Warga
Desa Makmur, tersentak. Makmum, sang kepala desa, meninggal dunia subuh tadi.
Ia wafat mendadak karena serangan jantung. Para warga jelas kaget. Tak ada yang
menduga kalau lelaki bertubuh gempal itu, akan meninggal tanpa aba-aba. Apalagi,
ia terbilang masih muda. Usianya baru menginjak kepala empat.
Kematian
Makmum, jelas membuat warga berduka-cita. Pasalnya, kehormatan telah ia sandang
atas laku baiknya selama ini. Warga desa begitu mengagumi keredahan hatinya.
Tak ada warga menyangsikan kalau ia begitu dermawan. Suka menyantuni warga
miskin, bahkan dengan menggunakan uang dari kantong pribadinya sendiri.
Citra
baik Makmum, seperti tanpa cela. Perbuatan baiknya saja yang membekas dan terus
dielu-elukan. Harapan besar warga atas kemajuan desa di bawah kepemimpinannya,
seperti sulit dienyahkan. Apalagi, para warga ragu bisa menemukan sosok seperti
Makmum, seorang pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat
daripada kepentingan pribadi.
Atas
nama baiknya, Makmum bisa dipastikan terpilih lagi menjadi kepala desa jika
saja ajalnya belum sampai. Tak ada warga yang meragukan itu. Adian salah
satunya. Sebagai orang yang dekat dengan almarhum, bahkan ditunjuk secara
langsung untuk menjadi bendahara desa, ia bisa memastikan kalau para warga akan
memilih Makmum kembali.
Tapi
kali ini, Adian pasrah pada nasib. Ia menerima kenyataan, bahwa di waktu-waktu mendatang,
bisa saja ia tak kebagian jabatan lagi. Teman baiknya yang kharismatik, telah
pergi. Tampuk kepemimpinan desa bisa saja beralih pada kubu yang lain.
Sebagaimana pahitnya politik, kelompok yang kalah tak mendapatkan apa-apa.
Dan
sekacau apa pun keadaan, Adian tak ingin memusingkan takdirnya terus-menerus.
Apalagi, ia memang merasa sudah cukup menjadi seorang pejabat desa untuk beberapa
tahun belakangan. Ia hanya berharap bisa kembali menjadi warga biasa, hidup
tenang dari usaha bertani, tanpa dipusingkan urusan pertanggungjawaban uang-uang
publik.
“Bapak
belum mandi?” Tijah, istri Adian yang baru saja datang dari kota untuk mengunjungi
anaknya yang masih kuliah, bertanya penuh curiga.
Adian
yang kumal, menjawab dengan lesu, “Belum, Bu. Prosesi penguburan baru saja
selesai.”
Tijah
tambah heran. “Kok terlambat amat, Pak?”
“Tadi
kan hujan, Bu. Banyak masalah di pekuburan,” tegas Adian.
Tijah
mengangguk-angguk. “Oh, begitu. Hujan memang deras, Pak.”
Mereka
pun terdiam.
Dalam
hati, Adian merasa tak berselera menguraikan kronologi sampai penguburan Makmum
molor dari jadwal yang direncanakan. Ia merasa tak perlu merinci bahwa pemandian
mayat molor karena air dari pegunungan, keruh; salat mayat diundur, sebab imam datang terlambat karena terhalang hujan; hingga lumpur dan genangan air yang
tak henti mengisi liang kubur si mayat.
Dan
tentu, ia juga tak mungkin menceritakan puncak misteri penguburan, kala hujan
berangsur-angsur berhenti setelah imam desa yang memandu proses penguburan,
meminta doa pemaafan dari seluruh warga desa untuk kesalahan lahir-batin si
mayat.
Adian
memilih untuk merahasiakan cerita-cerita penuh keganjilan itu.
“Ibu
sendiri kenapa baru sampai dengan pakaian penuh bercak tanah begitu?” tanya
Adian.
“Ya,
karena hujan deras juga, Pak. Mobil harus tertahan beberapa jam di jalan desa, di
tanjakan, karena jalan berlumpur,” jelas Tijah.
Adian
mengangguk-angguk.
“Entah
kapan juga jalan desa kita dibeton seperti jalan desa lain. Ya, jika saja Pak
Makmum tak keburu ajal, mungkin tahun depan jalan kita sudah dibeton,” harap
Tijah.
“Entahlah,
Bu,” ketus Adian.
Seketika,
mata Adian tertuju pada masjid dusun di seberang rumahnya. Sebagai bendahara desa, ia tahu, tak mungkinlah masjid semegah itu jika saja jalan desa tak
seburuk sekarang.
Adian
sadar kalau dirinya turut bersalah hingga jalan desa tak kunjung membaik.
“Tabungan
Bapak masih banyak, kan?” tanya Tijah.
“Memangnya
kenapa? Uang belanja harian habis lagi?” Adian tampak tak berkenan.
Tijah
jadi segan. “Bukan untuk itu, Pak. Aku berencana beli baju kebaya dan sarung
untuk istri Pak Makmum, sebagai tanda belasungkawa. Boleh kan?”
Adian
membalas dengan anggukan seadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar