Rabu, 21 Juni 2017

Matinya Sang Dermawan

Warga Desa Makmur, tersentak. Makmum, sang kepala desa, meninggal dunia subuh tadi. Ia wafat mendadak karena serangan jantung. Para warga jelas kaget. Tak ada yang menduga kalau lelaki bertubuh gempal itu, akan meninggal tanpa aba-aba. Apalagi, ia terbilang masih muda. Usianya baru menginjak kepala empat.
 
Kematian Makmum, jelas membuat warga berduka-cita. Pasalnya, kehormatan telah ia sandang atas laku baiknya selama ini. Warga desa begitu mengagumi keredahan hatinya. Tak ada warga menyangsikan kalau ia begitu dermawan. Suka menyantuni warga miskin, bahkan dengan menggunakan uang dari kantong pribadinya sendiri. 

Citra baik Makmum, seperti tanpa cela. Perbuatan baiknya saja yang membekas dan terus dielu-elukan. Harapan besar warga atas kemajuan desa di bawah kepemimpinannya, seperti sulit dienyahkan. Apalagi, para warga ragu bisa menemukan sosok seperti Makmum, seorang pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi.

Atas nama baiknya, Makmum bisa dipastikan terpilih lagi menjadi kepala desa jika saja ajalnya belum sampai. Tak ada warga yang meragukan itu. Adian salah satunya. Sebagai orang yang dekat dengan almarhum, bahkan ditunjuk secara langsung untuk menjadi bendahara desa, ia bisa memastikan kalau para warga akan memilih Makmum kembali. 

Tapi kali ini, Adian pasrah pada nasib. Ia menerima kenyataan, bahwa di waktu-waktu mendatang, bisa saja ia tak kebagian jabatan lagi. Teman baiknya yang kharismatik, telah pergi. Tampuk kepemimpinan desa bisa saja beralih pada kubu yang lain. Sebagaimana pahitnya politik, kelompok yang kalah tak mendapatkan apa-apa.

Dan sekacau apa pun keadaan, Adian tak ingin memusingkan takdirnya terus-menerus. Apalagi, ia memang merasa sudah cukup menjadi seorang pejabat desa untuk beberapa tahun belakangan. Ia hanya berharap bisa kembali menjadi warga biasa, hidup tenang dari usaha bertani, tanpa dipusingkan urusan pertanggungjawaban uang-uang publik. 

“Bapak belum mandi?” Tijah, istri Adian yang baru saja datang dari kota untuk mengunjungi anaknya yang masih kuliah, bertanya penuh curiga.

Adian yang kumal, menjawab dengan lesu, “Belum, Bu. Prosesi penguburan baru saja selesai.”

Tijah tambah heran. “Kok terlambat amat, Pak?”

“Tadi kan hujan, Bu. Banyak masalah di pekuburan,” tegas Adian.

Tijah mengangguk-angguk. “Oh, begitu. Hujan memang deras, Pak.”

Mereka pun terdiam.

Dalam hati, Adian merasa tak berselera menguraikan kronologi sampai penguburan Makmum molor dari jadwal yang direncanakan. Ia merasa tak perlu merinci bahwa pemandian mayat molor karena air dari pegunungan, keruh; salat mayat diundur, sebab imam datang terlambat karena terhalang hujan; hingga lumpur dan genangan air yang tak henti mengisi liang kubur si mayat.

Dan tentu, ia juga tak mungkin menceritakan puncak misteri penguburan, kala hujan berangsur-angsur berhenti setelah imam desa yang memandu proses penguburan, meminta doa pemaafan dari seluruh warga desa untuk kesalahan lahir-batin si mayat.

Adian memilih untuk merahasiakan cerita-cerita penuh keganjilan itu.

“Ibu sendiri kenapa baru sampai dengan pakaian penuh bercak tanah begitu?” tanya Adian.

“Ya, karena hujan deras juga, Pak. Mobil harus tertahan beberapa jam di jalan desa, di tanjakan, karena jalan berlumpur,” jelas Tijah.

Adian mengangguk-angguk.

“Entah kapan juga jalan desa kita dibeton seperti jalan desa lain. Ya, jika saja Pak Makmum tak keburu ajal, mungkin tahun depan jalan kita sudah dibeton,” harap Tijah.

“Entahlah, Bu,” ketus Adian.

Seketika, mata Adian tertuju pada masjid dusun di seberang rumahnya. Sebagai bendahara desa, ia tahu, tak mungkinlah masjid semegah itu jika saja jalan desa tak seburuk sekarang. 

Adian sadar kalau dirinya turut bersalah hingga jalan desa tak kunjung membaik.

“Tabungan Bapak masih banyak, kan?” tanya Tijah.

“Memangnya kenapa? Uang belanja harian habis lagi?” Adian tampak tak berkenan.

Tijah jadi segan. “Bukan untuk itu, Pak. Aku berencana beli baju kebaya dan sarung untuk istri Pak Makmum, sebagai tanda belasungkawa. Boleh kan?”

Adian membalas dengan anggukan seadanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar