Rabu, 21 Juni 2017

Tentang Kita

Langit cerah hari ini. Terang, namun tak terlalu terik. Awan putih hanya jadi titik-titik kecil yang menggantung di bawah langit biru. Sungguh meneduhkan. Serasa alam turut merestui langkahku bertemu denganmu. Seakan memahami kalau rinduku sudah tak tertahankan lagi, meski belum tentu berbalas.
 
Dengan penampilan sebaik mungkin, aku pun bergegas menuju tempat pertemuan yang kita janjikan. Aku takut terlambat, hingga alam berubah pikiran, lalu hujan merintangi jalanku. Takutku juga jika terlambat, sampai kau kesal, lalu suasana hatimu mengeruh dan kerinduanmu berubah jadi benci. 

Memang pantas jika aku berkorban di momen ini. Akulah yang terlalu kangen memandang mata sayu dan mendengar tawa kecilmu. Aku merasa lebih menginginkanmu, daripada sebaliknya. Meski kaulah yang merencanakan pertemuan kali ini, aku tak berharap lebih. Kuduga, sebagai sahabat, kau hanya ingin memberikan pesan-pesan terakhir sebelum pergi ke kota seberang.

Adakah obrolan kita akan mengerucut pada persoalan perasaan, hingga berujung pada kesepakatan untuk saling mengikat hati? Kurasa, itu sulit terjadi. Sepanjang perkenalan kita, kau hanya menganggapku teman biasa. Bahkan, aku hanyalah seorang lelaki yang kau jodoh-jodohkan dengan seorang temanmu sendiri.

Entah berapa kali sudah aku menyampaikan maksud hatiku padamu, tapi kau selalu mengelak, demi dirinya. Pernah aku memberikan sebuah gelang untukmu, tapi benda itu malah melingkar di pergelangan tangannya. Pernah aku meminjamikan sebuah novel padamu, tapi darinyalah aku mengambil buku itu kembali. 

Dari semua peristiwa yang telah kita lalui, aku mengerti satu hal, bahwa kau tak pernah mengharapkanku, sebagaimana aku mengharapkanmu. Jelas terlihat, kau tak mengharapkan apa-apa dariku. Dan paling tragisnya, kau malah berharap aku mendua dengan sahabatmu, dengan dia yang tak pernah kuharapkan sebagaimana aku mengharapkanmu.

“Hai, sudah lama menunggu?” katamu, setibanya di satu sofa kafe, tempat yang kita sepakati. Kau datang seorang diri, dengan senyuman yang masih semanis dahulu.

“Baru saja,” balasku, lalu menyalami tanganmu yang dingin. Aku jelas berbohong, sebab aku telah tiba hampir satu jam sebelumnya. “Menunggu lama untukmu, tak masalah bagiku,” sentilku, berusaha mencairkan suasana. Aku tak ingin terlihat kaku dan aneh. Apalagi selama ini, kau mengenaliku sebagai sosok yang humoris dan penuh percaya diri.

Kau sontak mengalunkan tawa kecilmu yang menggemaskan, kemudian mengucapkan satu sangkalan fovoritmu itu, “Gombalan kacang!”

Di beberapa menit selanjutnya, kita pun mengulas kembali rangkaian kisah masa lalu. Kita juga berbagi cerita tentang peristiwa yang terlewati selama tak saling mengindrai. Tentang kesibukan masing-masing, rencana masa depan, hingga proyeksi pasangan hidup.

“Sebenarnya, ada apa kau mengajakku kemari?” tanyaku, setelah merasa bosan, sebab kita hanya mengulang-ulang pembahasan yang sama.

Kau berdeham. “Memangnya harus ada alasan penting untuk bertemu dengan teman lama?” jawabmu, terkesan mengelak dari alasan yang sesungguhnya. “Aku hanya ingin mengobrol denganmu. Apalagi, kau tahu sendiri, sore nanti, aku akan pergi ke kota seberang untuk waktu yang lama.”

“Bukan karena rindu?” sergahku, dengan sikap yang serius. Berharap kau jujur saja jika memang kau punya perasaan yang entah apa padaku.

Kau menggeleng dengan mimik datar.

Aku tahu kau berbohong, tapi aku tak ingin memaksamu berkata jujur.

Seketika, kau beralih dari perbincangan tentang kita, seperti biasa, “Ngomong-ngomong, hubungan kalian baik-baik saja kan?”

Kau memang tak menyebut nama, tapi aku yakin, yang kau maksud adalah si dia, teman baikmu, seseorang yang selalu kau jodoh-jodohkan denganku. “Ya, baik-baik saja. Seperti biasa,” jawabku, tanpa balas bertanya. Aku ingin mengesankan kalau aku tak berselera jika kita mambahas tentang kami.

Kau terlihat kecewa dengan respons seadaku. Kau tampak menelan ludah yang mengering di tenggorokanmu. Kau seperti ingin mengungkapkan sesuatu yang sulit untuk kau ucapkan. Lalu, kau pun berucap dengan terbata-bata, “Kau harus tetap bersamanya! Seperti dahulu, aku ingin melihat kalian hidup bersama.”

Aku diam saja mendengar penuturan yang sedari dulu kau tegaskan.

“Kurasa sudah saatnya aku mengungkapkan sebuah rahasia padamu.” Bola matamu tampak liar, seperti segan padaku. “Sebelum kita saling mengenal, dia begitu mengagumimu. Dia mengenalmu, sebelum aku mengenalmu. Dia sering bercerita, kalau dalam hidupnya, ia sangat berharap berjodoh denganmu. Dan karena itu, aku tak ingin kau mengecewakan perasaannya.”

Lagi-lagi, kudengar satu nasihat yang aku tak suka darimu, bahwa kau menganggap perasaaan bisa dialihkan begitu saja.

“Kau tahu, sisa hidupnya tak lama lagi,” katamu, dengan raut wajah yang sayu. “Dokter memprediksi, hidupnya tak akan bertahan lama. Dia mengidap kanker otak.”

Mendengar penuturanmu, sungguh membuat perasaanku tersentak. “Kenapa kau baru mengatakan itu padaku?”

Tangismu tak tertahan lagi. “Dia yang memintanya. Dia tak ingin aku menceritakannya pada siapa-siapa, apalagi padamu.”

Aku termenung saja, membayangkan sikap abaiku yang tak pernah tulus bertanya tentang kabarnya, saat kami berdua. Sungguh, aku tak tak tahu apa-apa tentang keadaannya. Dan kini kusadari, aku bukanlah seorang lelaki yang perhatian padanya, meski atas nama sahabat.

“Aku akan sangat  berterma kasih padamu, jika kau bersedia membahagiakannya di sisa waktu yang ada. Apalagi, setelah aku pergi, dia tak akan punya teman penghibur selain dirimu. Aku mohon!” pintamu, seperti sangat memohon, sambil menyeka bulir-bulir air mata yang jatuh di pipimu.

Dalam kebimbangan, aku mengangguk saja.

Kita sama-sama larut dalam kegalauan untuk beberapa saat.

Lalu, kau berucap lagi, untuk saat-saat terakhir, “Sepertinya, aku harus pulang. Banyak sesuatu yang harus aku persiapkan sebelum pergi,” katamu, dengan senyuman yang tak sepenuhnya menutupi kesedihanmu. “Ambillah, untuk ulang tahunmu hari ini.” Kau lalu menyodorkan sekotak kado untukku.

Seketika, kusadari, hari ini aku berulang tahun. “Terima kasih,” balasku.

Kau tersenyum lagi, meski terkesan berat. “Jangan berterima kasih padaku. Berterima kasihlah padanya. Kado itu miliknya.”

Lagi-lagi, kau melakukan pengalihan. Tapi atas rahasia besar yang telah kau ungkapkan, aku tak bisa membenci tentangnya lagi.

Setelah saling berbalas senyuman untuk ke sekian kalinya, kau pun  pergi dari pandanganku, menghilang bersama perasaan yang harus kupendam kembali.

Tiba-tiba, rasa ibaku muncul. Aku merasa sedikit bersalah telah mengabaikan perasaannya untuk waktu yang lama. Aku merasa berdosa telah bersikap dingin padanya.  Sungguh!

Aku pun bergegas mengirimkan pesan singkat kepadanya.

Aku: Terima kasih untuk kado ulang tahun darimu.

Dia: Kado apa yang kau maksud? Hari ini kau ulang tahun?

Segera kusibak bungkusan kado yang kau berikan untukku. Dan akhirnya kujumpai boneka kelinci, sebuah kado ulang tahun yang kuberikan padamu enam bulan lalu. Dan berserta itu, kudapati secarik kertas bertuliskan: Bulan depan, dia ulang tahun. Berikanlah kado ini untuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar