaksa ikut bermain ke sungai. Karena kesal, aku pun meninggalkanmu seorang diri di sana, sambil berharap kau lenyap saja dari muka bumi. Dibawa arus sungai sampai jauh. Sungguh, saat itu, aku menganggapmu hanyalah perempuan kecil yang telah mencuri kasih sayang ayah dariku. Tapi akhirnya, ayah menghadiahiku sebuah tamparan atas tindakan itu. Dan dari tamparanmu dan tamparan ayah, aku disuguhi kebingungan yang sama: bagaimana bisa aku dipersalahkan hanya karena mengharapkan cinta yang seharusnya menjadi milikku?

Di saat ini pula, teringatlah satu rahasia terbesar yang diungkapkan ayah di akhir hidupnya kepadaku. Saat itu, aku sudah berumur 17 tahun, dan mungkin dianggap telah cakap memegang amanah. Kuketahuilah bahwa kau bukanlah siapa-siapa kami. Kau hanyalah seorang bayi malang yang ditemukan ayah di depan rumah, di saat aku masih belum mengerti apa arti kakak-adik selain serumah dan bersama sejak kecil. 

Kala itu, ayah pun berpesan: Nak, sepeninggal ibumu saat kau masih enam tahun, aku tak pernah berpikir lagi untuk menikah. Aku tak akan merasa sepi karena punya kamu. Karena itu, aku berharap, sepeninggalku nanti, kau juga tak akan merasa kesepian, sebab kau punya seseorang yang bisa kau jadikan teman hidup. Soal rahasia besar ini, tunggulah sampai kira-kira ia siap menerima kenyataan yang sesungguhnya.

Dan kini, aku pun bingung sendiri, kapan waktu yang tepat untuk menjelaskan rahasia itu kepadamu. Menjelaskan asal-usulmu. Menjelaskan bahwa tak ada rintangan untuk kita menyatu dalam cinta, selain bahwa kau selama ini hanya menganggapku seorang kakak, dan tak mungkin lebih.

“Kakak turun saja! Kali ini, aku benci Kakak!” katamu dengan air mata yang terus menetes. Tapi aku masih melihat ada keseganan di balik tatapanmu. Aku yakin, kau tak akan benar-benar membenciku. 

Aku berdiam diri saja. Memandangimu dan mencoba memastikan bahwa hubungan kita akan segera membaik.

Kau pun kembali berdiri, lalu mendorongku, sambil memukul-mukul punggungku. Kau melakukan itu, sampai akhirnya aku keluar dari kamarmu, lalu kau menutup pintu rapat-rapat.

Mewujudkan Wartawan Profesional

Tumbangnya rezim Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998, membawa angin segar bagi dunia pers Indonesia. Pers yang sebelumnya mendapat kekangan dari pemegang kekuasaan negara, akhirnya menikmati kebebasan seluas-luasnya dalam era Reformasi. Bahkan tak lama setelah peralihan kekuasaan, tepatnya 23 September 1999, lahir UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), yang bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan dan kebebasan pers. 
Euforia atas kemerdekaan pers, tak pelak, memberikan pengaruh pada pertumbuhan pers. Atas dasar hak setiap warga negara untuk mendirikan perusahaan pers menurut UU Pers, muncullah banyak media dengan karekteristik dan tujuan tertentu, baik cetak maupun elektronik. Terlebih dengan sokongan teknologi telekomunikasi berbasis internet, membuat media siber muncul bak cendawan di musim hujan.
Ditilik pada website resmi Dewan Pers, www.dewanpers.or.id, tercatat ada sekitar 1724 perusahaan pers yang telah terverifikasi, baik secara administrasi atau faktual. Namun legalitas perusahaan pers selaku pelaksana usaha pers, tak lantas menjamin kendali atas pertumbuhan media, terutama media siber abal-abal. Sebagaimana dilansir kompas.com (21/12/2016), Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menuturkan bahwa terdapat 43.400 media siber, tetapi yang telah terdaftar di Dewan Pers hanya sekitar 234 media.
Pertumbuhan media pers yang tak terkendali, akhirnya turut meningkatkan kebutuhan akan jasa para wartawan. Namun pada tahap inilah, upaya menghadirkan insan wartawan yang profesional, mengalami rintangan berat. Kualitas wartawan, kini diperhadapkan dengan kebutuhan media yang terus meningkat, serta kepentingan pemilik media yang pragmatis. Imbasnya, muncul sejumlah wartawan tanpa keterampilan yang memadai, namun cukup bisa mewujudkan kepentingan bisnis sebuah media.
Realitas Kini
Profesionalisme wartawan menjadi persoalan yang sangat penting saat ini. Di tengah iklim kemerdekaan dan penjunjungan terhadap independensi pers, profesionalitas wartawanlah yang menjadi penentu terhadap kualitas sebuah media. Tanpa wartawan yang profesional, maka percuma berharap adanya media yang mampu mewujudkan fungsi pers sebagai wadah informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, semata-mata untuk kepentingan masyarakat.
Tingkat profesionalitas wartawan, paling tidak dapat disandarkan pada penegakan prinsip dan etika jurnalistik. Secara rinci, menurut Zulkarimein Nasution (Etika Jurnalisme dan Prinsip-Prinsip Dasar, 2015: 115), terdapat delapan nilai pokok yang patut menjadi pegangan wartawan dalam melaksanakan aktivitas jurnalistik, yaitu akurasi, independensi, objektivitas, balance, fairness, imparsialitas, menghormati privasi, dan akutabilitas kepada publik.
Kalau penegakan prinsip dan etika jurnalistik direfleksikan pada realitas wartawan Indonesia, maka akan tampak banyak persoalan. Sebagaimana dilansir di laman republica.co.id (5/1/2017), Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengungkapkan bahwa pada tahun 2016, Dewan Pers menerima sebanyak 750 aduan, yang sebagian besar terkait dengan pelanggaran kode etik dan perilaku wartwan. Bentuknya dapat berupa pelanggaran atas asas praduga tak bersalah, nilai keberimbangan, dan kepentingan privasi seseorang.
Timbulnya masalah pada profesionalitas wartawan, tentu sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan keterampilan jurnalistik wartawan sendiri. Para wartawan yang tidak memahami teknik, prinsip, dan etika jurnalistik, pastilah bermasalah di lapangan pemberitaan. Bak berjalan tanpa arah. Implikasinya, keterampilan jurnalistik pun, tak akan terasah dengan baik. Dan lahirnya wartawan sejati,  akan tetap jadi angan-angan semata.
Sebagaimana diutarakan oleh Djafar H. Assegaff (Perlawanan dalam Kungkungan: Menegakkan Mutu dan Profesionalisme Pers, 2002: 81-82), masalah yang dihadapi dalam pendidikan jurnalistik adalah pembentukan watak dan sikap sebagai wartawan. Sikap dan watak sebagai wartawan tidak bisa diajarkan dari buku semata, tetapi harus dibentuk dalam suasana kerja. Sikap adalah kemampuan wartawan untuk bekerja di dalam tekanan waktu dan bekerja secara bergegas. Wartawan harus mampu menangkap peristiwa dan menuliskannya secara tepat.
Di luar faktor kompetensi, profesionalitas wartawan juga tak bisa dilepaskan dari tekanan pemilik perusahaan pers. Atas kepentingan profit, para wartawan sering kali disetir untuk kepentingan tertentu yang bertentangan dengan prinsip dan etika jurnalistik. Selain itu, tekanan juga dapat berasal dari oknum masyarakat yang memiliki kepentingan pada fakta pemberitaan, baik tekanan dalam bentuk intimidasi maupun kekerasan fisik. Namun pada akhirnya, tekanan apa pun jadi tak berarti apa-apa, jika sikap dan watak wartawan, telah terbentuk dengan baik.
Butuh Pembenahan
Timbulnya persoalan terkait profesionalitas wartawan, perlu segera diatasi. Jika terkait dengan kompetensi wartawan, maka sistem pendidikan keterampilan, urgen untuk diwujudkan. Apalagi, sudah tak terelakkan bahwa status wartawan, telah dianggap sebagai profesi, sehingga lekat dengan profesionalitas. Paling tidak, wartawan telah memiliki panduan etik dan sejumlah organisasi perhimpunan yang lazim ada pada profesi secara umum. Namun sayang, sistem pendidikan keterampilan yang juga merupakan karakteristik dari sebuah profesi, masih belum menjadi perhatian serius di dunia kewartawanan.
Sebagai gambaran, jumlah wartawan di Indonesia menurut berita yang dilansir di mediaindonesia.com (2 September 2016), telah mencapai sekitar 80.000 orang. Namun hanya sekitar 8.000 orang dari mereka yang telah melulusi uji kompetensi. Bahkan jika ditilik pada laman resmi Dewan Pers, www.dewanpers.or.id, hanya terdapat sekitar 6.460 orang wartawan yang telah mengantongi sertifikat kompetensi.
Diabaikannya pendidikan profesi kewartawanan, setidaknya bisa dilihat dari lambatnya pengadaan sistem pendidikan keterampilan watawan. Baru pada tahun 2010, Dewan Pers sebagai lembaga yang juga berfungsi meningkatkan kualitas profesi kewartawanan sesuai Pasal 15 ayat (2) f UU Pers, menetapkan Peraturan Dewan Pers No. 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan (Peraturan SKW). Peraturan SKW tersebut merupakan rumusan kemampuan kerja wartawan, yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan/keahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan.
Secara umum, kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa. Dalam kerangka Peraturan SKW, item-item itu terbagi dalam tiga komponen besar, yaitu: (a). Kompetensi kesadaran (awareness), mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi; (b). Kompetensi pengetahuan (knowledge), mencakup pengetahuan teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum, dan pengetahuan khusus; (c). Kompetensi keterampilan (skills), mencakup kegiatan 6M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi), serta melakukan riset/investigasi, analisis/prediksi, serta menggunakan alat dan teknologi informasi.
Lebih lanjut, Peraturan SKW juga membagi kualifikasi dan jenjang kompetensi wartawan dalam tiga kelompok besar, yaitu wartawan muda dengan kompetensi melakukan kegiatan jurnalistik, wartawan madya dengan kompetensi mengelola kegiatan jurnalistik, dan wartawan utama yang memiliki kompetensi untuk mengevaluasi serta memodifikasi kegaiatan jurnalistik. Sesuai tingkat kualitasnya, tiap-tiap kualifikasi tersebut, memiliki mekanisme dan sistem pengujian yang berbeda-beda.
Jenjang kompetensi ini, selanjutnya, jadi penting sebagai panduan penataan karir insan wartawan, semisal reporter yang cukup berkualifikasi wartawan muda, redaktur berkualifikasi wartawan madya, sedangkan redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi berkualifikasi wartawan utama. Jika begitu, bisa dipastikan bahwa ruang-ruang media pers akan diisi oleh orang yang benar-benar kompeten di bidangnnya.
Atas hadirnya Peraturan SKW sebagai kesepakatan Dewan Pers bersama perwakilan organisasi wartawan, organisasi perusahaan pers, dan masyarakat pers, maka hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mengimplementasikannya dengan baik. Pelaksana uji kompetensi yang telah diverifikasi oleh Dewan Pers, baik perguruan tinggi, lembaga pendidikan kewartawanan, perusahaan pers, maupun organisasi pers, harus melaksanakan pengujian secara ketat, sesuai dengan panduan umum yang juga tercantum dalam Peraturan SKW.
Tak kalah penting dari sekadar pelaksanaan uji standar kompetensi dan sertifikasi, setiap perusahaan pers juga harus merumuskan dan menegakkan Peraturan SKW dalam kebijakan-kebijakan internalnya. Setidaknya, perusahaan pers harus memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa wartawan yang mereka pekerjakan, telah memenuhi standar kompetensi wartawan sesuai dengan jenjang karir mereka dalam struktur redaksi.
Lebih dari itu, organisasi wartawan atau perusahaan pers, juga harus proaktif dalam mengawasi dan mengevaluasi kinerja anggotanya sesuai dengan prinsip dan kode etik jurnalistik. Jika terdapat wartawan yang melakukan pelanggaran, maka seyogianya, melalui usulan majelis/dewan etik organisasi wartawan atau perusahaan pers, sertifikat dan kartu kompetensi wartawan yang bersangkutan, patut diusulkan untuk dicabut oleh Dewan Pers.
Mekanisme pencabutan predikat kompetensi, diatur secara jelas dalam Peraturan Dewan Pers No. 3/Peraturan-DP/VIII/2015 tentang Pencabutan Sertifikat dan Kartu Kompetensi Wartawan (Peraturan PSKKW). Alasan-alasan pecabutan predikat dalam peraturan itu, secara umum, mencakup pelanggaran kode etik jurnalistik, memalsukan karya jurnalistik dan identitas perusahaan pers saat uji kompetesi, serta tidak menjalankan tugas jurnalistik atau bekerja di sebuah perusahaan pers yang tidak memenuhi standar perusahaan pers.
Penegasan terhadap wartawan abal-abal, pun terdapat dalam Peraturan PSKKW. Di dalam peraturan tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa wartawan yang melakukan plagiat, membuat berita dusta atau bohong, menerima suap atau menyalahgunakan profesi wartawan, atau melanggar hak tolak/ingkar dan off the record, tidak dapat lagi mengikuti ujian kompetensi. Ini menandakan bahwa pelanggaran pada kaidah pokok jurnalistik, tak pantas lagi ditolerir.
Akhirnya, harapan besar atas profesionalitas wartawan, tertumpu pada penegakan Peraturan SKW dan Peraturan PSKKW. Untuk itu, Dewan Pers perlu memverifikasi lebih banyak lagi lembaga uji kompetensi wartawan, agar niat baik wartawan untuk mengukuti uji kompetensi, dapat terwadahi secara baik. Selain itu, Dewan Pers juga perlu mengambil sikap tegas terhadap organisasi wartawan dan perusahaan pers yang tidak mengindahkan Peraturan SKW dan Peraturan PSKKW, semisal mencabut status terdaftar atau verifikasinya.
Di luar itu, harapan besar, jelas ditumpukan pada niat baik dan tindakan proaktif organisasi wartawan dan perusahaan pers dalam menegakkan Peraturan SKW dan Peraturan PSKKW. Tak kalah pentingnya, peran serta masyarakat juga dibutuhkan dalam melakukan pengawasan terhadap insan pers, termasuk melakukan pengaduan ke Dewan Pers jika menemukan indikasi pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik.