Bertahun-tahun
lalu, Rustam meninggalkan kampung halamannya yang sepi. Tekadnya bulat, meski
harus meninggalkan sang ibu, Aminah, seorang diri. Ia beranjak ke kota demi
mewujudkan cita-citanya menjadi seorang polisi. Seperti ayahnya, ia berhasrat
menjadi pemberantas kejahatan. Dan kini, harapan itu, terwujud sudah.
Kesusksesan
Rustam menjadi polisi, sedari awal, bukan untuk membanggakan siapa-siapa. Apa
yang ia capai, hanya untuk dirinya sendiri. Ayahnya telah tiada, sedangkan
ibunya tak pernah merestui ia menjadi seorang polisi. Karena itu jugalah, sejak
dahulu, Rustam menutupi semua rencananya dari pengetahuan sang ibu. Hingga,
sampai sekarang, ia masih merahasiakannya.
Kini,
setelah keadaan banyak berubah, kerinduan Rustam kepada ibunya, jadi semakin
membesar. Ia pun memutuskan pulang ke kampung dengan segala kebohongan yang
selama ini ia tutup-tutupi. Ia pasrah saja jika harus jujur kepada sang ibu
soal keadaannya sekarang. Jelas ia sadar, tak mungkin menyembunyikan statusnya sebagai
seorang polisi sepanjang waktu.
Kala
sore hari, sampailah Rustam di sebuah rumah, tempat masa kecilnya berlalu.
Dengan perasaan yang campur-aduk, ia menegarkan langkahnya menemui sang ibu.
Dan akhirnya, ia pun mendapati ibunya tengah duduk menyendiri di beranda depan rumah,
bercengkerama dengan ayam-ayam yang telah menjadi teman sepinya selama ini.
Melihat
sang anak datang, Aminah sontak menghampiri, kemudian memberi peluk dan cium
untuk buah hatinya. Kata-kata kesyukuran pun, tak berhenti meluncur dari mulutnya.
Air matanya lalu menetes, disertai pertanyaan yang meluncur secara
bertubi-tubi. Dengan sabar, Rustam menjawab sambil berusaha menyela dan
bertanya balik.
Setelah
rasa rindu luruh dalam pelukan dan tangisan, Aminah pun bertanya tentang apa
yang telah dilalui sang anak sepanjang waktunya. “Apakah kau telah menjadi
seorang dokter seperti keinginan ibu?” tanya Aminah dengan raut wajah yang
masih menyiratkan keharuan.
Rustam
kelimpungan harus menjawab apa. Ada ketakutan dalam hatinya kalau-kalau sang
ibu kecewa berat mengetahui kejujurannya. Tapi bagaimana pun juga, ia sadar
sedari dulu kalau pertanyaan semacam itu, akan muncul. Apalagi, sepanjang waktu,
kalau sang ibu menyelidiki kegiatannya di kota, Rustam selalu mengaku tengah
menjalani studi sebagai mahasiswa fakultas kedokteran.
Beberapa
detik berlalu, Rustam pun menggeleng. “Aku bukan seorang dokter, Bu.”
Dengan
senyuman yang membalut rasa penasarannya, Aminah kembali bertanya, “Lalu apa,
Nak? Atau kau telah menjadi seorang ahli bedah?”
Rustam
menggeleng lagi, kemudian berucap dengan tegas, “Aku seorang polisi, Bu!”
Seketika,
Aminah kaget setengah mati. Raut wajahnya berubah suram. Matanya terbelalak. Ia
tampak sulit menerima kenyataan yang baru saja ia ketahui. “Bukankah Ibu sudah bilang,
jangan jadi polisi? Apa kau tak paham maksud Ibu, Nak?” tuturnya,
seperti membentak.
Rustam
menggenggam tangan sang ibu. “Maafkan aku, Bu. Aku tahu, Ibu tak pernah
menginginkan aku menjadi seorang polisi, tapi itu adalah cita-citaku sejak kecil.
Aku ingin menjadi seperti Ayah, Bu.”
“Tapi,
bagaimana jika…,” suara Aminah tertahan beberapa detik. “Aku sungguh tak ingin
kau menjadi seperti ayahmu! Aku…”
“Kenapa,
Bu? Apakah menjadi seorang polisi itu adalah pekerjaan yang hina? Bukankah
polisi memiliki tugas yang mulia sebagai pemberantas kejahatan?” timpal Rustam.
“Aku
tahu, Nak!” Aminah segera menyela. Setelah melepaskan isakannya, ia lanjut
bertutur, “Tapi aku tak ingin kau bernasib seperti ayahmu, yang meninggal
karena ia adalah seorang polisi.”
Rustam
sedikit terkejut mendengar ibunya menuturkan kenyataan itu. Tapi melihat ibunya
menangis, ia tak hendak menuntut penjelasan segera.
Tak
lama kemudian, Aminah melanjutkan penjelasannya, “Nak, aku memang telah lama
merahasiakan ini padamu. Tapi apa boleh buat, kurasa, sudah waktunya kau tahu.
Sejujurnya, ayahmu meninggal bukan karena panyakit jantung, seperti yang
kukatakan sejak dahulu. Yang sesungguhnya terjadi, ayahmu meninggal karena ia
seorang polisi; ia menindaki komplotan pencuri ternak kala sedang beraksi di
kampung ini. Tikaman para pencurilah yang membuat nyawanya melayang,” kata
Aminah, dengan isak tangis yang semakin menjadi-jadi. “Karena itulah, Nak, aku
tak ingin kau menjadi seorang polisi.”
Seperti
sebelumnya, Rustam tak terlalu kaget mendengar penjelasan ibunya. Cerita tragis
tentang sang ayah, bukanlah rahasia baginya sedari dulu. Meski sang ibu telah berusaha
menyembunyikan kenyataan itu, tapi sampai juga kabar di telinga Rustam tentang
seluk-beluk ceritanya. Dan karena alasan itu pulalah, tekad Rustam kukuh menjadi
seorang polisi, atas nama dendam kepada para komplotan pencuri ternak yang
kembali meresahkan warga di kampung halamannya.
“Maafkan
aku, Bu. Tapi aku janji, aku akan menjaga diriku baik-baik,” tutur Rustam.
Dengan
perasaan yang entah bagaimana, Aminah terdiam saja. Ia jelas tak tahu bagaimana
harus menyikapi keputusan anaknya yang sudah terlanjur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar